MAKALAH SEJARAH DIPLOMASI INDONESIA “KETERLIBATAN INDONESIA DI WTO”
Dosen : Rachmayani, M.Si
kelompok 3 :
1. Adelia Sekar Mahandharu 2016230097
2. Falsya Ashiva Riza 2016230117
3. Indah Sefty Wulantari 2016230112
4. Patricia Benedicta Watania 2016230077
5. Rizkyanti Mawaddah
INSTITUT ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK (IISIP)
JAKARTA
JAKARTA
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami
ucapkan syukur atas kehadirat-Nya yang telah melimpahkan Rahmat-Nya dan tidak lupa
kami ucapkan terimakasih kepada teman- teman kelompok tiga yang telah ikut serta
menyusun makalah ini hingga selesai, yang diharapkan ada manfaatnya dalam membantu
memberikan informasi pemahaman mengenai “Keterlibatan Indonesia di WTO”.
Makalah ini telah kami susun dengan sebaik mungkin agar dapat dengan mudah
dipahami dan dipelajari. Sebagaimana telah dipaparkan pada paragraf sebelumnya,
diharapkan makalah ini dapat memperbaiki dan meluruskan kerancuan serta kesalahan info
mengenai “Keterlibatan Indonesia di WTO” yang ada dalam pengajaran materi Sejarah
Diplomasi Indonesia.
Terlepas dari harapan diatas, kami menyadari keterbatasan pengetahuan serta media
informasi sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan baik dari segi informasi, susunan
kata dan kalimat ataupun juga tata bahasanya. Terima kasih untuk semua pihak yang ikut
berkontribusi dan berpartisipasi dalam menyelesaikan makalah ini.
Wassalammualaikum Wr. Wb.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masalah
Perdagangan merupakan salah satu kegiatan ekonomi antara satu negara dengan
negara lain berdasarkan kesepakatan bersama tanpa adanya paksaan, yang bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan dan kepentingan nasionalnya. Perbedaan komoditas yang dihasilkan
dari suatu negara menjadikan terjalinnya kerja sama perdagangan, mengingat banyak nya
kebutuhan yang harus dipenuhi tetapi ada beberapa komoditas yang tidak dimiliki oleh
negara tersebut. Kerja sama perdagangan ini akhirnya menimbulkan adanya hubungan
diplomasi. Perdagangan bebas (free trade) adalah salah satu jenis perdagangan yang
seringkali dilakukan dalam hubungan internasional.
Dalam pengimplementasiannya, perdagangan antara dua negara seringkali merugikan
negara yang lemah. Tingkat harga lebih banyak ditentukan oleh negara maju yang disebabkan
karena ketergantungan negara berkembang relatif lebih besar kepada negara maju. Oleh
sebab itu, negara maju lah yang akan mendominasi perdagangan internasional. Di era
globalisasi yang semakin bebas ini maka dibutuhkan sebuah institusi untuk mengatur
perdagangan internasional agar tetap berjalan dengan baik dan minim dari konflik
perdagangan.
Dengan ini, General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) hadir sebagai
organisasi multilateral dalam aspek perdagangan internasional mengenai persetujuan umum
tentang tarif dan perdagangan yang kemudian disempurnakan dengan dibentuknya World
Trade Organization (WTO) yang dibentuk sebagai organisasi intenasional yang mengatur
arus perdagangan, membuat kebijakan perdagangan sekaligus menjadi wadah bagi negaranegara
anggotanya untuk menyelesaikan permasalahan perdagangan.
Dalam makalah ini, akan diangkat studi kasus mengenai keterlibatan Indonesia di
dalam organisasi internasional khususnya di World Trade Organization (WTO). WTO sendiri
sebagai organisasi sering menghadapi berbagai tantangan seperti banyak nya kasus
perdagangan atau pengaduan dari salah satu negara apabila dalam pengimplementasiannya
negara tersebut melanggar prinsip yang ada. Pasar sangat dibutuhkan dalam mendukung
kegiatan perekonomian global seperti halnya pasar eropa dimana banyak berbagai negara yang ingin masuk bahkan berjualan di pasar tersebut demi meraih keuntungan yang maksimal
serta menjadikan ajang promosi produknya dikenal dibelahan dunia manapun.
Amerika Serikat (AS) yang dahulu adalah negara pemenang Perang Dunia 1 serta
presidennya yang ke-28 bernama Woodrow Wilson pencetus Liga Bangsa-Bangsa (LBB)
dengan “14 Point Wilson” nya yang terkenal. Kegiatan ekonomi dan politik di negara AS
tidak luput mendapat perhatian dari banyak negara. Dalam praktiknya, Indonesia pun tertarik
untuk melakukan kegiatan ekonomi di negara tersebut yang nantinya berefek pada politik AS.
Indonesia ingin melakukan perdagangan rokok kretek ke AS. Akan tetapi, perdagangan ini
justru terhambat dan menimbulkan persengketaan. Perdagangan ini pun dianggap melanggar
perundang- undangan di AS.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas dalam
bentuk pertanyaan-pertanyaan adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana keterlibatan Indonesia di WTO dalam kasus ekspor rokok kretek dengan
Amerika Serikat (AS)?
2. Bagaimana peran serta Organisasi Internasional khususnya WTO dalam
menyelesaikan konflik kedua negara?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Ditujukan sebagai pemenuhan tugas mata kuliah Sejarah Diplomasi Indonesia.
2. Menumbuhkan rasa cinta tanah air (nasionalisme).
3. Agar kita dapat meengetahui peran Indonesia di dalam Organisasi Internasional.
4. Dapat menganalisis kasus menggunakan perspektif HI yang ada.
1.4 Manfaat Penulisan
Manfaat yang akan didapat dari penulisan makalah yaitu :
1. Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dibidang Sejarah Diplomasi Indonesia.
2. Memberikan informasi kepada para pembaca mengenai kasus ekspor rokok Indonesia
dengan Amerika Serikat (AS).
3. Sebagai bahan acuan bagi masyarakat khususnya kepada mahasiswa.
4. Sebagai bahan referensi dalam penulisan makalah selanjutnya.
BAB II
TEORI DAN KONSEP
2.1 TEORI
2.1.1 Liberalisme
Asal usul pemikiran liberal menjadi aliran ‘politik’ dan ‘ekonomi’. Liberalisme
ekonomi berasal dari tradisi intelektual yang jika diurut berasal dari karya Adam Smith dan
David Ricardo. Asumsi-asumsi kunci liberalisme klasik abad XIX adalah bahwa, pada
saatnya nanti, keuntungan akan diperoleh oleh semua pihak jika pasar dibiarkan bekerja
dengan bebas tanpa intervensi negara dan jika negara-negara mampu melakukan perdagangan
secara terbuka dan bebas dengan negara-negara lain. Seorang liberalis seperti Adam Smith,
menerima dengan baik bahwa pasar tidak perlu sepenuhnya memenuhi begitu banyak
kebutuhan ‘barang-barang kebutuhan publik’ dan bahwa pemerintah perlu menyediakan
barang-barang tersebut. Negara juga diperlukan karena mereka memberikan kerangka
peraturan sebuah sistem legal untuk, misalnya, menegakkan hukum terhadap korupsi dan
melindungi persaingan tidak sehat. Menurut kaum liberal, keuntungan dari pasar bebas tidak hanya terbatas pada
perekonomian domestik. Perekonomian pasar bebas menghasilkan suatu kebutuhan bagi
‘input’ seperti bahan-bahan mentah ke dalam proses produksi dan sejumlah bahan-bahan
tersebut harus diimpor dari luar negeri. Perusahaan-perusahaan juga secara terus-menerus
mencari pasar-pasar baru bagi barang dan jasa mereka. Dengan cara ini, perdagangan antar
negara terdorong. Menurut kaum liberal, keuntungan perdagangan itu sangatlah besar. Hal
ini, tentu saja merupakan pendapat yang sangat bertentangan dengan proteksionisme yang
menurut perspektif liberal merupakan konsekuensi tindakan negara dalam jangka pendek dan
konsepsi ‘kepentingan nasional’ yang buruk. Dengan membiarkan berjalan sendiri,
perdagangan akan terbukti bermanfaat dengan, misalnya, menimbulkan interdependensi di antara negara-negara dan menciptakan kesejahteraan, yang keduanya akan mampu
mengurangi kemungkinan timbulnya konflik. Pada kenyataan nya, tatanan ekonomi yang muncul setelah Perang Dunia II dalam
perekonomian di Barat setidaknya memperlihatkan bahwa negara memainkan peran yang
lebih besar dalam firma-firma, dan memberikan subsidi kesejahteraan bagi para warga
negaranya atau yang dikenal sebagai ‘negara sejahtera’.
