DIPLOMASI PADA MASA PEMERINTAHAN MEGAWATI
Dosen : Rachmayani, M.Si
Kelompok 8 :
GREGORIUS YUDHA 2016230005
ARMANDO BASKARA 2016230004
STEFANUS MARTIN 2016230038
ARVIN BAYU AJI 2016230106
MUHAMMAD FATIH 2016230064
INSTITUT ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK (IISIP)
JAKARTA
http://kepustakaan-presiden.perpusnas.go.id/biography/?box=detail&presiden_id=5&presiden=megawati
Robert Jackson dan Georg Sorensen. 2009. Pengantar Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Asrudin, Azwar. 2014. “Thomas Kuhn dan Teori Hubungan Internasional: Realisme sebagai Paradigma” dalam Indonesian Journal of International Studies (IJIS) IJIS Vol.1, No.2.
Saeri, Muhammad. 2012. “Teori Hubungan Internasional Sebuah Pendekatan Paradigmatik” dalam Jurnal Transnasional, Vol. 3, No. 2. Riau : Ketua Laboratorium Jurusan Hubungan Internasional FISIP Universitas Riau.
S.L , Roy, 1995, Diplomasi, Jakarta Utara, PT Raja Grafindo persada.
Kelompok 8 :
GREGORIUS YUDHA 2016230005
ARMANDO BASKARA 2016230004
STEFANUS MARTIN 2016230038
ARVIN BAYU AJI 2016230106
MUHAMMAD FATIH 2016230064
INSTITUT ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK (IISIP)
JAKARTA
BAB I
PENDAHULUAN
⦁ Latar Belakang
Megawati Soekarno Putri merupakan Presiden wanita pertama Republik Indonesia dengan Wakil Presiden Hamzah Haz. Megawati resmi menjabat menjadi Presiden pada tanggal 27 juli 2001. Ini terlaksana setelah MPR mencabut status kepresidenan Abdurrahman Wahid melalui sidang istimewa. Pemerintahan yang dipimpin Era Megawati saat itu langsung dihadapkan dengan dinamika persoalan dan masalah yang dirasakan oleh masyarakat. megawati melaksanakan tugas kepemimpinannya dengan memfokuskan pada masalah yang terjadi didalam negeri. Megawati memberikan posisi khusus kepada semua anggotanya dalam memutuskan kebijakan sendiri, termasuk dalam pelaksanaan Politik Luar Negri indonesia kepada menteri luar negeri.
Pada masa kepemimpinan Megawati, Indonesia diwarnai dengan permasalahan domestik dan internasional yang pada akhirnya mempengaruhi proses pengambilan Kebijakan Luar Negeri Indonesia. Sifat Megawati dalam memimpin Indonesia saat itu tenang dan dianggap seperti acuh tak acuh, dan sangat memprioritaskan penyelesaian konflik dalam negeri seperti masalah gerakan separatis yang terjadi di Aceh. Dan pada masa kepemimpinannya, terlihat pula megawati sudah tidak berpihak kepada Barat.
Rumusan Masalah
Bagaimana Sejarah Diplomasi Indonesia pada masa Megawati ?
Apa saja pencapaian yang sudah diraih dalam pemerintahan era Megawati?
Kebijakan apa yang Megawati buat dalam menyelesaikan konflik GAM?
Tujuan
Menjadi bahan belajar untuk mata kuliah SDI
Untuk mengetahui Kebijakan Luar Negri Indonesia dalam masalah GAM
Memberikan informasi kepada pembaca mengenai era kepemimpinan Megawati
BAB II
LANDASAN TEORI
⦁ Paradigma Realisme
Seperti yang pernah dikatakan Francis Fukuyama (2003), bahwa politik dan hubungan internasional adalah masalah evolusi sejarah. Ke arah mana angin sejarah bergerak, di situ kita akan menemukan tekateki sejarah yang kontradiktif dan dialektis. Mereka yang optimis tentang jalannya sejarah dunia tentu akan mengikuti polapola historis yang tergambar dalam tradisi filsafat idealisme Hegel dalam bingkai “Pertempuran Jena”, sementara bagi mereka yang pesimis, pola-pola historis yang tergambar cenderung mengikuti tradisi filsafat realisme politik Thucydides dalam bingkai “Perang Peloponnesia”. Dengan demikian, perjalanan sejarah dunia adalah perjalanan sejarah yang dialektis, sulit untuk mereka-reka ke arah mana angin sejarah akan bergerak: akankah mengarah pada kemajuan (endisme) atau pada kemunduran (deklinisme). Teori mainstream dalam ilmu ekonomi dan sosiologi, selama berabadabad yang lalu, telah dan terus berjuang dengan problem sejarah dan perubahan sejarah. Namun, para teoretisi hubungan internasional bertradisi filsafat realisme justru berbicara seolah-olah sejarah tidak eksis, misalnya, seolah-olah perang dan imperialisme adalah aspek permanen dari cakrawala manusia. Sementara seluruh aspek yang lain dari lingkungan sosial manusia seperti agama, keluarga, organisasi ekonomi, konsep-konsep mengenai legitimasi politik tunduk pada evolusi sejarah, hubungan internasional justru tidak demikian, sejarah selalu dianggap selamanya identik dengan dirinya sendiri: “Perang adalah Abadi” (Fukuyama, 2003: 374).
Pandangan pesimistis mengenai hubungan internasional ini telah memberi suatu formulasi sistematis yang berjalan dalam berbagai julukan tentang “realisme, real politik, atau politik kekuasaan”. Realisme, baik secara sadar disebut dengan nama itu atau tidak, adalah kerangka yang dominan dalam memahami hubungan internasional, dan secara virtual telah membentuk pemikiran mengenai setiap kebijakan luar negeri profesional saat ini di Amerika Serikat dan tempat-tempat lain di dunia (Fukuyama, 2003: 374), terutama sejak Thucydides, Machiavelli, Hobbes, Carr, Morgenthau, dan Waltz membahas masalah ini di dalam karya-karyanya. Realisme politik ketika menganalisis hubungan internasional selalu mendasarkan pandangan mereka pada realitas, pada apa yang ada, dan bukan pada apa yang seharusnya, seperti yang diklaim oleh kaum idealisme politik. Di dunia nyata, menurut kaum realis, konflik sudah diambang pintu karena sifat kekerasan yang melekat di dalam diri manusia dan karena jalan yang dipilih oleh penduduk dunia lebih tertarik untuk mengorganisasikan bentuk negara yang berdaulat dan independen yang cenderung tidak menghormati otoritas di luar atau di atas negaranya. Pemikiran kaum realis dengan demikian berlandaskan pada pencarian kekuatan dan dominasi yang berasal dari sifat manusia sebagai alasan dasar bagi konflik (Sorensen, 2003: 205).
Mereka juga cenderung menjadi determinis dan yakin bahwa ada kekuatan-kekuatan kausal yang berada di luar kemampuan manusia—ada hukum-hukum obyektif yang menjadikan pola-pola tingkah laku tertentu pasti berlaku, tidak dapat dihindarkan, terutama sekali dalam hubungan internasional. Ini berarti bahwa kaum realis tidak begitu yakin pada kemampuan akal pikiran manusia untuk mencari pemecahan-pemecahan jitu terhadap masalah-masalah yang dihadapinya. Secara demikian realisme politik mengandung unsur-unsur oportunisme dan menekankan pada ekspediensi dalam arti sangat terpengaruh oleh lingkungan yang ada dan mengambil langkah-langkah yang paling pragmatis dalam memecahkan masalah, sungguhpun langkah-langkah itu tidak benar untuk jangka waktu yang panjang.
Realis juga beranggapan bahwa prinsip-prinsip moral tidak dapat diterapkan untuk memahami perilaku politik negara. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Morgenthau, bahwa “realisme politik tidak memerlukan pembenaran moral, akan tetapi ia memerlukan pembedaan yang tajam antara apa yang dikehendaki dan apa yang mungkin, antara apa yang diharapkan di mana pun kapan pun” (Morgenthau, 1985: 7).
Kalangan realis juga menolak penerapan prinsip-prinsip moral dalam analisis politik internasional karena perbedaan mendasar antara politik internasional dan politik domestik. Di tingkat domestik terdapat otoritas-otoritas berkuasa yang dapat mengatur moralitas individu, sementara di dunia internasional tidak ada otoritas berkuasa yang dapat mengatur kehidupan negara karena hubungan antar negara berlangsung dalam lingkungan yang anarkis. Karena itulah, seorang yang sangat liberalis pun, seperti Stanley Hoffman, bahkan mengatakan bahwa “dalam suatu masyarakat anarkis dari bangsa-bangsa yang hidup dalam keadaan ‘tidak damai’ atau ‘keadaan perang’, semua yang bergantung pada pandangan John Locke ataupun Thomas Hobbes akan melihat hal yang sama ketika dihadapkan pada masalahmasalah dunia. Akan selalu ada yang namanya perasaan ketidakamanan. Tidak semua negara atau pelaku dapat sama-sama aman selama belum tercapai dunia yang bebas dari ancaman dan permusuhan” (Hoffman, dalam Bertram, 1988: 130).
