TANTANGAN DIPLOMASI MULTILATERAL INDONESIA PADA MASA PEMERINTAHAN JOKOWI
Dosen : Rachmayani, M.Si
Kelompok 14 :
MOH. HARRIS GRIMALDY 2016230130
AMELIA TIFFANY DEWI 2016230114
FACHRI WAFI 2016230126
INDRIANA MUTIARA SANNIE 2016230135
INSTITUT ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK (IISIP)
JAKARTA
2.
Melaporkan kasus
ke pengadilan arbitrase UNCLOS (United Nations
Convention on the Law of the Sea)
(United Nations
Convention on the Law of the Sea (UNCLOS)
atau yang dalam bahasa indonesia berarti Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
tentang Hukum Laut. Dalam beberapa tahun kebelakang negara negara ASEAN
banyak yang melaporkan kasus ini ke pengadilan
arbitrase UNCLOS di Den Haag Belanda. Pengadilan Arbitrase Internasional di Den Haag,
Belanda, pada
Juli lalu, telah memutuskan bahwa
klaim Tiongkok atas sebagai besar wilayah perairan yang dilintasi perdagangan
dengan nilai US$5 trilun itu tidak memiliki dasar hukum. Kendati telah ada
keputusan dari Arbitrase Internasional, Tiongkok tetap tidak peduli.Banyak negara-negara Barat yang mendesak Beijing
untuk mematuhi Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS), yang mengatur zona kontrol
maritim berdasarkan garis pantai. Tapi China memandang peraturan pengelolaan
maritim yang didukung oleh PBB bertentangan dengan hukum dalam negeri; bahkan
China menganggap peraturan tersebut sebagai alat hegemoni barat yang dirancang
untuk memperlemah pengaruh China sebagai kekuatan dunia yang semakin luas.
3. Menindak tegas kapal kapal yang masuk ke wilayah perairan
Indonesia Banyak kapal kapal internasional yang dengan mudahnya masuk ke
kawasan wilayah perairan Indonesia secara illegal untuk mengeruk hasil laut
yang ada di sana. Hal ini di tindak tegas oleh
Menteri Kelautan
dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang membuat peraturan menenggelamkan kapal
illegal yang mengekspoitasi wilayah perairan Indonesia. Salah satu kasus yang
terjadi ialah tertangkapnya kapal penangkap ikan berbendera china KW kway fey 10078 yang ketahuan
menangkap ikan di wilayah perairan natuna, akhirnya patroli polisi laut
menindak anak buah kapal KW kway fey 10078 tersebut dan proses hukum terhadap
anak buah kapal tersebut dilakukan di Indonesia. Kementerian Perikanan
dan Kelautan dengan TNI angkatan Laut hingga kini sudah menenggelamkan lebih
dari 230 kapal ikan ilegal sejak akhir 2014, sebagai bentuk tindakan tegas
pihak Indonesia agar tidak ada lagi yang ingin mengeksploitasi wilayah perairan
Indonesia.
Kelompok 14 :
MOH. HARRIS GRIMALDY 2016230130
AMELIA TIFFANY DEWI 2016230114
FACHRI WAFI 2016230126
INDRIANA MUTIARA SANNIE 2016230135
JAKARTA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Diplomasi dapat
diartikan sebagai seni mengedepankan kepentingan Negara terhadap kepentingan
lain. Sir Ernest Satow memberikan karakteristik diplomasi yaitu penerapan
kepandaian dan taktik pada pelaksanaan hubungan resmi antara pemerintah dan
Negara-negara berdaulat (Sir Ernest Satow, 1922). Tujuan diplomasi sendiri
terbagi menjadi empat hal, yaitu tujuan diplomasi politik yang membahas
mengenai kebebasan politik dan integritas teritorialnya, diplomasi ekonomi yang
membahas pembangunan ekonomi nasional, diplomasi kultur yang membahas
memperkenalkan budaya nasional ke dunia internasional, dan diplomasi idiologi
yang membahas mengenai cara mempertahankan keyakinan dan kepercayaan sebuah
bangsa pada idiologi Negara (S.L. Roy, 1991).
Diplomasi memiliki dua sifat yaitu
diplomasi multilateral dan diplomasi bilateral. Diplomasi bilateral adalah
diplomasi yang dilakukan dengan Negara tertentu saja atau antar dua Negara.
Sedangkan diplomasi multilateral merupakan diplomasi modern yang bersifat
terbuka. Diplomasi yang mengakomodasi kepentingan tiga Negara atau lebih ini
muncul sebagai reaksi atas ketidakpuasan bentuk diplomasi bilateral dimasa
sebelumnya. Hal ini menjadi wadah sekaligus dalam melakukan hubungan internasional
(White, 2001).
Sejak tahun 1947 terjadi ketegangan di
Laut China Selatan yang disebabkan dengan dikeluarkannya peta nine-dash line
yang diklaim sebagai daerah teritorial China, dimana dalam peta tersebut terdapat
garis putus-putus yang tampak memotong hampir 90% luas Laut China Selatan. Atas
tindakan
China tersebut yang membuat China mendapatkan kecaman dari dunia internasional
karena klaim yang dilakukan oleh China tidak berdasarkan hukum laut internasional
melainkan dianggap melalui klaim historis. China juga telah melakukan penegasan
di Laut China Selatan melalui penangkapan ikan diwilayah perairan tersebut.
Aktifitas penangkapan ikan ini juga turut memasuki Zona Eksklusif Ekonomi
Indonesia (ZEE). Sejak awal mula ketegangan itu terjadi, China menjadi sering
menangkap ikan di wilayah ZEE, yang pada kenyataannya bahwa penangkapan yang
dilakukan China merupakan Illegal Fishing.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1. Apa
yang menjadi tantangan Diplomasi Multilateral Indonesia?
2. Bagaimana
konflik di perairan Laut China Selatan dapat terjadi?
3. Bagaimana
tindakan Jokowi dalam menangani konflik di perairan Laut China Selatan?
4. Apa
yang menjadi kepentingan Indonesia dalam konflik ini?
5. Upaya
apa yang telah dilakukan untuk menyelesaikan konflik ini?
C.
TUJUAN
1. Menjadi
bahan pembelajaran mata kuliah SDI.
2. Untuk
mengetahui keterlibatan Indonesia dalam konflik Laut China Selatan.
3. Untuk
mengetahui apa saja yang menjadi tantangan diplomasi Indonesia dalam forum multilateral.
4. Memberikan
informasi untuk para pembaca mengenai Laut China Selatan dan Tantangan
Diplomasi Indonesia.
D.
MANFAAT
1. Mengetahui
apa saja yang menjadi Tantangan Diplomasi Indonesia
2. Mengetahui
bagaimana konflik Laut China Selatan yang sesungguhnya
3. Mengajarkan
kami untuk dapat menganalisis kasus dengan perspektif yang ada
BAB II
LANDASAN TEORI
A. PENGERTIAN
DIPLOMASI MULTILATERAL
Menurut Berridge (dalam Djelantik,
2008:133), diplomasi multilateral adalah praktek diplomasi yang dilakukan oleh
tiga negara atau lebih melalui sebuah konferensi. Dalam pola diplomasi ini,
setiap permasalahan akan diselesaikan secara konsensus sehingga setiap pihak
akan mendapatkan keuntungan. Akan tetapi, setiap negara akan cenderung
mementingkan kepentingan nasionalnya sendiri sehingga berpotensi untuk
memicu perpecahan.
Diplomasi multilateral harus
dilaksanakan secara terbuka melalui negosiasi agar negara mendapatkan
kepercayaan tidak hanya dalam negaranya akan tetapi juga pada lingkungan internasional.