2.2 KONSEP
2.2.1 Diplomasi
Kata "diplomasi" berasal dari kata Yunani 'diploun' yang berarti "melipat". Unsur
pokok dari diplomasi itu sendiri adalah negosasi. Negosiasi sendiri dilaksanakan bagi kasuskasus
yang menonjol dan mempunyai tujuan diplomatik jangka panjang. Dalam mengkaji
definisi dari diplomasi terdapat beberapa hal yang tampak jelas. Seperti yang sudah
disebutkan diatas diplomasi memiliki unsur pokok yaitu negosiasi, negosiasi dilakukan untuk
mengedepankan kepentingan negara. Tindakan-tindakan diplomatik diambil dan dilakukan
untuk menjaga dan memajukan kepentingan nasional sebisa mungkin dengan cara damai.
Tujuan utama diplomasi sendiri adalah untuk memelihara perdamaian tanpa merusak
kepentingan nasional. Namun, apabila cara damai gagal maka diperbolehkan untuk
menggunakan kekuatan seperti ancaman atau bahkan perang.
Diplomasi erat kaitannya dengan tujuan politik suatu negara, dan diplomasi modern
erat hubungannya dengan sistem negara serta diplomasi tak dapat dipisahkan dari perwakilan
negara. Maka dapat disimpulkan definisi dari diplomasi adalah, seni mengedepankan
kepentingan negara melalui negosiasi dengan cara-cara damai dalam berhubungan dengan
negara lain. Tetapi apabila negosiasi gagal, diplomasi menggunakan kekuatan dan ancaman
dapat digunakan untuk mencapai tujuan.
Pelaksanaan diplomasi memiliki beberapa tujuan-tujuan vital. Adapun tujuan-tujuan
vital tersebut antara lain, sebagai upaya untuk melindungi warga negara sendiri di negara
lain, mengembangkan budaya dan ideologi, memperoleh dan menjaga persahabatan dengan
negara lain, meningkatkan prestise nasional, memajukan ekonomi, perdagangan dan
kepentingan komersial. Secara luas tujuan ini dapat dibagi menjadi empat bidang yaitu
politik, budaya, ideologi dan ekonomi.
Salah satu tujuan dari pelaksanaan diplomasi adalah bidang ekonomi. "Sebagian besar
para pengamat kebijakan berpendapat bahwa tujuan paling utama setiap kebijakan luar negeri
adalah untuk menjamin keutuhan kedaulata dan kemeedekaan negara (home territory) serta
menjaga sistem politik, sosial dan ekonomi yang berlaku" . Dengan menggunakan metodemetode
diplomatik dapat menaikkan bargaining power (kekuatan tawar menawar) dan
memperoleh keuntungan-keuntungan yang lebih besar.
Dalam era modern, tujuan sebuah negara tidaklah seluruhnya disandarkan pada
pertimbangan politis atau strategis secara terus menerus hingga pertimbangan-pertimbangan
lain menjadi nomor dua (subordinated). Tujuan utama non-politis saat ini adalah ekonomi
dan perdagangan. Kemajuan pesat dalam bidang komunikasi dan saling keterkaitan antara
negara-negara yang berbeda telah memberi fasilitas yang sangat besar bagi perdagangan
internasional. Setiap negara berusaha untuk memapankan suatu pola perdagangan yang cocok
bagi perekonomiannya. Negosiasi diplomatik dilakukan untuk meningkatkan dan melayani
kepentingan dagang dan ekonomi, bahkan diplomasi juga dapat digunakan sebagai suatu alat
atau fasilitas untuk memperbaiki kondisi perdagangan dan ekonomi suatu negara seperti
dalam hal penyelesaian sengketa dagang. Diplomasi merupakan salah satu instrumen dalam
tatanan internasional yang damai.
2.2.2 Perdagangan Internasional
Teori perdagangan internasional menunjukan bahwa negara – negara mendapakan
tingkatan keberlangsungan yang lebih tinggi dengan melakukan spesialisasi yang memliki
keunggulan komperatif dan impor produk yang tidak memiliki keunggulan komperatif. Perdangangan internasional terjadi karena perbedaan harga yang relatif diantara negaranegara.
Perbedaan ini timbul akibat perbedaan biaya produksi yang merupakan hasil dari
perbedaan dukungan faktor produksi, tingkatan teknologi yang menetukan intensintas faktor
yang digunakan, dalam efisien dengan intensitas faktor yang dimanfaatkan dan kurs valuta
asing.
Dalam perdagangan internasional, sebuah negara bisa menggunakan hambatan untuk
memperlambat laju bagi industri asing yang ingin berekspansi ke pasar mereka. Hambatan
tersebut disebut hambatan tarif dan hambatan non-tarif. Hambatan tarif, merupakan hambatan
yang dikenakan oleh negara untuk beberapa produk tertentu yang memasuki negaranya
dengan mengenakan biaya tambahan bagi produk tersebut agar dapat masuk ke negara
tersebut, tarif ini biasanya disebut sebagai bea cukai atau bea masuk. Sedangkan hambatan
non-tarif merupakan hambatan yang tidak seperti hambatan tarif yang langsung memberikan
tarif tambahan bagi produk dari negara lain, hambatan non-tarif yang terdiri dari beberapa
macam hambatan yaitu: Proteksionisme, Kuota, Standarisasi, dan Dumping.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. WTO (World Trade Organization)
World Trade Organization adalah satu-satunya organisasi internasional global
yang dirancang untuk menetapkan dan membantu menjalankan peraturan perdagangan
antarnegara. Sejak permulaannya pada tahun 1995 tujuan WTO adalah untuk mengurangi
atau menghilangkan penghalang dan pembatas perdagangan di seluruh dunia dan untuk
membantu para produsen barang dan jasa, eksportir dan importer melakukan bisnis mereka
dengan biaya yang lebih rendah. WTO adalah aturan dasar, organisasi yang digerakkan oleh
anggota, dengan keputusan yang dinegosiasikan oleh semua pemerintahan anggota.
Perjanjian WTO membatasi kemungkinan tindakan pemerintah yang diambil dalam
hubungan perdagangan mereka (misalnya, dalam menetapkan tarif dan penawaran subsidi
untuk produsen domestik). Dalam istilah teori kelembagaan, perjanjian WTO menetapkan
aturan permainan perdagangan. Peraturan-peraturan itu mempengaruhi perusahaan dengan
dua cara : langsung, dalam transaksi perdagangan mereka, dan ditingkat yang lebih luas,
yakni ketika mereka menyederhanakan lingkungan perdagangan.
Dalam usaha membangun ketentuan yang adil untuk perdagangan, WTO menjalankan
tiga tipe aktifitas: menegosiasikan perjanjian-perjanjian pokok yang ditandatangani dan
disahkan oleh seluruh anggotanya; membentuk peraturan perdagangan; dan membentuk
peraturan perdagangan; dan membantu menyelesaikan sengketa perdagangan. Saat ini WTO
memiliki 151 anggota dan semua nya menandatangani setiap kesepakatan WTO.
3.1.1 Sejarah WTO
World Trade Organization (WTO) adalah suatu badan organisasi liberalisasi
perdagangan yang menjadi tempat para anggota negara yang terlibat dalam organisasi
tersebut untuk bertemu dan menyelesaikan permasalahan ekonomi dan perdagangan dunia.
Sistem perdagangan multilateral WTO diatur melalui suatu persetujuan yang berisi aturanaturan
dasar perdagangan internasional sebagai hasil perundingan yang telah ditandatangani oleh negara-negara anggota. Persetujuan tersebut merupakan kontrak antar negara anggota
yang mengikat pemerintah untuk mematuhinya dalam pelaksanaan kebijakan perdagangan di
negaranya masing-masing. Walaupun ditandatangani oleh pemerintah, tujuan utamanya
adalah untuk membantu para produsen barang dan jasa, eksportir dan importer dalam
kegiatan perdagangan.