Pertanyaannya adalah, mengapa kaum realis begitu pesimis terhadap kondisi politik internasional? Mengapa kaum realis begitu meyakini ancaman keamanan, konflik, dan anarki menjadi hal yang mutlak dan akan terus berlangsung selama negara masih menjadi unit politik yang independen? Menurut Vioti dan Kauppi, setidaknya ada empat hal pokok yang bisa menjawabnya (Viotti & Kauppi, 1999: 6-7; dan Andre Pareira, 1999: 102-104).
Pertama, negara dipandang sebagai pelaku utama sekaligus pelaku terpenting (state are the principal or most important actors). Dalam asumsi ini, negara dipandang sebagai unit utama dalam analisis, baik ketika orang membahas masyarakat politik zaman Yunani Kuno (polis) maupun analisis masyarakat politik modern (nation state), dan studi HI adalah studi hubungan di antara unit-unit masyarakat politik. Seorang realis yang menggunakan konsep sistem, mendefinisikan terminologi sistem dalam pengertian sistem internasional yang melibatkan negara sebagai elemen-elemen dalam sistem tersebut. Elemen-elemen lain bukan negara di dalam sistem internasional, seperti organisasi internasional, multinational coorperation, transnational groups juga merupakan aktor, tetapi perannya kurang penting dibandingkan negara.
Kedua, negara dipandang sebagai kesatuan aktor (state is viewed as a unitary actor). Untuk tujuan analisis, seorang realis melihat negara ibaratnya sesuatu mahkluk yang terbungkus oleh sel-sel kehidupan yang keras (as being encapsulated by metaphorical hard sell). Sebuah negara berhadapan dengan dunia luar yang juga merupakan suatu unit yang terintegrasi. Dalam pengertian ini negara dilihat sebagai otoritas tertinggi, yang perwujudannya oleh pemerintah, dan pemerintah adalah representasi negara yang menyuarakan dengan satu suara yang sama untuk kepentingan negara secara keseluruhan. Sehingga apabila terjadi sesuatu di dalam sistem negara yang berhubungan dengan lingkungan di luar negara, negara (pemerintah) melakukan intervensi untuk mengambil suatu tindakan, peran aktor nonnegara yang berbeda pandangan dengan negara (pemerintah) diarahkan untuk kepentingan kebijaksanaan yang terpusat dan dikontrol oleh negara.
Ketiga, negara secara esensial diasumsikan sebagai aktor yang rasional (state is essentially a rational actor). Asumsi ini berhubungan dengan proses pembuatan keputusan politik luar negeri, yang seharusnya mencakup perumusan tujuan, pertimbangan-pertimbangan alternatif dalam pengertian ketersediaan kapabilitas negara, pertimbangan kemungkinan berbagai macam alternatif yang bisa digunakan dengan disertai pertimbangan keuntungan dan kerugian untuk masing-masing alternatif yang digunakan. Asumsi ini juga memperhitungkan bahwa unsur kemanusiaan dari para pembuat keputusan yang mungkin saja menimbulkan persepsi yang salah tentang lingkungan yang dihadapi yang bisa mengarahkan politik luar negeri tidak sesuai dengan tujuan.
Keempat, keamanan nasional merupakan isu utama dan menempati tempat teratas di samping isu-isu lainnya (national security is on top of the list within the hierarchy of international issue) sehingga aspek militer dan isu-isu politik yang berhubungan dengan masalah keamanan nasional mendominasi perpolitikan dunia. Seorang realis juga biasanya memusatkan perhatiannya pada potensi konflik yang ada di antara aktor negara, dalam rangka memperhatikan atau menjaga stabilitas internasional, mengantisipasi kemungkinan kegagalan upaya penjagaan stabilitas, memperhitungkan manfaat dari tindakan paksaan sebagai salah satu cara pemecahan terhadap perselisihan, dan memberikan perlindungan terhadap tindakan pelanggaran wilayah perbatasan.
Oleh karena itu, power adalah konsep kunci. Dalam kacamata realis, keamanan militer dan isu-isu strategis tergolong kepentingan utama dan mengacu pada kategori politik berbobot tinggi (high politics), sedangkan ekonomi dan isu-isu sosial dilihat oleh kaum realis sebagai hal yang biasa, kurang penting atau mempunyai bobot politik yang rendah (low politics). Meskipun keempat pandangan di atas merupakan prinsip umum dari realisme, namun realisme bukanlah teori tunggal. Realisme dapat dikelompokkan lagi menjadi dua pendekatan, yaitu “realisme klasik” dan “neo-realisme.” Tak hanya itu, neo-realisme pun dibagi lagi menjadi dua varian: defensif dan ofensif. Penganut paham realisme klasik seperti Hans J. Morgenthau percaya bahwa negara, seperti halnya manusia, memiliki hasrat yang tak pernah terpuaskan untuk mendominasi yang lainnya dan pada akhirnya membawa mereka pada peperangan. Sebaliknya, neo-realis defensif yang dimapankan oleh Kenneth Waltz, justru mengabaikan sifat alamiah manusia dan memfokuskan analisisnya pada dampak yang dihasilkan sistem internasional.
Bagi Waltz (1979), sistem internasional terdiri dari sejumlah kekuatan besar, yang masingmasing berusaha untuk bertahan karena sistem berjalan secara anarkis (suatu kondisi yang dihasilkan karena tidak adanya otoritas sentral yang dapat mengaturnya). Di dalam kondisi yang anarkis seperti itu, setiap negara akan mempertahankan dirinya sendiri. Untuk itu, kata Waltz, kondisi ini telah memaksa negara-negara lemah menjadi berupaya untuk mengimbangi negara-negara yang kuat. Sejalan dengan Waltz, seorang neo-realis ofensif John J. Mearsheimer (2001), mengatakan bahwa struktur sistemlah yang menentukan bagaimana negara berperilaku, bagaimana cara mereka memandang satu sama lain dan ini bisa berakibat pada apa yang disebut dengan anarki internasional. Akan tetapi Waltz dan Mearsheimer memiliki perbedaan pandangan dalam menjelaskan tujuan negara. Mearsheimer, misalnya, percaya bahwa setiap negara akan berupaya untuk menjadi kekuatan hegemon dan lebih agresif daripada yang dibayangkan oleh Waltz.
Tujuan negara menurut Mearsheimer adalah untuk mendominasi seluruh sistem, dan menjadi pihak yang berkuasa di kawasan dunia (Kreisler, 2002). Jika anda adalah yang terbesar, tidak akan negara manapun yang berani menentang anda karena anda begitu berkuasa. Ambillah belahan bumi Barat sebagai contoh, di mana AS sejauh ini merupakan negara yang paling berkuasa di kawasan ini. Di kawasan itu, tidak akan ada negara seperti Kanada, Guetamala, Kuba, ataupun Meksiko yang akan berpikir untuk berani melawan atau berperang dengan AS karena kekuatan AS terlalu besar bagi mereka. Berbeda dengan Waltz. Menurutnya, pandangan Mearsheimer itu tidak tepat. Karena dengan menjadi begitu berkuasa, dan ketika suatu negara bergerak ke arah sana, negara lain pasti akan berupaya untuk mengimbangi dan melawannya. Meski ada perbedaan pandangan dalam hal keutamaan unit analisis dan tujuan negara dari varian-varian realisme di atas, secara prinsip mereka menyepakati satu hal bahwa sistem politik internasional akan selalu berjalan secara anarkis dikarenakan memang tidak adanya otoritas tunggal (baca: LBB atau PBB) yang bisa membuat dunia menjadi jauh lebih harmonis.
