TANTANGAN DIPLOMASI MULTILATERAL INDONESIA PADA MASA PEMERINTAHAN JOKOWI

Dosen : Rachmayani, M.Si

Kelompok 14 :
MOH. HARRIS GRIMALDY 2016230130
AMELIA TIFFANY DEWI 2016230114
FACHRI WAFI 2016230126
INDRIANA MUTIARA SANNIE 2016230135



INSTITUT ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK (IISIP)
JAKARTA


BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
        Diplomasi dapat diartikan sebagai seni mengedepankan kepentingan Negara terhadap kepentingan lain. Sir Ernest Satow memberikan karakteristik diplomasi yaitu penerapan kepandaian dan taktik pada pelaksanaan hubungan resmi antara pemerintah dan Negara-negara berdaulat (Sir Ernest Satow, 1922). Tujuan diplomasi sendiri terbagi menjadi empat hal, yaitu tujuan diplomasi politik yang membahas mengenai kebebasan politik dan integritas teritorialnya, diplomasi ekonomi yang membahas pembangunan ekonomi nasional, diplomasi kultur yang membahas memperkenalkan budaya nasional ke dunia internasional, dan diplomasi idiologi yang membahas mengenai cara mempertahankan keyakinan dan kepercayaan sebuah bangsa pada idiologi Negara (S.L. Roy, 1991).
      Diplomasi memiliki dua sifat yaitu diplomasi multilateral dan diplomasi bilateral. Diplomasi bilateral adalah diplomasi yang dilakukan dengan Negara tertentu saja atau antar dua Negara. Sedangkan diplomasi multilateral merupakan diplomasi modern yang bersifat terbuka. Diplomasi yang mengakomodasi kepentingan tiga Negara atau lebih ini muncul sebagai reaksi atas ketidakpuasan bentuk diplomasi bilateral dimasa sebelumnya. Hal ini menjadi wadah sekaligus dalam melakukan hubungan internasional (White, 2001).
      Sejak tahun 1947 terjadi ketegangan di Laut China Selatan yang disebabkan dengan dikeluarkannya peta nine-dash line yang diklaim sebagai daerah teritorial China, dimana dalam peta tersebut terdapat garis putus-putus yang tampak memotong hampir 90% luas Laut China Selatan. Atas


tindakan China tersebut yang membuat China mendapatkan kecaman dari dunia internasional karena klaim yang dilakukan oleh China tidak berdasarkan hukum laut internasional melainkan dianggap melalui klaim historis. China juga telah melakukan penegasan di Laut China Selatan melalui penangkapan ikan diwilayah perairan tersebut. Aktifitas penangkapan ikan ini juga turut memasuki Zona Eksklusif Ekonomi Indonesia (ZEE). Sejak awal mula ketegangan itu terjadi, China menjadi sering menangkap ikan di wilayah ZEE, yang pada kenyataannya bahwa penangkapan yang dilakukan China merupakan Illegal Fishing.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa yang menjadi tantangan Diplomasi Multilateral Indonesia?
2.      Bagaimana konflik di perairan Laut China Selatan dapat terjadi?
3.      Bagaimana tindakan Jokowi dalam menangani konflik di perairan Laut China Selatan?
4.      Apa yang menjadi kepentingan Indonesia dalam konflik ini?
5.      Upaya apa yang telah dilakukan untuk menyelesaikan konflik ini?


C.    TUJUAN
1.      Menjadi bahan pembelajaran mata kuliah SDI.
2.      Untuk mengetahui keterlibatan Indonesia dalam konflik Laut China Selatan.
3.      Untuk mengetahui apa saja yang menjadi tantangan diplomasi Indonesia dalam forum multilateral.
4.      Memberikan informasi untuk para pembaca mengenai Laut China Selatan dan Tantangan Diplomasi Indonesia.
D.    MANFAAT
1.      Mengetahui apa saja yang menjadi Tantangan Diplomasi Indonesia
2.      Mengetahui bagaimana konflik Laut China Selatan yang sesungguhnya
3.      Mengajarkan kami untuk dapat menganalisis kasus dengan perspektif yang ada


BAB II
LANDASAN TEORI

A.    PENGERTIAN DIPLOMASI MULTILATERAL
Menurut Berridge (dalam Djelantik, 2008:133), diplomasi multilateral adalah praktek diplomasi yang dilakukan oleh tiga negara atau lebih melalui sebuah konferensi. Dalam pola diplomasi ini, setiap permasalahan akan diselesaikan secara konsensus sehingga setiap pihak akan mendapatkan keuntungan. Akan tetapi, setiap negara akan cenderung mementingkan kepentingan nasionalnya sendiri sehingga berpotensi untuk memicu  perpecahan.
Diplomasi multilateral harus dilaksanakan secara terbuka melalui negosiasi agar negara mendapatkan kepercayaan tidak hanya dalam negaranya akan tetapi juga pada lingkungan internasional. Setiap permasalahan yang muncul selalu diselesaikan dengan jalan konsensus. Hal tersebut dapat mempermudah suatu negara untuk menjalin hubungan persahabatan dengan negara lainnya. Dalam diplomasi multilateral ini, keberhasilan dalam negosiasi sangat dapat diwujudkan dan ini menjadi suatu strategi diplomasi yang terbilang cukup efektif (Djelantik, 2008). Keunggulan lain dari diplomasi multilateral adalah kemungkinan terciptanya kebijakan yang mendapatkan legitimasi kuat karena mengikutsertakan banyak negara. Namun di samping itu, dalam pola diplomasi multilateral akan selalu ada kecenderungan pada setiap negara untuk mencapai kepentingan nasionalnya masing-masing sehingga konflik tidak dapat dihindarkan (Djelantik, 2008). Diplomasi multilateral juga memiliki kelemahan lain yaitu prosesnya sering berjalan lambat karena banyaknya kepentingan yang harus diakomodasikan.
Kerjasama multilateral adalah kerjasama yang anggotanya lebih dari dua negara. Istilah multilateral dalam hubungan internasional bisa didefinisikan sebagai kerjasama yang dilakukan beberapa negara. Anggota yang paling utama kerjasama multilateral adalah negara-negara dengan kekuatan menengah misalnya Kanada. Contoh dari organisasi dunia yang


termasuk dalam kerjasama multilateral adalah WTO dan PBB. Negara-negara kecil sejatinya mempunyai peranan yang juga terbatas atau sedikit kekuatan dalam urusan internasional. Namun, negara tersebut bisa berpartisipasi aktif di PBB seperti memberikan hak suara dan mengonsolidasikan dengan negara lain pada jajak pendapat yang dilakukan PBB.

B.     MUNCULNYA DIPLOMASI MULTILATERAL
Diplomasi multilateral muncul sebagai sarana bagi negara-negara di dunia untuk bertindak bersama-sama menyelesaikan sebuah masalah bersama. Diplomasi multilateral memang bukanlah sesuatu yang baru, melainkan sudah muncul sekitar kira-kira abad ke-19. Munculnya Liga Bangsa-bangsa di awal abad ke-20 juga menandai upaya membangkitkan diplomasi multilateral sebagai wujud pencegahan terjadinya konflik bereskalasi yang sama, meskipun pada akhirnya bukan hanya negara-negara ini gagal mencapai kesepakatan tersebut satu persatu anggotanya justru mengundurkan diri karena alasan yang sangat pragmatis.
Perserikatan Bangsa-bangsa yang lahir pada tahun 1945 menjadi contoh terbaik diplomasi multilateral  ini, yaitu ketika negara-negara di dunia akhirnya berhasil mencapai titik temu mengenai formasi organisasi internasional yang bertujuan menjaga perdamaian dunia ini. Munculnya Majelis Umum PBB sebagai the true global parliament juga menjadi semangat bagi dunia untuk mencari kesepakatan bersama.
Formalisasi diplomasi (dan diplomasi multilateral) di abad ke-20 ini turut didorong oleh kompleksitas hubungan internasional, yang kini tidak hanya merupakan hubungan politik dan keamanan saja, melainkan sudah bergerak kepada bidang-bidang lain seperti ekonomi, sosial kebudayaan, dan lingkungan. Maka apa yang bermula dari politik sebagai sarana mewujudkan eksistensi di forum internasional, kini menjadi wadah besar bersama untuk menyelesaikan masalah-masalah non-politis.


C.    MENJALANKAN DIPLOMASI MULTILATERAL
Tugas diplomasi multilateral di abad ke-21 menjadi semakin kompleks, dengan beragamnya isu dan tantangan yang dihadapi dunia, dan bagaimana seluruh tantangan tersebut sebetulnya saling terkait. Mengibaratkannya seperti sarang laba-laba pun rasanya tidak cukup menggambarkan kompleksitasnya. Maka, peran diplomat untuk memahami situasi dunia secara luas dan mendalam merupakan hal yang sangat wajib dilakukan.
Diplomat-diplomat ini memiliki tanggung jawab yang sangat luar biasa di masa sekarang. Dari fenomena-fenomena dunia yang dapat kita amati saat ini, kita dapat menyimpulkan sejumlah tugas esensial yang harus dilakukan oleh para diplomat ini:
1.      Menjadi representasi negara (atau dalam beberapa kesempatan, organisasi) tersebut di negara/organisasi penerima secara formal ataupun substansial. Menjadi representasi turut berarti menjadi sarana komunikasi formal antar kedua negara.
2.      Menjadi sumber informasi bagi negara pengirim. Seorang diplomat Amerika Serikat di Perancis akan dengan rajin mencari dan mengumpulkan informasi mengenai apa yang terjadi di negara Perancis, mencakup kebijakan politik, situasi sosial ekonomi, dan sebagainya.
3.      Landasan penyusunan kebijakan politik luar negeri. Informasi yang didapatkan para diplomat ini akan menjadi dasar-dasar untuk menetapkan kebijakan luar negeri suatu negara terhadap suatu negara lain/organisasi internasional.
4.      Sarana pencegahan konflik. Seiring dengan tren di dunia yang sebisanya mengurangi konflik antar negara, para diplomat turut berperan sebagai negosiator yang diharapkan bisa mencegah, atau menyelesaikan konflik dan menghindari jatuhnya korban.


5.      Menjadi ‘wajah’ negaranya di negara/organisasi lain. Para diplomat seringkali menjadi representasi budaya negaranya, intelektualitas atau kebiasaan negara tersebut. Tampil dengan sangat baik di wajah negara/organisasi lain akan memberikan nilai tambah bagi para diplomat dan negara yang diwakilinya.
6.      Menjadi grand negotiator. Para diplomat ini merupakan salah satu pihak yang menjadi garda depan dalam negosiasi untuk menciptakan kesepakatan antar negara. Semisal, dalam sidang-sidang PBB para diplomat perlu melakukan negosiasi untuk mencapai kesepakatan dalam penyelesaian suatu masalah.
Tindak diplomasi multilateral sebetulnya menjadi semakin luar biasa jika kita turut melihat dua mazhab penting dalam kajian Hubungan Internasional: bahwa para diplomat ini perlu mempertahankan kepentingan negaranya sendiri (mazhab realis) sementara di sisi lain harus menciptakan hubungan baik dan konstruktif antar negara (mazhab liberal). Meskipun hal ini tidak terlalu teoritis, harus melakukan dua hal kontradiktif tersebut dalam satu saat yang sama merupakan salah satu tantangan tersendiri bagi para diplomat.

D.    AGENDA POLITIK DALAM DIPLOMASI MULTILATERAL INDONESIA
            Pemerintahan di Indonesia dibagi menjadi beberapa periode, periodisasi tersebut dibagi sesuai dengan pola kebijakan politik dari pemerintah yang berkuasa pada saat itu. Periodisasi tersebut dilakukan untuk mempermudah analisis terhadap tipe politik pemerintahan, Indonesia terbagi menjadi tiga tahapan atau fase politik yaitu, era orde lama, orde baru, dan reformasi.Setiap era juga mamiliki peristiwa sejarah penting yang menggambarkan kondisi dari setiap fase politik Indonesia pada saat itu.
Perbedaan era pemerintahan juga mempengaruhi tipe dan bentuk kebijakan luar negeri yang ditempuh, orientasi kerjasama, serta hubungan


diplomatik antar negara, tetapi masih berpegang pada satu tujuan yaitu kepentingan nasional yang berpegang teguh pada pembukaan UUD 1945 alinea ke-4.Perbedaan ini terlihat karena karakter kepemimpinan yang mempengaruhi setiap struktur politik baik dari infrastrukturnya sampai dengan suprastrukturnya.
Kemudian setiap era memiliki agenda politik yang berdasarkan pada diplomasi multilateral yang kemudian akan dijelaskan dalam setiap periode politik Indonesia sebagai berikut ;
1.      Era Orde Lama
1)      Konferensi Asia-Afrika (1955)
Di dalam konferensi ini, sikap dan kebijakan yang diambil oleh Indonesia bersifat netral tanpa memihak satu pihak secara khusus terhadap isu perang dingin antara Amerika serikat dan Uni Soviet. yang sedang melanda dunia. Indonesia berusaha untuk mewujudkan hal tersebut dengan mengajak 29 negara lain untuk ikut dalam menentang segala bentuk Imperialisme, Kolonisme, Neo-Kolonisme, dan segala bentuk politik blok yang sedang terjadi akibat dari Perang Dingin. Konferensi ini menghasilkan 10 pasal yang dinamakan Deklarasi Bandung yang merupakan bentuk manifestasi keseriusan Indonesia dan 29 negara lainnnya dalam menjalankan politik luar negeri yang bersih dari politik blok.
2)      Penggagas Gerakan Non-Blok (GNB)
Presiden pertama Republik Indonesia yaitu Ir. Soekarno menjadi salah satu pemrakarsa berdirinya Organisasi tersebut bersama dengan 4 kepala negara sahabat lainnya, yaitu Presiden Yugoslavia Josip Broz Tito, Perdana menterii India Pandit Jawaharlal Nehru, Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser, dan Perdana Menteri Ghana Kwame Nkrumah. GNB lahir sebagai suatu solusi atas beberapa kekisruhan yang terjadi di dunia internasional di sera tahun 1950-an, dimana pada waktu itu telah terjadi perang dingin antara Amerika Serikat dan uni Sovyet yang


membawa dampak besar bagi beberapa negara, seperti Jerman, Vietnam, serta semenanjung Korea (www.kompasiana.com).

2.      Era Orde Baru
1)   Pembentukan ASEAN (1967)
Bersama dengan Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand sebagai anggota awal dan pembentuk ASEAN, Indonesia berusaha untuk membangun dan menjaga hubungan regional yang harmonis antara negara – negara Asia Tenggara. Hal ini juga merupakan bentuk keseriusan Indonesia dalam mengakhiri konflik panjang yang pernah terjadi dengan Malaysia untuk memperbaiki kestabilan dan kedamaian yang sempat terusik di kawasan Asia Tenggara. Di dalam pembetukannya, ASEAN juga merupakan front yang digunakan Indonesia dalam memenuhi berbagai National Interestnya seperti perbaikan ekonomi negara dengan mengundang Investor luar negeri untuk berinvestasi di Indonesia dan perbaikan Citra Indonesia ke Negara – Negara yang dapat memberikan bantuan kepada Indonesia dalam mengatasi Krisis ekonomi sedang melanda negara pada saat itu.
2)   Pemimpin Gerakan Non-Blok (GNB)
Sejak tahun 1992 hingga tahun 1995, Indonesia mendapat kepercayaan untuk memimpin organisasi GNB tersebut, yaitu dengan terpilihnya Soeharto yang saat itu merupakan presiden Republik Indonesia ke-2  menjadi Sekretaris Jendral (SekJen) Gerakan Non Blok. Indonesia menjadi negara yang selalu setia serta komitmen terhadap prinsip serta aspirasi Gerakan Non Blok. Pada masa kepemimpinannya di GNB adalah Indonesia telah mampu membawa organisasi tersebut dalam menentukan arah serta menyesuaikan diri terhadap adanya perubahan-perubahan yang terjadi secara dinamis, yaitu dengan cara melakukan penataan kembali prioritas-prioritas lama organisasi dan menentukan adanya prioritas-prioritas baru serta menetapkan pendekatan dan orientasi


yang baru pula. Indonesia juga telah berhasil menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) GNB yang ke-110 di Jakarta dan Bogor pada 1 hingga 7 September 1992. Dalam KTT tersebut telah berhasil merumuskan suatu kesepakatan bersama yang dikenal dengan “Pesan jakarta.”

3.      Era Pasca Reformasi
1)      Anggota G-20 (2008)
Selain bukti atas hasil dari perkembangan ekonomi yang dialami Indonesia pasca krisis yang melanda negara-negara Asia pada tahun 1997, bergabungnya Indonesia dengan G-20 juga menunjukkan kemampuan diplomasi negara dalam memperjuangkan National Interest nya. Selain itu ada tujuan tersendiri dari Indonesia ketika memutuskan bergabung dengan G-20, yaitu untuk menarik para investor-investor agar kembali menanamkan modalnya untuk berinvestasi guna mengembalikan perekonomian Indonesia agar kembali stabil pasca krisis. Dengan bergabung dengan G-20, Indonesia juga dapat menjaga dan memperbaiki International Standing nya dengan memperkuat dan memperluas pengaruhnya di rana perpolitikan Internasional.

4.      Era Jokowi – Jusuf Kalla (2014-present)
Di dalam Forum ASEAN, Presiden Jokowi melakukan upaya diplomasi di forum multilateral dengan cara mengahadiri konferensi Tingkat Tinggi ASEAN untuk yang pertama kalinya, yang diselenggarakan pada 12  November 2014, Nyi Taw, Myanmar. Di dalam pertemuan tersebut, Jokowi mengeluarkan pidatonya mengenai pembangunan infrastruktur dan membangun konektivitas maritime. Kebijakan ini dibuat untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebedar 7 %, untuk itu dibutuhkanlah perdamaian dan keamanan yang terjaga termasuk di kawasan ASEAN. Selain itu Presiden Jokowi juga menekankan partisipasi pentingnya UKM (Usaha Kecil Menengah)


dalam kerjasama ekonomi. Diplomasi yang dilakukan dalam bentuk pidato ini memiliki tujuan untuk mendapatkan keuntungan dari segi kerja sama ekonomi bagi negara dan rakyat Indonesia, mengingat bahwa mayoritas usaha di Indonesia sangat di dominasi oleh UKM.
Kemudian Di dalam forum Outreach Meeting G-7 Summit atau KTT G-7 di Ise-Shima Jepang, Presiden Jokowi mendapatkan kesempatan untuk berpidato, Jokowi mengatakan dalam pidatonya bahwa konflik di Asia seperti Laut Tiongkok Selatan, Semenanjung Korea harus diselesaikan dengan baik, dimana penyelesaian tidak lagi menggunakan kekerasan atau militer, melainkan di selesaikan dengan berbagai perundingan seperti forum multilateral seperti ini secara damai. Jokowi juga mengatakan dalam pidatonya bahwa potensi pertumbuhan dan perkembangan Asia masih sangat besar, dimana kesejahteraan di kawasan Asia masih perlu diperbaiki. Berdasarkan proyeksi Asian Century 2050, Asia akan menghasilkan PDB yang sangat besar sebesar 52% PDB dunia. Sebagai negara yang berada di kawasan Asia, Indonesia sudah pasti mendapatkan bagian dari Asian Century, karena Indonesia memiliki peran besar juga yaitu dengan kekayaan sumber daya dan tenaga kerja produktif. Oleh sebab itu, Indonesia melakukan diplomasi dengan cara menekankan pada para negara-negara yang mengklaim pulau-pulau Laut Tiongkok Selatan untuk berdamai dan membangun kawasan Asian yang tentram (www.kemlu.go.id).
Dalam Forum OKI, presiden Jokowi menyelenggarakan KTT Luar Biasa Organisasi Kerja sama Islam (OKI) di JCC Senayan, Jakarta. Di dalam forum tersebut, presiden menyampaikan bahwa perkembangan situasi politik dan keamanan global telah menggeser perhatian masyarakat dunia terhadap persoalan Palestina. Sebagai negara yang masyarakatnya di dominasi oleh islam, presiden merasa wajib memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Presiden meminta agar negara-negara OKI mengambil tindakan solusi untuk masalah yang terjadi di Palestina. Presiden mengatakan apabila OKI tidak bisa


memberikan solusi baik jangka panjang dan jangka pendek bagi permasalahan Palestina, maka OKI di anggap tidak relevan lagi.

E.     TANTANGAN INDONESIA DALAM FORUM MULTILATERAL
Peran Indonesia dalam forum multilateral seperti saat ini tentunya membutuhkan sebuah cara diplomasi agar dapat menjalankan kepentingan-kepentingannya maupun kepentingan bersama negara-negara di dunia. Meskipun Indonesia sudah berperan aktif dalam forum multilateral seperti saat ini, bukan berarti Indonesia tidak memiliki tantangan-tantangan diplomasinya dalam forum Multilateral. Tantangan-tantangan terhadap diplomasi Indonesia dalam forum multilateral saat ini tidak hanya dalam ranah domestik saja atau karena faktor internal saja, tetapi faktor eksternal juga berpengaruh terhadap diplomasi yang dijalankan Indonesia dalam forum multilateral. Berbagai peristiwa yang terjadi secara mendasar, cepat, dan tidak terprediksikan yang sedang mentransformasi dunia, membantu meningkatkan solidaritas dan persatuan dalam merealisasikan tujuan bersama dalam pembangunan, stabilitas, prediktabilitas dan perdamaian (Wibisono, 2006).
Dalam forum multilateralisme, tentunya ada tanggung jawab global yang harus dilakukan Indonesia dengan cara diplomasi. Tanggung jawab tersebut adalah bagaimana cara Indonesia mewakilkan kepentingan-kepentingannya atau negara-negara berkembang untuk mendapatkan hak yang seharusnya didapatkan oleh negara-negara berkembang dengan cara diplomasi. Indonesia yang merupakan negara berkembang tentunya juga merasakan implikasi dari globalisme yang hanya menguntungkan negara-negara yang memiliki kapasitas ekonomi yang kuat saja. Maka dari itu, kami akan menjabarkan apa saja tantangan-tantangan diplomasi Indonesia dalam forum multilateral. Kami akan membagi tantangan menjadi 2, yaitu tantangan dari faktor Internal dan tantangan dari faktor Eksternal.


a.    Faktor Internal
a)      Kelompok Separatis dan Terorisme
Diantaranya adalah OPM (Organisasi Papua Merdeka), GAM (Gerakan Aceh Merdeka), RMS (Republik Maluku Selatan). Kelompok ini menggalang dukungan internasional di luar negeri yang dapat melemahkan posisi bargaining Indonesia. Terorisme juga merupakan masalah internal yang terjadi dalam diplomasi Indonesia, Contoh nya seperti kasus bom Bali I dan bom Bali II, yang kemudian disusul oleh gerakan-gerakan separatis seperti GAM dan OPM.. Tidak lama, kita cukup dikejutkan dengan peristiwa bom yang terjadi di daerah Sarinah. Tentunya hal itu merupakan suatu “pukulan” bahwa terorisme di dalam negeri masih ada. Dalam konteks keamanan, tantangan yang dihadapi oleh Indonesia di dalam negerinya adalah bagaimana sistem keamanan dapat dicover oleh badan-badan keamanan agar dapat menciptakan kondisi yang aman dan stabil, dan tidak menutup kemungkinan ini sebagai bentuk diplomasi ke forum Internasional dalam upaya untuk meyakinkan masyarakat global bahwa situasi di Indonesia itu aman untuk memberikan peluang invenstasi maupun kerjasama.
b)      Skill Para Negosiator (Diplomat)
Tugas diplomasi multilateral di abad ke-21 menjadi semakin kompleks, dengan beragamnya isu dan tantangan yang dihadapi dunia, dan bagaimana seluruh tantangan tersebut sebetulnya saling terkait. Mengibaratkannya seperti sarang laba-laba pun rasanya tidak cukup menggambarkan kompleksitasnya. Maka, peran diplomat untuk memahami situasi dunia secara luas dan mendalam merupakan hal yang sangat wajib dilakukan. Diplomat-diplomat ini memiliki tanggung jawab yang sangat luar biasa di masa sekarang (www.matthewhanzel.com). Namun, Diplomat-diplomat


muda kita yang masih kurang pengalaman yang membuat para diplomat muda harus berkoordinasi dengan para seniornya. Lambatnya regenerasi merupakan salah satu penyebabnya. Perlu menjadi catatan bahwa seorang duta besar sangat berpengaruh terhadap jalannya hubungan suatu negara dengan negara lain. Mengapa demikian? Karena diplomat adalah kepanjangan tangan dari negara dalam menjalin hubungan dengan negara lain. Perlu diketahui, keputusan seorang diplomat juga akan menentukan berjalan atau tidaknya hubungan satu negara dengan negara lain. Dalam awal adanya diplomat, diplomat diberikan kekuasaan penuh untuk menentukan arah dari hubungan luar negeri suatu negara.
c)      Siapa Yang Memerintah
Setiap presiden memiliki kepentingan dan pemikiran yang berbeda tentang kepentingan dan red line Negara kita. Hal ini harus bisa di selaraskan oleh para negosiator kita.
d)     Kesenjangan Teknologi dan Informasi
Teknologi dan informasi di Indonesia hanya dinikmati oleh kalangan menengah keatas saja, tidak dengan kalangan menengah kebawah. Dari kesenjangan itulah, timbul konsekuensi seperti masyarakat terbelakang yang tidak mengetahui perkembangan-perkembangan dalam negeri maupun luar negeri. tantangan yang dihadapi Indonesia adalah bagaimana Indonesia dapat membangun infrastruktur teknologi informasi yang merata di setiap wilayah, dengan harapan bahwa tidak akan lagi ada kesenjangan teknologi informasi yang mewakilkan masyarakat maju dengan masyarakat terbelakang.


b.   Faktor Eksternal
       Tidak terlepas dari globalisasi ini sendiri, tentunya untuk menjalankan diplomasi-diplomasi di forum multilateral, Indonesia pasti memiliki tantangan baik dari faktor eksternal juga. Citra Indonesia yang sempat memburuk akibat krisis ekonomi 1998, tragedi bom Bali I dan II, dan juga pelanggaran HAM yang dilakukan di Timor-Timur menyebabkan Internasional Profile Indonesia menjadi buruk. Saat ini, guna memperbaiki dan mempertahankan citra Indonesia di mata Internasional, perlunya tindakan yang dilakukan pemerintah untuk membenahi diri.
          Tantangan-tantangan eksternal dalam forum multilateral ini sendiri adalah bagaimana Indonesia menjalin “koneksi” yang baik dengan negara-negara lain. Jika sudah terjalin “koneksi” yang sangat baik dalam hubungan antara Indonesia dan negara-negara lain, maka dapat dipastikan diplomasi Indonesia dapat berjalan dengan baik dalam forum multilateral karena adanya dukungan-dukungan oleh negara-negara yang sepemahaman dengan Indonesia. Selain itu, tantangan-tantangan dalam forum multilateral seperti PBB saat ini adalah dengan munculnya negara-negara maju yang berpemahaman liberalis adalah jalan satu-satunya untuk mendapatkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi negara-negara di dunia, yang pada kenyataannya hanyalah sebagai “topeng” negara-negara maju untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya dari negara berkembang. Disinilah salah satu tantangan yang harus dihadapi Indonesia. Tantangan Indonesia saat ini adalah bagaimana Indonesia dapat menggalang dukungan dalam forum Internasional untuk memahami arti liberalisasi ini sendiri. Liberalisasi yang hanya dirasa memberikan keuntungan untuk negara-negara dengan perekonomian yang kuat saja tentunya telah menimbulkan


ketimpangan-ketimpangan dan membuat jurang pemisah yang sangat terlihat oleh negara maju dan negara berkembang.
          Dan mengingat Indonesia merupakan negara dengan kekayaan alam yang cukup melimpah, tentunya ini merupakan suatu tantangan Indonesia dalam forum multilateral untuk lebih menggalakan program pembangunan berkelanjutan yang telah disepakati di Rio de Janeiro, Brazil. Dari sini kita dapat melihat, bagaimana Indonesia saat ini dalam menggalakan program pembangunan berkelanjutan dalam forum multilteral dan menentang adanya eksploitasi besar-besar oleh negara maju.

F.     STRATEGI DAN KEBIJAKAN DALAM NEGERI INDONESIA
              Betapapun canggihnya diplomasi Indonesia yang dilakukan dalam forum multilateral, tidak akan berhasil tanpa adanya dukungan kebijakan dalam negeri yang kondusif (Wibisono, 2006). Adapun strategi yang seharusnya dijalankan pemerintah Indonesia adalah :
§  Ketegasan pelaksanaan hukum di Indonesia.
§  Menciptakan stabilitas keamanan dalam negeri.
§  Pemberantasan terhadap KKN.
§  Pembangunan infrastruktur teknologi dan informasi, yang diharapkan agar semua elemen masyarakat dapat ikut serta terhadap kebijakan dalam negeri yang dibuat pemerintah.
§  Sinkronisasi kebijakan ekonomi.
§  Pemerataan pembangunan yang tidak hanya terfokus kepada 1 (satu) wilayah saja.
§  Pemberantasan berbagai pungutan dan pajak liar.
§  Dan juga memperbaiki iklim investasi.
Pembinaan hubungan baik melalui peningkatan kualitas diplomasi ataupun melalui suatu pendekatan khusus bukanlah suatu hal yang mudah dan singkat untuk dilakukan. Namun, perlu waktu jangka panjang dan


dukungan positif dari berbagai pihak. Saat ini, Indonesia telah mendapatkan dukungan-dukungan dari negara-negara sahabat seperti Jepang, Korea Selatan, Rusia, dll. Tentunya hal ini akan berdampak sangat positif bagi Indonesia untuk meningkatkan citra positif dan dalam menjalankan diplomasinya di forum multilateral (Wibisono, 2006).

G.    TRAKTAT MULTILATERAL
Traktat Multilateral yaitu perjanjian yang dilakukan oleh banyak negara. Contohnya perjanjian kerja sama beberapa negara di bidang pertahanan dan ideologi seperti NATO. Traktat Internasional atau yang disebut juga perjanjian multilateral yang secara hukum mengikat seluruh negara yang menandatanganinya. Penandatanganan traktat ini terbuka bagi negara-negara anggota FAO maupun diluar FAO sampai 4 November 2002, dan akan membentuk kerangka kerja yang baru dan mengikat untuk kerjasama di bidang sumberdaya genetik tanaman pangan dan pertanian. Negara-negara yang meratifikasi traktat sampai tanggal tersebut akan duduk sebagai dewan pengelola. Sampai saat ini Indonesia masih belum meratifikasi Traktat Internasional.
Kerja sama internasional yang dilaksanakan Indonesia dengan lembaga internasional. Selain melakukan perjanjian internasional, Indonesia juga melakukan kerja sama dengan berbagai lembaga internasional. Peran aktif tersebut baik sebagai pemrakarsa berdirinya suatu lembaga internasional, maupun sebagai anggota aktif.
Bentuk-bentuk kerja sama yang dilakukan Indonesia dengan negara-negara lain di dunia ini antara lain:
a)      Indonesia menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang ke-60 pada tanggal 28 September 1950.
b)      Indonesia menyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika (KAA) pada tahun 1955 yang melahirkan semangat dan solidarita negara-negara Asia-Afrika.
c)      Keaktifan Indonesia sebagai salah satu pendiri Gerakan Non-Blok (GNB) pada tahun 1961.


d)     Indonesia terlibat langsung dalam misi perdamaian Dewan Keamanan PBB dengan mengirimkan Pasukan Garuda.
e)      Indonesia menjadi salah satu pendiri ASEAN.
f)       Ikut serta dalam setiap pesta olahraga internasional mulia dari Sea Games, Asian Games, Olimpiade, dan sebagainya.

H.    TANTANGAN DIPLOMASI ERA JOKOWI
Selama tiga tahun memerintah, kebijakan luar negeri Presiden Joko Widodo dinilai mengalami peningkatan positif. Ada beberapa indikator yang menjadikan kebijakan luar negeri Indonesia, perlindungan warga negara Indonesia (WNI) di luar negeri, kekuatan diplomasi Indonesia salah satu indikator. Berdasarkan data dari Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, yang dimuat dalam Laporan 3 Tahun Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, menyebutkan selama kurun waktu 2015 hingga 2017, sebanyak 25.620 kasus hukum yang dihadapi WNI berhasil diselesaikan. Sementara 1.035 tindak pidana perdagangan orang juga berhasil diatasi. Adapun sebanyak 29 WNI yang disandera berhasil dibebaskan selama 2015-2017. Ini termasuk empat anak buah kapal (ABK) dari Kapal Henry-Christy. Sedangkan 204 WNI yang terancam hukuman mati mampu diselamatkan. Sementara 142.733 tenaga kerja Indonesia (TKI) berhasil dipulangkan ke Tanah Air. Umumnya TKI ini dipulangkan karena berbagai kasus, termasuk pelanggaran imigrasi.
Dalam beberapa pertemuan baik bilateral maupun multilateral, kemampuan diplomasi Indonesia mendapatkan pengakuan. Salah satu yang menjadi perhatian adalah Indonesia berhasil memprakarsai framework Code of Conduct (CoC) pada Juli 2017. Hal ini diikuti pula dengan pembentukan interim measures yang disepakati pada KTT ASEAN-Tiongkok. Ditandatangani pula rencana aksi atau Plan of Action (POA) untuk implementasi kerja sama strategis dan komprehensif periode 2017-2012. Kerja sama ini ditandatangani oleh Menlu RI dan Menlu Tiongkok di Beijing pada 14 Mei 2017.


Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Jokowi secara tegas menyatakan tidak memiliki tumpang tinggi kepemilikan wilayah Laut China Selatan dengan Tiongkok. Selain itu kedua negara juga mendorong kerja sama antara Badan Keamanan Laut Indonesia (BAKAMLA) untuk mencegah potensi konflik sekaligus kerja sama antara BAKAMLA dan penjaga pantai Tiongkok (CCG).
Keanggotaan Indonesia di Indian Ocean Rim Association (IORA) juga menjadi perhatian. Melalui peran sebagai ketua, mampu menghasilkan Jakarta Concord dan berujung pada IORA Action Plan periode 2017-2021. Melalui IORA ini, Indonesia mendorong kerja sama konkret di bidang ekonomi, maritim, UKM dan inovasi. Kemudian pula, IORA bisa menciptakan platform kerja sama regional dalam menghadapi tantangan.
Indonesia aktif melakukan komunikasi ketika terjadi insiden berdarah di Rakhine, Myanmar. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menjadi satu-satunya Menlu yang diterima oleh Myanmar ketika kerusuhan ini terjadi. Menlu pun mendesak agar Myanmar membuka akses bantuan kemanusiaan masuk ke Rakhine dan menghentikan kekerasan yang terjadi.
Palestina juga menjadi perhatian utama. Indonesia tak henti-hentinya memberikan pelatihan kapasitas bagi 1.811 warga negara Palestina, termasuk PNS dan polisi Palestina.
Indonesia juga konsisten memperjuangkan kemerdekaan Palestina di tingkat PBB. Tidak lupa Pemerintah Indonesia mengecam tindakan Israel yang menekan hak Palestina, termasuk melakukan komunikasi di kawasan dan dengan Menlu AS untuk mendesak Israel cabut pembatasan beribadah.
Mengenai peran Menlu Retno ini, Dewi Fortuna melihat peran Menlu Retno sangat cekatan. Terutama dalam memainkan peranan sebagai menteri luar negeri di bawah Presiden Joko Widodo.


Beberapa capain diraih dalam diplomasi Indonesia. Diantaranya mengenai batas wilayah dengan negara tetangga. Di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi, diratifikasi garis batas laut wilayah Indonesia-Singapura. Kemudia disepakati pula draft MoU Survey and Democration ke-20 Indonesia dan Malaysia, untuk batas darat Kalimantan Utara dan Sabah.
Kemudian tahap akhir dua segmen belum terpecahkan dari batas darat Indonesia dan Timor Lester, akhirnya bisa diselesaikan. Indonesia juga menjadi salah satu penyumbang terbesar pasukan pemeliharaan perdamaian PBB dengan peringkat pengirim pasukan ke-12 dari 125 negara.
Dari segi ekonomi, Indonesia bisa memanfaatkan peluang pasar prospektif (non-tradisional) baik di pasifik selatan, Afrika, Timur Tengah, Eropa Timur maupun Amerika selatan dan Karibia.

I.       PERSPEKTIF NEOREALISME
Teori Neorealisme pertama kali dicetuskan oleh pemikir yang bernama Kennet Waltz. Dalam neorealisme Waltz, ia tetap menggunakan  pemikiran realisme klasik sebagai asumsi-asumsi dasar dalam pemikiran neorealismenya. Tetapi, terdapat perbedaan antara realisme klasik dan neorealisme yaitu jika pada realisme aktor yang menjadi kunci utama dalam sistem internasional adalah negara bangsa (nation-state), maka pada neorealisme aktornya adalah sistem itu sendiri. Sehingga meskipun negara merupakan aktor yang dominan, non-state actors memiliki peranan yang penting dalam sistem internasional.  Menurut Waltz, setiap negara mempunyai kewajiban yang sama namun, setiap negara mempunyai kapabilitas yang berbeda-beda tergantung pada power negara masing-masing dan sebagaimana distribusi kekuasaan negara seringkali tidak seimbang dan sering berubah. Negara-negara yang mempunyai power yang besar sangat berperan dalam perubahan struktur-struktur internasional. Karna hal ini, perimbangan kekuatan bisa terjadi. Lalu, setiap negara akan memaksimalisasi power mereka khususnya kekuatan militer. Karena power tersebut bersifat


zero-sum (dalam suatu kerjasama tidak semua pihak diuntungkan tetpi, hanya satu pihak yang diuntungkan), negara menjadi defensif (posisi bertahan), sehingga struggle for power adalah karakteristik permanen hubungan internasional dan konflik bersifat endemik. Dan oleh karena itu, kerja sama antarnegara menjadi sulit atau bahkan tidak mungkin sama sekali. Kalaupun ada, itu pun di bawah kondisi hegemoni suatu negara dominan yang menggunakan power-nya untuk menciptakan dan memaksakan peraturan institusional. Waltz juga berasumsi bahwa sistem internasional bersifat anarki, karena tidak ada otoritas sentral untuk memaksakan tata tertib.
Neorealisme percaya bahwa adanya system bipolar. Dengan penjelasan bahwa  negara negra berkekuatan besar akan selalu cenderung menyeimbangkan satu sama lain. Dan negara negara berkekuatan kecil dan lemah akan memiliki kecenderungan mengaliansikan dirinya  dengan negara negara kekuatan besar agar dapat mempertahankan kekuatan otonominya. Bagi waltz negara negara adalah pencari kekuasaan dan sadar keamanan  bukan disebabkan oleh sifat manusia tetapi lebih disebabkan karena struktur system internasional yang mendorong mereka melakukan hal demikian. (Jackson dan Sorensen,

J.      KEBIJAKAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN
Dari analisis yang kelompok kami lakukan kebijakan yang diambil untuk mencapai sebuah keputusan yaitu Rational Choice. Rational Choice dalam ilmu politik diartikan oleh Hugh Ward, melalui tulisannya yang berjudul Rational Choice mengatakan, “Rational-choice adalah bagian tak terpisahkan dari perangkat analisa para ilmuwan politik, karena banyak fenomena penting yang bisa dijelaskan, paling tidak secara parsial, dari perspektif ini”.
Sedangkan dalam ilmu hubungan internasional, Rational Choice digunakan untuk menjelaskan proses bagaimana suatu kepentingan akan mempengaruhi kebijakan negara yaitu suatu kebijakan pembangunan yang diterapkan suatu negara berkaitan erat dengan kepentingan suatu negara. Teori pilihan rasional pada dasarnya adalah tindakan untuk


mengoptimalisasikan pilihan-pilhan yang ada dalam kondisi tertentu. Pembuatan keputusan rasional menyangkut: (a) kejelasan konsep tujuannya, (b) ketelitian perhitungan kemungkinan, dan (c) penerapan pengetahuan tentang cara dan sumberdaya yang tersedia dengan jitu.
Dengan kata lain juga Rational Choice diartikan sebagai pengambilan suatu keputusan melalui aktor atau negara yang akan mengidentifikasi suatu masalah atau isu yang nantinya akan menghasilkan suatu tujuan. Dari tujuan tersebut akan diputuskan tujuan dari suatu kebijakan yang diambil dari aktor yang nantinya akan dianalisis rincian pembiayaan dan keuntungan untuk negara. Setelah analisis telah dilakuan, aktor atau negara akan mengambil keputusan kebijakan terbaik dengan pembiayaan yang rendah dengan banyak keuntungan untuk suatu negara.


BAB III

PEMBAHASAN



Konflik laut cina selatan merupakan saah satu konflik yang tak kunjung selesai hingga kini. Hal ini bermula ketika Pada tahun 1947 Tiongkok mulai memanaskan sengketa di laut Cina Selatan yaitu dengan cara sepihak hampir mengklaim seluruh wilayah laut Cina Selatan. Pada saat itu Tiongkok menerbikan peta dengan tanda sembilan garis putus – putus di sekitaran wilayah Laut Cina Selatan. Untuk wilayah Indonesia, kejadian ini berlangsung di perairan Natuna.Saat dikonfrontasi, pihak Tiongkok membantah kalau mereka 'menerobos' karena wilayah tersebut merupakan teritori mereka. Klaim ini dibasiskan pada 'teritori 9 garis putus-putus' yang sudah ada sejak rezim Kuomintang pada tahun 1947.Dalam peta tersebut, digambarkan Tiongkok menguasia lebih dari 2 juta km2 wilayah Laut Cina Selaatan. Bermula dari pulau Hainan di bagian selatan daratan Tiongkok, dan membentuk kurva sejauh 1611 kilo meter ke arah Indonesia.
Garis Kuomintang ini bersinggungan dengan sejumlah daerah 'milik' negara lain seperti Filipina, Malaysia, dan Vietnam yang semuanya memakai basis Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Klaim Tiongkok ini semuanya berbasis pada catatan sejarah dan peta kuno.

Perairan sekitar kepulauan Natuna kini jadi kawasan konflik antara Indonesia dan Cina. Indonesia mengumumkan rencana perubahan nama kawasan perairan, yang masuk wilayah Indonesia itu menjadi Laut Natuna Utara Juli lalu. Langkah Indonesia juga makin "agresif" di kawasan perbatasan Laut Cina Selatan. Antara lain dengan tindakan menambah kekuatan militer di kepulauan Natuna dan pengerahan kapal perang ke kawasan itu. Langkah Indonesia mulai tampak jelas saat negara-negara lain di kawasan cenderung bersikap lunak terhadap klaim kawasan kedaulatan laut Cina. Cina menyerukan Indonesia untuk membatalkan rencana penggantian nama kawasan perairan itu.
Selama bertahun-tahun Indonesia tidak menyatakan dukungan kepada pihak manapun berkaitan dengan konflik dengan Cina di Laut Cina Selatan. Berbeda dengan negara-negara tetangganya seperti Brunei, Malaysia, Filipina dan Vietnam.Namun setelah rangkaian friksi dan puncaknya cekcok terakhir di bulan Juni, Departemen Luar Negeri Cina mengeluarkan pernyataan yang untuk pertama kalinya mengikutsertakan kawasan penangkapan ikan tradisional Indonesia, yang ada di dalam zona ekonomi eksklusif Indonesia, ke dalam kawasan sembilan garis putusnya.
Pemerintahan di bawah Presiden Jokowi juga makin tegas menanggapi langkah Beijing. Salah satunya memprioritaskan pembentukan Indonesia menjadi kekuatan maritim di kawasan. Dalam kunjungannya ke Jepang tahun 2015, Jokowi menegaskan dalam interview bahwa sembilan garis putus yang ditetapkan Cina tidak punya dasar dalam hukum internasional.
Wilayah Indonesia yang tercaplok oleh 9 garis Tiongkok adalah di perairan Natuna. Sebelumnya, kondisi sempat memanas karena insiden antara kapal perang Indonesia dan Tiongkok. KRI Imam Bonjol milik TNI AL, menangkap kapal ikan Han Tan Cou 19038 yang kedapatan beroperasi di wilayah Laut Natuna pada pertengahan Juni lalu.Kala itu, dua kapal penjaga pantai (coast guard) Cina bernomor lambung 3303 dan 2501 bergantian mendesak agar kapal nelayan berbendera Cina tersebut dilepaskan oleh kapal TNI AL. Aksi ini dinilai sebagian besar orang sebagai bentuk pelecehan Tiongkok atas kedaulatan maritim Indonesia.

Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo sebelumnya mengatakan TNI sudah melakukan antisipasi guna mengamankan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. "Antisipasi kami ya menangkap (kapal) itu, kalau tak menangkap, berarti kita cuma tidur," kata Gatot.
Menurut Gatot, TNI telah memperketat pengawasan dengan mengerahkan lima KRI dan pesawat CR 212 untuk mengintai. Intervensi Tiongkok dalam hal ini dapat mengancam pada pendapatan hasil laut Indonesia. Sebab, daerah Natuna sangat kaya akan sumber daya alam, dan berpotensi memangkas pendapatan negara dari sektor tersebut.
Laut Cina Selatan dianggap sebagai sebuah kawasan yang penting karena mempunyai aspek strategis yang bisa mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung kawasan atau negara-negara yang ada disekitarnya. Ada dua aspek yang menjadikan Laut Cina Selatan sangat penting bagi negara-negara tersebut, antara lain:
Letak Strategis.Secara geografis Laut Cina Selatan dikeliling sepuluh negara pantai ( RRC, Taiwan, Vietnam, Kamboja,Thailand, Malaysia, Singapura, Indonesia, Brunei Darussalam dan Filipina). Luas perairan Laut Cina Selatan mencakup Teluk Siam yang dibatasi Vietnam, Kamboja, Thailand dan Malaysia serta Teluk Tonkin yang dibatasi Vietnam dan RRT.Laut Cina Selatan merupakan kawasan yang penting karena posisinya yang strategis sebagai jalur pelayaran perdaganggan dan jalur komunikasi internasional yang menghubungkan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Hal ini telah menjadikan Laut Cina Selatan sebagai rute tersibuk di dunia, karena lebih dari setengah perdagangan dunia berlayar melalui Laut Cina Selatan.
Sumber daya alam yang terkandung dalam laut cina selatan telah menyebabkan terjadinya konflik klaim wilayah antara negara RRT dengan sebagian negara – negara anggota ASEAN yang berada di sekitar wilayah Laut Cina Selatan. Menurut data dari Kementrian Geologi dan Sumber daya Mineral RRT, diperkirakan bahwa wilayah Kepulauan Spartly mempunyai cadangan minyak dan gas alam sebesar 17,7 milyar ton, atau dengan kata lain lebih besar dari cadangan yang dimiliki oleh Kwait ( 13 milyar ton).

Adapun upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak Indonesia mengatasi masalah laut china selatan
1.      Diplomasi
1)      Adanya first track diplomacy. First track diplomacy merupakan jalur diplomasi yang dilakukan oleh sesama kelembagaan negara, atau lebih dikenal dengan diplomasi jalur pertama dan bersifat formal, seperti perundingan dalam forumforum resmi tingkat regional, dan hasil dari forum ini mengikat secara formal pula. Dalam proses first track diplomacy ini Indonesia banyak terlibat aktif dalam melakukan perundingan dengan negara – negara klaim di dalam forum – forum internasional, maupun regional serta bilateral. Hal ini menunjukan keseriusan Indonesia sebagai negara non klaim yang ingin ikut andil dalam proses penyelesaian sengketa ini.
2)      Melihat keterbatasan-keterbatasan yang ada pada first track diplomacy yang dilakukan oleh ASEAN dan Tiongkok seperti yang kita lihat diatas, maka jika kita merujuk pada teori multi track diplomacy rasanya akan lebih efektif jika kita menggunakan cara-cara lain di semua level diplomasi yang ada. Salah satu cara yang mungkin untuk dilakukan adalah dengan memberdayakan second track diplomacy untuk mendukung dan melengkapi kekurangan yang ada pada first track diplomacy. Kegiatan workshop yang digagas oleh Indonesia yakni “Managing Potential Conflicts in the South China Sea” merupakan salah satu contoh second track diplomasi yang berpotensi mendukung penyelesaian sengketa secara berkelanjutan pada firs track diplomacy. Workshop ini diyakini penting untuk dilakukan karna melalui jalur ini penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan cara yang lebih bersahabat. Second track diplomacy yang bersifat informal memberikan kesempatan bagi para pihak bersengketa untuk dapat hadir dalam kapasitas personal dan mengemukakan pendapatnya secara lebih terbuka tanpa adanya tekanan seperti yang terjadi pada jalur first track diplomacy. Struktur peserta yang sebagian terdiri dari pejabat negara juga memudahkan ide-ide yang muncul untuk dapat disalurkan nantinya kepada instansi terkait.Selain itu

Indonesia sebagai negara yang menginisiasikan terselengarakanya workshop ini merupakan negara yang dianggap netral, karena Indonesia bukanlah negara yang terlibat sengketa tersebut.Indonesia juga dikenal sebagai pemimpin normative di kawasan yang sering dipercaya untuk menegahi. Dari kurun waktu 2012 – 2015 Indonesia terus berupaya baik dalam forum bilateral, multilateral, regional kawasan bahkan Internasional untuk terwujudnya penyelesaian kasus sengketa Laut Cina Selatan ini, Indonesia juga masih terus melakukan workshop pada setiap tahunnya sebagai wujud dari diplomasi yang dilakukan oleh Indonesia. Atas usaha ini pula dinamika sengketa dapat diredam sembari mencari cara penyelesaian yang kongkrit atas sengketa ini
3)      Penyelesaian masalah melalui jalan damai telah di upayakan untuk menyelesaikan sengketa Laut Cina Selatan ini, namun belum mendapatkan hasil yang memuaskan. Seperti yang dilakukan pada first track diplomacy, melalui pendekatan regional oleh ASEAN telah disepakati Deklarasi Tata Prilaku Pihak-Pihak di Laut Cina Selatan ( Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea ) yang dirasa sudah cukup berhasil dalam mengelola sengketa, namun pendekatan ini belum dapat mendukung penyelesaian sengketa secara berkelanjutan4 . Salah satu kesulitan yang ditemukan dalam penanganan sengketa ini melalui jalur regional ASEAN adalah perpecahan antara negara yang sebagian mengiginkan peran ASEAN dalam penyelesaian konflik dan sebagian negara lagi mengiginkan penyelesaian secara bilateral seperti yang digagas oleh Tiongkok. Tradisi nonintervensi yang menjadi tradisi ASEAN juga dirasa tidak cukup efektif dalam penyelesaian masalah

2.      Melaporkan kasus ke pengadilan  arbitrase UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea)

(United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) atau yang dalam bahasa indonesia berarti Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut. Dalam beberapa tahun kebelakang negara negara ASEAN banyak yang melaporkan kasus ini ke pengadilan  arbitrase UNCLOS di Den Haag Belanda. Pengadilan Arbitrase Internasional di Den Haag, Belanda, pada


Juli lalu, telah memutuskan bahwa klaim Tiongkok atas sebagai besar wilayah perairan yang dilintasi perdagangan dengan nilai US$5 trilun itu tidak memiliki dasar hukum. Kendati telah ada keputusan dari Arbitrase Internasional, Tiongkok tetap tidak peduli.Banyak negara-negara Barat yang mendesak Beijing untuk mematuhi Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS), yang mengatur zona kontrol maritim berdasarkan garis pantai. Tapi China memandang peraturan pengelolaan maritim yang didukung oleh PBB bertentangan dengan hukum dalam negeri; bahkan China menganggap peraturan tersebut sebagai alat hegemoni barat yang dirancang untuk memperlemah pengaruh China sebagai kekuatan dunia yang semakin luas.

 

3.      Menindak tegas kapal kapal yang masuk ke wilayah perairan Indonesia Banyak kapal kapal internasional yang dengan mudahnya masuk ke kawasan wilayah perairan Indonesia secara illegal untuk mengeruk hasil laut yang ada di sana. Hal ini di tindak tegas oleh  Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang membuat peraturan menenggelamkan kapal illegal yang mengekspoitasi wilayah perairan Indonesia. Salah satu kasus yang terjadi ialah tertangkapnya kapal penangkap ikan berbendera  china KW kway fey 10078 yang ketahuan menangkap ikan di wilayah perairan natuna, akhirnya patroli polisi laut menindak anak buah kapal KW kway fey 10078 tersebut dan proses hukum terhadap anak buah kapal tersebut dilakukan di Indonesia.  Kementerian Perikanan dan Kelautan dengan TNI angkatan Laut hingga kini sudah menenggelamkan lebih dari 230 kapal ikan ilegal sejak akhir 2014, sebagai bentuk tindakan tegas pihak Indonesia agar tidak ada lagi yang ingin mengeksploitasi wilayah perairan Indonesia.


BAB IV
PENUTUP

A.  Simpulan
       Diplomasi Multilateral merupakan sebuah praktik diplomasi yang melibatkan tiga atau lebih negara, terutama antar negara yang memiliki kepentingan yang sama dan ingin dicapai bersama (Freeman JR, 2010). Dengan terjalinnya diplomasi multilateral ini juga membuat adanya perjanjian internasional yang nantinya akan disetujui dan ditandatangani oleh para negara yang bersangkutan. Perjanjian multilateral melalui penawaran diplomasi multilateral memiliki keuntungan, yakni dari proses penyusunannya menghasilkan keputusan yang mengikat semua pihak untuk saling melaksanakan perjanjian satu sama lain. Dalam menjalankan diplomasi multilateral tentu adanya tantangan demi tercapainya diplomasi yang nantinya akan disepakati, tantangan diplomasi multilateral ini dibagi menjadi dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
       Sejak tahun 1947 terjadi ketegangan di Laut China Selatan yang disebabkan dengan dikeluarkannya peta nine-dash line yang diklaim sebagai daerah teritorial China, dimana dalam peta tersebut terdapat garis putus-putus yang tampak memotong hampir 90% luas Laut China Selatan. Atas tindakan pengklaiman yang telah dilakukan turut juga membuat China memberi penegasan atas wilayah perairan tersebut dengan adanya penangkapan ikan yang turut memasuki wilayah Zona Eksklusif Ekonomi Indonesia (ZEE) yang dianggap Illegal Fishing. Dengan adanya Illegal Fishing yang dilakukan pihak China membuat Presiden saat ini yaitu Jokowi menindak tegaskan konflik ini salah satunya dengan memprioritaskan pembentukan Indonesia menjadi kekuatan maritim di kawasan. Pada saat kunjungan ke Jepang tahun 2015, Jokowi juga menegaskan dalam interview terkait nine-dash line yang dilakukan China bahwa apa yang dilakukan China tersebut tidak mempunyai dasar dalam hukum laut internasional.

            Pemerintah juga semakin melakukan tindakan dengan cara penambahan kekuatan militer dan pengerahan kapal perang di kawasan tersebut yaitu di wilayah perairan Laut China Selatan lebih tepatnya di kepulauan Natuna yang telah direncanakan untuk diganti menjadi Laut Natuna Utara. Tindakan dari pemerintah ini juga sebagai bentuk kepentingan untuk Indonesia sendiri, yaitu dengan mempertahankan wilayah Indonesia atau dengan kata lain mencegah spill over ke wilayah kedaulatan Indonesia dan memperkuat klaim wilayah ZEE Indonesia di Laut Cina Selatan yang berbatasan dengan Kepulauan Natuna. Hal ini juga turut menjadi tantangan bagi negara Indonesia bagaimana negara Indonesia mempertahankan wilayah kedaulatannya terutama dari segi wilayahn perairan, karena konflik di Laut Cina Selatan merupakan ancaman keamanan serius bagi keamanan maritim regional jika tidak dikelola dengan hati-hati akan mengganggu kedaulatan wilayah NKRI.
Indonesia juga turut melakukan upaya-upaya demi menyelesaikan konflik di perairan Laut China Selatan ini, salah satunya yakni dengan berdiplomasi. Diplomasi yang dilakukan Indonesia pada mulanya dengan melakukan diplomasi bilateral yang dilakukan Indonesia dan China. Namun diplomasi yang dilakukan ini sekiranya tidak menghasilkan keputusan yang menguntungkan untuk negara Indonesia, yang pada akhirnya dilakukanlah diplomasi multilateral yang turut melibatkan negara anggota ASEAN yang turut juga terkena pengklaiman wilayah yang dilakukan China. Dari segala upaya yang telah dilakukan, hingga saat ini belum ada penyelesaian yang memuaskan sehingga kasus ini masih belum terselesaikan.

DAFTAR PUSTAKA
Ø  BOOKS
o   Djelantik, Sukawarsini. 2008. Diplomasi antara Teori dan Praktik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
o   Wibisono, Makarim. Tantangan Diplomasi Indonesia.  Jakarta : PustakaLP3ES, 2006.
o   Roy, S.L. 1995. Diplomasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
o   White, Brian. 2001. Diplomacy, dalam Baylis, John, dan Steve Smith. The Globalization of World.
o   Freeman Jr, Chas W. 2010. The Diplomat’s Dictinory. Washington D.C: Institute of Peace Press.
o   Ward, Hugh. “Rational Choice” dalam Marsh, David dan Gerry Stokker ed. Theory and Methods in Political Science. Palgrave McMillan. 2002
o   Peter Abell,  1991 hal: 185-186
o   BPPK KMENLU – Pusat Studi Sosial Asian Tenggara, 2015, Indonesia dan Second Track Diplomacy Penyelesaian Sengketa Laut Cina Selatan : Evaluasi Peran dan Langkah Kedepan. Jakarta:Perpustakaan Deplu.
Ø  JURNAL&WEBSITE

·         Akmal dan Pazli,”Strategi Indonesia Menjaga Keamanan Wilayah Perbatasan Terkait Konflik Laut Cina Selatan pada tahun 2009-2014,Journal of International Society, Vol.3, No 1, 2016, hal 2
·         Ariffien, Nurul Fitri Zainia, Upaya Diplomatik Indonesia Terhadap China dalam Menyelesaikan Potensi Konflik Landas Kontinen Natuna di Laut  Cina Selatan. eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2 (3): 831-842. 2014, http://ejournal.hi.fisipunmul.ac.id.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DIPLOMASI PADA ERA PEMERINTAHAN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO (SBY)

MAKALAH SEJARAH DIPLOMASI INDONESIA “KETERLIBATAN INDONESIA DI WTO”