Setelah Perang Dunia II, mayarakat internasional perlunya pembentukan suatu
organisasi internasional di bidang perdagangan. Tujuannya antara lain adalah sebagai forum
guna membahas dan mengatur masalah perdagangan dan ketenagakerjaan internasional. WTO (World Trade Organization) didirikan pada tanggal 1 januari 1995 dan perjanjian WTO
ini ditandatangani pada 15 April 1994 di Marakesh, Maroko.
Sesuai dengan Piagam Havana yang diselanggarakkan pada tanggal 21 November
1947- 24 Maret 1948 pada artikel 103 yang mengatur mengenai masalah kekuatan mengikat
piagam dan masalah keanggotaan maka International Trade Organization (ITO) merupakan
organisasi yang tidak memiliki kekuatan mengikat karena sampai batas tenggang waktu 1
tahun setelah adanya piagam tersebut, tidak ada negara- negara yang meratifikasi Piagam
Havana sehingga secara otomatis Piagam Havana tidak memiliki kekuatan mengikat. Karena
dorongan negara - negara yang membutuhkan mekanisme mengenai implementasi dan
perlindungan tarif yang kemudian terjadilah negosiasi pada tahun 1947 yang menyepakati
adanya General Agreement on Tariffs and Trade (GATT). Pada periode tahun 1947- 1986
banyak perjanjian yang dilaksanakan dengan tujuan hubungan perdagangan internasional.
Pada tahun- tahun berikutnya GATT melaksanakan putaran- putaran untuk membuat suatu
kebijakan terkait perdagangan internasional. Selama tahun 1947- 1986 terdapat 8 putaran
yang diantaranya pada Putaran Kennedy menghasilkan perjanjian multilateraal anti- dumping
dan pada Putaran Uruguay yang diselenggarakan di Maroko pada tahun 1986 maka
tercetuslah Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). ITO merupakan cikal bakal berdirinya
WTO, karena meskipun secara hukum ITO tidak pernah ada dan Perjanjian Havana juga
tidak memiliki kekuatan yang mengikat. Namun karena terjadinya kekosongan hukum selama
ITO belum memiliki aturan-aturan yang mengatur, sehingga negara - negara sepakat untuk
mengisi kekosongan hukum tersebut dengan membuat perjanjan GATT, dimana saat itu tarif
merupakan urusan mendesak untuk segera diatur.
Negara pertama yang mengusulkan secara formal pembentukan suatu badan
perdagangan dunia yaitu World Trade Organization (WTO) adalah pemerintah Kanada, pada
bulan Mei 1990. Kemudian usulan tersebut disambut positif oleh Uni Eropa. Namun Uni
Eropa mengusulkan agar istilah ‘World’ diganti dengan ‘Multilateral’ atau MTO
(Multilateral Trade Organization). Akhirnya pada pertemuan bulan Desember 1993, tercapai
kesepakatan terhadap usulan pembentukan organisasi perdagangan internasional, setelah
melakukan banyak perundingan. Akan tetapi nama organisasi perdagangan internasional
tersebut diubah kembali menjadi WTO. Pada April 1994 di Maroko, usulan ini disahkan
menjadi persetujuan akhir dan telah ditandatangani. Perjanjian akhir ini memuat tiga pokok
kesepakatan penting. Kesepakatan pertama memuat Final Act, yaitu kesepakatan mengenai
dirampungkannya perundingan perdagangan multilateral Putaran Uruguay. Kesepakatan
kedua, memuat Agreement Establishing the World Trade Organization beserta empat pokok
lampiran (annex). Lampiran pertama terdiri dari tiga bagian lampiran, yaitu lampiran 1A:
Agreement on Trade in Goods; lampiran 1B: General Agreement on Trade in Services;
lampiran 1C: Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights Including
Trade in Counterfeit Goods. Lampiran 2: Understanding on Rules and Procedures Governing
the Settlement of Disputes; Lampiran 3: Trade Policy Review Mechanism; dan Lampiran 4:
Plurateral Trade Agreements. Kesepakatan ketiga memuat Ministerial Decisions and
Declarations yang memuat keputusan dan deklarasi mengenai dua belas subjek atau isu
perdagangan. ara penandatanganan perjanjian dengan tegas mencantumkan dalam Agreement
Establishing The World Trade Organization akan niat mereka untuk mendirikan sebuah
organisasi perdagangan internasional,bernama WTO yang memiliki legal personality12
,
para pejabatnya serta utusan negara anggota akan memiliki hak-hak istimewa, serta
kekebalan sebagai hak-hak, dan kekebalan serupa.13 Perlu pula diketahui bahwa keberadaan
WTO merupakan pengganti dari GATT sebagai sebuah badan organisasi, namun GATT
masih berada di dalam WTO dalam bidang trade in goods.
3.1.2 Tujuan dan Fungsi WTO
Berikut ini akan dijabarkan fungsi dan tujuan didirikannya WTO :
Tujuan
World Trade Organization (WTO) sebagai organisasi internasional yang didirikan
oleh negara anggotanya dengan maksud dan tujuan bersama sebagaimana dicantumkan dalam
mukadimah Agreement Establishing the World Trade Organization, sebagai berikut:
“Bahwa hubungan-hubungan perdagangan dan kegiatan ekonomi negara-negara anggota
harus dilaksanakan dengan maksud untuk meningkatkan standar hidup, menjamin lapangan
kerja sepenuhnya, peningkatan penghasilan nyata, memperluas produksi dan perdagangan
barang dan jasa, dengan penggunaan optimal sumber-sumber daya dunia sesuai dengan
tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Juga mengusahakan
perlindungan lingkungan hidup dan meningkatkan cara-cara pelaksanaannya dengan caracara
yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing negara yang berada pada tingkat
pembangunan ekonomi yang berbeda. Dalam mengejar tujuan-tujuan ini diakui adanya
suatu kebutuhan akan langkah-langkah positif untuk menjamin ada supaya negara
berkembang, teristimewa,yang paling terbelakang, mendapat bagian dari pertumbuhan
perdagangan internasional sesuai dengan kebutuhan pembangunan ekonominya.” untuk mencapai tujuan tersebut maka diadakanlah suatu pengaturan perdagangan
internasional yang saling menguntungkan satu sama lain antar negara. Fungsi
1. Mengelola perjanjian perdagangan WTO.
2. Forum untuk negosiasi perdagangan.
3. Menangani perselisihan perdagangan.
4. Memonitor kebijakan perdagangan nasional.
5. Bantuan teknis dan pelatihan untuk negara-negara berkembang.
6. Kerjasama dengan organisasi internasional lainnya.
3.1.3 Prinsip – Prinsip Dasar WTO
Perjanjian WTO bersifat panjang dan rumit, mereka mencakup berbagai kegiatan
antara lain menangani pertanian, tekstil dan pakaian, perbankan, telekomunikasi, pembelian
pemerintah, standar industri dan keamanan produk, peraturan sanitasi makanan, kekayaan
intelektual dan masih banyak lagi. Prinsip-prinsip WTO merupakan dasar dari sistem
perdagangan multilareral.
Secara singkat prinsip-prinsip dasar perdagangan dalam WTO adalah:
1. Perdagangan tanpa diskriminasi / Most-Favored-Nation (MFN)
Memperlakukan orang lain setara berdasarkan perjanjian WTO, negara biasanya
tidak membedakan mitra dagang mereka. Negara harus memperlakukan hal yang
sama untuk anggota WTO lainnya. Keinginan tarif impor suatu negara harus
diberikan pula pada produk impor mitra dagang lain serta harus melakukan non
diskriminasi harga.
2. Perlakuan National (National Treatment)
Negara wajib memberi perlakuan sama atas barang impor dan barang lokal
setidaknya setelah barang-barang asing masuk ke pasar. Hal yang sama berlaku
untuk layanan asing dan domestik, untuk merk dagang asing, lokal, hak cipta dan
hak paten.
3. The National Treatment Obligation
Dilarang mendiskriminasi pajak dan produk impor yang telah masuk serta produk
domestik sejenis harus mendapatkan perlakuan sama. Berlaku pula pada sektor
jasa.