Pemikiran awal yang ditawarkan oleh paradigma realisme ini ada tiga prinsip. pertama adalah negara merupakan aktor terpenting dalam hubungan internasional. Kedua, terdapat perbedaan yang tajam antara politik dalam negeri dan politik internasional. Ketiga, titik tekan perhatian kajian hubungan internasional adalah tentang kekuatan dan perdamaian. Karya yang dinilai fundamental dalam membangun paradigma realis ini adalah Politics Among Nations oleh Morgenthau dan The Twenty Years Crisis oleh E.H. Carr. Realisme adalah tradisi teoritik yang mendominasi studi hubungan internasional selama masa Perang Dingin. Pendekatan teoritik ini menggambarkan hubungan internasional sebagai suatu pergulatan memperebutkan kekuasaan diantara negara-negara yang masing-masing mengejar kepentingan nasionalnya sendiri dan umumnya pesimistik mengenai prospek upaya penghapusan konflik dan perang. Realisme mendominasi masa Perang Dingin karena gagasan ini bisa memberi penjelasan yang sederhana tetapi cukup meyakinkan mengenai perang, aliansi, imperialisme, hambatan terhadap kerjasama, dan berbagai fenomena internasional, dan karena penekanannya pada kompetisi waktu itu sesuai dengan sifat pokok persaingan AS-Uni Soviet (US). Realisme memang bukan teori tunggal dan pemikiran realis selama masa Perang Dingin telah mengalami perubahan. Realis “klasik” seperti Hans Morgenthau dan Reihold Niebuhr yakin bahwa, seperti halnya makhluk manusia, setiap negara memiliki keinginan naluriah untuk mendominasi negara-negara lain, sehingga membuat mereka berperang. Morgenthau juga menekankan peran penting dari sistem perimbangan kekuatan multi-polar klasik dan memandang sistem bipolar yang memungkinkan persaingan sengit antara AS dan US sebagai sistem yang sangat berbahaya. Realisme memperoleh perbaikan dengan munculnya teori “offense-defense”, seperti yang dijabarkan oleh Robert Jervis, George Quester, dan Stephen Van Evera. Para ilmuwan ini berpendapat bahwa perang ternyata lebih mungkin terjadi ketika negara-negara dalam kondisi bisa saling-menaklukkan dengan mudah. Yaitu, ketika “offense” lebih mudah daripada “defense”. Tetapi, sebaliknya, ketika “defense” lebih mudah daripa “offense”, keamanan lebih terjamin, insentif untuk melakukan ekspansi wilayah berkurang, dan kerjasama internasional berkembang pesat.
Dan kalau “defense” mendatangkan keuntungan, dan negara-negara bisa membedakan senjata ofensif dari senjata defensif, maka negara-negara bisa memperoleh sarana untuk mempertahankan diri tanpa mengancam yang lain, sehingga dengan demikian bisa mengurangi akibat dari sifat anarkis sistem internasional. Menurut kaum realis “defensif” ini, negara-negara umumnya berusaha untuk sekedar “survive” dan negara-negara besar bisa menjamin keamanan mereka dengan membentuk aliansi-aliansi yang saling mengimbangi dan memilih postur militer yang defensif. 4 Karena itu, menurut Waltz dan teoritisi neo-realis lain, tidak mengherankan kalau keamanan AS sangat terjamin selama masa Perang Dingin. Yang paling ditakutkan oleh ilmuwan neo-realis adalah kalau AS menyalah-gunakan posisi yang menguntungkan itu untuk menerapkan politik luar negeri yang terlalu agresif. Ini menunjukkan bahwa pada akhir masa Perang Dingin realisme tidak lagi diwarnai oleh konsepsi Morgenthau mengenai sifat manusia yang serba gelap dan pesimistik, tetapi menganut cara pandang yang lebih optimistik. Pada awal tahun 1950-an muncul pemikiran yang mengkritik cara pandang realisme. Kritik itu bertitik pusat pada masalah kepentingan nasional dan penempatan aktor negara sebagai aktor utama dalam hubungan internasional. Bagian pertama, paradigma realis memandang kepentingan nasional adalah sebuah elemen kunci yang membimbing para pengambil kebijakan suatu negara untuk mengambil keputusan atau tindakan terhadap negara lain. Kepentingan nasional merupakan rumusan dari akumulasi kebutuhan umum suatu bangsa yang mencerminkan pilihan rasional dari suatu negara. Bagian kedua, paradigma realis memandang bahwa negara sebagai organisme yang yang hidup, berperan dan bertindak secara rasional dan tindakan-tindakannya berdasarkan kepentingan yang dirumuskan secara rasional.
BAB III
PEMBAHASAN
- Biografi Megawati
Bernama Lengkap Diah Permata Megawati Setiawati Soekarnoputri atau akrab di sapa Megawati Soekarnoputri lahir di Yogyakarta, 23 Januari 1947. Sebelum diangkat sebagai presiden, beliau adalah Wakil Presiden RI yang ke-8 dibawah pemerintahan Abdurrahman Wahid. Megawati adalah putri sulung dari Presiden RI pertama yang juga proklamator, Soekarno dan Fatmawati. Megawati, pada awalnya menikah dengan pilot Letnan Satu Penerbang TNI AU, Surendro dan dikaruniai dua anak lelaki bernama Mohammad Prananda dan Mohammad Rizki Pratama.
Pada suatu tugas militer, tahun 1970, di kawasan Indonesia Timur, pilot Surendro bersama pesawat militernya hilang dalam tugas. Derita tiada tara, sementara anaknya masih kecil dan bayi. Namun, derita itu tidak berkepanjangan, tiga tahun kemudian Mega menikah dengan pria bernama Taufik Kiemas, asal Ogan Komiring Ulu, Palembang. Kehidupan keluarganya bertambah bahagia, dengan dikaruniai seorang putri Puan Maharani. Kehidupan masa kecil Megawati dilewatkan di Istana Negara. Sejak masa kanak-kanak, Megawati sudah lincah dan suka main bola bersama saudaranya Guntur. Sebagai anak gadis, Megawati mempunyai hobi menari dan sering ditunjukkan di hadapan tamu-tamu negara yang berkunjung ke Istana.
Wanita bernama lengkap Dyah Permata Megawati Soekarnoputri ini memulai pendidikannya, dari SD hingga SMA di Perguruan Cikini, Jakarta. Sementara, ia pernah belajar di dua Universitas, yaitu Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Bandung (1965-1967) dan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (1970-1972). Kendati lahir dari keluarga politisi jempolan, Mbak Mega -- panggilan akrab para pendukungnya -- tidak terbilang piawai dalam dunia politik. Bahkan, Megawati sempat dipandang sebelah mata oleh teman dan lawan politiknya. Beliau bahkan dianggap sebagai pendatang baru dalam kancah politik, yakni baru pada tahun 1987. Saat itu Partai Demokrasi Indonesia (PDI) menempatkannya sebagai salah seorang calon legislatif dari daerah pemilihan Jawa Tengah, untuk mendongkrak suara. Masuknya Megawati ke kancah politik, berarti beliau telah mengingkari kesepakatan keluarganya untuk tidak terjun ke dunia politik. Trauma politik keluarga itu ditabraknya. Megawati tampil menjadi primadona dalam kampanye PDI, walau tergolong tidak banyak bicara. Ternyata memang berhasil. Suara untuk PDI naik. Dan beliau pun terpilih menjadi anggota DPR/MPR. Pada tahun itu pula Megawati terpilih sebagai Ketua DPC PDI Jakarta Pusat.
Tetapi, kehadiran Mega di gedung DPR/MPR sepertinya tidak terasa. Tampaknya, Megawati tahu bahwa beliau masih di bawah tekanan. Selain memang sifatnya pendiam, belaiu pun memilih untuk tidak menonjol mengingat kondisi politik saat itu. Maka belaiu memilih lebih banyak melakukan lobi-lobi politik di luar gedung wakil rakyat tersebut. Lobi politiknya, yang silent operation, itu secara langsung atau tidak langsung, telah memunculkan terbitnya bintang Mega dalam dunia politik. Pada tahun 1993 dia terpilih menjadi Ketua Umum DPP PDI. Hal ini sangat mengagetkan pemerintah pada saat itu. Proses naiknya Mega ini merupakan cerita menarik pula. Ketika itu, Konggres PDI di Medan berakhir tanpa menghasilkan keputusan apa-apa. Pemerintah mendukung Budi Hardjono menggantikan Soerjadi. Lantas, dilanjutkan dengan menyelenggarakan Kongres Luar Biasa di Surabaya. Pada kongres ini, nama Mega muncul dan secara telak mengungguli Budi Hardjono, kandidat yang didukung oleh pemerintah itu. Mega terpilih sebagai Ketua Umum PDI. Kemudian status Mega sebagai Ketua Umum PDI dikuatkan lagi oleh Musyawarah Nasional PDI di Jakarta.