Setiap permasalahan yang muncul selalu diselesaikan dengan jalan konsensus. Hal
tersebut dapat mempermudah suatu negara untuk menjalin hubungan persahabatan
dengan negara lainnya. Dalam diplomasi multilateral ini, keberhasilan dalam
negosiasi sangat dapat diwujudkan dan ini menjadi suatu strategi diplomasi yang
terbilang cukup efektif (Djelantik, 2008). Keunggulan lain dari diplomasi
multilateral adalah kemungkinan terciptanya kebijakan yang mendapatkan
legitimasi kuat karena mengikutsertakan banyak negara. Namun di samping itu,
dalam pola diplomasi multilateral akan selalu ada kecenderungan pada setiap
negara untuk mencapai kepentingan nasionalnya masing-masing sehingga konflik
tidak dapat dihindarkan (Djelantik, 2008). Diplomasi multilateral juga memiliki
kelemahan lain yaitu prosesnya sering berjalan lambat karena banyaknya
kepentingan yang harus diakomodasikan.
Kerjasama multilateral adalah kerjasama
yang anggotanya lebih dari dua negara. Istilah multilateral dalam hubungan
internasional bisa didefinisikan sebagai kerjasama yang dilakukan beberapa
negara. Anggota yang paling utama kerjasama multilateral adalah negara-negara
dengan kekuatan menengah misalnya Kanada. Contoh dari organisasi dunia yang
termasuk
dalam kerjasama multilateral adalah WTO dan PBB. Negara-negara kecil sejatinya
mempunyai peranan yang juga terbatas atau sedikit kekuatan dalam urusan
internasional. Namun, negara tersebut bisa berpartisipasi aktif di PBB seperti
memberikan hak suara dan mengonsolidasikan dengan negara lain pada jajak
pendapat yang dilakukan PBB.
B.
MUNCULNYA DIPLOMASI
MULTILATERAL
Diplomasi multilateral muncul sebagai sarana bagi
negara-negara di dunia untuk bertindak bersama-sama menyelesaikan sebuah
masalah bersama. Diplomasi multilateral memang bukanlah sesuatu yang baru,
melainkan sudah muncul sekitar kira-kira abad ke-19. Munculnya Liga
Bangsa-bangsa di awal abad ke-20 juga menandai upaya membangkitkan diplomasi
multilateral sebagai wujud pencegahan terjadinya konflik bereskalasi yang sama,
meskipun pada akhirnya bukan hanya negara-negara ini gagal mencapai kesepakatan
tersebut satu persatu anggotanya justru mengundurkan diri karena alasan yang
sangat pragmatis.
Perserikatan Bangsa-bangsa yang lahir pada tahun 1945
menjadi contoh terbaik diplomasi multilateral ini, yaitu ketika
negara-negara di dunia akhirnya berhasil mencapai titik temu mengenai formasi
organisasi internasional yang bertujuan menjaga perdamaian dunia ini. Munculnya
Majelis Umum PBB sebagai the true global parliament juga menjadi
semangat bagi dunia untuk mencari kesepakatan bersama.
Formalisasi diplomasi (dan diplomasi multilateral) di abad
ke-20 ini turut didorong oleh kompleksitas hubungan internasional, yang kini
tidak hanya merupakan hubungan politik dan keamanan saja, melainkan sudah
bergerak kepada bidang-bidang lain seperti ekonomi, sosial kebudayaan, dan
lingkungan. Maka apa yang bermula dari politik sebagai sarana mewujudkan
eksistensi di forum internasional, kini menjadi wadah besar bersama untuk
menyelesaikan masalah-masalah non-politis.
C. MENJALANKAN
DIPLOMASI MULTILATERAL
Tugas
diplomasi multilateral di abad ke-21 menjadi semakin kompleks, dengan
beragamnya isu dan tantangan yang dihadapi dunia, dan bagaimana seluruh tantangan
tersebut sebetulnya saling terkait. Mengibaratkannya seperti sarang laba-laba
pun rasanya tidak cukup menggambarkan kompleksitasnya. Maka, peran diplomat
untuk memahami situasi dunia secara luas dan mendalam merupakan hal yang sangat
wajib dilakukan.
Diplomat-diplomat
ini memiliki tanggung jawab yang sangat luar biasa di masa sekarang. Dari
fenomena-fenomena dunia yang dapat kita amati saat ini, kita dapat menyimpulkan
sejumlah tugas esensial yang harus dilakukan oleh para diplomat ini:
1. Menjadi
representasi negara (atau dalam beberapa kesempatan, organisasi) tersebut di
negara/organisasi penerima secara formal ataupun substansial. Menjadi
representasi turut berarti menjadi sarana komunikasi formal antar kedua negara.
2. Menjadi
sumber informasi bagi negara pengirim. Seorang diplomat Amerika Serikat di
Perancis akan dengan rajin mencari dan mengumpulkan informasi mengenai apa yang
terjadi di negara Perancis, mencakup kebijakan politik, situasi sosial ekonomi,
dan sebagainya.
3. Landasan
penyusunan kebijakan politik luar negeri. Informasi yang didapatkan para
diplomat ini akan menjadi dasar-dasar untuk menetapkan kebijakan luar negeri
suatu negara terhadap suatu negara lain/organisasi internasional.
4. Sarana
pencegahan konflik. Seiring dengan tren di dunia yang sebisanya mengurangi
konflik antar negara, para diplomat turut berperan sebagai negosiator yang
diharapkan bisa mencegah, atau menyelesaikan konflik dan menghindari jatuhnya
korban.
5. Menjadi
‘wajah’ negaranya di negara/organisasi lain. Para diplomat seringkali menjadi
representasi budaya negaranya, intelektualitas atau kebiasaan negara tersebut.
Tampil dengan sangat baik di wajah negara/organisasi lain akan memberikan nilai
tambah bagi para diplomat dan negara yang diwakilinya.
6. Menjadi
grand negotiator. Para diplomat ini merupakan salah satu pihak yang
menjadi garda depan dalam negosiasi untuk menciptakan kesepakatan antar negara.
Semisal, dalam sidang-sidang PBB para diplomat perlu melakukan negosiasi untuk
mencapai kesepakatan dalam penyelesaian suatu masalah.
Tindak
diplomasi multilateral sebetulnya menjadi semakin luar biasa jika kita turut
melihat dua mazhab penting dalam kajian Hubungan Internasional: bahwa para
diplomat ini perlu mempertahankan kepentingan negaranya sendiri (mazhab realis)
sementara di sisi lain harus menciptakan hubungan baik dan konstruktif antar
negara (mazhab liberal). Meskipun hal ini tidak terlalu teoritis, harus
melakukan dua hal kontradiktif tersebut dalam satu saat yang sama merupakan
salah satu tantangan tersendiri bagi para diplomat.
D.
AGENDA POLITIK DALAM DIPLOMASI
MULTILATERAL INDONESIA
Pemerintahan di Indonesia dibagi menjadi beberapa periode, periodisasi
tersebut dibagi sesuai dengan pola kebijakan politik dari pemerintah yang
berkuasa pada saat itu. Periodisasi tersebut dilakukan untuk mempermudah
analisis terhadap tipe politik pemerintahan, Indonesia terbagi menjadi tiga
tahapan atau fase politik yaitu, era orde lama, orde baru, dan reformasi.Setiap
era juga mamiliki peristiwa sejarah penting yang menggambarkan kondisi dari
setiap fase politik Indonesia pada saat itu.
Perbedaan era pemerintahan juga mempengaruhi
tipe dan bentuk kebijakan luar negeri yang ditempuh, orientasi kerjasama, serta
hubungan
diplomatik antar negara, tetapi masih berpegang pada satu tujuan yaitu
kepentingan nasional yang berpegang teguh pada pembukaan UUD 1945 alinea
ke-4.Perbedaan ini terlihat karena karakter kepemimpinan yang mempengaruhi
setiap struktur politik baik dari infrastrukturnya sampai dengan
suprastrukturnya.
Kemudian setiap era memiliki agenda politik yang
berdasarkan pada diplomasi multilateral yang kemudian akan dijelaskan dalam
setiap periode politik Indonesia sebagai berikut ;
1.
Era Orde Lama
1)
Konferensi Asia-Afrika (1955)
Di dalam
konferensi ini, sikap dan kebijakan yang diambil oleh Indonesia bersifat netral
tanpa memihak satu pihak secara khusus terhadap isu perang dingin antara
Amerika serikat dan Uni Soviet. yang sedang melanda dunia. Indonesia berusaha
untuk mewujudkan hal tersebut dengan mengajak 29 negara lain untuk ikut dalam
menentang segala bentuk Imperialisme, Kolonisme, Neo-Kolonisme, dan segala
bentuk politik blok yang sedang terjadi akibat dari Perang Dingin. Konferensi
ini menghasilkan 10 pasal yang dinamakan Deklarasi Bandung yang merupakan
bentuk manifestasi keseriusan Indonesia dan 29 negara lainnnya dalam
menjalankan politik luar negeri yang bersih dari politik blok.
2)
Penggagas Gerakan Non-Blok (GNB)
Presiden
pertama Republik Indonesia yaitu Ir. Soekarno menjadi salah satu pemrakarsa
berdirinya Organisasi tersebut bersama dengan 4 kepala negara sahabat lainnya,
yaitu Presiden Yugoslavia Josip Broz Tito, Perdana menterii India Pandit
Jawaharlal Nehru, Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser, dan Perdana Menteri Ghana
Kwame Nkrumah. GNB lahir sebagai suatu solusi atas beberapa kekisruhan yang
terjadi di dunia internasional di sera tahun 1950-an, dimana pada waktu itu
telah terjadi perang dingin antara Amerika Serikat dan uni Sovyet yang
membawa dampak besar bagi beberapa
negara, seperti Jerman, Vietnam, serta semenanjung Korea (www.kompasiana.com).
2.
Era Orde Baru
1)
Pembentukan ASEAN (1967)
Bersama
dengan Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand sebagai anggota awal dan
pembentuk ASEAN, Indonesia berusaha untuk membangun dan menjaga hubungan
regional yang harmonis antara negara – negara Asia Tenggara. Hal ini juga
merupakan bentuk keseriusan Indonesia dalam mengakhiri konflik panjang yang
pernah terjadi dengan Malaysia untuk memperbaiki kestabilan dan kedamaian yang
sempat terusik di kawasan Asia Tenggara. Di dalam pembetukannya, ASEAN juga
merupakan front yang digunakan Indonesia dalam memenuhi berbagai National
Interestnya seperti perbaikan ekonomi negara dengan mengundang Investor luar
negeri untuk berinvestasi di Indonesia dan perbaikan Citra Indonesia ke Negara
– Negara yang dapat memberikan bantuan kepada Indonesia dalam mengatasi Krisis
ekonomi sedang melanda negara pada saat itu.
2)
Pemimpin Gerakan Non-Blok (GNB)
Sejak tahun
1992 hingga tahun 1995, Indonesia mendapat kepercayaan untuk memimpin
organisasi GNB tersebut, yaitu dengan terpilihnya Soeharto yang saat itu
merupakan presiden Republik Indonesia ke-2 menjadi Sekretaris Jendral
(SekJen) Gerakan Non Blok. Indonesia menjadi negara yang selalu setia serta
komitmen terhadap prinsip serta aspirasi Gerakan Non Blok. Pada masa
kepemimpinannya di GNB adalah Indonesia telah mampu membawa organisasi tersebut
dalam menentukan arah serta menyesuaikan diri terhadap adanya
perubahan-perubahan yang terjadi secara dinamis, yaitu dengan cara melakukan
penataan kembali prioritas-prioritas lama organisasi dan menentukan adanya
prioritas-prioritas baru serta menetapkan pendekatan dan orientasi
yang baru pula. Indonesia juga telah
berhasil menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) GNB yang ke-110 di
Jakarta dan Bogor pada 1 hingga 7 September 1992. Dalam KTT tersebut telah
berhasil merumuskan suatu kesepakatan bersama yang dikenal dengan “Pesan
jakarta.”
3.
Era Pasca Reformasi
1)
Anggota G-20 (2008)
Selain bukti
atas hasil dari perkembangan ekonomi yang dialami Indonesia pasca krisis yang
melanda negara-negara Asia
pada tahun 1997, bergabungnya Indonesia dengan G-20 juga menunjukkan kemampuan
diplomasi negara dalam memperjuangkan National Interest nya. Selain itu
ada tujuan tersendiri dari Indonesia ketika memutuskan bergabung dengan G-20,
yaitu untuk menarik para investor-investor agar kembali menanamkan modalnya
untuk berinvestasi guna mengembalikan perekonomian Indonesia agar kembali
stabil pasca krisis. Dengan bergabung dengan G-20, Indonesia juga dapat menjaga
dan memperbaiki International Standing nya dengan memperkuat dan
memperluas pengaruhnya di rana perpolitikan Internasional.
4.
Era Jokowi – Jusuf Kalla
(2014-present)
Di dalam
Forum ASEAN, Presiden Jokowi melakukan upaya diplomasi di forum multilateral
dengan cara mengahadiri konferensi Tingkat Tinggi ASEAN untuk yang pertama
kalinya, yang diselenggarakan pada 12 November 2014, Nyi Taw, Myanmar. Di
dalam pertemuan tersebut, Jokowi mengeluarkan pidatonya mengenai pembangunan
infrastruktur dan membangun konektivitas maritime. Kebijakan ini dibuat untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebedar 7 %, untuk itu dibutuhkanlah
perdamaian dan keamanan yang terjaga termasuk di kawasan ASEAN. Selain itu
Presiden Jokowi juga menekankan partisipasi pentingnya UKM (Usaha Kecil Menengah)
dalam kerjasama ekonomi. Diplomasi
yang dilakukan dalam bentuk pidato ini memiliki tujuan untuk mendapatkan
keuntungan dari segi kerja sama ekonomi bagi negara dan rakyat Indonesia,
mengingat bahwa mayoritas usaha di Indonesia sangat di dominasi oleh UKM.
Kemudian Di
dalam forum Outreach Meeting G-7 Summit atau KTT G-7 di Ise-Shima Jepang,
Presiden Jokowi mendapatkan kesempatan untuk berpidato, Jokowi mengatakan dalam
pidatonya bahwa konflik di Asia seperti Laut Tiongkok Selatan, Semenanjung
Korea harus diselesaikan dengan baik, dimana penyelesaian tidak lagi
menggunakan kekerasan atau militer, melainkan di selesaikan dengan berbagai
perundingan seperti forum multilateral seperti ini secara damai. Jokowi juga
mengatakan dalam pidatonya bahwa potensi pertumbuhan dan perkembangan Asia
masih sangat besar, dimana kesejahteraan di kawasan Asia masih perlu
diperbaiki. Berdasarkan proyeksi Asian Century 2050, Asia akan menghasilkan PDB
yang sangat besar sebesar 52% PDB dunia. Sebagai negara yang berada di kawasan
Asia, Indonesia sudah pasti mendapatkan bagian dari Asian Century, karena
Indonesia memiliki peran besar juga yaitu dengan kekayaan sumber daya dan
tenaga kerja produktif. Oleh sebab itu, Indonesia melakukan diplomasi dengan
cara menekankan pada para negara-negara yang mengklaim pulau-pulau Laut
Tiongkok Selatan untuk berdamai dan membangun kawasan Asian yang tentram (www.kemlu.go.id).
Dalam Forum
OKI, presiden Jokowi menyelenggarakan KTT Luar Biasa Organisasi Kerja sama
Islam (OKI) di JCC Senayan, Jakarta. Di dalam forum tersebut, presiden
menyampaikan bahwa perkembangan situasi politik dan keamanan global telah
menggeser perhatian masyarakat dunia terhadap persoalan Palestina. Sebagai
negara yang masyarakatnya di dominasi oleh islam, presiden merasa wajib
memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Presiden meminta agar negara-negara OKI
mengambil tindakan solusi untuk masalah yang terjadi di Palestina. Presiden
mengatakan apabila OKI tidak bisa
memberikan solusi baik jangka
panjang dan jangka pendek bagi permasalahan Palestina, maka OKI di anggap tidak
relevan lagi.
E.
TANTANGAN INDONESIA DALAM FORUM
MULTILATERAL
Peran
Indonesia dalam forum multilateral seperti saat ini tentunya membutuhkan sebuah
cara diplomasi agar dapat menjalankan kepentingan-kepentingannya maupun
kepentingan bersama negara-negara di dunia. Meskipun Indonesia sudah berperan
aktif dalam forum multilateral seperti saat ini, bukan berarti Indonesia tidak
memiliki tantangan-tantangan diplomasinya dalam forum Multilateral.
Tantangan-tantangan terhadap diplomasi Indonesia dalam forum multilateral saat
ini tidak hanya dalam ranah domestik saja atau karena faktor internal saja,
tetapi faktor eksternal juga berpengaruh terhadap diplomasi yang dijalankan
Indonesia dalam forum multilateral. Berbagai peristiwa yang terjadi secara
mendasar, cepat, dan tidak terprediksikan yang sedang mentransformasi dunia,
membantu meningkatkan solidaritas dan persatuan dalam merealisasikan tujuan
bersama dalam pembangunan, stabilitas, prediktabilitas dan perdamaian
(Wibisono, 2006).
Dalam forum
multilateralisme, tentunya ada tanggung jawab global yang harus dilakukan
Indonesia dengan cara diplomasi. Tanggung jawab tersebut adalah bagaimana cara
Indonesia mewakilkan kepentingan-kepentingannya atau negara-negara berkembang
untuk mendapatkan hak yang seharusnya didapatkan oleh negara-negara berkembang
dengan cara diplomasi. Indonesia yang merupakan negara berkembang tentunya juga
merasakan implikasi dari globalisme yang hanya menguntungkan negara-negara yang
memiliki kapasitas ekonomi yang kuat saja. Maka dari itu, kami akan menjabarkan
apa saja tantangan-tantangan diplomasi Indonesia dalam forum multilateral. Kami
akan membagi tantangan menjadi 2, yaitu tantangan dari faktor Internal dan
tantangan dari faktor Eksternal.
a.
Faktor
Internal
a) Kelompok
Separatis dan Terorisme
Diantaranya
adalah OPM (Organisasi Papua Merdeka), GAM (Gerakan Aceh Merdeka), RMS
(Republik Maluku Selatan). Kelompok ini menggalang dukungan internasional di
luar negeri yang dapat melemahkan posisi bargaining Indonesia. Terorisme juga
merupakan masalah internal yang terjadi dalam diplomasi Indonesia, Contoh nya
seperti kasus bom Bali I dan bom Bali II, yang kemudian disusul oleh
gerakan-gerakan separatis seperti GAM dan OPM.. Tidak lama, kita cukup
dikejutkan dengan peristiwa bom yang terjadi di daerah Sarinah. Tentunya hal
itu merupakan suatu “pukulan” bahwa terorisme di dalam negeri masih ada. Dalam
konteks keamanan, tantangan yang dihadapi oleh Indonesia di dalam negerinya
adalah bagaimana sistem keamanan dapat dicover oleh badan-badan keamanan agar
dapat menciptakan kondisi yang aman dan stabil, dan tidak menutup kemungkinan
ini sebagai bentuk diplomasi ke forum Internasional dalam upaya untuk
meyakinkan masyarakat global bahwa situasi di Indonesia itu aman untuk
memberikan peluang invenstasi maupun kerjasama.
b) Skill
Para Negosiator (Diplomat)
Tugas
diplomasi multilateral di abad ke-21 menjadi semakin kompleks, dengan
beragamnya isu dan tantangan yang dihadapi dunia, dan bagaimana seluruh
tantangan tersebut sebetulnya saling terkait. Mengibaratkannya seperti sarang
laba-laba pun rasanya tidak cukup menggambarkan kompleksitasnya. Maka, peran
diplomat untuk memahami situasi dunia secara luas dan mendalam merupakan hal
yang sangat wajib dilakukan. Diplomat-diplomat ini memiliki tanggung jawab yang
sangat luar biasa di masa sekarang (www.matthewhanzel.com). Namun,
Diplomat-diplomat
muda kita
yang masih kurang pengalaman yang membuat para diplomat muda harus
berkoordinasi dengan para seniornya. Lambatnya regenerasi merupakan salah satu
penyebabnya. Perlu menjadi catatan bahwa seorang duta besar sangat berpengaruh
terhadap jalannya hubungan suatu negara dengan negara lain. Mengapa demikian?
Karena diplomat adalah kepanjangan tangan dari negara dalam menjalin hubungan
dengan negara lain. Perlu diketahui, keputusan seorang diplomat juga akan
menentukan berjalan atau tidaknya hubungan satu negara dengan negara lain.
Dalam awal adanya diplomat, diplomat diberikan kekuasaan penuh untuk menentukan
arah dari hubungan luar negeri suatu negara.
c) Siapa
Yang Memerintah
Setiap
presiden memiliki kepentingan dan pemikiran yang berbeda tentang kepentingan
dan red line Negara kita. Hal ini harus bisa di selaraskan oleh para
negosiator kita.
d) Kesenjangan
Teknologi dan Informasi
Teknologi
dan informasi di Indonesia hanya dinikmati oleh kalangan menengah keatas saja,
tidak dengan kalangan menengah kebawah. Dari kesenjangan itulah, timbul
konsekuensi seperti masyarakat terbelakang yang tidak mengetahui
perkembangan-perkembangan dalam negeri maupun luar negeri. tantangan yang
dihadapi Indonesia adalah bagaimana Indonesia dapat membangun infrastruktur
teknologi informasi yang merata di setiap wilayah, dengan harapan bahwa tidak
akan lagi ada kesenjangan teknologi informasi yang mewakilkan masyarakat maju
dengan masyarakat terbelakang.
b.
Faktor
Eksternal
Tidak terlepas dari globalisasi ini
sendiri, tentunya untuk menjalankan diplomasi-diplomasi di forum multilateral,
Indonesia pasti memiliki tantangan baik dari faktor eksternal juga. Citra
Indonesia yang sempat memburuk akibat krisis ekonomi 1998, tragedi bom Bali I
dan II, dan juga pelanggaran HAM yang dilakukan di Timor-Timur menyebabkan
Internasional Profile Indonesia menjadi buruk. Saat ini, guna memperbaiki dan
mempertahankan citra Indonesia di mata Internasional, perlunya tindakan yang
dilakukan pemerintah untuk membenahi diri.
Tantangan-tantangan eksternal dalam
forum multilateral ini sendiri adalah bagaimana Indonesia menjalin “koneksi”
yang baik dengan negara-negara lain. Jika sudah terjalin “koneksi” yang sangat
baik dalam hubungan antara Indonesia dan negara-negara lain, maka dapat
dipastikan diplomasi Indonesia dapat berjalan dengan baik dalam forum
multilateral karena adanya dukungan-dukungan oleh negara-negara yang sepemahaman
dengan Indonesia. Selain itu, tantangan-tantangan dalam forum multilateral
seperti PBB saat ini adalah dengan munculnya negara-negara maju yang
berpemahaman liberalis adalah jalan satu-satunya untuk mendapatkan
kesejahteraan dan kemakmuran bagi negara-negara di dunia, yang pada
kenyataannya hanyalah sebagai “topeng” negara-negara maju untuk mengeruk
keuntungan yang sebesar-besarnya dari negara berkembang. Disinilah salah satu
tantangan yang harus dihadapi Indonesia. Tantangan Indonesia saat ini adalah
bagaimana Indonesia dapat menggalang dukungan dalam forum Internasional untuk
memahami arti liberalisasi ini sendiri. Liberalisasi yang hanya dirasa
memberikan keuntungan untuk negara-negara dengan perekonomian yang kuat saja
tentunya telah menimbulkan
ketimpangan-ketimpangan
dan membuat jurang pemisah yang sangat terlihat oleh negara maju dan negara
berkembang.
Dan mengingat Indonesia merupakan
negara dengan kekayaan alam yang cukup melimpah, tentunya ini merupakan suatu
tantangan Indonesia dalam forum multilateral untuk lebih menggalakan program
pembangunan berkelanjutan yang telah disepakati di Rio de Janeiro, Brazil. Dari
sini kita dapat melihat, bagaimana Indonesia saat ini dalam menggalakan program
pembangunan berkelanjutan dalam forum multilteral dan menentang adanya
eksploitasi besar-besar oleh negara maju.
F.
STRATEGI
DAN KEBIJAKAN DALAM NEGERI INDONESIA
Betapapun canggihnya
diplomasi Indonesia yang dilakukan dalam forum multilateral, tidak akan
berhasil tanpa adanya dukungan kebijakan dalam negeri yang kondusif (Wibisono,
2006). Adapun strategi yang seharusnya dijalankan pemerintah Indonesia adalah :
§
Ketegasan pelaksanaan
hukum di Indonesia.
§
Menciptakan stabilitas
keamanan dalam negeri.
§
Pemberantasan terhadap
KKN.
§
Pembangunan
infrastruktur teknologi dan informasi, yang diharapkan agar semua elemen
masyarakat dapat ikut serta terhadap kebijakan dalam negeri yang dibuat
pemerintah.
§
Sinkronisasi kebijakan
ekonomi.
§
Pemerataan pembangunan
yang tidak hanya terfokus kepada 1 (satu) wilayah saja.
§
Pemberantasan berbagai
pungutan dan pajak liar.
§
Dan juga memperbaiki
iklim investasi.
Pembinaan hubungan baik melalui peningkatan kualitas diplomasi ataupun
melalui suatu pendekatan khusus bukanlah suatu hal yang mudah dan singkat untuk
dilakukan. Namun, perlu waktu jangka panjang dan
dukungan positif dari berbagai pihak. Saat ini, Indonesia telah mendapatkan
dukungan-dukungan dari negara-negara sahabat seperti Jepang, Korea Selatan,
Rusia, dll. Tentunya hal ini akan berdampak sangat positif bagi Indonesia untuk
meningkatkan citra positif dan dalam menjalankan diplomasinya di forum
multilateral (Wibisono, 2006).
G.
TRAKTAT
MULTILATERAL
Traktat
Multilateral yaitu perjanjian yang dilakukan oleh banyak negara. Contohnya
perjanjian kerja sama beberapa negara di bidang pertahanan dan ideologi seperti
NATO. Traktat Internasional atau yang disebut juga perjanjian multilateral yang
secara hukum mengikat seluruh negara yang menandatanganinya. Penandatanganan
traktat ini terbuka bagi negara-negara anggota FAO maupun diluar FAO sampai 4
November 2002, dan akan membentuk kerangka kerja yang baru dan mengikat untuk
kerjasama di bidang sumberdaya genetik tanaman pangan dan pertanian.
Negara-negara yang meratifikasi traktat sampai tanggal tersebut akan duduk
sebagai dewan pengelola. Sampai saat ini Indonesia masih belum meratifikasi
Traktat Internasional.
Kerja sama
internasional yang dilaksanakan Indonesia dengan lembaga internasional. Selain
melakukan perjanjian internasional, Indonesia juga melakukan kerja sama dengan
berbagai lembaga internasional. Peran aktif tersebut baik sebagai pemrakarsa
berdirinya suatu lembaga internasional, maupun sebagai anggota aktif.
Bentuk-bentuk
kerja sama yang dilakukan Indonesia dengan negara-negara lain di dunia ini
antara lain:
a)
Indonesia menjadi anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang ke-60 pada tanggal 28 September 1950.
b)
Indonesia menyelenggaraan Konferensi
Asia-Afrika (KAA) pada tahun 1955 yang melahirkan semangat dan solidarita
negara-negara Asia-Afrika.
c)
Keaktifan Indonesia sebagai salah
satu pendiri Gerakan Non-Blok (GNB) pada tahun 1961.
d)
Indonesia terlibat langsung dalam
misi perdamaian Dewan Keamanan PBB dengan mengirimkan Pasukan Garuda.
e)
Indonesia menjadi salah satu pendiri
ASEAN.
f)
Ikut serta dalam setiap pesta
olahraga internasional mulia dari Sea Games, Asian Games, Olimpiade, dan
sebagainya.
H.
TANTANGAN
DIPLOMASI ERA JOKOWI
Selama tiga tahun memerintah, kebijakan
luar negeri Presiden Joko Widodo dinilai mengalami peningkatan positif. Ada
beberapa indikator yang menjadikan kebijakan luar negeri Indonesia,
perlindungan warga negara Indonesia (WNI) di luar negeri, kekuatan diplomasi
Indonesia salah satu indikator. Berdasarkan data dari Kementerian Luar Negeri
Republik Indonesia, yang dimuat dalam Laporan 3 Tahun Pemerintahan Joko
Widodo-Jusuf Kalla, menyebutkan selama kurun waktu 2015 hingga 2017, sebanyak
25.620 kasus hukum yang dihadapi WNI berhasil diselesaikan. Sementara 1.035
tindak pidana perdagangan orang juga berhasil diatasi. Adapun sebanyak 29 WNI
yang disandera berhasil dibebaskan selama 2015-2017. Ini termasuk empat anak
buah kapal (ABK) dari Kapal Henry-Christy. Sedangkan 204 WNI yang terancam
hukuman mati mampu diselamatkan. Sementara 142.733 tenaga kerja Indonesia (TKI)
berhasil dipulangkan ke Tanah Air. Umumnya TKI ini dipulangkan karena berbagai
kasus, termasuk pelanggaran imigrasi.
Dalam beberapa pertemuan baik bilateral
maupun multilateral, kemampuan diplomasi Indonesia mendapatkan pengakuan. Salah
satu yang menjadi perhatian adalah Indonesia berhasil memprakarsai framework
Code of Conduct (CoC) pada Juli 2017. Hal ini diikuti pula dengan pembentukan
interim measures yang disepakati pada KTT ASEAN-Tiongkok. Ditandatangani pula
rencana aksi atau Plan of Action (POA) untuk implementasi kerja sama strategis
dan komprehensif periode 2017-2012. Kerja sama ini ditandatangani oleh Menlu RI
dan Menlu Tiongkok di Beijing pada 14 Mei 2017.
Indonesia di bawah pemerintahan Presiden
Jokowi secara tegas menyatakan tidak memiliki tumpang tinggi kepemilikan
wilayah Laut China Selatan dengan Tiongkok. Selain itu kedua negara juga
mendorong kerja sama antara Badan Keamanan Laut Indonesia (BAKAMLA) untuk
mencegah potensi konflik sekaligus kerja sama antara BAKAMLA dan penjaga pantai
Tiongkok (CCG).
Keanggotaan Indonesia di Indian Ocean
Rim Association (IORA) juga menjadi perhatian. Melalui peran sebagai ketua,
mampu menghasilkan Jakarta Concord dan berujung pada IORA Action Plan periode
2017-2021. Melalui IORA ini, Indonesia mendorong kerja sama konkret di bidang
ekonomi, maritim, UKM dan inovasi. Kemudian pula, IORA bisa menciptakan
platform kerja sama regional dalam menghadapi tantangan.
Indonesia aktif melakukan komunikasi
ketika terjadi insiden berdarah di Rakhine, Myanmar. Menteri Luar Negeri Retno
Marsudi menjadi satu-satunya Menlu yang diterima oleh Myanmar ketika kerusuhan
ini terjadi. Menlu pun mendesak agar Myanmar membuka akses bantuan kemanusiaan
masuk ke Rakhine dan menghentikan kekerasan yang terjadi.
Palestina juga menjadi perhatian utama.
Indonesia tak henti-hentinya memberikan pelatihan kapasitas bagi 1.811 warga
negara Palestina, termasuk PNS dan polisi Palestina.
Indonesia juga konsisten memperjuangkan
kemerdekaan Palestina di tingkat PBB. Tidak lupa Pemerintah Indonesia mengecam
tindakan Israel yang menekan hak Palestina, termasuk melakukan komunikasi di
kawasan dan dengan Menlu AS untuk mendesak Israel cabut pembatasan beribadah.
Mengenai peran Menlu Retno ini, Dewi
Fortuna melihat peran Menlu Retno sangat cekatan. Terutama dalam memainkan
peranan sebagai menteri luar negeri di bawah Presiden Joko Widodo.
Beberapa capain diraih dalam diplomasi
Indonesia. Diantaranya mengenai batas wilayah dengan negara tetangga. Di bawah
kepemimpinan Presiden Jokowi, diratifikasi garis batas laut wilayah
Indonesia-Singapura. Kemudia disepakati pula draft MoU Survey and Democration
ke-20 Indonesia dan Malaysia, untuk batas darat Kalimantan Utara dan Sabah.
Kemudian tahap akhir dua segmen belum
terpecahkan dari batas darat Indonesia dan Timor Lester, akhirnya bisa
diselesaikan. Indonesia juga menjadi salah satu penyumbang terbesar pasukan
pemeliharaan perdamaian PBB dengan peringkat pengirim pasukan ke-12 dari 125
negara.
Dari segi ekonomi, Indonesia bisa
memanfaatkan peluang pasar prospektif (non-tradisional) baik di pasifik
selatan, Afrika, Timur Tengah, Eropa Timur maupun Amerika selatan dan Karibia.
I.
PERSPEKTIF
NEOREALISME
Teori Neorealisme pertama kali
dicetuskan oleh pemikir yang bernama Kennet Waltz. Dalam neorealisme Waltz, ia
tetap menggunakan pemikiran realisme klasik sebagai asumsi-asumsi dasar
dalam pemikiran neorealismenya. Tetapi, terdapat perbedaan antara realisme klasik
dan neorealisme yaitu jika pada realisme aktor yang menjadi kunci utama dalam
sistem internasional adalah negara bangsa (nation-state), maka pada neorealisme
aktornya adalah sistem itu sendiri. Sehingga meskipun negara merupakan aktor
yang dominan, non-state actors memiliki peranan yang penting dalam sistem
internasional. Menurut Waltz, setiap negara mempunyai kewajiban yang sama
namun, setiap negara mempunyai kapabilitas yang berbeda-beda tergantung pada
power negara masing-masing dan sebagaimana distribusi kekuasaan negara
seringkali tidak seimbang dan sering berubah. Negara-negara yang mempunyai
power yang besar sangat berperan dalam perubahan struktur-struktur
internasional. Karna hal ini, perimbangan kekuatan bisa terjadi. Lalu, setiap
negara akan memaksimalisasi power mereka khususnya kekuatan militer.
Karena power tersebut bersifat
zero-sum
(dalam suatu kerjasama tidak semua pihak diuntungkan tetpi, hanya satu pihak
yang diuntungkan), negara menjadi defensif (posisi bertahan), sehingga struggle
for power adalah karakteristik permanen hubungan internasional dan konflik
bersifat endemik. Dan oleh karena itu, kerja sama antarnegara menjadi sulit
atau bahkan tidak mungkin sama sekali. Kalaupun ada, itu pun di bawah kondisi
hegemoni suatu negara dominan yang menggunakan power-nya untuk menciptakan dan
memaksakan peraturan institusional. Waltz juga berasumsi bahwa sistem
internasional bersifat anarki, karena tidak ada otoritas sentral untuk
memaksakan tata tertib.
Neorealisme percaya bahwa adanya system
bipolar. Dengan penjelasan bahwa negara
negra berkekuatan besar akan selalu cenderung menyeimbangkan satu sama lain.
Dan negara negara berkekuatan kecil dan lemah akan memiliki kecenderungan
mengaliansikan dirinya dengan negara
negara kekuatan besar agar dapat mempertahankan kekuatan otonominya. Bagi waltz
negara negara adalah pencari kekuasaan dan sadar keamanan bukan disebabkan oleh sifat manusia tetapi
lebih disebabkan karena struktur system internasional yang mendorong mereka
melakukan hal demikian. (Jackson dan Sorensen,
J.
KEBIJAKAN
PENGAMBILAN KEPUTUSAN
Dari analisis yang kelompok kami
lakukan kebijakan yang diambil untuk mencapai sebuah keputusan yaitu Rational
Choice. Rational Choice dalam ilmu politik diartikan oleh Hugh Ward, melalui tulisannya yang berjudul Rational Choice mengatakan,
“Rational-choice adalah bagian tak terpisahkan dari perangkat analisa para
ilmuwan politik, karena banyak fenomena penting yang bisa dijelaskan, paling
tidak secara parsial, dari perspektif ini”.
Sedangkan
dalam ilmu hubungan internasional, Rational Choice
digunakan untuk menjelaskan proses bagaimana suatu kepentingan akan
mempengaruhi kebijakan negara yaitu suatu kebijakan pembangunan yang diterapkan
suatu negara berkaitan erat dengan kepentingan suatu negara. Teori pilihan
rasional pada dasarnya adalah tindakan untuk
mengoptimalisasikan
pilihan-pilhan yang ada dalam kondisi tertentu. Pembuatan keputusan rasional
menyangkut: (a) kejelasan konsep tujuannya, (b) ketelitian perhitungan
kemungkinan, dan (c) penerapan pengetahuan tentang cara dan sumberdaya yang
tersedia dengan jitu.
Dengan kata lain juga Rational
Choice diartikan sebagai pengambilan suatu keputusan melalui aktor atau negara
yang akan mengidentifikasi suatu masalah atau isu yang nantinya akan
menghasilkan suatu tujuan. Dari tujuan tersebut akan diputuskan tujuan dari
suatu kebijakan yang diambil dari aktor yang nantinya akan dianalisis rincian
pembiayaan dan keuntungan untuk negara. Setelah analisis telah dilakuan, aktor
atau negara akan mengambil keputusan kebijakan terbaik dengan pembiayaan yang
rendah dengan banyak keuntungan untuk suatu negara.
BAB III
PEMBAHASAN
Konflik
laut cina selatan merupakan saah satu konflik yang tak kunjung selesai hingga
kini. Hal ini bermula ketika Pada tahun 1947 Tiongkok mulai memanaskan sengketa
di laut Cina Selatan yaitu dengan cara sepihak hampir mengklaim seluruh wilayah
laut Cina Selatan. Pada saat itu Tiongkok menerbikan peta dengan tanda sembilan
garis putus – putus di sekitaran wilayah Laut Cina Selatan. Untuk wilayah
Indonesia, kejadian ini berlangsung di perairan Natuna.Saat dikonfrontasi,
pihak Tiongkok membantah kalau mereka 'menerobos' karena wilayah tersebut
merupakan teritori mereka. Klaim ini dibasiskan pada 'teritori 9 garis
putus-putus' yang sudah ada sejak rezim Kuomintang pada tahun 1947.Dalam peta
tersebut, digambarkan Tiongkok menguasia lebih dari 2 juta km2 wilayah Laut
Cina Selaatan. Bermula dari pulau Hainan di bagian selatan daratan Tiongkok,
dan membentuk kurva sejauh 1611 kilo meter ke arah Indonesia.
Garis
Kuomintang ini bersinggungan dengan sejumlah daerah 'milik' negara lain seperti
Filipina, Malaysia, dan Vietnam yang semuanya memakai basis Zona Ekonomi
Eksklusif (ZEE). Klaim Tiongkok ini semuanya berbasis pada catatan sejarah dan
peta kuno.
Perairan
sekitar kepulauan Natuna kini jadi kawasan konflik antara Indonesia dan Cina.
Indonesia mengumumkan rencana perubahan nama kawasan perairan, yang masuk
wilayah Indonesia itu menjadi Laut Natuna Utara Juli lalu. Langkah Indonesia
juga makin "agresif" di kawasan perbatasan Laut Cina Selatan. Antara
lain dengan tindakan menambah kekuatan militer di kepulauan Natuna dan
pengerahan kapal perang ke kawasan itu. Langkah Indonesia mulai tampak jelas
saat negara-negara lain di kawasan cenderung bersikap lunak terhadap klaim
kawasan kedaulatan laut Cina. Cina menyerukan Indonesia untuk membatalkan
rencana penggantian nama kawasan perairan itu.
Selama
bertahun-tahun Indonesia tidak menyatakan dukungan kepada pihak manapun
berkaitan dengan konflik dengan Cina di Laut Cina Selatan. Berbeda dengan
negara-negara tetangganya seperti Brunei, Malaysia, Filipina dan Vietnam.Namun
setelah rangkaian friksi dan puncaknya cekcok terakhir di bulan Juni,
Departemen Luar Negeri Cina mengeluarkan pernyataan yang untuk pertama kalinya
mengikutsertakan kawasan penangkapan ikan tradisional Indonesia, yang ada di
dalam zona ekonomi eksklusif Indonesia, ke dalam kawasan sembilan garis
putusnya.
Pemerintahan
di bawah Presiden Jokowi juga makin tegas menanggapi langkah Beijing. Salah
satunya memprioritaskan pembentukan Indonesia menjadi kekuatan maritim di
kawasan. Dalam kunjungannya ke Jepang tahun 2015, Jokowi menegaskan dalam
interview bahwa sembilan garis putus yang ditetapkan Cina tidak punya dasar
dalam hukum internasional.
Wilayah
Indonesia yang tercaplok oleh 9 garis Tiongkok adalah di perairan Natuna.
Sebelumnya, kondisi sempat memanas karena insiden antara kapal perang Indonesia
dan Tiongkok. KRI Imam Bonjol milik TNI AL, menangkap kapal ikan Han Tan Cou
19038 yang kedapatan beroperasi di wilayah Laut Natuna pada pertengahan Juni
lalu.Kala itu, dua kapal penjaga pantai (coast guard) Cina bernomor lambung
3303 dan 2501 bergantian mendesak agar kapal nelayan berbendera Cina tersebut
dilepaskan oleh kapal TNI AL. Aksi ini dinilai sebagian besar orang sebagai
bentuk pelecehan Tiongkok atas kedaulatan maritim Indonesia.
Panglima
TNI Jenderal Gatot Nurmantyo sebelumnya mengatakan TNI sudah melakukan
antisipasi guna mengamankan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.
"Antisipasi kami ya menangkap (kapal) itu, kalau tak menangkap, berarti
kita cuma tidur," kata Gatot.
Menurut
Gatot, TNI telah memperketat pengawasan dengan mengerahkan lima KRI dan pesawat
CR 212 untuk mengintai. Intervensi Tiongkok dalam hal ini dapat mengancam pada
pendapatan hasil laut Indonesia. Sebab, daerah Natuna sangat kaya akan sumber
daya alam, dan berpotensi memangkas pendapatan negara dari sektor tersebut.
Laut
Cina Selatan dianggap sebagai sebuah kawasan yang penting karena mempunyai
aspek strategis yang bisa mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung
kawasan atau negara-negara yang ada disekitarnya. Ada dua aspek yang menjadikan
Laut Cina Selatan sangat penting bagi negara-negara tersebut, antara lain:
Letak
Strategis.Secara geografis Laut Cina Selatan dikeliling sepuluh negara pantai (
RRC, Taiwan, Vietnam, Kamboja,Thailand, Malaysia, Singapura, Indonesia, Brunei
Darussalam dan Filipina). Luas perairan Laut Cina Selatan mencakup Teluk Siam
yang dibatasi Vietnam, Kamboja, Thailand dan Malaysia serta Teluk Tonkin yang
dibatasi Vietnam dan RRT.Laut Cina Selatan merupakan kawasan yang penting
karena posisinya yang strategis sebagai jalur pelayaran perdaganggan dan jalur
komunikasi internasional yang menghubungkan Samudera Hindia dan Samudera
Pasifik. Hal ini telah menjadikan Laut Cina Selatan sebagai rute tersibuk di
dunia, karena lebih dari setengah perdagangan dunia berlayar melalui Laut Cina
Selatan.
Sumber
daya alam yang terkandung dalam laut cina selatan telah menyebabkan terjadinya
konflik klaim wilayah antara negara RRT dengan sebagian negara – negara anggota
ASEAN yang berada di sekitar wilayah Laut Cina Selatan. Menurut data dari
Kementrian Geologi dan Sumber daya Mineral RRT, diperkirakan bahwa wilayah
Kepulauan Spartly mempunyai cadangan minyak dan gas alam sebesar 17,7 milyar
ton, atau dengan kata lain lebih besar dari cadangan yang dimiliki oleh Kwait (
13 milyar ton).
Adapun
upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak Indonesia mengatasi masalah laut china
selatan
1. Diplomasi
1) Adanya first track diplomacy. First
track diplomacy merupakan jalur diplomasi yang dilakukan oleh sesama
kelembagaan negara, atau lebih dikenal dengan diplomasi jalur pertama dan
bersifat formal, seperti perundingan dalam forumforum resmi tingkat regional,
dan hasil dari forum ini mengikat secara formal pula. Dalam proses first track
diplomacy ini Indonesia banyak terlibat aktif dalam melakukan perundingan
dengan negara – negara klaim di dalam forum – forum internasional, maupun
regional serta bilateral. Hal ini menunjukan keseriusan Indonesia sebagai
negara non klaim yang ingin ikut andil dalam proses penyelesaian sengketa ini.
2) Melihat
keterbatasan-keterbatasan yang ada pada first track diplomacy yang dilakukan
oleh ASEAN dan Tiongkok seperti yang kita lihat diatas, maka jika kita merujuk
pada teori multi track diplomacy rasanya akan lebih efektif jika kita
menggunakan cara-cara lain di semua level diplomasi yang ada. Salah satu cara
yang mungkin untuk dilakukan adalah dengan memberdayakan second track diplomacy
untuk mendukung dan melengkapi kekurangan yang ada pada first track diplomacy.
Kegiatan workshop yang digagas oleh Indonesia yakni “Managing Potential
Conflicts in the South China Sea” merupakan salah satu contoh second track
diplomasi yang berpotensi mendukung penyelesaian sengketa secara berkelanjutan
pada firs track diplomacy. Workshop ini diyakini penting untuk dilakukan karna
melalui jalur ini penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan cara yang lebih
bersahabat. Second track diplomacy yang bersifat informal memberikan kesempatan
bagi para pihak bersengketa untuk dapat hadir dalam kapasitas personal dan
mengemukakan pendapatnya secara lebih terbuka tanpa adanya tekanan seperti yang
terjadi pada jalur first track diplomacy. Struktur peserta yang sebagian
terdiri dari pejabat negara juga memudahkan ide-ide yang muncul untuk dapat
disalurkan nantinya kepada instansi terkait.Selain itu
Indonesia
sebagai negara yang menginisiasikan terselengarakanya workshop ini merupakan
negara yang dianggap netral, karena Indonesia bukanlah negara yang terlibat
sengketa tersebut.Indonesia juga dikenal sebagai pemimpin normative di kawasan
yang sering dipercaya untuk menegahi. Dari kurun waktu 2012 – 2015 Indonesia
terus berupaya baik dalam forum bilateral, multilateral, regional kawasan
bahkan Internasional untuk terwujudnya penyelesaian kasus sengketa Laut Cina
Selatan ini, Indonesia juga masih terus melakukan workshop pada setiap tahunnya
sebagai wujud dari diplomasi yang dilakukan oleh Indonesia. Atas usaha ini pula
dinamika sengketa dapat diredam sembari mencari cara penyelesaian yang kongkrit
atas sengketa ini
3) Penyelesaian
masalah melalui jalan damai telah di upayakan untuk menyelesaikan sengketa Laut
Cina Selatan ini, namun belum mendapatkan hasil yang memuaskan. Seperti yang
dilakukan pada first track diplomacy, melalui pendekatan regional oleh ASEAN
telah disepakati Deklarasi Tata Prilaku Pihak-Pihak di Laut Cina Selatan (
Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea ) yang dirasa
sudah cukup berhasil dalam mengelola sengketa, namun pendekatan ini belum dapat
mendukung penyelesaian sengketa secara berkelanjutan4 . Salah satu kesulitan
yang ditemukan dalam penanganan sengketa ini melalui jalur regional ASEAN
adalah perpecahan antara negara yang sebagian mengiginkan peran ASEAN dalam
penyelesaian konflik dan sebagian negara lagi mengiginkan penyelesaian secara
bilateral seperti yang digagas oleh Tiongkok. Tradisi nonintervensi yang
menjadi tradisi ASEAN juga dirasa tidak cukup efektif dalam penyelesaian masalah
2.
Melaporkan kasus
ke pengadilan arbitrase UNCLOS (United Nations
Convention on the Law of the Sea)
(United Nations
Convention on the Law of the Sea (UNCLOS)
atau yang dalam bahasa indonesia berarti Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
tentang Hukum Laut. Dalam beberapa tahun kebelakang negara negara ASEAN
banyak yang melaporkan kasus ini ke pengadilan
arbitrase UNCLOS di Den Haag Belanda. Pengadilan Arbitrase Internasional di Den Haag,
Belanda, pada
Juli lalu, telah memutuskan bahwa
klaim Tiongkok atas sebagai besar wilayah perairan yang dilintasi perdagangan
dengan nilai US$5 trilun itu tidak memiliki dasar hukum. Kendati telah ada
keputusan dari Arbitrase Internasional, Tiongkok tetap tidak peduli.Banyak negara-negara Barat yang mendesak Beijing
untuk mematuhi Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS), yang mengatur zona kontrol
maritim berdasarkan garis pantai. Tapi China memandang peraturan pengelolaan
maritim yang didukung oleh PBB bertentangan dengan hukum dalam negeri; bahkan
China menganggap peraturan tersebut sebagai alat hegemoni barat yang dirancang
untuk memperlemah pengaruh China sebagai kekuatan dunia yang semakin luas.
3. Menindak tegas kapal kapal yang masuk ke wilayah perairan
Indonesia Banyak kapal kapal internasional yang dengan mudahnya masuk ke
kawasan wilayah perairan Indonesia secara illegal untuk mengeruk hasil laut
yang ada di sana. Hal ini di tindak tegas oleh
Menteri Kelautan
dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang membuat peraturan menenggelamkan kapal
illegal yang mengekspoitasi wilayah perairan Indonesia. Salah satu kasus yang
terjadi ialah tertangkapnya kapal penangkap ikan berbendera china KW kway fey 10078 yang ketahuan
menangkap ikan di wilayah perairan natuna, akhirnya patroli polisi laut
menindak anak buah kapal KW kway fey 10078 tersebut dan proses hukum terhadap
anak buah kapal tersebut dilakukan di Indonesia. Kementerian Perikanan
dan Kelautan dengan TNI angkatan Laut hingga kini sudah menenggelamkan lebih
dari 230 kapal ikan ilegal sejak akhir 2014, sebagai bentuk tindakan tegas
pihak Indonesia agar tidak ada lagi yang ingin mengeksploitasi wilayah perairan
Indonesia.
BAB
IV
PENUTUP
A.
Simpulan
Diplomasi Multilateral merupakan sebuah praktik diplomasi yang
melibatkan tiga atau lebih negara, terutama antar negara yang memiliki
kepentingan yang sama dan ingin dicapai bersama (Freeman JR, 2010). Dengan
terjalinnya diplomasi multilateral ini juga membuat adanya perjanjian
internasional yang nantinya akan disetujui dan ditandatangani oleh para negara
yang bersangkutan. Perjanjian multilateral melalui penawaran diplomasi multilateral
memiliki keuntungan, yakni dari proses penyusunannya menghasilkan keputusan
yang mengikat semua pihak untuk saling melaksanakan perjanjian satu sama lain.
Dalam menjalankan diplomasi multilateral tentu adanya tantangan demi tercapainya
diplomasi yang nantinya akan disepakati, tantangan diplomasi multilateral ini
dibagi menjadi dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Sejak tahun 1947 terjadi ketegangan di Laut China Selatan yang
disebabkan dengan dikeluarkannya peta nine-dash line yang diklaim sebagai
daerah teritorial China, dimana dalam peta tersebut terdapat garis putus-putus
yang tampak memotong hampir 90% luas Laut China Selatan. Atas tindakan
pengklaiman yang telah dilakukan turut juga membuat China memberi penegasan
atas wilayah perairan tersebut dengan adanya penangkapan ikan yang turut
memasuki wilayah Zona Eksklusif Ekonomi Indonesia (ZEE) yang dianggap Illegal
Fishing. Dengan adanya Illegal Fishing yang dilakukan pihak China membuat
Presiden saat ini yaitu Jokowi menindak tegaskan konflik ini salah satunya
dengan memprioritaskan pembentukan Indonesia menjadi kekuatan maritim di
kawasan. Pada saat kunjungan ke Jepang tahun 2015, Jokowi juga menegaskan dalam
interview terkait nine-dash line yang dilakukan China bahwa apa yang dilakukan
China tersebut tidak mempunyai dasar dalam hukum laut internasional.
Pemerintah juga semakin melakukan
tindakan dengan cara penambahan kekuatan militer dan pengerahan kapal perang di
kawasan tersebut yaitu di wilayah perairan Laut China Selatan lebih tepatnya di
kepulauan Natuna yang telah direncanakan untuk diganti menjadi Laut Natuna
Utara. Tindakan dari pemerintah ini juga sebagai bentuk kepentingan untuk
Indonesia sendiri, yaitu dengan mempertahankan wilayah Indonesia atau dengan
kata lain mencegah spill over ke wilayah kedaulatan Indonesia dan memperkuat
klaim wilayah ZEE Indonesia di Laut Cina Selatan yang berbatasan dengan
Kepulauan Natuna. Hal ini juga turut menjadi tantangan bagi negara Indonesia
bagaimana negara Indonesia mempertahankan wilayah kedaulatannya terutama dari
segi wilayahn perairan, karena konflik di Laut Cina Selatan merupakan ancaman
keamanan serius bagi keamanan maritim regional jika tidak dikelola dengan
hati-hati akan mengganggu kedaulatan wilayah NKRI.
Indonesia juga turut melakukan upaya-upaya demi menyelesaikan konflik
di perairan Laut China Selatan ini, salah satunya yakni dengan berdiplomasi.
Diplomasi yang dilakukan Indonesia pada mulanya dengan melakukan diplomasi
bilateral yang dilakukan Indonesia dan China. Namun diplomasi yang dilakukan
ini sekiranya tidak menghasilkan keputusan yang menguntungkan untuk negara
Indonesia, yang pada akhirnya dilakukanlah diplomasi multilateral yang turut
melibatkan negara anggota ASEAN yang turut juga terkena pengklaiman wilayah
yang dilakukan China. Dari segala upaya yang telah dilakukan, hingga saat ini
belum ada penyelesaian yang memuaskan sehingga kasus ini masih belum
terselesaikan.
DAFTAR PUSTAKA
Ø BOOKS
o Djelantik, Sukawarsini. 2008. Diplomasi antara Teori
dan Praktik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
o
Wibisono, Makarim. Tantangan
Diplomasi Indonesia. Jakarta : PustakaLP3ES, 2006.
o Roy,
S.L. 1995. Diplomasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
o White,
Brian. 2001. Diplomacy, dalam Baylis, John, dan Steve Smith. The Globalization
of World.
o Freeman
Jr, Chas W. 2010. The Diplomat’s Dictinory. Washington D.C: Institute of Peace
Press.
o Ward,
Hugh. “Rational Choice” dalam Marsh, David dan Gerry Stokker ed. Theory and
Methods in Political Science. Palgrave McMillan. 2002
o Peter
Abell, 1991 hal: 185-186
o BPPK
KMENLU – Pusat Studi Sosial Asian Tenggara, 2015, Indonesia dan Second Track
Diplomacy Penyelesaian Sengketa Laut Cina Selatan : Evaluasi
Peran dan Langkah Kedepan. Jakarta:Perpustakaan Deplu.
Ø JURNAL&WEBSITE
·
Akmal dan
Pazli,”Strategi Indonesia Menjaga Keamanan Wilayah Perbatasan Terkait Konflik
Laut Cina Selatan pada tahun 2009-2014,Journal of International Society, Vol.3,
No 1, 2016, hal 2
·
Ariffien, Nurul Fitri
Zainia, Upaya Diplomatik Indonesia Terhadap China dalam Menyelesaikan Potensi
Konflik Landas Kontinen Natuna di Laut Cina
Selatan. eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2 (3): 831-842. 2014, http://ejournal.hi.fisipunmul.ac.id.
Komentar
Posting Komentar