4. Perdagangan bebas: secara bertahap, melalui negosiasi
Menurunkan hambatan perdagangan. Hambatan-hambatan tersebut meliputi kuota
ekspor-impor dan bea cukai (atau tarif), termasuk urusan syarat perizinan. Tetapi
terdapat beberapa pengecualian antara lain: jika negara sedang melakukan
stabilitasi produk pertanian, negara yang sedang berupaya mencegah
berkurangnya devisa, dalam alokasi kuota ekspor-impor ditentukan berdasarkan
12
peran negara. Namun pada tahun 1980an, negosiasi telah diperluas untuk
mencakup hambatan non tarif dan ke area baru seperti layanan dan kekayaan
intelektual. Perjanjian WTO memungkinkan negara-negara untuk
memperkenalkan perubahan secara bertahap melalui "liberalisasi progresif".
Negara berkembang biasanya diberi waktu lebih panjang untuk memenuhi
kewajibannya.
5. Prediktabilitas: melalui ikatan dan transparansi
Negara diwajibkan bersikap terbuka terhadap kebijakan-kebijakan
perdagangannya.
3.2 Penyelesaian Sengketa dalam WTO
Sistem penyelesaian sengketa dalam WTO terdapat dalam WTO Dispute of Settlement
Understanding (DSU). Sejak WTO didirikan pada tahun 1995, lebih dari 380 sengketa telah
dibawa ke forum penyelesaian Sengketa WTO. Beberapa dari sengketa tersebut sangat
bernuansa politis. Perlu ditambahkan bahwa anggota negara-negara berkembang telah sering
menggunakan sistem ini dalam menyelesaikan sengketa dagang mereka, dan seringkali juga
mereka menang dalam sengketa dengan anggota negara-negara maju.
Menurut Pasal 3.7 DSU, sasaran dan tujuan utama sistem penyelesaian sengketa
WTO adalah menjamin penyelesaian yang positif bagi suatu sengketa. Sistem ini sangat
cenderung menyelesaikan sengketa melalui konsultasi daripada melalui proses pengadilan.
Hanya jika proses konsultasi gagal, suatu sengketa dibawa ke panel penyelesaian sengketa
WTO. Berdasarkan Pasal 3.2 DSU, sistem penyelesaian sengketa WTO bertujuan untuk
memelihara hak dan kewajiban negara anggotanya berdasarkan ketentuan-ketentuan yang
terdapat di dalam lampiran-lampiran Persetujuan WTO (selanjutnya disebut: covered
agreements), dan sekaligus menjelaskan ketentuan-ketentuan tersebut. Penjelasan-penjelasan
ini harus dilakukan sejalan dengan kaidah-kaidah penafsiran hukum internasional publik,
yang oleh Appellate Body diinterpretasi mengacu kepada kaidah-kaidah penafsiran yang
terdapat dalam Pasal 31 dan 32 Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian Internasional (atau
Vienna Convention on the Law of Treaties). DSU mengingatkan, pada pasal 3.2 dan 19.2,
terhadap tindakan judicial activism dengan menegaskan dua kali bahwa penyelesaian
13
sengketa WTO tidak boleh menambah atau menghapus hak dan kewajiban anggota-anggota
WTO.
Juridiksi dan Akses
Cakupan juridiksi sistem penyelesaian sengketa WTO sangat luas. Cakupannya yaitu
pada tema sengketa yang muncul dari semua perjanjian multilateral WTO (kecuali
Mekanisme Tinjauan atas Kebijakan Perdagangan). Sengketa bisa muncul dengan yang
berkaitan dengan bea masuk dan perlindungan atas hak cipta, perdagangan jasa dan tindakan
phtosanitary, bea masuk anti-dumping dan tindakan untuk melindungi kesehatan masyarakat.
Sifat sistem penyelesaian sengketa WTO adalah wajib, ekslusif dan kontensius. Dalam Pasal
6.2 DSU, anggota WTO tidak mempunyai pilihan selain menerima juridiksi sistem ketika
digugat oleh anggota WTO lainnya dalam suatu sengketa. Tidak seperti situasi di Mahkamah
Pengadilan Internasional, pihak yang digugat tidak perlu menerima juridiksi dari sistem
penyelesaian sengketa WTO untuk menyelesaikan suatu sengketa tersebut. Menurut Pasal 23
DSU, anggota WTO yang ingin membawa kasus sengketa yang menyangkut ketentuan WTO
hanya boleh membawanya ke sistem penyelasaian sengketa WTO.
Sengketa WTO tidak
dapat dibawa ke Mahkamah Pengadian Internasional.
Akses ke sistem penyelesaian sengketa WTO hanya terbatas untuk negara anggotanya
saja. Non-anggota, organisasi internasional, perusahan, organisasi masyarakat dan individu
tidak dapat membawa sengketa ke sistem penyelesaian sengketa WTO. Namun faktanya;
banyak sengketa yang dibawa oleh negara anggota adalah atas dorongan dari industri atau
perusahaan yang dirugikan.
Organ Penyelesaian Sengketa
Di antara lembaga yang terlibat dalam penyelesaian sengketa WTO, dapat dibedakan
antara lembaga politik, Dewan Penyelesaian Sengketa (DSB), dan 2 lembaga independen
yang berpola pengadilan, panel penyelesaian sengketa yang ad hoc dan Appellate Body
(Badan Banding) yang bersifat permanen. Mengacu ke bagian 7.2, DSB merupakan Dewan
14
yang terdiri dari semua negara anggota WTO dan menyelenggarakan sistem penyelesaian
sengketa.
Menurut Pasal 2.1 DSU, DSB berwenang untuk:
1) Membentuk panel,
2) Mengesahkan laporan panel dan Appelleate Body (rekomendasi dan keputusan
laporan tersebut adalah sah dan mengikat),
3) Mengawasi pelaksanaan dari rekomendasi dan keputusan yang termuat di
dalam laporan panel dan Appelleate Body,
4) Memberikan kewenangan untuk mengehetikan konsensi dan kewajjban yang
terdapat ada covered agreement (atau melakukan retaliasi), jika negara
anggota WTO yang terlibat tidak melaksanakan rekomendasi dan keputusan
yang sah.
Dapat disimpulkan bahwa walaupun penyelesaian sengketa dilakukan oleh panel dan
Appelleate Body, DSB adalah organ yang mengendalikan proses secara keseluruhan. DSB
mengambil keputusan-keputusan, seperti keputusan untuk membentuk panel, pengesahan
laporan panel dan Appelleate Body, dan pemberian kewenangan untuk menghentikan
konsensi dan kewajiban lainnya kecuali jika ada konsensus dari negara-negara anggota untuk
tidak membentuk panel. Dengan kata lain keputusan yang diambil oleh DSB bagi hal-hal
tersebut dibuat berlaku secara otomatis untuk tujuan praktis.
Panel
Panel adalah dewan ad hoc yang dibentuk dengan tujuan untuk menimbang dan memutuskan
suatu sengketa tertentu dan dibubarkan ketika mereka telah menyelesaikan tugasnya. Panel
dibentuk DSB atas permintaan penggugat. Setelah panel dibentuk akan ditetapakan anggota
panel tersebut. Namun jika persetujuan anggota panel tidak terbentuk dalam kurun waktu 20
tahun maka penggugat dapat meminta Direktur Jendral WTO untuk menunjuk para panelis.
Pada umumnya, anggota dewan terdiri dari tiga indvidu yang berkualifikasi, baik dari pihak
15
pemerintah atau non pemerintah (seperti diplomat, akademisi atau pengacara). Aturannya,
anggota panel bukan warga negara dari para pihak yang bersengketa.
Permintaan untuk membentuk panel harus secara seksama mengidentifikasi
permasalahan dan secara jelas menggambarkan tuntutan atas adanya pelanggaran terhadap
peraturan WTO.
Tindakan atau tuntutan termasuk dalam mandat panel, hanya apabila
tindakan atau tuntutan tersebut teridentifikasi di dalam permintaan pembentukan panel.
Tindakan atau tuntutan yang tidak terdapat dalam pembentukan panel, tidaklah termasuk
dalam juridiksi panel. Fungsi panel adalah membuat penilaian yang obyektif terhadap kasus
yang dihadapinya, termasuk terhadap fakta-fakta kasus serta penerapan dari kesesuaiannya
dengan covered agreements yang terkait.