Namun pemerintah menolak dan menganggapnya tidak sah. Karena itu, dalam perjalanan berikutnya, pemerintah mendukung kekuatan mendongkel Mega sebagai Ketua Umum PDI. Fatimah Ahmad cs, atas dukungan pemerintah, menyelenggarakan Kongres PDI di Medan pada tahun 1996, untuk menaikkan kembali Soerjadi. Tetapi Mega tidak mudah ditaklukkan. Mega dengan tegas menyatakan tidak mengakui Kongres Medan. Mega teguh menyatakan dirinya sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, sebagai simbol keberadaan DPP yang sah, dikuasai oleh pihak Mega. Para pendukung Mega tidak mau surut satu langkah pun. Mereka tetap berusaha mempertahankan kantor itu. Soerjadi yang didukung pemerintah pun memberi ancaman akan merebut secara paksa kantor DPP PDI itu. Ancaman itu kemudian menjadi kenyataan. Pagi, tanggal 27 Juli 1996 kelompok Soerjadi benar-benar merebut kantor DPP PDI dari pendukung Mega. Namun, hal itu tidak menyurutkan langkah Mega. Malah, dia makin memantap langkah mengibarkan perlawanan. Tekanan politik yang amat telanjang terhadap Mega itu, menundang empati dan simpati dari masyarakat luas. Mega terus berjuang. PDI pun menjadi dua.
Yakni, PDI pimpinan Megawati dan PDI pimpinan Soerjadi. Massa PDI lebih berpihak dan mengakui Mega. Tetapi, pemerintah mengakui Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Akibatnya, PDI pimpinan Mega tidak bisa ikut Pemilu 1997. Setelah rezim Orde Baru tumbang, PDI Mega berubah nama menjadi PDI Perjuangan. Partai politik berlambang banteng gemuk dan bermulut putih itu berhasil memenangkan Pemilu 1999 dengan meraih lebih tiga puluh persen suara. Kemenangan PDIP itu menempatkan Mega pada posisi paling patut menjadi presiden dibanding kader partai lainnya. Tetapi ternyata pada SU-MPR 1999, Mega kalah.
Tetapi, posisi kedua tersebut rupanya sebuah tahapan untuk kemudian pada waktunya memantapkan Mega pada posisi sebagai orang nomor satu di negeri ini. Sebab kurang dari dua tahun, tepatnya tanggal 23 Juli 2001 anggota MPR secara aklamasi menempatkan Megawati duduk sebagai Presiden RI ke-5 menggantikan KH Abdurrahman Wahid. Megawati menjadi presiden hingga 20 Oktober 2003. Setelah habis masa jabatannya, Megawati kembali mencalonkan diri sebagai presiden dalam pemilihan presiden langsung tahun 2004. Namun, beliau gagal untuk kembali menjadi presiden setelah kalah dari Susilo Bambang Yudhoyono yang akhirnya menjadi Presiden RI ke-6
- Masa Kepemimpinan Megawati
Megawati Soekarnoputri dilantik sebagai presiden Republik Indonesia pada tanggal 23 Juli 2001. Adapun wakilnya adalah Hamzah Haz. Pasangan Megawati - Hamzah mengumumkan kabinetnya pada tanggal 9 Agustus 2001. Kabinetnya bernama "Kabinet Gotong Royong". Program Kerja Kabinet tersebut di antaranya sebagai berikut :
⦁ Mempertahankan Persatuan dan Kesatuan bangsa dalam kerangka utuh Negara Kesatuan Republik Indonesia.
⦁ Meneruskan proses reformasi dan demokratisasi dalam seluruh aspek kehidupan nasional melalui kerangka, arah, dan agenda yang lebih jelas, dengan terus meningkatkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia.
⦁ Normalisasikehidupan ekonomi dan kemasyarakatan untuk memperkuat dasar bagi kehiduan perekonomian rakyat.
⦁ Melaksanakan penehakan hukum secara konsisten, mewujudkan rasa aman serta tenteram dalam kehidupan masyarakat, melakukan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
⦁ Melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif, memulihkan martabat bangsa dan negara serta kepercayaan luar negeri, termasuk lembaga-lembaga pemberi pinjaman dan kalangan investor terhadap pemerintah.
⦁ Mempersiapkan penyelenggaraan Pemililihan Umum 2004 yang aman, tertib, rahasia, dan langsung.
Susunan Kabinet Gotong Royong pada era Megawati :
1.Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Susilo Bambang Yudhoyono)
2. Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Muhammad Jusuf Kalla)
3. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Dorodjatun Kuntjoro-Jakti)
4. Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (Yusril Ihza Mahendra)
5. Menteri Pertahanan (H Matori Abdul Djalil)
6. Menteri Dalam Negeri (Hari Sabarno)
7. Menteri Luar Negeri (Hassan Wirajuda)
8. Menteri Kesehatan (Dr. dr. Achmad Sujudi, M.P.H.)
9. Menteri Pendidikan Nasional (Abdul Malik Fadjar)
10. Menteri Sosial (Bachtiar Chamsyah)
11. Menteri Agama (Said Agil Husin Al Munawwar)
12. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Jacob Nuwa Wea)
13. Menteri Keuangan (Boediono)
14. Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Rini Soemarno)
15. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Purnomo Yusgiantoro)
16. Menteri Perhubungan (Agum Gumelar)
17. Menteri Pertanian (Bungaran Saragih)
18. Menteri Kehutanan (Mohamad Prakosa)
19. Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah (Sunarno)
20. Menteri Kelautan dan Perikanan (Rokhmin Dahuri)
21. Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (Muhammad Feisal Tamin)
22. Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata (I Gede Ardika)
23. Menteri Negara Percepatan Pembangunan Kawasan Timur (Manuel Kaisiepo)
24. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas (Kwik Kian Gie)
25. Menteri Negara Komunikasi dan Informasi (Syamsul Mu'arif)
26. Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (Laksamana Sukardi)
27. Menteri Negara Riset dan Teknologi (Hatta Rajasa)
28. Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Alimarwan Hanan)
29. Menteri Negara Pemberdayaan Wanita (Sri Redjeki Sumarjoto)
30. Menteri Negara Lingkungan Hidup (Nabiel Makarim)
Dimasa kepemimpinan Presiden Megawati, Indonesia menghadapi tiga masalah utama di negeri ini, diantaranya :
1. Adanya pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
2. Merosotnya pengangguran dan menurunnya tingkat perekonomian.
3. Merosotnya kewibawaan hukum.
Dan terdapat hal baru yang pertama kalinya diadakan di Indonesia saat era Megawati, yakni Pemilihan Umum. Sistem pemilu kali ini, rakyat dapat memilih atau menentukan wakilnya dan presiden secara langsung. Pemilu dilakukan dalam dua tahap.
1. Tahap pertama untuk menentukan para anggota legislatif, pada tanggal 5 April 2004 yang diikuti oleh 24 partai politik.
2. Putaran kedua untuk memilih Presiden.
Pemilu untuk presiden dan wakilnya pada putaran pertama berlangsung pada tanggal 5 Juli 2004 dengan calon presiden dan wakilnya sebagai berikut :
1. Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi diusung PDIP.
2. Wiranto-Salahudin Wahid didukung oleh Partai Golkar.
3. Amien Rais-Siswono didukung Partai Amanat Nasional.
4. Hamzah Haz-Agum Gumelar didukung oleh Partai persatuan Pembangunan.
5. Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla didukung oleh Partai Demokrat
Pemilu putaran pertama ini dimenangkan oleh pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla dan Mega-Hasyim. Oleh karena para pemenang pemilu presiden dan wakil presiden putaran pertama tidak ada yang berhasil mencapai 50% suara, maka diselenggarakan pemilu putaran kedua yang diselenggarakan pada tanggal 20 September 2004.
Dalam pemilu ini dimenangkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Kemenangan ini merupakan babak baru bagi Indonesia di bawah kepemimpinan presiden dan wakil presiden yang langsung dipilih rakyat.
Karakter Kepemimpinan Megawati
Megawati adalah Presiden Indonesia yang memiliki sifat dan karakter yang bisa dibilang sangat emosional, kurang konsisten, cukup demokratis, pendendam, dan hanya dapat berkomunikasi dengan orang yang ia kenal dan tidak mau report. Hal ini terbukti karena dalam beberapa proses pengambilan keputusan, ia menyerahkan kepada tiap bawahannya untuk memutuskan sendiri sesuai tugas masing-masing gaya komunikasinya termasuk high context culture sehingga sulit dipahami, ia lebih sering membahas masalah “perempuan” dibanding masalah negara. Ia juga kurang menerima kritik mahasiswa dan media dan Juga ia mengingat musuh sebagai musuh (tidak datang saat SBY dilantik).
Megawati dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia pada tanggal 23 Juli 2001. Pada awal pemerintahannya, suasana politik dan keamanan menjadi sejuk dan kondusif. Walaupun ekonomi Indonesia mengalami perbaikan, seperti nilai tukar rupiah yang agak stabil, tetapi Indonesia pada masa pemerintahannya tetap saja tidak menunjukkan perubahan yang berarti dalam bidang-bidang lainnya. Belajar dari pemerintahan presiden yang sebelumnya, Megawati lebih memperhatikan dan mempertimbangkan peran DPR dalam penentuan kebijakan luar negeri dan diplomasi seperti diamanatkan dalam UUD 1945.
Megawati juga lebih memprioritaskan diri untuk mengunjungi wilayah-wilayah konflik di Tanah Air seperti Aceh, Maluku, Irian Jaya, Kalimantan Selatan atau Timor Barat. Dengan kata lain, anggaran presiden ke luar negeri dapat dihemat dan dialokasikan untuk membantu mengurangi penderitaan rakyat di daerah-daerah itu, tanpa harus mengabaikan pelaksanaan politik luar negeri dan diplomasi sebagai salah satu aspek penting penyelenggaraan pemerintah yang pelaksanaannya di bawah koordinasi Menteri Luar Negeri. Pada era Megawati, disintegrasi nasional masih menjadi ancaman bagi keutuhan teritorial. Selain itu, ada situasi khas era Megawati, yakni serangkaian bom di tanah air. Sehingga dapat dipahami, jika isu terorisme menjadi perhatian serius bagi pemerintahan Megawati.
Politik Luar Negeri Indonesia era Megawati
Pada masa pemerintahan Megawati, banyak persoalan yang harus dihadapi. Salah satu permasalahan yang krusial adalah pemulihan ekonomi dan penegakan hukum. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi persoalan tersebut antara lain :
1.Pemerintahan Soeharto telah mewariskan hutang luar negeri (pemerintah dan swasta) sebesar US $ 150.80 miliar. Kebijakan Presiden Megawati dalam mengatasi masalah ini adalah meminta penundaan pembayaran hutang sebesar US $ 5.8 miliar pada pertemuan Paris Club ke-3 tanggal 12 April 2012. Salah satu kebijakan Presiden Megawati yang sangat penting adalah diakhirinya hubungan kerja sama Indonesia dengan IMF.
2.Mampu memperbaiki kinerja ekspor.
3.Ketenangan Megawati disambut baik oleh pasar. Tidak sampai sebulan setelah dilantik, kurs melonjak ke Rp 8.500 per dollar AS. Indeks harga saham gabungan juga terus membaik hingga melejit ke angka 800.
4.Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun1997 mengakibatkan kemerosotan pendapatan per kapita. Pada tahun 1997, pendapatan per kapita Indonesia tinggal US $ 465. Melalui kebijakan pemulihan keamanan, situasi Indonesia menjadi tenang dan Presiden Megawati berhasil menaikkan pendapatan per kapita cukup signifikan, aitu sekitar US $ 930 (Wuryandari, 2008).
Fokus utama politik luar negeri era Megawati adalah perbaikan image bangsa dan Negara serta mengembalikan kepercayaan pihak luar. Pasalnya masalah yang dihadapi masih sama dengan masa presiden sebelumnya, yaitu pemulihan perekonomian Indonesia setelah Krisis Ekonomi tahun 1998. Cara untuk mengembalikan kepercayaan pihak asing adalah dengan mencegah disintegritas bangsa dan juga stabilisasi keamanan nasional. Megawati tidak terlihat pro barat ,tetapi tetap melakukan kunjungan untuk mencari bantuan ke Negara-negara lain.
Dalam masa kepemimpinannya, Megawati mengeluarkan program kabinetnya yang diberi nama Kabinet Gotong Royong. Nama gotong royong diambil karena pada saat itu hasil koalisi banyak partai, selain itu nama gotong royong juga dipilih untuk menguatkan visi misi utama pemerintahannya. Salah satunya implementasi dari Politik Luar Negeri Indonesia pada era Megawati yang bersifat bebas-aktif. Namun dalam pelaksanaanya, Politik Luar Negeri Indonesia sepenuhnya diberikan kepada Menteri Luar Negeri. Pemulihan perekonomian yang harus dihadapi Megawati merupakan permasalahan ekonomi yang sudah ada sejak masa pemerintahan sebelumnya. Megawati berhasil menaikan nilai tukar rupiah pada saat itu namun hal ini tidak dinilai sebagai perubahan yang berarti.
Dalam masa pemerintahan setiap Presiden pasti memiliki target-target yang telah dicapai maupun yang belum tercapai. Hal tersebut juga terjadi dalam pemerintahan era Megawati. Keberhasilan dan kegagalan Megawati, antara lain:
Keberhasilan Megawati
1.Mendirikan Lembaga pemberantas korupsi KPK pada tahun 2003, karena Megawati Soekarnoputri melihat institusi Jaksa & Polri saat itu terlalu kotor, sehingga untuk menangkap koruptor dinilai tak mampu, namun jaksa dan Polri sulit dibubarkan, sehingga dibentuk lah KPK.
2.Menghentikan aktivitas pertambangan Freeport di Papua karena dianggap melanggar aturan Internasional tentang AMDAL (dampak lingkungan). Lantas anehnya kemudian aktivitas Freeport dibuka kembali di masa rezim SBY-JK.
3.Menghentikan kontrak pertambangan minyak Caltex di Blok Natuna Kepri. Anehnya, kemudian kontrak Natuna disambung kembali oleh SBY-JK diberikan kepada ExxonMobile.
4.Menghentikan kontrak pertambangan Migas Caltex di Riau daratan. Anehnya, kemudian kontrak migas Riau disambung kembali oleh SBY-JK dan diberikan kepada Chevron.
5.Membubarkan BUMN terkorup pada masa itu yaitu Indosat karena merugikan negara puluhan Trilyun & banyak praktek ilegal di Indosat.
6. Menangkap 17 jenderal korup (termasuk jenderal ketua PBSI) yang dicokok langsung saat Thomas Cup di Singapura, dan menangkap Ketua Partai Golkar Akbar Tanjung yang terlibat korupsi dana JPS senilai Rp40 milyar. Dampaknya, pada pemilu berikutnya Megawati dijegal Black Campaign buatan Golkar sebagai balas dendam dari para jenderal & partai Golkar.
7. Megawati membawa Indonesia berhasil keluar dari IMF pada tahun 2003 yang menandakan Indonesia sudah keluar dari krisis 1998 dan Indonesia yang lebih mandiri. Berani menghentikan hutang baru. (Zero hutang / tidak meminjam selama kepemimpinannya).
8. Menangkap 21 pengemplang BLBI antara lain : David Nusa Wijaya, Hendrawan, Atang Latief, Uung Bursa, Prayogo Pangestu, Syamsul Nursalim, Hendra Rahardja, Sudwikatmono, Abdul Latief, dsb… (BLBI dikucurkan oleh Suharto tahun 1996 sebesar 600 Trilyun). Namun dalam masa rezim SBY-JK, para pengemplang BLBI tersebut diundang ke istana oleh SBY-JK tahun 2007 dengan istilah “gelar karpet merah” undangan jauman makan. Dan lepaslah para pengemplang yang merugikan negara tersebut.
9.Mega mengeluarkan Keppres no 34 Tahun 2004 tentang penertiban bisnis TNI. Dimana aparat TNI sering dipakai untuk memback-up ilegal logging & kejahatan lainnya ditindak tegas dengan pemecatan ditambah kurungan penjara.
10.Mendirikan Akademi Intelijen yang pertama di Indonesia.
11.Melakukan pembangunan infrastruktur yang vital setelah pembangunan berhenti sejak 1998. Diantaranya Tol Cipularang (Cikampek-Bandung) sekaligus dalam rangka peringatan KAA, Jembatan Surabaya Madura (Suramadu), Tol Cikunir, Rel ganda kereta api. Dimulainya membenahi sistem transportasi dengan Busway di Jakarta. (selanjutnya Jembatan Suramadu rampung pembangunannya setelah Mega selesai menjabat).
12.Mengembalikan proporsi pendapatan Gas Arun
sebagian besar kepada rakyat Aceh dengan status daerah Otonomi Khusus dan menangkap petinggi GAM dan anggota GAM yang bersenjata dan yang sering melakukan pembakaran dan penarikan pajak tidak sah, dengan melibatkan wartawan dan jurnalis untuk pengecekan pelanggaran HAM. Berhasil membebaskan turis yang disandera GAM. Sepertinya ibu Megawati sudah lama memikirkan Aceh, dan pidato Ibu Presiden Cut Nyak Megawati di Aceh menggelegar di siang bolong membangunkan dan memberikan harapan bagi rakyat Aceh.