Tinjauan Banding
Suatu pihak yang bersengketa dapat memulai prosedur tinjauan banding terhadap
laporan panel dihadapkan Appellate Body melalui pemberitahuan banding. Appellate Body
merupakan pengadilan internasional yang permanen yang beranggotakan 7 orang independen
yang reputasinya diakui dalam bidang hukum, perdagangan intenasional dan pokok persoalan
yang terdapat dalam covered agreements. Para anggotanya ditunjuk oleh DSB untuk bertugas
dalam kurun waktu 4 tahun dan hanya dapat diperbaharui satu kali. Appellate Body meneliti
dan memutuskan upaya banding dalam kelompok 3 orang dari 7 anggota tetapnya. Upaya
banding terbatas kepada masalah hukum yang terdapat dalam laporan panel dan interpretasi
hukum yang dikembangkan oleh panel. Ketika panel atau Appellate Body menemukan
tindakan yang tidak konsisten dengan Persetujuan WTO, dia akan merekomendasikan
anggota yang terkait untuk menyesuaikan tindakan tersebut dengan Persetujuan WTO. Ketika
laporan panel atau Appellate Body memuat rekomendasi yang telah disahkan oleh DSU,
maka rekomendasi tersebut mengikat secara hukum. Prosedur Penyelesaian Sengketa
Proses penyelesaian sengketa WTO terdiri dari empat langkah utama:
1) Konsultasi wajib antara pihak yang bersengketa untuk mencapai penyelesaian yang
disetujui oleh para pihak,
2) Sidang panel,
3) Tinjauan banding, dan
4) Pelaksanaan dan penyelenggaraan rekomendasi dan ketentuan yang disahkan oleh
DSB.
Karakteristik acara penyelesaian sengketa WTO adalah:
1) Bersifat rahasia (rapat panel dan sidang Appellate Body hampir selalu tertutup untuk
umum), dan
2) Batas waktu yang sangat ketat bagi setiap langkah di proses persidangan.
Negara Berkembang dan Penyelesaian Sengketa
Kurangnya pengetahuan dan pengalaman dalam bidang hukum WTO merupakan
halangan yang besar bagi negara berkembang dalam menggunakan sistem penyelesaian
sengketa WTO.
Mengetahui kesulitan-kesulitan yang dihadapi negara berkembang tersebut, DSU
memiliki beberapa ketentuan khusus bagi anggota negara berkembang. Contohnya: negara
berkembang sedang dalam kondisi tertentu, diberikan waktu lebih panjang dalam
memberikan argumen tertulis kepada panel, mereka berhak untuk disidang oleh panel dimana
salah satu anggotanya merupakan negara berkembang, dan Sekretariat WTO telah menunjuk
dua penasehat untuk membantu negara berkembang sampai pada tingkat tertentu.
Bantuan atau ketentuan-ketentuan khusus bagi negara berkembang tersebut diberikan
oleh The Advisory Centre on WTO Law (The ACWL). ACWL ini berpusat di Jenewa,
didirikan serta didanai oleh beberapa negara maju dan berkembang ACWL memberikan
bantuan dan konsulasi mengenai hukum WTO kepada negara-negara berkembang dengan
17
tarif lebih rendah, dan ACWL secara teratur mewakili negara berkembang dalam sidang
panel.
3.3 Keterlibatan Indonesia di WTO
Keterlibatan dan posisi Indonesia dalam proses perundingan DDA didasarkan pada
kepentingan nasional dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi dan pengentasan
kemiskinan. Dalam kaitan ini, untuk memperkuat posisi runding Indonesia bergabung dengan
beberapa koalisi. Koalisi-koalisi tersebut antara lain G-33, G-20, NAMA-11, yang kurang
lebih memiliki kepentingan yang sama. Indonesia terlibat aktif dalam kelompok-kelompok
tersebut dalam merumuskan posisi bersama yang mengedepankan pencapaian development
objectives dari DDA. Indonesia juga senantiasa terlibat aktif di isu-isu yang menjadi
kepentingan utama Indonesia, seperti pembangunan, kekayaan intelektual, lingkungan hidup,
dan pembentukan aturan WTO yang mengatur perdagangan multilateral.
Indonesia selaku koordinator G-33 juga terus melaksanakan komitmen dan peran
kepemimpinannya dengan mengadakan serangkaian pertemuan tingkat pejabat teknis dan
Duta Besar/Head of Delegations, Senior Official Meeting dan Pertemuan Tingkat Menteri;
baik secara rutin di Jenewa maupun di luar Jenewa. Hal ini bertujuan demi tercapainya
kesepakatan yang memberikan ruang bagi negara berkembang untuk melindungi petani kecil
dan miskin. Sebagai koalisi negara berkembang, G-33 tumbuh menjadi kelompok yang
memiliki pengaruh besar dalam perundingan pertanian; anggotanya saat ini bertambah
menjadi 46 negara.
Indonesia menilai bahwa apa yang sudah disepakati sampai saatini (draf modalitas
pertanian dan NAMA) merupakan basis yang kuat bagi perundingan selanjutnya yang sudah
mencapai tahap akhir. Dalam kaitan ini, adanya upaya untuk meninjau kembali kesepakatan
umum yang sudah dicapai diharapkan tidak akan mengubah keseimbangan yang ada dan
backtracking kemajuan yang sudah berhasil dicapai.
Negara-negar aanggota diharapkan bersikap pragmatis dan secepatnya menyelesaikan
Putaran Doha berdasarkan tingkat ambisi dan balance yang ada saat ini. Selanjutnya,
diharapkan negara-negara anggota ini membicarakan ambisi baru pasca-Doha, walaupun
adanya dorongan dari negara maju untuk meningkatkan level of ambition akses pasar Putaran
Doha melebihi Draf Modalitas tanggal 6 Desember 2008.
18
Indonesia memiliki kepentingan untuk tetap aktif mendorong komitmen WTO untuk
melanjutkan perundingan Doha. Indonesia terbuka atas cara-cara baru untuk menyelesaikan
perundingan dengan tetap mengedepankan prinsip single undertaking dan mengutamakan
pembangunan bagi negara berkembang dan LDCs.
3.4 Studi Kasus Ekspor Rokok Kretek Indonesia - Amerika Serikat (AS)
Sebelum masuk ke dalam pembahasan mengenai studi kasus ekspor rokok, ada yang
dinamakan Technical Barriers to Trade Agreement, perjanjian ini sangat penting yang
dimana menjadi landasan negara Indonesia untuk menggugat negara adidaya tersebut.
Berikut penjelasannya :
Technical Barriers to Trade Agreement
Technical Barriers to Trade (TBT) Agreement merupakan perjanjian yang muncul di
tahun 1980 dan merupakan hasil akhir dari GATT Tokyo Round of Trade Negotiation (1973-
1979) 16. Pada Awal munculnya, TBT merupakan perjanjian yang bersifat plurilateral, tidak
mengikat dan disesuaikan dengan kemampuan dari negara negara anggota GATT. Pasca
munculnya WTO menggantikan GATT pada 1994, beberapa perjanjian GATT yang telah ada
dirubah menjadi perjanjian multilateral, mengikat dan secara otomatis berlaku bagi negara
anggota sejak diberlakukannya keanggotaan di WTO.
TBT merupakan sebuah perjanjian yang terdapat di WTO yang digunakan untuk
memastikan bahwa suatu regulasi, standar, prosedur uji dan sertifikasi dari suatu negara tidak
menimbulkan suatu halangan bagi masuknya barang suatu negara ke negara tersebut. Negara
berhak menentukan standar ataupun regulasi yang kemudian bertujuan untuk melindungi
kesehatan makhluk hidup atau proteksi terhadap lingkungan serta keinginan konsumen.
Namun, negara harus memastikan bahwa kemudian regulasi tersebut tidak menimbulkan
hambatan perdagangan. Perjanjian ini kemudian menyarankan agar standar yang digunakan
sesuai dengan standar internasional dan perjanjian internasional yang ada.
Permasalahan yang kemudian muncul didalam perjanian TBT ini adalah regulasi
ataupun standar yang diberlakukan memiliki kecenderungan untuk proteksi pasar domestik
ataupun menimbulkan diskriminasi terhadap suatu barang yang bersifat like-products.