Kegagalan Megawati
Namun pada sisi lain, banyak juga hal yang gagal dicapai Megawati dalam masa pemerintahannya, yaitu :
Tentang maraknya privatisasi BUMN. Kebijakan privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) secara umum dapat diartikan bahwa kepemilikan BUMN oleh negara dihilangkan atau paling tidak diminimalisir karena kepemilikan atau pengelolaan berpindah ke tangan swasta. Kepemilikan publik berubah menjadi kepemilikan privat. Hal ini dapat dikatakan menyimpang karena pada dasarnya BUMN adalah salah satu sarana pemasukan kepada Negara yang harus dipertimbangkan dengan seksama.
Penyimpangan ini terjadi misalnya dalam kebijakan privatisasi PT. Semen Gresik dan PT Indosat. Privatisasi juga banyak dikecam karena dipandang merugikan negara triliunan rupiah akibat harga jualnya yang terlalu murah. Keputusan pemerintah pada waktu itu untuk menjual PT Semen Gresik dan PT Indosat sebagai cara cepat untuk mendapatkan dana segar guna menutupi defisit APBN cenderung tidak menunjukkan langkah strategis ke depan yang ingin dicapai pemerintah dalam konteks perencanaan pembangunan, khususnya di sektor industri. Privatisasi tersebut juga sangat elitis dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat luas dalam hal kepemilikan saham.
Banyak kalangan menilai pemerintahan Megawati gagal, walaupun Megawati berpendapat bahwa Ia hanya meneruskan pemerintahan Abdurrahman Wahid sehingga tidak optimal. Kegagalan itu dapat dilihat dari aksi-aksi mahasiswa yang mengkritisi pemerintahan Megawati saat itu menunjukkan eskalasi. Protes mahasiswa menyangkut prakti KKN yang diindikasikan semakin marak, privatisasi BUMN yang semakin intensif, penanganan BLBI yang terkesan kian longgar, serta harga-harga barang yang terus melambung tinggi. Tanpa disimpulkan, kegagalan dapat pula terlihat dengan menurunnya suara PDIP pada pemilu 2004 dan kegagalan Megawati untuk terpilih menjadi presiden pada periode berikutnya. Hal ini adalah indikasi kepercayaan rakyat yang menurun dengan melihat penyelenggaraan pemerintahan sebelumnya. Dibawah ini terdapat masalah-masalah yang bisa dijelaskan sebagai berikut:
⦁ Kinerja megawati dalam memimpin pemerintahan (2001-2004) memang tidak bisa membuktikan kepada publik bahwa ia memiliki kesamaan kapasitas dengan gaya kepemimpinan bung Karno.
⦁ Kekecewaan simpatisan partai dari kalangan wong cilik terhadap anggota-anggota parlemen yang tidak mengesankan layaknya wakil rakyat.
⦁ Buntut kasus pengesahan pelantikan kepala daerah. Contohnya aksi pemecatan terhadap kader PDI perjuangan di sumatera selatan dan riau akibat sinyalemen pembelotan dan menerima suap dalam pemilihan gubernur, dan dilanjutkan dengan sikap megawati yang enggan melantik gubernur terpilih.
⦁ Kecenderungan megawati tidak merestui gubernur terpilih bila di luar kehendak pimpinan PDI Perjuangan Jakarta. Atau yang paling anyar adalah peristiwa kekerasan massal di tegal sebagai buntut kekecewaan kader PDI Perjuangan atas kekalahan di dalam pemilihan kepada daerah pada 19 Januari 2004.
⦁ Sifat megawati yang pendiam dalam memimpin pemerintahan sebenarnya jelas-jelas ridak relevan lagi untuk dipertahankan. Dan dalam pemilihan presiden yang kedua hendaknya megawati tidak lagi mengulangi sikap di tahun 1999.
⦁ Penyalahgunaan kekuasaan dan korup. Ini karena maraknya praktek penyalahgunaan kekuasaan dan perilaku korup di dalam tubuh birokrasi pemerintah. Fakta ini bukan sekadar tudingan, karena berbagai laporan resmi dari institusi pengawasan keuangan dan lembaga-lembaga internasional seing mengemukakan indikasi kuat bahwa negeri ini masih merupakan negara terkorup.
⦁ Diskriminatif dan “Vested Interest”, dua hal yang sebenarnya paling diharamkan dlaam usaha mewujudkan good governance. Praktis apa yang terjadi pada saat ini adalah berkembangnya fenomena building block bagi kepentingan partai-partai politik di dalam birokrasi pemerintah. Gejalanya pun sudah nampak ke permukaan. Misalnya dengan memanfaatkan kedudukan di birokrasi, ada kecenderungan di kalangan birokrat yang juga politisi partai tertentu itu untuk memberikan keuntungan kepada partai politik secara ilegal.
⦁ Mengeluh dan menyalahkan masa lalu. Megawati kerap kali melontarkan keluhan, menuding dan mengemukakan apologi sebagai kesalahan masa lalu ketika situasi ekonomi, politik dan keamanan belum menunjukkan perbaikan. Keluhan dan apologi itu seolah-olah sudah menjadi “senjatanya” di dalam menghadapi tahapan kritik dari publik.
Tantangan Domestik dan Internasional
Keadaan domestik saat itu, Pemerintahan Gusdur lewat poros tengah, tidak banyak memperbaiki keadaan Indonesia. Megawati sendiri sebagai Wapres saat itu, belum merasa siap untuk menggantikan Gusdur Namun, berdasarkan UU dia harus maju menggantikan Gusdur. Sedangkan perekonomian Indonesia saat itu masih terlilit hutang warisan Orde Lama pada IMF. Lalu terjadinya tuntutan daerah Aceh dan Papua untuk memisahkan diri dari NKRI, selain itu intrik politik mulai terjadi, untuk menghadapi pemilu 2004, lepasnya pulau Sipadan-Ligitan, ditambah terjadinya aksi terorisme di Kedutaan Besar Australia, Bom Bali I dan II, Atrium, dan hotel JW.Marriot Sedangkan dunia internasional saat itu ramai menyoroti masalah terorisme terutama Amerika Serikat pasca serangan 911, masalah profilerasi nuklir Irak dan Korut, juga menguatnya dukungan bagi Palestina untuk berdaulat.
Hal ini sangat dilematis sekali karena berbagai usaha diplomasi harus dilakukan dalam waktu yang bersamaan dengan terbatasnya tenaga diplomatik yang capable saat itu baik dalam kabinet maupun Departemen Luar Negeri. Sehingga Megawati turun ke berbagai negara untuk melakukan diplomasi secara ekstensif walaupun menuai kritik mengenai substansi dan frekuensi kunjungan. Pada satu sisi Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia harus menciptakan citra baik, khususnya terhadap Barat yang sedikit sekali berinvestasi di Indonesia dan bahkan Amerika Serikat belum mencabut status embargo militer. Sedangkan di sisi lain, Indonesia harus mempertahankan kelangsungan perekonomiannya, ditenggah menguatnya supply produk dalam negeri dan menurunnya demand di luar negeri, salah satunya dengan melakukan transaksi perdagangan imbal beli dengan Rusia (Timur).
Era Megawati memiliki kinerja ekonomi Indonesia yang menunjukkan perbaikan, paling tidak dilihat dari laju pertumbuhan PDB.Seperti yang ditunjukkan pada pada tahun 2002 PDB Indonesia tumbuh 4,3% dibandingkan 3,8% pada tahun sebelumnya, dan kemajuan ini berlangsung terus hingga akhir periode Megawati yang mencapai 5,1%. PDB nominal meningkat dari 164 miliar Dolar AS pada tahun 2001 menjadi 258 miliar Dolar AS tahun 2004. demikian juga pendapatan perkapita meningkat persentase yang cukup besar dari 697 Dolar AS ke 1.191 Dolar AS selama periode Megawati. Kinerja ekspor juga membaik dengan pertumbuhan 9,3% tahun 2002 dibandingkan 5% tahun 2001, dan terus naik hingga mencapai 12% tahun 2004. Namun demikian, neraca perdagangan (NP), yaitu saldo ekspor (X)-impor (M) barang, maupun transaksi berjalan (TB), sebagai persentase dari PDB, mengalami penurunan.
- Studi Kasus : Diplomasi Indonesia Dalam Konflik GAM
Sejarah berdirinya GAM
Dalam catatan sejarah, Aceh dapat dikatakan sebagai daerah yang tidak pernah lepas dari konflik. Pasca kemerdekaan Indonesia, konflik antara Aceh dan Pemerintah Pusat pertama kali terjadi pada saat gerakan Darul Islam (DI/TII) Pimpinan Tengku Daud Beureueh diproklamirkan pada 1953. Pemberontakan ini dipicu oleh peleburan Provinsi Aceh ke dalam Provinsi Sumatra Utara yang menyebabkan timbulnya kekecewaaan masyarakat Aceh terhadap kebijakan tersebut. Kondisi tersebut mendorong tokoh masyarakat Aceh untuk bereaksi keras terhadap kebijakan pusat sehingga timbulah pemberontakan untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Konflik ini kemudian dapat diredakan dengan diberikannya status istimewa bagi Aceh dengan otonomi luas dalam bidang agama, adat, dan pendidikan pada 1959.
Setelah beberapa saat mengalami masa damai, konflik antara Aceh dan Pemerintah Pusat kembali terjadi pada saat Hasan Tiro memproklamasikan kemerdekaan Aceh pada 4 Desember 1976. Pemicu Konflik ini adalah kemarahan atas penyelenggaraan Pemerintahan Aceh yang didominasi orang Jawa dan ekploitasi atas kekayaan alam Aceh yang tidak memberikan hasil yang adil bagi masyarakat Aceh. Legitimasi kekuasaan Orde Baru banyak disandarkan pada kemampuan Pemerintah dalam menjaga tingkat pertumbuhan ekonomi pada angka yang tinggi. Dalam prakteknya, usaha untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi ini mengorbankan aspek keadilan dan kurang memerhatikan aspek keberlanjutan. Eksploitasi sumber daya alam yang terjadi secara besar-besaran serta kurang memerhatikan kepentingan masyarakat lokal kemudian menjadi tak terhindarkan.
Tahun 1980-an, Hasan Tiro dan pengikutnya hengkang ke Swedia dengan kondisi Aceh tetap tidak aman. Rezim Soeharto bertindak semakin tegas dengan mendeklarasikan Aceh Menjadi Daerah Oprasi Militer (DOM) pada 1989. Hal ini terjadi setelah mengetahui bahwa pasukan GAM yang mengikuti latihan militer di Libya telah berada di hutan-hutan aceh melanjutkan perang gerilya. Aceh Sumatra National Liberation Front (ASLNF), Front Nasional Pembebasan Aceh Sumatra, melakukan serangkaian penyerangan terhadap pos polisi dan militer di Pidie untuk merampas amunisi dan lusinan senjata otomatis.
Pelaksanaan DOM yang melibatkan puluhan batalion pasukan elit untuk menangkap sekitar 5.000 anggota GAM merupakan kampanye kontra pemberontakan terbesar sejak 1960. GAM kembali menjadi perhatian publik dan Pemerintah Pusat setelah mereka menegaskan kembali keberadaan mereka di tengah krisis mutidimensi yang dialami Indonesia sejak pertengahaan 1997 dengan melakukan perlawanan bersenjata yang semakin meningkat. Kebangkitan gerakan ini tentu saja merisaukan pemerintah lokal maupun pusat, apalagi ketika gerakan ini semakin membesar dan sulit untuk di padamkan. Pada periode ini GAM mengalami pertumbuhan yang semakian pesat baik dari segi organisasi, jumlah anggota maupun kekutan senjata. Bahkan, selaian melakukan modernisasi organisasi dan kepemimpinan, GAM pun berhasil melakukan gangguan keamanan yang lebih luas secara terus-menerus.
- Mediasi Konflik Aceh
Berbagai pendekatan yang diambil oleh Pemerintahan transisisi sejak masa B.J. Habibie, Abdurahman Wahid, hingga Megawati Soekarno Putri pada akhirnya mengalami jalan buntu, sehingga penyelesaian masalah separatisme di Aceh pun menjadi berlarut-larut. Namun, satu hal yang penting perlu untuk dicatat dari upaya penyelesaian konflik pada masa transisi ini adalah disertakannya aspek diplomasi, meskipun tataran operasional masih kental dengan penggunaan kekuatan bersenjata.
Pada masa Pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid upaya dialog damai dengan nama Jeda Kemanusiaan I dan Jeda Kemanusian II telah dilakukan. Upaya ini sempat dilanjutkan oleh Pemerintahan Megawati Soekarno Putri sebelum akhirnya berakhir dengan di keluarkannya kebijakan Operasi Terpadu. Namun kebijakan yang memadukan operasi keamanan, oprasi kemanusiaan, dan penegakan hukum ini pun tidak berhasil memadamkan pemberontakan GAM, sehingga kemudian oleh Presiden Megawati mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 18 tahun 2003 pada Tanggal 19 Mei 2003 Presiden Megawati mengumumkan diberlakukannya status Darurat Militer di Aceh. Penyelesaian masalah Aceh dengan menggunakan kekuatan militer secara besar-besaran ke Aceh juga tidak dapat meredam konflik secara keseluruhan. Pendekatan kekuatan militer yang di tempuh oleh Presiden Megawati tersebut sempat membuat kekecewaan yang mendalan pada masyarakat Aceh. Namun kebijakan ini juga memiliki nilai positif bagi masyarkat di mana mulai pulihnya keadaan perekonomian, pemerintahan, dan hukum. Namun secara keseluruhan penyelesaian permasalahan Aceh belum selesai secara tuntas karena GAM masih melakuakn pemberontaknaya walaupun seklanya lebih mengecil.
Pendekatan diplomasi dalam penyelesaian konflik Aceh kembali digunakan oleh Pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang terpilih melalui pemilihan secara langsung pada 2004, dengan melakukan pembicaraan informal dengan pihak GAM. Pembicaraan informal yang berlangsung sejak akhir Januari hingga Mei 2005 ini dilakukan dengan bantuan dan fasilitas dari Crisis Management Intiative (CMI), sebuah lembaga internasional yang dipimpin oleh mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari. Rangkaian pembicaraan yang berlangsung empat tahap antara delegasi GAM dan Pemerintah RI akhirnya menghasilkan sebuah Nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MOU) yang ditandatangani pada tanggal 15 agustus 2005, di Koenigstedt, sebuah rumah peristirahatan di tepi sungai Vantaa, di luar kota Helsinki, Finlandia. Nota kesepahaman antara Pemerintah RI dan GAM ini, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan MoU Helsinki, membuat kesepakatan dalam berbagai hal, antara lain penyelenggaraan Pemerintahan Aceh, pengaturan partisipasi di bidang politik, hak-hak ekonomi bagi Aceh, pembentukan peraturan perundangan-undangan, penyelesaian pelanggaran HAM, pemberian amnesti dan upaya reintegrasi mantan anggota GAM ke dalam masyarakat, pengaturan keamanan, pembentukan misi monitoring Aceh dan mekanisme penyelesaian perselisihan dalam tahap implementasi kesepakatan di lapangan.
- Peran Hendry Dunant Centre (HDC) dalam Memfasilitasi Penyelesaian
Konflik RI - GAM
Perundingan antara RI-GAM yang berlangsung pada pertengahan tahun 2000 di Jenewa adalah berkat hasil usaha fasilitasi oleh HDC. HDC dipilih sebagai pihak ketiga karena sebagai organisasi kemanusiaan HDC tidak memiliki kepentingan politik tertentu. Pemerintah Indonesia meminta HDC untuk turut campur menyelesaikan masalah Aceh dengan membujuk GAM agar mau berunding. Hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip yang dimiliki HDC sebagai lembaga kemanusiaan yang mempelopori dialog di daerah-daerah konflik untuk mengurangi penderitaan rakyat sipil. Awal keterlibatan HDC pertama kali di Indonesia dimulai pada bulan Agustus 1999 ketika Presiden Abdurrahman Wahid meminta HDC untuk memfasilitasi dialog kemanusiaan guna menyelesaikan konflik Aceh. Ketika berpidato di HDC pada tanggal 30 Januari 2000, Abdurahman Wahid menekankan pada peran dialog kemanusiaan dalam mengubah siatuasi konflik yang pada umumnya didasarkan pada ideologi. Sebelumnya, pada tanggal 27 Januari 2000, Duta Besar Indonesia untuk PBB di Geneva saat itu, Hassan Wirajuda, menemui Hasan Tiro untuk melakukan dialog. Sementara kedua Hasan melakukan dialog, Presiden Abdurrahman Wahid memerintahkan Pejabat Sekretaris Negara, Bondan Gunawan, untuk menemui pemimpin GAM yang berada di Aceh, Abdullah Syafei. Permintaan ini kemudian ditanggapi mendapat tanggapan positif oleh HDC. Aksi pertama yang dilakukan HDC adalah membawa RI-GAM secara bersama-sama ke meja perundingan pada bulan Januari 2000 yang kemudian disusul dengan serangkaian dialog yang diakhiri kedua belah pihak. Meskipun tidak memiliki kepercayaan terhadap Pemerintah Indonesia, GAM segera menerima tawaran dialog dengan tujuan menginternasionalisasi kasus Aceh dan mendapat dukungan atau simpati dari Amerika atau negara-negara Eropa dengan harapan mereka mau menekan Indonesia agar melepaskan Aceh. GAM juga berharap dialog ini dapat mengekspos seluruh kejahatan kemanusiaan yang pernah dilakukan TNI terhadap warga Aceh.