Permasalahan semacam ini dapat diselesaikan melalui salah satu badan WTO, Dispute
Settlement Body, yang memiliki mekanisme penyelesaian sengketa dagang dengan
menggunakan model panel. Namun, meskipun hasil dari penyelesaian DSB WTO mengikat
bagi negara anggotanya, WTO tetap tidak dapat memaksa suatu negara untuk merubah suatu
regulasi ataupun standar yang berlaku. Sehingga kemudian, negara yang memenangkan kasus
sengketa tersebut dapat mengajukan retaliasi perdagangan 17
.
Pasar produk tembakau sangat besar rokok di Amerika Serikat. Tercatat sekitar 20
sampai 26% dari jumlah seluruh penduduk dewasa Amerika Serikat adalah perokok,
sementara itu, sekitar 12 sampai 19% dari populasi anak-anak dan remaja Amerika Serikat
adalah perokok. Penjualan rokok di Amerika Serikat sekitar 360 juta unit pada 2007, 346 juta
bilion pada 2008, dan 317 juta bilion unit pada tahun 2009. Terkait dengan rokok menthol
dan rokok kretek, dari data yang dikumpulkan dari para pihak, diketahui bahwa mayoritas
para perokok di Amerika Serikat mengkonsumsi rokok menthol. Sedangkan untuk rokok
kretek sendiri, tidak memiliki pasar yang besar di Amerika Serikat.
Dari data yang ada, terlihat bahwa rokok kretek ini, hanya memiliki sekitar 0,1131%
dari keseluruhan pasar rokok Amerika Serikat, pada tahun 2000- 2009. Hampir seluruh rokok
kretek yang dijual di Amerika Serikat adalah produk impor. Tercatat nilai impor ini, sekitar
470 juta batang rokok dengan nilai 16,2 juta USD pada tahun 2007, sekitar 430 juta batang
rokok dengan nilai pada 14,8 juta USD pada tahun 2008, dan 220 juta batang rokok dengan
nilai 7,5 USD pada tahun 2009. Dan selama 3 tahun tersebut hampir semua rokok kretek
diimpor dari Indonesia. Sedangkan untuk rokok dengan rasa/aroma khas (characterized
flavours) lainnya, seperti yang disebutkan dalam section 907(a)(A)(1), tidak pernah ada bukti
mendukung bahwa rokok beraroma tersebut memiliki pasar yang cukup besar di Amerika
Serikat.
Sejarah dan Latar Belakang
Diberlakukannya Section 907 (a)(1)(A) Family Smoking
Prevention and Tobacco Control Act (FSPTCA)
Family Smoking Prevention and Tobacco Control Act (FSPTCA) resmi menjadi
undang-undang di Amerika Serikat, setelah ditandatangani oleh Presiden Obama pada
tanggal 22 Juni 2009, dan dinyatakan efektif mulai berlaku 3 bulan setelah penandatanganan
tersebut. FSPTCA ini adalah aturan-aturan terkait kebijakan tobacco control, yang telah lama
menjadi perhatian pemerintah Amerika Serikat. Sebelumnya, hingga abad ke 20, produksi,
pemasaran, dan penjualan produk tobacco tidak pernah diatur di Amerika Serikat.
Pada tahun 1930-an sampai 1940-an barulah dimulai penelitian yang mendalam
terhadap bahaya yang diakibatkan oleh rokok dan nikotin. Sampai akhirnya pada tahun 1957,
persatuan dokter bedah umum (The Surgeon General) di Amerika Serikat melaporkan
adanya hubungan kausalitas yang sangat jelas bahwa rokok sebagai penyebab penyakit
kanker paru- paru. Untuk menindaklanjuti hasil tersebut, pada tahun 1962, Presiden Amerika
Serikat pada saat itu, John F. Kennedy membentuk sebuah komite yang terdiri dari para ahli
untuk melakukan peninjauan ilmiah yang komperhensif. Pada tahun 1964 komite ini akhirnya
menyampaikan laporannya (Smoking and Health: Report of Advisory Committee to the
Surgeon General) mengenai risiko dan bahaya dari rokok dan nikotin. Dari peninjauan
komite tersebut ditemukan bahwa rokok bertanggung jawab terhadap 70% peningkatan angka
kematian terhadap perokok. Diperkirakan bahwa 9 dari 10 memiliki potensi mengidap kanker
paru- paru. Lebih lanjut rokok juga mengakibatkan kerusakan pada jantung yang kemudian
memicu penyakit kanker paru-paru, emphysema, dan penyakit jantung koroner.
Menindak lanjuti hasil laporan tersebut, akhirnya Amerika serikat untuk pertama
kalinya pada tahun 1965, memberlakukan peraturan perundang-undangannya yang mengatur
mengenai produk tembakau yakni The Federal Ciggarate Labelling and Advertising Act.
Undang- Undang inilah yang pertama kali mengatur bahwa iklan dan kemasan rokok harus
mencantumkan label peringatan bahaya rokok terhadap kesehatan. Bahaya rokok ini semakin
menjadi perhatian pemerintah Amerika Serikat. Pada tahun 1990-an, akhirnya FDA dan
Kongres melakukan investigasi terhadap industri tembakau Amerika Serikat khususnya
terkait upaya-upaya perusahaan rokok dalam menyamarkan bahaya rokok dan menargetkan
penjualan rokok terhadap anak-anak dan remaja.
21
Pada tahun 1994, Negara bagian Amerika Serikat yakni Missisipi dan Minnesota,
menempuh upaya litigasi terhadap perusahaan- perusahaan rokok terkait permintaan
pergantian rugi atas biaya yang telah dikeluarkan sistem kesehatan masyarakat dalam
menanggulangi dampak kesehatan akibat rokok. Upaya ini diikuti dengan sejumlah Negara
bagian lainnya yang juga menempuh upaya litigasi terhadap perusahaan- perusahaan rokok
tersebut. Untuk mengakhiri sengketa ini, akhirnya pada November 1998, para Attorney
General dan perwakilan Pemerintah Amerika Serikat lainnya menandatangani Master
Settlement Agreement (MSA) dengan 4 perusahaan rokok terbesar di Amerika Serikat, yakni
Brown and Williamson Tobacco Coorporation, Lorillard Tobacco Company, Philip Morris
Incorporated, RJ Reynolds Tobacco Company dan Commonwealth Tobacco Company
setelah 4 tahun bersengketa. MSA juga membuka kesempatan bagi perusahaan rokok lainnya
untuk turut menandatangani perjanjian. Sampai saat ini sudah ada 41 perusahaan rokok
Amerika Serikat yang menandatangani perjanjian ini.
MSA ini berisikan bahwa (1) menerbitkan setoran tahunan/annual payments kepada
pemerintah Negara Bagian dari 4 perusahaan tembakau yang menandatangani MSA ini (dan
perusahaan tembakau lainnya yang menandatangani MSA), yang digunakan sesuai dengan
kewenangan masing-masing Negara bagian. (2) melarang perusahaan rokok menjadi sponsor
atau iklan yang menargetkan remaja/anak muda. (3) membubarkan organisasi promosi
industry tembakau tertentu. Namun dalam MSA ini, masih belum diatur mengenai pelarangan
peredaran rokok beraroma tertentu (characterized flavours).
Pada tahun 2001 sampai dengan 2005, salah satu perusahaan rokok besar di Amerika
Serikat juga menanandatangani MSA, RJ Reynolds memulai memasarkan beberapa rokok
yang memiliki rasa atau aroma khusus (characterized flavours) seperti rokok beraroma
vanilla, coklat, mint, lemon, dan lain-lain. Dipasarkannya produk-produk rokok yang
memiliki aroma khusus ini mengakibatkan Negara bagian Ilnois dan Newyork melakukan
investigasi terhadap adanya dugaan bahwa rokok rokok beraroma ini merupakan strategi
marketing perusahaan rokok terkait yang menargetkan anak-anak dan remaja, sebagai target
pasarnya. Dari data yang dikumpulkan oleh pemerintah Amerika Serikat didapati bahwa lebih
banyak perokok usia anak-anak dan remaja yang mengkonsumsi rokok beraroma khusus ini
dibandingkan perokok usia dewasa. Negara bagian ini menilai bahwa hal ini melanggar
ketentuan MSA yang tidak memperbolehkan memasarkan atau mengiklankan rokok yang
22
menargetkan perokok usia muda. Akhirnya sebagai hasil litigasi pada tahun 2006, RJ
Reynolds setuju untuk menarik produk-produk rokok beraroma khusus tersebut dari pasar.
Hal ini tercantum dalam The Consent Agrrement. Namun demikian, Amerika Serikat
berpendapat bahwa masih terbuka peluang perusahaan rokok yang bersangkutan atau
perusahaan-perusahaan rokok lainnya untuk memasarkan produk rokok beraroma khas ini di
kemudian hari, karena belum ada aturan mengikat yang mengatur mengenai pelarangan
peredaran rokok beraroma tersebut.
Oleh karena itu, Amerika Serikat menyebutkan bahwa MSA dan the 2006 Consent
Agreement ini telah gagal untuk menghentikan penjualan rokok beraroma. Sebagai contoh RJ
Reynolds sendiri tercatat setidaknya memasarkan 13 jenis baru rokok beraroma setelah
diberlakukannya MSA dan the 2006 Consent Agreement.144 Selain itu Kretek Internasional
dan PT Djarum sebagai salah satu perusahaan Indonesia yang memasarkan produk rokok di
Amerika Serikat dan juga penandatangan MSA, masing- masing pada tahun 2001 dan 1999)
juga tercatat pernah memasarkan rokok beraroma seperti ceri dan vanilla setelah masa
penandatanganan the 2006 Consent Agreement. Bahkan dari data yang ditunjukkan oleh
pemerintah Amerika Serikat sebelum diberlakukannya FSPTCA, semakin banyak
bermunculan merek-merek baru produk rokok beraroma di Amerika Serikat.
Lebih jauh lagi Amerika Serikat juga memaparkan bahwa Industri tembakau di
Amerika Serikat kian melambung, terlebih perusahaan- perusahaan rokok besar terbukti
melakukan investigasi, guna penelitian dan pengembangan rokok-rokok beraroma dan
menjual secara gencar produk-produk rokok beraroma tersebut. Hal ini dibuktikan dalam
berita acara pengadilan dalam kasus United States vs Philip Morris yang terungkap bahwa
Philip Morris menghabiskan miliaran dollar untuk kegiatan pemasaran mereka dalam rangka
menarik perokok usia muda untuk menggantikan perokok usia tua yang semakin banyak
berhenti akibat usia atau karena meninggal.
Biaya iklan dan promosi selalu meningkat setiap
tahunnya termasuk setelah ditandatanganinya MSA.145 Atas dasar inilah akhirnya Amerika
Serikat mulai merancang suatu peraturan perundang-undangan yang mengikat dan memaksa,
yang secara efektif dapat melarang peredaran rokok beraroma khas (characterized flavours),
dengan tujuan untuk mengurangi jumlah perokok usia muda ini. Dan setelah melewati proses
legislasi yang panjang, akhirnya pada tanggal 22 Juni 2009, Presiden Obama menandatangani
23
Family Smooking Prevention Tobacco Control Act (FSPTCA) yang didalamnya memuat Sec.
907 (a)(1)(A) yang mengatur mengenai larangan peredaran rokok beraroma ini.
Studi Kasus:
Awal dimulainya kasus sengketa rokok kretek Indonesia oleh Amerika Serikat, ialah
semenjak tanggal 22 Juni 2009. Saat itu Amerika Serikat menambahkan Family Smoking
Prevention and Tobacco Control Act (FSPTCA) kedalam Federal Food, Drug, Cosmetic Act
(FFDCA). Undang- undang Amerika Serikat tersebut mengatur produksi dan penjualan
tembakau dibawah otoritas FDA (Food and Drug Administration). Dimana perundanganundangan
ini bertujuan umumnya untuk melindungi kesehatan masyarakatnya, juga untuk
mengurangi jumlah perokok di Amerika Serikat. Perundang-undangan tersebut pun telah
ditandatangani oleh Presiden Amerika Serikat Barrack Obama, dan berlaku 3 bulan setelah
penandatanganan .
Di dalam Section 907 (a)(1)(A) menyebutkan bahwa 3 bulan mendatang setelah
penandatanganan FSPTCA, komposisi/komponen rokok tidak boleh mengandung zat yang
menyebabkan kecanduan atau perasa baik secara alami maupun secara buatan (selain
tembakau biasa dan menthol), herbal juga rempah- rempah seperti strawberry, anggur, jeruk,
cengkeh/kretek, kayu manis, nanas, vanilla, ceri, kokoa atau yang memberikan aroma atau
rasa yang khas terhadap produk rokok atau tembakau. (United- States, FSPTCA, Sec. 907
(a)(1)(A) ). Dikarenakan perundang- undangan tersebut, beberapa jenis rokok yang memiliki
aroma khas/rasa, dan rokok kretek dilarang beredar di Amerika Serikat Namun, undangundang
ini memberikan pengecualian pada rokok menthol.
Indonesia yang merupakan salah satu pengekspor rokok terbesar di Amerika Serikat
menjadi pihak yang paling dirugikan, dapat dilihat dari kerugian ekspor sebesar 15.000.0000
US $.19. Menurut Indonesia, tindakan Amerika Serikat dalam mengeluarkan perundangundangan
ini adalah tindakan diskriminasi.Meningat rokok aroma khas/rasa atau kretek ini
merupakan produk sejenis dan pengecualian pada rokok menthol yang merupakan hasil
produk Amerika Serikat sendiri. Sehingga, Indonesia berpendapat bahwa perundang- undangan ini semata- mata hanya untuk menguntungkan produksi dalam negeri Amerika
Serikat sendiri. Hukum ini pun dianggap menjadi kegiatan yang menguntungkan bagi diri
sendiri.
Menurut pendapat Indonesia pun, Amerika Serikat tidak dapat memberikan bukti
ilmiah secara jelas bahwa rokok kretek memiliki dampak kesehatan yang lebih buruk
dibandingkan dengan rokok menthol. Selain itu, Amerika Serikat juga dianggap telah
melalaikan kewajiban - kewajibannya, seperti prosedur notifikasi dan reasonable interval
yang terdapat dalam perjanjian TBT.
Perjanjian TBT sendiri dianggap mewajibkan Amerika
Serikat untuk memastikan bahwa peraturan teknis tersebut tidak berlebihan sehingga menjadi
hambatan bagi perdagangan internasional. Tindakan Amerika Serikat ini juga menunjukkan
adanya kepentingan nasional Amerika Serikat untuk meningkatkan produk dalam negerinya
yaitu rokok menthol. Akan tetapi, dalam mencapai kepentingan nasional ini, Amerika Serikat
telah mengesampingkan hubungan yang baik dengan negara Indonesia, juga telah melalaikan
kesepekatannya dalam perjanjian terkait kasus ini. Kebijakan Amerika Serikat yang tidak
sesuai dengan komitmennya sebagai anggota WTO pun akhirnya membuat Indonesia
meminta konsultasi dengan Amerika Serikat pada tanggal 7 April 2010, sesuai dengan Article
4 Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes WTO.
Konsultasi tersebut berhasil dilaksanakan pada 13 Mei 2010, namun tidak mencapai
kesepakatan antara kedua belah pihak .
Dengan gagalnya bilateral yang dilakukan Indonesia terhadap Amerika Serikat,
dengan tidak tercapainya kesepakatan antara kedua belah pihak membuat Indonesia
melakukan tindakan serius. Pada 9 Juni 2010, Indonesia meminta pembentukan Panel oleh
Dispute Settlement Body (DSB) WTO. Akhirnya menetapakan susunan panel terdiri dari 3
anggota, yaitu Mr. Ronaldo Soboriodari Costa Rica sebagai ketua, Mr. Ichiro Araki dari
Jepang dan Mr. Hugo Cayriusdari Uruguay sebagai anggota. Juga delapan negara lainnya
Brazil, Kolombia, Republika Dominika, Uni Eropa, Guatemala, Meksiko, Norwegia
danTurki untuk penggunaan hak mereka sebagai pihak ketiga (third parties).
Substantive Meeting pertama kali dilaksanakan pada tanggal 13 dan 14 Desember,
sedangkan Substantive Meeting kedua dilaksanakan pada 15 Febuari 2011 dimana saat itu
dihadiri oleh seluruh pihak ketiga (third parties). Dalam hasil laporannya dalam Report of
The Panel, maka DSB WTO memenangkan rokok kretek Indonesia terhadap Amerika
Serikat, dengan memperkuat keputusan panel pada tanggal 2 September 2011. Pada tanggal 5
Januari 2012, Amerika Serikat mengajukan banding ke badan banding (Appellate Body)
WTO. Namun, akhirnya pada tanggal 4 April 2012, badan banding (Appellate Body) WTO
kembali memutuskan memperkuat panel bahwa Amerika Serikat dinyatakan melanggar
ketentuan WTO dan kasus sengketa perdagangan rokok kretek Indonesia kembali
dimenangkan oleh WTO.
Kasus sengketa perdagangan rokok kretek di Amerika Serikat ini tentunya
berpengaruh besar pada Indonesia. Mengingat Indonesia sebagai pengekspor rokok kretek
terbesar di Amerika Serikat harus mengalami kerugian ekspor yang besar dan mempengaruhi
pemasukan negara. Perdagangan internasional yang terhambat dengan kepentingan nasional
Amerika Serikat ini juga dianggap terlalu mementingkan diri sendiri. Sehingga, Amerika
Serikat melanggar ketentuan WTO, dimana Amerika Serikat sudah memiliki komitmen
dalam perdagangannya dengan negara- negara lain. Tindakan proteksionisme yang berlebihan
ini menjadi hambatan pada perdagangan internasional, sehingga harus melibatkan WTO
untuk dapat melakukan arbitrase demi mencapai kesepakatan bersama antara Amerika Serikat
dengan Indonesia. Gagalnya diplomasi bilateral antara Amerika Serikat dengan Indonesia
juga memaksa WTO harus ikut turun tangan dalam menyelesaikan kasus sengketa ini.
Kerugian ekspor mencapai 20.000.000 US $ dalam kasus sengketa rokok kretek ini
berpengaruh besar terhadap Indonesia bahkan dirasakan oleh para petani tembakau di
Indonesia. Menurut data Kementrian Perdagangan, realisasi ekspor aneka jenis rokok
Indonesia menurun pada tahun 2007 sebesar US $ 11.165.432, turun menjadi US $ 9.703.991
pada tahun 2008 dan US $ 8.338.419 pada tahun 2009. Sehingga pada periode tersebut
tidak adanya ekspor untuk produk cigarettes tobacco. Indonesia pun merasa keberatan
dengan adanya diskriminasi pada produk rokok kretek, sehingga Indonesia harus mengajukan keberatan terhadap aturan Amerika Serikat kepada WTO. Dengan diakhirinya kasus rokok
kretek ini, maka kedua negara diharapkan dapat mengintensifkan kerjasama perdagangan dan
investasi dalam kerangka Indonesia – US Trade and Investment Framework Agreement
(TIFA). Sehingga positif bagi hubungan jangka panjang yang lebih baik24
.
3.4.1 Analisa
Dari studi kasus yang telah kami paparkan sebelumnya, kami melihat kasus tersebut
lalu menganalisanya melalui perspektif neo-liberalisme. Berangkat dari awal munculnya
perspektif liberalisme yang mengkritik perspektif awal yaitu realism. Perspektif liberal
melihat bahwa tidak hanya negara yang selalu menjadi prioritas dan menimbulkan zero sum
game, tetapi kerja sama lebih baik serta dibutuhkan dan didalamnya menambahkan aktor lain
selain negara yaitu individu dan MNC (Multi National Coorporation) yang menginginkan
ekonomi mandiri. Itu merupakan sebagian dari asumsi liberalisme, adapun perspektif lain
yang melengkapi perspektif ini yaitu munculnya perspektif neo-liberalisme yang sama-sama
menginginkan kerja sama tetapi lebih melihat pada organisasi internasional atau institusi.
Pada kasus diatas, Indonesia sebagai salah satu negara anggota WTO (World Trade
Organization) dalam hal ini mematuhi aturan serta prinsip yang ada pada organisasi tersebut.
Lalu Indonesia sendiri menjadikan WTO sebagai pihak lain yang membantu menyelesaikan
konflik sengketa ekspor rokok dengan Amerika Serikat. Dalam perspektif neo-liberalisme,
Indonesia melihat WTO yang berperan penting juga selain aktor negara. Indonesia yang
bekerja sama di dalam WTO, juga mengikuti peraturan WTO yang mengikat.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Konflik atau permasalahan antar negara memang sebaiknya dapat diselesaikan dengan
diplomasi dan negosiasi yang baik tanpa harus melibatkan pihak lain. Namun, tidak semua
konflik dapat dengan mudah diselesaikan melalui diplomasi bilateral antara negara yang
bersangkutan sehingga perlu melibatkan pihak lain. Misalnya, kegagalan dalam diplomasi
Indonesia terhadap Amerika, atas perundang-undangan nya yang dianggap telah
mendiskriminasi produk dari Indonesia yaitu produk rokok kretek. Sehingga Indonesia
terpaksa harus melibatkan WTO sebagai pihak lain yang dapat membantu menyelesaikan
konflik sengketa rokok kretek tersebut. Dengan adanya WTO sebagai pihak lain, Indonesia
berhasil meraih kemenangan atas sengketa rokok kretek. Usaha diplomasi Indonesia dapat
dilihat dengan usahanya untuk dapat menyelesaikan konflik tersebut. Kemenangan Indonesia
pun dapat diakui adil bagi seluruh pihak, karena hasil yang jelas dari persidangan yang
dilakukan WTO pada saat itu.
4.2 Saran
Diplomasi dan negosiasi yang baik dapat mengurangi konflik dalam hubungan
internasional akan tetapi konflik tidak bisa dihindari. Aktor non negara (OI/NGO) dapat
membantu menyelesaikan suatu konflik, tetapi penyelesaian bilateral akan lebih baik
dibandingkan melalui organisasi internasional karena membutuhkan cost yang lebih besar
dan butuh waktu yang lebih lama.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Geringer, Ball, Minor, McNett. 2014. Bisnis Internasional Edisi 12. Penerbit: Salemba Empat
Hata. 2006. Perdagangan Internasional dalam Sistem GATT dan WTO Aspek-Aspek Hukum
dan Non Hukum. Penerbit: Refika Aditama
Huala, Adolf. 2002. Hukum Ekonomi Internasional Suatu Pengantar. Penerbit: Rajawali
Pers, Jakarta
Holsti, K.J. International Politics.
Kartajumena, H.S. 2000. Substansi Perjanjian GATT/WTO dan Mekanisme Penyelesaian
Sengketa. Penerbit: Universitas Indonesia (UI-Pers) Salemba 4
Nopirin, Ph.D. 2011. Ekonomi Internasional Edisi 3. Penerbit: BPFE-Yogyakarta
Panikkar, K.M. The Principles and Practice of Diplomacy.
Peter van den Bossche, Daniar Natakusumah, Joseph Wira Koesnaidi. 2010. Pengantar
Hukum WTO (World Trade Organization). Penerbit: Yayasan Obor, Indonesia, Jakarta.
Roy, S.L. 1991. Diplomasi. Penerbit: Rajawali Pers, Jakarta
Steans, Jill & Lloyd Pettiford. 2009. Hubungan Inernasional Perspektif dan Tema. Penerbit:
Pustaka Pelajar
Syahmin AK. 2007. Hukum Dagang Internasional. Penerbit: Raja Grafindo Persada
Syamsurizal, Tan. 1988. Esensi Ekonomi Internasional. Penerbit: Ghalia Indonesia, Jakarta
Trish Kelly. 2003. The Environment, and Health, and Safety Standards. Penerbit: Blackwell
Publishing
Jurnal :
https://www.google.co.id/search?client=ms-opera-miniandroid&channel=new&dcr=0&q=jurnal+sengketa+ekspor+rokok+indonesia+as&oq=&a
qs= Diakses: 1 November 2017, 19.36 WIB
https://www.google.co.id/search?client=ms-opera-miniandroid&channel=new&dcr=0&q=skripsi+putusan+panel+sengketa+wto+meita+glovita&
spell=1&sa=X&ved=2ahUKEwiX1ur5sp3XAhVFwl8KHUAHBEkQvwV6BAgVEAA Diakses:
1 November 2017, Pukul. 19:46 WIB
https://www.kemlu.go.id/id/kebijakan/kerjasama-multilateral/Pages/World-TradeOrganization-(WTO).aspx
Diakses: 3 November 2017, Pukul. 20:19
Komentar
Posting Komentar