Proses negosiasi sangat sulit karena juru bicara dari GAM berulang kali menyatakan bahwa tidak akan pernah terjadi penyelesaian kecuali kemerdekaan sedangkan Pemerintah Indonesia juga berkali-kali memberikan ultimatum bahwa negosiasi hendaknya dilakukan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. HDC percaya kendati keberadaan mereka sulit untuk menyelesaikan permasalahan yang ada secara tuntas, fokus dialog yang diarahkan pada masalah kemanusiaan sebagai dampak terjadinya konflik pada akhirnya akan mampu membangun rasa saling percaya kedua belah pihak dan membawa mereka pada berbagai kemungkinan terbukanya jalan yang tak terduga dan menyiapkan resolusi permanen. Inisiatif HDC ini kemudian sangat didukung oleh PBB dan Uni Eropa.
Pada tanggal 27 Januari, setelah Hasan Wirajuda bertemu Hasan Tiro dan setelah Presiden Abdurrahman Wahid menemui HDC pada tanggal 30 Januari 2000, HDC mulai memfasilitasi berbagai dialog di Geneva pada tanggal 24 Maret dan 14-17 April 2000. Kongkritnya, pada 12 Mei 2000 ditandatangani Nota Kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) tentang Jeda Kemanusiaan untuk Aceh di Genewa, Swiss, oleh Menteri Luar Negeri Indonesia, Hassan Wirajuda, dan wakil GAM, Zaini Abudllah. Langkah ini dimaksudkan sebagai langkah awal atau gerbang menuju penyelesaian konflik yang sebenarnya. Di tingkat lapangan, kesepakatan tersebut ditindaklanjuti dengan pembentukan organisasi untuk mendukung implementasi seperti pembentukan Komite Bersama untuk Aksi Kemanusiaan (KBAK). Bagi masyarakat internasional, kesepakatan tersebut dinilai sebuah langkah maju menuju perdamaian Aceh yang diwujudkan oleh berbagai pernyataan dan aliran bantuan dana internasional. Tetapi di dalam negeri, Pemerintah justru menuai kritik karena kesepakatan tersebut dianggap sebagai pengakuan resmi terhadap eksistensi GAM.
Upaya Diplomasi Indonesia dengan GAM pada era Megawati
Berbagai dialog terjadi dari tahun 2000 sampai 2001. Puncak dari rangkaian dialog tersebut terjadi pada tanggal 8 dan 9 Desember 2002. GAM, yang dipimpin oleh Zaini Abdullah dan Hasan Tiro, dan Pemerintah indonesia, yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, Susilo Bambang Yudhoyono, kembali bertemu untuk membicarakan Kesepakatan Penghentian Permusuhan atau Cessation of Hostility Agreement (CoHA). Kesepakatan tersebut ditandatangani pada tanggal 9 Desember 2002 oleh Zaini Abdullah, sebagai wakil GAM, dan Wirjono Sastrohandojo, wakil dari pihak Pemerintah Indonesia. Namun, walaupun GAM dan pemerintah RI berhasil melahirkan berbagai kesepakatan penting, kedua belah pihak tersebut tidak pernah berhasil menemukan titik kompromi mengenai isu fundamental mengenai apakah Aceh tetap bagian integral dari NKRI atau menjadi merdeka. Para pemimpin Indonesia selalu mengedepankan menjaga integritas wilayah dan sebaliknya, mencegah disintegrasi. Sedangkan pemimpin GAM bersikukuh mengenai hak untuk memerdekakan diri. Pada awal 2003, GAM menolak menyerahkan senjata-senjata mereka dan tentara Indonesia juga menolak untuk menarik pasukannya saat negosiasi di Jepang.
Rasa saling percaya yang tadinya telah terbangun melalui dialog interaktif kemudian mulai menyusut. Berbagai upaya dialog baik yang diajukan oleh Pemerintah Indonesia maupun GAM banyak menemui kendala dan kegagalan. Semakin buruknya kondisi keamanan di Aceh dan tiadanya jaminan keselamatan terhadap anggota tim KKB dan HDC pada tanggal 15 Mei 2003 akhirnya memutuskan untuk meninggalkan Aceh. Kendati demikian, berbagai upaya dialog tetap dilakukan oleh HDC untuk kembali menciptakan rasa saling percaya dan perdamaian di Aceh. Namun kemudian ada status darurat militer di Aceh. Status darurat militer ini efektif diberlakukan per tanggal 19 Mei 2003 pada masa pemerintahan Presiden Megawati. Status ini dibikin sampai jangka waktu 6 bulan yang kemudian akan dievaluasi pelaksanaannya. Panglima TNI, Jenderal Endriartono Sutarto kemudian mengirim puluhan ribu pasukan Aceh atas nama “Operasi Pemulihan Keamanan” dengan tujuan “menghancurkan kekuatan GAM sampai ke akar-akarnya”. Dengan dikeluarkannya kebijakan tersebut, CoHA menjadi diabaikan dan peran HDC terhenti. Pada tahap inilah kemudian HDC telah gagal menjalankan perannya sebagai fasilitator perdamaian di Aceh.
- Analisis Studi Kasus
Sejak didirikan, GAM mendapatkan dukungan dari rakyat. Gerakan ini berperilaku seperti sebuah negara seperti contohnya menjalin hubungan dengan dunia internasional dan penyusunan kekuatan bersenjata. Hubungan aceh dan indonesia sangatlah baik dalam perjuangan mendapatkan kemerdekaan. Aceh merupakan salah satu daerah yang para elitnya menyumbangkan pikiran-pikiran. Tetapi perlakuan yang akhirnya diterima dari pemerintah pusat menyebabkan elit dan seluruh rakyat aceh merasa kecewa karena tidak dihargai dengan apa yang telah didedikasikan kepada indonesia.
Gerakan ini ditandai dengan pendeklarasian kemerdekaan Aceh yang dilakukan oleh Muhammad Hassan di Tiro. Pada dasarnya kekerasan sudah berlangsung diprovinsi ini beberapa kali sejak indonesia merdeka dan menimbulkan banyak korban jiwa. Pemerintah indonesia berusaha menyelesaikan masalah ini dan tidak lah semudah yang dibayangkan sebelumnya. Dari awal terjadinya pemberontakan pun telah dilakukan upaya-upaya penyelesaian, tetapi tidak membuahkan hasil. Yang terjadi tetaplah pemberontakan. RI dan GAM akhirnya sepakat untuk menyelesaikan konflik ini dengan cara melakukan mediasi. Dengan adanya pihak ke tiga ini diharapkan dapat mengurangi sikap irasional yang timbul dalam perundingan. Pihak ke tiga ini adalah HDC (Henry Dunant Centre).
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Indonesia dibawah pemerintahan Megawati lebih soft diplomasi, lebih low profile dan Megawati memberikan peran utama dalam proses pengambilan keputusan kepada bawahannya untuk memutuskan kebijakan sendiri sesuai dengan bidangnya, termasuk dalam pelaksanaan Politik Luar Negeri Indonesia kepada Menteri Luar Negeri. Masih sama dengan masa presiden sebelumnya, permasalahan yang dihadapi Megawati adalah pemulihan perekonomian Indonesia. Selain itu Megawati juga harus mengembalikan citra dan kepercayaan di dunia internasional. Walaupun pada masa Megawati, Indonesia bisa dibilang masih belum maksimal perubahannya sejak kepemimpinan kepala negara yang terdahulu, dan lain sebagainya namun keberhasilannya untuk mengubah image Indonesia di dunia internasional cukup berhasil.
DAFTAR PUSTAKA
http://kepustakaan-presiden.perpusnas.go.id/biography/?box=detail&presiden_id=5&presiden=megawati
Robert Jackson dan Georg Sorensen. 2009. Pengantar Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Asrudin, Azwar. 2014. “Thomas Kuhn dan Teori Hubungan Internasional: Realisme sebagai Paradigma” dalam Indonesian Journal of International Studies (IJIS) IJIS Vol.1, No.2.
Saeri, Muhammad. 2012. “Teori Hubungan Internasional Sebuah Pendekatan Paradigmatik” dalam Jurnal Transnasional, Vol. 3, No. 2. Riau : Ketua Laboratorium Jurusan Hubungan Internasional FISIP Universitas Riau.
S.L , Roy, 1995, Diplomasi, Jakarta Utara, PT Raja Grafindo persada.
judi sabung ayam BOLAVITA
BalasHapusSaya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
BalasHapusNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut