DIPLOMASI INDONESIA pada ERA ABDURRAHMAN WAHID

Dosen : Rachmayani, M.Si

Kelompok 7:
Natasya Kinsky (2016230039)
Mariska Inova R (2016230054)
Azkia Atika A (2016230094)
Kandy Wulan Annisaa (2016230140)
Ririh Anjang Tiani (2016230160)
INSTITUT ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK (IISIP)
JAKARTA

BAB I
PENDAHULUAN

  • Latar Belakang Masalah

Peralihan kekuasaan dari Habibie ke Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu diawali dari sebuah  proses pemilihan umum tahun 1999. Pada saat itu Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Habibie yang sebenarnya memiliki kesempatan, menolak mencalonkan diri setelah pertanggungjawabannya ditolak oleh MPR.MPR kemudian menggelar rapat paripurna pada tanggal 20 oktober 1999. Dua nama bersaing memperebutkan kursi calon Presiden, yakni Megawati Soekarnoputri yang diusung PDI Perjuangan, dan Gus Dur yang diajukan Partai Kebangkitan Bangsa.Melalui sebuah pemungutan suara Gus Dur terpilih sebagai Presiden Indonesia ke-4 dengan 373 suara, sementara Megawati mendapat 313 suara. Tak terima dengan kekalahan ini, pendukung Megawati mengamuk. Di Solo, Jawa Tengah misalnya sejumlah simpatisan Megawati melakukan aksi pengrusakan.Beruntung Gus Dur berhasil meyakinkan Megawati untuk maju dalam pemilihan calon wakil presiden. Sebelumnya Gus Dur meminta mantan Panglima ABRI Wiranto tidak mengajukan diri menjadi cawapres. Pada 21 Oktober 1999, Megawati ikut serta dalam pemilihan wakil presiden dan mengalahkan Hamzah Haz dari PPP.

  Belum juga berakhir menjalankan jabatannya sebagai Presiden RI ke-4, Gus Dur mendapatkan mosi tidak percaya dari Majelis Permusyawaratan Rakyat. Gusdur pada saat itu diterpa sejumlah isu politik. Seperti kasus dana Badan Urusan Logistik. Mendapat mosi tidak percaya dari MPR, Gus Dur malah mengeluarkan dekrit. Dekrit Presiden itu sendiri berbunyi: (1) pembubaran MPR/DPR, (2) mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun, dan (3) membekukan Partai Golkar sebagai bentuk perlawanan terhadap Sidang Istimewa MPR. Akan tetapi dekrit dari Gusdur tersebut tidak memeroleh dukungan, pada akhirnya pada 23 Juli 2001, tepatnya setelah 20 bulan Gusdur menjadi Presiden MPR menarik mandat yang diberikan kepada Gus Dur. Majelis kemudian menetapkan Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden menggantikan Gus Dur. Namun, sayang Gus Dur tak pernah legowo atas pelengseran tersebut.
Dua bulan menjelang pergantian abad 21, atau tepatnya 20 Oktober 1999, barangkali menjadi sebuah kejutan besar bagi bangsa Indonesia bahkan masyarakat dunia, termasuk penulis yang kala itu ikut menyaksikan lewat layar kaca, ketika seorang dari kalangan santri bernama KH Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur akhirnya terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia (RI) Ke-4.
Penulis buku Biografi Gus Dur, Greg Barton, mengisahkan detik-detik terpilihnya Gus Dur menjadi presiden. Beberapa jam sebelum penghitungan suara dimulai, kebanyakan orang menganggap bahwa Megawati akan melaju untuk meraih kemenangan. Sebab pada Pemilu, partai PDI-P yang mengusung Megawati, meraih suara terbanyak. Namun kejutan muncul, dimulai ketika Habibie (incumbent) yang diusung Partai Golongan Karya (Golkar) mengumumkan pengunduran dirinya dari calon presiden. Praktis, hanya tersisa Gus Dur dan Megawati.

  Pemilihan presiden, kala itu masih menggunakan sistem pemilihan yang dilakukan oleh anggota MPR. Ketika penghitungan mulai dilakukan, Megawati pada awalnya memimpin, namun perlahan namun pasti, perolehan suara Gus Dur yang disokong kubu Poros Tengah dapat mengimbangi perolehan suara Megawati.
Bahkan, keadaan menjadi berbalik ketika pada penghitungan akhir Gus Dur mengumpulkan 60 suara lebih banyak. Gus Dur jadi Presiden! Dengan diiringi lantunan sholawat badar, Gus Dur dibantu berdiri dan dibimbing podium untuk disumpah menjadi presiden. 

  • Pidato perdana

Usai diambil sumpah jabatan sebagai Presiden RI, Gus Dur menyampaikan pidato pertamanya. Dalam kesempatan tersebut, ia menekankan komitmennya untuk menegakkan keadilan dan untuk mendatangkan kemakmuran bagi sebanyak mungkin warga masyarakat.

  Selain itu, yang tak kalah penting untuk mempertahankan keutuhan wilayah bangsa. “Karena itu, kita tetap tidak bisa menerima adanya campur tangan dari negara lain atau bangsa lain kepada bangsa dan negara kita. Apa pun akan kita lakukan untuk mempertahankan keutuhan wilayah kita, untuk mempertahankan harga diri kita sebagai bangsa yang berdaulat!” Tegas Gus Dur.
“Demikian pula kita harus meletakkan sendi-sendi kehidupan yang sentosa bagi bangsa kita di masa-masa yang akan datang. Ini bukanlah tugas yang ringan, ini tugas yang berat. Apalagi karena pada saat ini kita tengah didera oleh perbedaan faham yang sangat besar oleh longgarnya ikatan-ikatan kita sebagai bangsa,” lanjutnya. Pada akhir pidato, Gus Dur berbicara mengenai hakikat demokrasi. Menurutnya, demokrasi hanya dapat dipelihara dan dikembangkan oleh orang-orang yang mengerti tentang hakikat demokrasi. “Karena itu, saya berharap bahwa kita semua sebagai warga dari bangsa Indonesia sanggup memahami hal ini dan akan tetap menjunjung demokrasi sebagai sendi kehidupan kita menuju masa yang akan datang. Hanya dengan cara seperti itu, kita dapat menegakkan kedaulatan hukum, kebebasan berbicara, persamaan hak bagi semua orang tanpa memandang perbedaan keturunan, perbedaan bahasa, perbedaan budaya dan perbedaan agama,” pungkas dia.

  Gus Dur mengemban amanah sebagai presiden hingga Juli 2001. Berbagai tudingan miring dan kasus yang dituduhkan kepada dirinya (meski tidak terbukti sampai sekarang), menjadi alasan pencopotan jabatannya sebagai presiden, yang kemudian digantikan wakilnya, Megawati
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dapat disimpulkan pertanyaan sebagai berikut :
Bagaimana cara Abdurrahman Wahid melakukan diplomasinya?
Mengapa pada zaman Pemerintahannya, Abdurrahman Wahid dikenal sebagai sosok yang sangat kontroversial?
1.3 Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui bagaimana diplomasi yang dilakukan Abdurrahman Wahid dengan negara lain.
2. Untuk mengetahui masa kepemerintahan Abdurrahman Wahid.
3. Untuk mengetahui kebijakan yang di keluarkan oleh Abdurrahman Wahid.



BAB II
KONSEP
2.1 Konsep Liberalisme
Dalam mempermudah pemecahan masalah, diperlukan adanya suatu kerangka teori atau konsep dasar sebagai pondasi dalam mengadakan suatu penelitian. Konsep dasar harus berpijak berdasarkan pada teori-teori yang dapat di pertanggungjawabkan dan dibuktikan secara empiris. Berikut pemaparan teori dan konsep dari judul makalah ini:
Teori Liberalisme
Liberalisme sebagai paham dalam studi hubungan internasional yang telah memberikan kontribusi penting dalam tatanan wilayah internasional, institusi-institusi, hak asasi manusia, juga keadilan dan perdamaian. (Jill Steans & Lloyd Pettiford.2009; 96 )
John Locke salah satu filsuf liberal di abad ke-17 melihat potensi yang besar  bagi kemajuan manusia dalam civil society dan perekonomian kapitalis modern, keduanya dapat berkembang dalam negara-negara yang menjamin kebebasan individu. Liberalisme memandang positif sifat manusia. Liberalism memiliki keyakinan besar terhadap akal pikiran manusia dan mereka yakin bahwa prinsip-prinsip rasional dapat dipakai pada masalah-masalah internasional. (Robert Jackson & Georg Sorensen.2009; 174, 175)

2.1.1 Asumsi dasar
- Kaum liberal beranggapan bahwa asumsi dasar liberalism mengacu pada :
Kaum liberalis memandang sisi positif terhadap manusia. (Robert Jackson & Georg Sorensen.2009; 143)
Kaum liberalis berasumsi bahwa sifat agresif bias di cegah dengan melakukan kerjasama. (Wardhani, 2015)
Mereka (kaum liberal) percaya bahwa seluruh umat manusia adalah makhluk rasional. (Jill Steans & Lloyd Pettiford.2009; 111)
Kaum liberal menilai kebebasan individu di atas segala-galanya. (Jill Steans & Lloyd Pettiford.idem)
Liberalisme menentang pembagian antara wilayah domestik dan internasional. (Jill Steans & Lloyd Pettiford.idem)
Liberalisme berpandangan positif atau progresif tentang karakteristik manusia. Kaum liberal percaya bahwa perubahan-perubahan positif dalam hubungan internasional merupakan hal yang sangat mungkin dicapai. (Jill Steans & Lloyd Pettiford.idem)
Keyakinan akan adanya kemajuan. (Robert Jackson & Georg Sorensen.2009; 139)
Mereka percaya bahwa hubungan internasional dapat bersifat kooperatif daripada konfliktual.(Robert Jackson & Georg Sorensen.2009; 139)

2.1.2    Perdamaian dan Keamanan
Liberalisme merupakan suatu doktrin yang percaya terhadap kapasitas umat manusia untuk memecahkan masalah-masalah yang terlihat sulit melalui tindakan kolektif. Pemikiran bahwa umat manusia memahami prinsip-prinsip moral, menunjukan bahwa usaha untuk meninggikan ‘politik kekuasaan’ dan mengatur hubungan diantara orang-orang dengan menggunakan norma-norma resmi, prinsip-prinsip moral, dan menurut pengertian tentang ‘benar’ dan ‘adil’. (Jill Steans & Lloyd Pettiford.2009; 112)

2.1.3     Negara dan Kekuasaan
Liberalisme memandang bahwa ciri utama dari negara adalah kedaulatan. Liberalism menganggap negara sebaik-baiknya sosok ancaman yang diperlukan (necessary evil). Kaum liberal membuat suatu pembedaan diantara berbagai macam bentuk negara. Pemisahan kekuasaan yang berarti bahwa esensu kedaulatan itu sulit dipastikan atau ditemukan, maka kaum liberal berpendapat bahwa negara bisa meyerahkan beberapa unsur kedaulatan mereka kepada badan-badan lain. (Jill Steans & Lloyd Pettiford.2009; 117)

2.1.4     Institusi dan Tatanan dunia
Liberalisme berbeda dengan pandangan kaum realis yang sistem internasionalnya lebih ke dalam tatanan bipolar, sebaliknya kaum liberal berepndapat bahwa sistem internasional dalam hubungan internasional lebih mengarah ke tatanan multipolar (Robert Jackson & Georg Sorensen.2009; 67)

2.1.5      Identitas dan Komunitas
Liberalisme memberikan penekanan lebih kepada individu daripada kelompok. Para kritikus terhadap liberal terus-menerus berpendapat bahwa liberalism menghadirkan suatu pandangan yang sangat atomistic tentang masyarakat manusia, sebagai makhluk yang terisolasi yang hanya berhubungan dengan manusia lain jika ada kepentingan. Liberalis menunjukan komitmen terhadap masyarakat global. (Jill Steans & Lloyd Pettiford.2009; 136)
2.1.6      Kesenjangan dan Keadilan
Kaum liberal telah sangat aktif mendukung berbagi rezim hak asasi manusia melalui PBB. Bagaimanapun, terkait dengan konsep keadilan dan hak, pemisahan antara liberal sayap kiri dan sayap kanan sangatlah penting. Kaum liberal dari spectrum politik kanan cenderung lebih memusatkan perhatian pada pentingnya kesetaraan formal dan kesempatan-kesempatan yang sama hak setiap individu untuk diperlakukan sama dimata hukum. (Jill Steans & Lloyd Pettiford.2009; 139)


2.1.7     Konflik dan Kekerasan
Kaum  liberal memandang diri merka sebagai aktivis yang mendukung terciptanya perdamaian. Keinginan mereka untuk mengakhiri konflik dan kekerasan terlihat dalam perdamaian dan keamanan liberal. (Jill Steans & Lloyd Pettiford.2009; 141)
Model Pengambilan Keputusan
Untuk menentukan arah kebijakan politik luar negeri Indonesia dan program kerja Gus Dur pada saat kepemimpinannya. Untuk kasus dalam makalah ini, kami memaparkan teori pengambilan keputusan bureaucratic organization model menurut Weber. Weber menyatakan, birokrasi itu sistem kekuasaan, di mana pemimpin (superordinat) mempraktekkan kontrol atas bawahan (subordinat). Sistem birokrasi menekankan pada aspek “disiplin.” Sebab itu, Weber juga memasukkan birokrasi sebagai sistem legal-rasional. Legal oleh sebab tunduk pada aturan-aturan tertulis dan dapat disimak oleh siapa pun juga. Rasional artinya dapat dipahami, dipelajari, dan jelas penjelasan sebab akibatnya.

  • Kelebihan sistem birokrasi menurut Max Weber

Ada Aturan, Norma, dan Prosedur  untuk Mengatur Organisasi Dalam model teori birokrasi Max Weber, ditekankan mengenai pentingnya peraturan. Weber percaya bahwa peraturan seharusnya diterapkan secara rasional dan harusnya ada peraturan untuk segala hal dalam organisasi. Tentunya, peraturan-peraturan itu tertulis. Dengan demikian, organisasi akan mempunyai pedoman dalam menjalankan tugas-tugasnya 

  • Kekurangan sistem birokasi menurut Max Weber

Hierarki otoritas yang formal tetapi malah cenderung kaku. Karena sistem hierarki perusahaan, maka bawahan akan segan menyapa atasannya kalau tidak benar-benar perlu. Hal ini menciptakan suasana formal yang malah cenderung kaku dalam organisasi. Birokrasi sebagai wewenang atau kekuasaan yang berbagai departemen pemerintah dan cabang-cabangnya memeperebutkan diri untuk mereka sendiri atas sesama warga negara. Kamus teknik bahasa Italia terbit 1823 mengartikan birokrasi sebagai kekuasaan pejabat di dalam administrasi pemerintahan.
Birokrasi berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh beberapa ahli adalah suatu sistem kontrol dalam organisasi yang dirancang berdasarkan aturan-aturan yang rasional dan sistematis, dan bertujuan untuk mengkoordinasi dan mengarahkan aktivitas-aktivitas kerja individu dalam rangka penyelesaian tugas-tugas administrasi berskala besar.



BAB III
PEMBAHASAN

3.1    Biografi Abdurrahman Wahid 
Abdurrahman Wahid atau yang akrab dipanggil Gus Dur lahir pada 4 Agustus 1940 di Jombang, Jawa Timur dengan nama lengkap Abdurrahman ad-dakhil putra pertama KH. Wahid Hasyim. Ayahnya adalah menteri agama pertama Indonesia yang juga merupakan putra tokoh pendiri Nahdlatl ulama, yaitu KH. Hasyim Asy’ari. Waktu kecil, Gus Dur sudah mulai menghafal sebagian isi Al-Quran dan banyak puisi dalam bahasa arab. Ia memulai pendidikannya di sekolah rakyat, Jakarta. Setelah itu ia melanjutkan sekolah ke SMEP di Giwangan Yogyakarta, bersamaan dengan belajar bahasa arab di Pesantren Al-Munawir, Krapyak Yogyakarta di bawah bimbingan KH. Ali Maksum, mantan Rais Am PBNU, dengan bertempat tinggal di rumah KH Junaid, ulama tarjih Muhammadiyah Yogyakarta. (Pahrurroji, 2003:60)
Pada tahun 1964, ia melanjutkan studinya ke Al-Azhar University Kairo Mesir dengan mengambil jurusan Departement of Higher Islamic and Arabic studies. Selama tiga tahun di Mesir, ia lebih banyak meluangkan waktunya untuk mengunjungi berbagai perpustakaan yang ada di Mesir. Setelah beberapa lama tinggal di Mesir, Gus Dur memutuskan untuk menghentikan studi ditengah jalan sewaktu beranggapan bahwa kairo sudah tidak kondusif lagi dengan keinginannya. Ia pindah ke Baghdad irak dan mengambil fakultas sastra. Pada saat di Baghdad ia menunjukan minat yang serius terhadap kajian Islam di Indonesia, hingga kenudian ia dipercaya untuk meneliti asal-usul keberdaan Islam di Indonesia. (Ma’mun, 1999:99)
Sebagai intelektual Sunni tradisional pada umumnya, Gus Dur membangun pemikirannya melalui paradigma kontekstualisasi khazanah pemikiran sunni klasik. Oleh karena itu wajar saja jika yang menjadi kepedulian utamanya minimal menyangkut tiga hal. Pertama, revitalisasi khazanah Islam tradisional Ahl-As-Sunnah Wal Jama’ah. Kedua, ikut berkiprah dalam wacana modernitas; dan ketiga, berupaya melakukan pencarian jawaban atas persoalan konkret yang dihadapi umat Islam indonesia. Corak pemikiran Gus Dur yang liberal dan inklusif sangat dipengaruhi oleh penelitiannya yang panjang terhadap khazanah pemikiran Islam tradisional yang kemudian menghasilkan reinterpretasi dan kontekstualisasi. (Masdar, 1999:121)
Jika dilacak, dari segi kultural, Gus Dur melintasi tiga model lapisan budaya. Pertama, kultur dunia pesantren yang sangat hirarkis, penuh dengan etika yang serba formal, dan apreciate dengan budaya lokal. Kedua, budaya timur tengah yang terbuka dan keras; dan ketiga, lapisan budaya barat yang liberal, rasional dan sekuler. Semua lapisan kultural itu tampaknya terinternalisasi dalam pribadi Gus Dur mebentuk sinergi. Hampir tidak ada yang secara dominan berpengaruh membentuk pribadi Gus Dur. Ia selalu berdialog dengan semua watak budaya tersebut. Dan inilah barangkali anasir yang menyebabkan Gus Dur selalu kelihatan dinamis dan tidak segera mudah dipahami, alias kontroversi. (Tim Incres, 2000:39)

3.1.1   Karya-karya Abdurrahman Wahid
Gus Dur secara kelembagaan tidak pernah mendapatkan ijazah kesarjanaan namun ia seorang yang cerdas, progresif dan cemerlang ide-idenya. Tetapi ia telah membuktikan bahwa ia adalah seorang yang cerdas lewat idenya yang cemerlang dan kepiaweannya dalam berbahasa dan retorika serta tulisan-tulisanya di berbagai media massa, majalah, esai, dan kegiatan-kegiatan seminar, sarasehan serta buku-buku yang telah diterbitkan antara lain:

1.      Bunga Rampai Pesantren (Darma Bahkti, 1979)
2.      Muslim di Tengah Pergumulan (Leppenas, 1981)
3.      Kiai Nyentrik Membela Pemerintah (Yogyakarta: LKiS, 1997)
4.      Tabayyun Gus Dur (Yogyakarta: LKiS, 1998
5.      Tuhan Tidak Perlu Dibela (Yogyakarta: LKiS, 1999)
6.      Membangun Demokrasi (Remaja Rosda Karya, 1999)
7.      Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan (Desantara, 2001)
Dari berbagai tulisannya baik buku, makalah dan esai-isai kompas tahun 90-an menunjukkan tingkat intelektualnya. Dengan bahasa yang sederhana dan lancar, bahkan dalam penyampaian lisanpun, Gus Dur diakui sangat komunikatif. Sebagaimana dikatakan Greg Barton meskipun Gus Dur tidak mengenyam pendidikan – tidak memiliki gelar kesarjanaan- Barat namun berbagai tulisannya menunjukkan ia seorang intelektual progresif dan jarang sekali dijumpai foot note dalam berbagai tulisannya. Hal ini dikarenakan kemampuannya yang luar biasa dalam memahami karya-karya besar tokoh-tokoh dunia (pemikir dunia seperti: Plato, Aristoteles, Karl Max, Lenin, Max Weber, Snouck Hugronje, Racliffe Brown, dan Milinowski). Selanjutnya karya-karya tersebut dieksplorasi secara kritis dan dikolaborasikan dengan pemikiran-pemikiran intelektual Islam dalam memunculkan ide-ide pemikirannya. (Barton, 2003:24).

3.1.2    Latar Belakang Pendidikan Abdurrahman Wahid 
Gus Dur dilahirkan di tengah-tengah kehidupan pesantren yang penuh nuansa etika, moral dan pendidikan agama. Dari sinilah awal dasar-dasar pendidikan agama ditanamkan oleh Ibunya ketika baru berusia 4 tahun, ilmu al Qur’an dan bahasa Arab pun telah dikuasai meskipun belum lancar. Ketika menganjak usia 4 tahun Ia mengikuti jejak perjuangan ayahnya di Jakarta dan ia dimasukkan pada sekolah yang tergolong bonafit namun ia lebih menyukai kehidupan yang wajar dengan memilih sekolah biasa saja. Gus Dur masuk Sekolah Dasar KRIS Jakarta Pusat mulai kelas 3-4 tetapi kemudian pindah ke Sekolah Dasar Matraman Perwari, Jakarta Pusat dekat rumahnya yang baru. (Barton, 2003:40)
Yang Tempat Wahid Hasyim di Matraman sering dikunjungi tamu-tamu Eropa, Belanda, Jerman dan kalangan aktivis mahasiswa serta berbagi lapisan mayarakat. Dengan demikian Gus Dur sejak kecil telah diperkenalkan dengan tokoh-tokoh besar, dan ayahnya selalu menganjurkan kepada anak-anaknya untuk giat membaca tanpa membatasi buku apa yang dibaca. Sebagian jenjang pendidikan formal Abdurrahman Wahid banyak dihabiskan di sekolah-sekolah “sekuler”.
Setelah ayahnya meninggal, Ibunya mengambil alih pimpinan keluarga dan membesarkan enam anak-anaknya. Pada tahun 1954 Gus Dur melanjutkan sekolah di SMEP (sekolah menengah ekonomi pertama), tinggal bersama keluarga Haji Junaidi (teman ayahnya dan seorang aktivis Majlis Tarjih/Penasihat Agama Muhammadiyah) di Kauman Yogyakarta dan untuk melengkapi pendidikan agama dan guna memperdalam ilmu bahasa arab maka ia mengatur jadwalnya seminggu 3 kali untuk ngaji dengan Kiai Ali Ma’shum di pondok Al Munawir Krapyak. Gus Dur adalah anak yang nakal dan bandel, waktunya dihabiskan untuk nonton sepak bola dan film sehingga tidak ada cukup waktu untuk mengerjakan pekerjaan rumahnya dan ujung-ujungnya ia harus tinggal kelas. Baginya, pelajaran yang diterima di kelas dirasanya tidak cukup menantang. Alih-alih, Ia menghabiskan waktu nonton sepak bola dan membaca buku.
Meskipun kemapuannya dalam berbahasa Inggris sudah baik dan mampu membaca tulisan dalam bahasa Perancis dan Belanda serta Jerman, namun di Yogyakartalah kemampuan membacanya melesat jauh dan melahab banyak buku antara lain Das Kapital (Karl Mark), What is To Be Done (Lenin), dan mencoba memahami tulisan-tulisan Plato dan Aristoteles serta ia tertarik dengan ide Lenin tentang keterlibatan sosial secara radikal, seperti dalam Infantile Communism (kekiri-kirian penyakit kekan-kananan) dan dalam Little Red Book-Mao (kutipan kata-kata ketua Mao). Dengan membaca buku dan berbagai tulisan apa saja yang ditemukan maka cakrawala pemikirannya akan semakin luas.
Setelah menamatkan SMEP 1957, Kiai Bisri Sansuri memindahkan Gus Dur –hal ini disebabkan hobinya menonton film yang tidak ketulungan- untuk mondok di Magelang dan berada dalam asuhan dan bimbingan Kiai Khudhori pengasuh pondok pesantren Tegalrejo.  Berbeda dengan santri biasa yang menyelesaikan pelajaran selama 4 tahun tetapi dengan kecerdasan yang dimiliki, Gus Dur mampu menyelesaikan pelajaran dengan waktu yang relatif cepat yaitu: dalam 2 tahun saja. Dari Kiai Khudhorilah ia banyak belajar dunia mistik dan tasawuf.
Pada tahun 1959 Gus Dur dipangil oleh pamanya: Kia Haji Fatah, untuk membantu mengelola Pesantren Bahrul Ulum[50], Tambak Beras Jombang sampai tahun 1963. Selama kurun waktu itu ia menyempatkan belajar secara teratur dengan kakeknya: Kiai Bisri Sansuri dan mendapatkan bimbingan dari Kiai Wahab Chasbullah. Pada tahun pertamanya di Tambak Beras, ia mendapatkan kepercayaan untuk mengajar di pondok ini dan sekaligus dipercaya menjadi kepala sekolah modern yang dibangun dalam area pondok pesantren. Untuk mengisi waktu libur kadang-kadang Gus Dur pergi ke Yogyakarta dan tinggal di rumah Kiai Ali Maksum untuk belajar agama.(Thoha, 2003:53)
Pada tahun 1964 Abdurrahman Wahid tertarik mengambil beasiswa untuk belajar di Universitas “Al Azhar” Kairo (Mesir). Namun kecewa nampak dalam dirinya karena perlakuan kampus yang memasukannya di kelas pemula, bersama para calon mahasiswa yang belum mempunyai pengetahuan tentang bahasa Arab bahkan ada yang sama sekali tidak tahu abjad Arab, apalagi menggunakan dalam percakapan. Karena rasa kecewa atas perlakuan ini, hampir sepanjang tahun 1964 ia tidak masuk kelas, ujung-ujungnya gagal naik kelas karena waktunya banyak dihabiskan untuk nonton bioskop, sepak bola dan mengunjungi perpustakaan - terutama perpusatkaan American University Library  serta waktunya habis di kedai-kedai kopi untuk diskusi. Keberadaannya di universitas Al-Azhar merupakan suatu kekecewaan baginya, namun sebaliknya kota Kairo baginya sangat mempesona dan menyenangkan. Kota Kairo banyak memberikan kebebasan berpikir dan dari Al-Azharlah Muhammad Abduh, seorang perintis gerakan modernisme Islam yang progresif berasal dari Al-Azhar Ia pindah ke Universitas Baqdad di Irak dan memilih fakultas sastra. Gus Dur mempunyai jadwal yang padat dibandingkan ketika ia berada di Mesir sehingga ia tidak lagi bebas berjalan-jalan semaunya sendiri dan mau tidak mau ia harus mengurangi kebiasaan tidak mengikuti kuliah secara teratur, karena kehadiran merupakan hal wajib.  Baqdad merupakan bagian dunia intelektual yang kosmopolit membuat Gus Dur tumbuh subur sebagai cendikiawan dan mulai tahun 60-an Universitas ini menjadi Universitas bergaya Eropa. Ironisnya, banyak dosen favoritnya yang berasal dari Kairo pindah ke Baqdad karena kota Baqdad memberikan kebebasan berpikir secara terbuka dan menjanjikan gaji yang lumayan besar. Meskipun jadwal yang padat tetapi Gus Dur masih sesekali menyempatkan waktu untuk nonton bioskop dan mengikuti diskusi di pinggir sungai Tigris sambil minum kopi. (Berton, 2003:84).
Dalam benak Gus Dur sikap toleran itu tidak bergantung pada tingginya tingkat pendidikan formal ataupun kepintaran pemikiran secara ilmiah, tetapi masalah hati, dan perilaku, Dr. Greg mengatakan demikian dalam disertasinya. (Berton, 2002:143) “Bersatu dalam menuntut ilmu” merupakan salah satu dari esai-esai yang ditulis oleh Gus Dur pada masa itu. Esai inilah yang tidak menghadirkan polemik berkelanjutan dimasyarakat. Esai ini memfokuskan pada dua sosok kiai yang digambarkan oleh Gus Dur, yang satu kiai berada, kaya, dan seorang alim yang profesional, sementara satunya lagi seorang kiai “part time” dan petani miskin. Titik saran esai ini adalah kebenaran yang halus dari kedua kiai tadi, serta pada toleransi dan kemauan baik yang mereka tunjukkan pada siapa saja yang mereka hadapi, tanpa melihat tanpa melihat kelas maupun status budaya. Hal seperti inilah, bagi Abdurrahman Wahid, agama yang benar. (Berton, 2002:398). Jadi, seseorang tidak harus pintar atau kaya terlebih dahulu untuk dapat mempunyai semangat toleransi. Bahkan seringkali semangat ini justru pada mereka yang tidak pintar dan tidak kaya yang biasanya disebut “orang-orang terbaik,” terdapat toleransi yang tinggi.

  • Program Kerja Abdurrahman Wahid

Pembaharuan yang dilakukan pada masa Pemerintahan Gus Dur adalah :
Membentuk Kabinet Kerja
Untuk mendukung tugas dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari, Gus Dur membentuk kabinet kerja yang diberi nama Kabinet Persatuan Nasional yang anggotanya diambil dari perwakilan masing-masing partai politik yang dilantik pada tanggal 28 Oktober 1999. Di dalam Kabinet Persatuan Nasional terdapat dua departemen yang dihapuskan, yaitu Departemen Sosial dan Departemen Penerangan.
  • Bidang Ekonomi

Untuk mengatasi krisis moneter dan memperbaiki ekonomi Indonesia, maka dibentuk Dewan Ekonomi Nasional (DEN) yang bertugas untuk memecahkan perbaikan ekonomi Indonesia yang saat itu belum pulih dari krisis ekonomi yang berkepanjangan. Dewan Ekonomi nasional diketuai oleh Prof. Dr. Emil Salim, Subiyakto Tjakrawerdaya sebagai wakil, dan Dr. Sri Mulyani Indraswari sebagai sekretaris. 
Bidang Budaya dan Sosial
Untuk mengatasi masalah disintegrasi dan konflik antarumat beragama, Gus Dur memberikan kebebasan dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama. Hak itu dibuktikan dengan munculnya beberapa keputusan presiden, yaitu :
Keputusan Presiden No. 6 tahun 2000 mengenai Pemulihan Hak Sipil Penganut Agama Konghucu. Etnis Cina yang selama Orde Baru dibatasi, maka dengan adanya Keppres No. 6 dapat memiliki kebebasan dalam menganut agama maupun menggelar budayanya secara terbuka seperti misalnya pertunjukan Barongsai.
Menetapkan Tahun Baru Cina (IMLEK) sebagai hari besar agama, sehingga menjadi hari libur nasional. Disamping pembaharuan-pembaharuan di atas, Gus Dur juga mengeluarkan berbagai kebijakan yang dinilai Kontroversial dengan MPR dan DPR, yang dianggap berjalan sendiri, tanpa mau menaati aturan ketatanegaraan, melainkan diselesaikan sendiri berdasarkan pendapat kerabat dekatnya, bukan menurut aturan konstitusi negara.
Kebijakan-kebijakan yang menimbulkan kontroversial dari berbagai kalangan yaitu :
Pencopotan Kapolri Jenderal Polisi Roesmanhadi yang dianggap sebagai Orde Baru.
Pencopotan Kapuspen Hankam Mayjen TNI Sudradjat, yang dilatarbelakangi oleh adanya pernyataan bahwa Presiden bukan merupakan Panglima Tinggi.
Pencopotan Wiranto sebagai Menkopolkam, yang dilatarbelakangi oleh hubungan yang tidak harmonis dengan Gus Dur.
Mengeluarkan pengumuman tentang menteri Kabinet Pembangunan Nasional yang terlibat KKN sehingga mempengaruhi kinerja kabinet menjadi merosot.
Gus Dur menyetujui nama Irian Jaya berubah menjadi Papua dan mengizinkan pengibaran bendera Bintang Kejora.
Puncak jatuhnya Gus Dur dari kursi kepresidenan ditandai oleh adanya Skandal Brunei Gate dan Bulog Gate yang menyebabkan Gus Dur terlibat dalam kasus korupsi, maka pada tanggal 1 Februari 2006 DPR-RI mengeluarkan memorandum yang pertama sedangkan memorandum yang kedua dikeluarkan pada tanggal 30 Aril 2001. Gus Dur menanggapi memorandum tersebut dengan mengeluarkan maklumat atau yang biasa disebut Dekrit Presiden yang berisi antara lain :
Membekukan MPR / DPR-RI
Mengembalikan kedaulatan di tangan rakyat dan mengambil tindakan serta menyusun badan yang diperlukan untuk pemilu dalam waktu satu tahun.
Membubarkan Partai Golkar karena dianggap warisan orde baru
Akhir jabatan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid terjadi ketika berlangsung Rapat Paripurna MPR pada tanggal 21 Juli 2001. Rapat tersebut dianggap sebagai Sidang istimewa MPR. Keputusan yang diambil sidang istimewa tersebut sebagai berikut  :
Presiden K.H. Abdurrahman Wahid diberhentikan secara resmi sebagai presiden berdasarkan Ketetapan MPR No. II Tahun 2001.
MPR mengeluarkan Ketetapan MPR No. III tahun 2001 untuk menetapkan dan melantik Wakil Presiden Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri sebagai presiden kelima Republik Indonesia
  •     Kebijakan Luar Negeri Abdurrahman Wahid

Pada tahun 1999 Indonesia berhasil mengadakan pemilihan umum yang mengantarkan Abdurrahman Wahid atau yang lebih populer dipanggil Gus Dur menjadi Presiden RI yang ke 4. Saat itu, Gus Dur merupakan figur yang dikonstruksikan dan dikenal publik sebagai tokoh ‘tengah’ yang lebih baik dibandingkan dengan tokoh-tokoh reformis Indonesia lainnya. Tujuannya jelas, Indonesia harus dapat memperbaiki kesalahan sistem berpolitik dan bernegara yang selama ini dicengkeram rezim otoritarian Orde Baru, sekaligus menunjukkan kepada dunia internasional tentang wajah baru Indonesia yang lebih demokratis. Tanggung jawab besar ada di pundak pemerintahan Gus Dur.
Ia dikenal sebagai sosok yang sangat liberal dalam berpikir, kaya akan ide dan kental dengan suasana informal dan santai namun mempunya visi dan tujuan tertentu. Ia cenderung mengagregasikan aspirasi dari setiap kepentingan untuk kemudian diwujudkan dalam suatu kebijakan yang akomodatif bagi semua pihak. Abdurrahman Wahid atau yang kerap disapa Gus Dur termasuk salah satu presiden Indonesia yang paling sering melakukan kunjungan ke luar negeri dengan tujuan untuk memulihkan nama baik Indonesia sekaligus berdiplomasi meminta bantuan dan dukungan luar negeri. Hal ini menuai cukup banyak kritikan karena dianggap merupakan tindak pemborosan walaupun tujuannya memang untuk membuka jalur investasi asing untuk Indonesia. Profil Gus Dur banyak dinilai controversial dan mengarahkan politik luar negeri Indonesia ke arah yang high profile kembali. .
Analisis diplomasi luar negeri tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan fenomena politik dalam negeri. (John Kurt Jacobsen, Vol 29, 1996:93-115). Dalam konteks ini, semakin kuat legitimasi dalam negeri suatu rezim politik maka semakin cair (liquid) pula pencapaian dan akseptabilitas internasional suatu negara. RI yang kala itu dipimpin Gus Dur menghadapi tantangan untuk merevitalisasi demokrasi demi mendapatkan kepercayaan masyarakat internasional. 
Satu terobosan orisinil yang dilakukan Gus Dur ialah dia mengonsolidasi legitimasi politik domestiknya dari jauh (remote consolidation). Hal ini dilakukannya secara spesifik dengan lontaran polemik kontroversial atas isu domestik, contohnya seperti isu tiga menteri yang terlibat KKN saat Gus Dur sedang berkunjung ke AS.  (http://www.kompas.com/kompas-cetak/0004/28/nasional/mesk28.htm). 
Saat itu, Gus Dur tampak sedang mengukur dukungan internasional terhadap pemerintahannya. Hasilnya pun cukup baik, masyarakat internasional sejauh itu mendukung secara politik pemerintahan Gus Dur yang mengukir wajah Indonesia baru. Figur Gus Dur merupakan figur yang paling pantas membawa misi tersebut, terutama dalam kaitannya dengan rumusan politik luar negeri Indonesia melalui penyerapan aspirasi dan ekspektasi internasional.
Secara umum, kepentingan nasional yang ditekankan pada masa kepemimpinan Gus Dur ialah perbaikan ekonomi nasional, stabilitas politik dan keamanan melalui diplomasi. Hal ini ditegaskan Gus Dur dalam pidatonya di depan MPR pada tanggal 7 Agustus 2000. Kepentingan ini kemudian dipenuhi melalui instrument investasi swasta, diplomasi bantuan luar negeri, perdagangan bebas, dukungan internasional, otonomi regional dan sistem politik demokratis. Instrument ini diterapkan dalam ranah global sehingga diharapkan bantuan dan perbaikan citra Indonesia berjalan bersamaan. (Santoso, Listiyono, 1999:19).
Keberhasilan yang berhasil diraih Gus Dur dalam sektor politik luar negeri ialah perbaikan citra Indonesia sehingga investasi asing pun dapat mengalir membantu perekonomian Indonesia yang masih terseok akibat krisis. Kebanyakan keberhasilan Gus Dur lebih berpusat pada pengelolaan konflik melalui agregasi kepentingan yang baik. Namun dengan kepemimpinan yang banyak dianggap menyimpang, Gus Dur tidak sempat menghasilkan catatan keberhasilan lebih banyak dari apa yang telah direncanakan. (Santoso, 1999:19).
Beberapa pola kebijakan/politik luar negeri pada era pemerintahan Abdurrahman Wahid, antara lain: Perumusan politik luar negeri berpola “arus-balik” Biasanya, para presiden RI terdahulu menetapkan dulu basis politik luar negerinya, baru melakukan diplomasi ke luar (contoh Soekarno yang mengibarkan bendera antinekolim yang konfrontatif, dan Soeharto yang menancapkan strategi regionalisme ASEAN dan integrasi Timtim); Adapun pola Presiden Gus Dur justru sebaliknya. Dia menjaring dulu opini dunia atas konsep kebijakan melalui diplomasi. Setelah itu, baru dirumuskan platform politik luar negerinya. Legitimasi, kapabilitas, dan talenta personal berdiplomasinya menyokong pola baru ini. Contohnya Dalam periode pemerintahannya (22 bulan), Gus Dur sudah berkunjung ke tak kurang dari 29 negara, dan bertemu banyak pemimpin dan tokoh dunia, mulai dari Bill Clinton, Jiang Zemin, Fidel Castro, Paus Yohannes Paulus II, Nelson Mandela, hingga Corazon Aquino, dan lain-lain.
Selain itu Gus Dur menyadari rendahnya daya tawar diplomasi RI saat itu sehingga lebih mengedepankan diplomasi bilateral ketimbang multilateral. Contohnya dalam isu hutang luar negeri; rezim Gus Dur cenderung menggunakan forum bilateral untuk negosiasi hutang luar negeri ketimbang menggunakan forum multilateral, seperti Consultative Group on Indonesia (CGI) yang selalu dimanfaatkan rezim orba.
Namun pada beberapa kesempatan, Gus Dur menekankan tentang pentingnya kemandirian bangsa Indonesia, terutama terhadap rezim-rezim internasional yang ingin mengintervensi kebijakan dan arah politik Indonesia. Oleh karena itu, tidak heran jika dia sempat menggagas Poros Jakarta-Beijing-India. Gus Dur ingin melakukan penegasan posisi bahwa Indonesia memiliki alternatif selain dunia barat dan/atau ingin meningkatkan posisi tawar Indonesia di mata dunia. Akan tetapi, manuver orisinil itu terkubur begitu saja tanpa ada implemetasi apa pun setelah Gus Dur memenuhi undangan Presiden AS Bill Clinton via telepon; isu poros alternatif itu bahkan tetap terkubur hingga pemerintahan RI saat ini.
Akan tetapi, pada kesempatan lain dia malah berujar, “Kalau kita tidak dapat bantuan (IMF), kita macet sebagai bangsa!”. (Kompas, 4 Maret 2000, hlm. 6. Komentar ini dilontarkan Gus Dur saat ditanyai mengenai keputusan pemerintahannya menaikkan harga BBM). Beberapa manuver pemerintahan Gus Dur yang sangat kontroversial adalah ketika Gus Dur ingin membuka hubungan dagang langsung dengan Israel. (Rizal Sukma, op.cit., hlm. 103). Rencana ini kemudian dibatalkan karena banyaknya kecaman dan penolakan dari dalam negeri
Atau ketika dia ingin mencabut Tap MPRS No.25/MPRS/1966 tentang pelarangan ajaran komunis dan Marxisme. (Kompas, 28 April 2000). Ini semua kemudian memicu protes dan penentangan besar-besaran dari khalayak luas. Terlepas dari pro-kontra yang ada, dapat disimpulkan bahwa Gus Dur sebagai decision-maker berpikir terlalu maju dan gamblang pada masanya, sementara rakyat Indonesia belum siap untuk perubahan sedemikian fundamental. Dalam pendiriannya, RI mengakui Palestina secara de jure dan de facto, dan mengutuk Israel sebagai agresor. RI juga memiliki sejarah yang kelam terhadap gerakan komunisme di Indonesia.

3.4 Diplomasi Abdurrahman Wahid 
Diplomasi di era Abdurrahman Wahid dalam konteks kepentingan nasional selain mencari dukungan pemulihan ekonomi, rangkaian kunjungan ke mancanegara diarahkan pula pada upaya-upaya menarik dukungan mengatasi konflik domestik, mempertahankan integritas teritorial Indonesia, dan hal yang tak kalah penting adalah demokratisasi melalui proses peran militer agar kembali ke peran profesional Ancaman integrasi nasional di era Wahid menjadi kepentingan nasional yang sangat mendesak dan diprioritaskan. Periode pemerintaan Wahid berusaha memperkuat komitmen dunia internasional terhadap Indonesia dengan melakukan perjalanan keliling di 80 negara dalam tempo dua puluh bulan pemerintahannya. Kebijakan yang dikenal sebagai ‘diplomasi persatuan’ itu dimaksudkan untuk memperoleh dukungan internasional terhadap wilayah kedaulatan Indonesia yang tengah mengalami masalah disintegrasi. Pada masa pemerintahan nya Abdurrahmah Wahid  fokus diplomasi Indonesia pada saat itu adalah mengembalikan citra Indonesia di mata internasional.


  • Keberhasilan Abdurrahman Wahid di antara nya : 

Peningkatan hubungan bilateral dengan negara yang dikunjunginya
Penyelesaian masalah residu pemisahan Timor Timur
(prestasi diplomasi lain pada pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid adalah penyelesaian masalah residu pemisahan Timor Timur. Berkaitan dengan pelanggaran HAM di Timor Leste, Pemerintah RI pada Sidang Komisi HAM (KHAM) Tahun 2000 menegaskan kembali sikap yang menolak pembentukan International Tribunal untuk mengadili para pelanggar HAM di Timor Timur sejak diumumkannya opsi kedua.
Pemerintah berketetapan untuk memproses dan mengadili mereka yang bersalah melalui mekanisme hukum nasional. Pada pembahasan di Sidang KHAM ke-56 telah dikeluarkan sebuah Chairman Statement yang menggarisbawahi kesungguhan Pemerintah RI dalam melaksanakan peradilan HAM terhadap para pelanggar HAM di Timor Leste. Masih mengenai Timor Leste, Indonesia telah berketetapan untuk membuka lembaran baru dalam membina hubungan dan kerja sama dengan Timor Leste berdasarkan prinsip-prinsip saling menghormati, hubungan bertetangga yang baik dan saling menguntungkan, baik selama masa transisi di bawah otoritas sementara UNTAET maupun dalam jangka panjang.
Sikap tersebut telah direfleksikan antara lain dengan kunjungan Presiden RI ke Timor Timur pada 29 Februari 2000, sambutan atas serangkaian kunjungan pimpinan UNTAET maupun masyarakat Timtim ke Indonesia dan pembukaan Kantor Urusan Kepentingan RI (KUKRI) di Dili.
Indonesia dan UNTAET telah melakukan serangkaian perundingan membahas berbagai masalah yang timbul sebagai akibat dari pengalihan kekuasaan antara lain masalah perbatasan, pembayaran pensiun PNS asal Timor Timur, kelanjutan studi dan beasiswa mahasiswa asal Timor Timur, masalah aset dan arsip mengenai Timor Timur, peninggalan warisan kebudayaan dan penyelesaian masalah pengungsi Timor Timur di NTT.
 Melalui Abdurrahman Wahid  Indonesia telah turut melakukan berbagai upaya dalam pemajuan dan perlindungan HAM secara internasional antara lain pada Februari 2000 Indonesia telah menandatangani Optional Protocol dari Conventions on the Elimination of Discrimination Against Women. Perbaikan citra Indonesia untuk memulihkan kredibilitas dan citra Indonesia di mata Internasional sehingga investasi asing pun dapat mengalir membantu perekonomian Indonesia yang masih terseok akibat krisis ekonomi di kawasan tahun 1997-1998 dan situasi politik domestik yang didera dengan persoalan stabilitas keamanan dan separatisme di sebagian wilayah indonesia. Wahid memiliki cita-cita mengembalikan citra Indonesia di mata internasional, untuk itu dia melakukan banyak kunjungan ke luar negeri selama satu tahun awal pemerintahannya sebagai bentuk implementasi dari tujuan tersebut. Dalam setiap kunjungan luar negeri yang ekstensif selama masa pemerintahannya yang singkat, Abdurrahman Wahid secara konstan mengangkat isu-isu domestik dalam pertemuannya dengan setiap kepala negara yang dikunjunginya. Termasuk dalam hal ini, selain isu Timor Timur, adalah soal integritas teritorial Indonesia seperti dalam kasus Aceh dan isu perbaikan ekonomi.
Karena kunjungan ini politik politik bebas aktif begitu kentara. Seringnya Presiden Gus Dur berkunjung ke luar negeri ini ternyata mendapat respon positif dari dunia, bahkan membuka peluang kerjasama (terutama kerjasama dalam bidang perdagangan). Meningkatnya kredibilitas Indonesia di mata internasional yang di perlihatkan dengan mengalirnya bantuan Internasional untuk membantu perekonomian dalam negeri. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) saat menjadi presiden melakukan diplomasi tingkat tinggi yang kemudian bisa membatalkan hukuman mati seorang TKI di Saudi dan TKI di Malaysia (TKI di Arab Saudi) Untuk mencegah hukuman mati, selain mengirim surat, Gus Dur juga langsung menelepon Raja Arab Saudi, Abdullah bin Abdulaziz al-Saud. “Gus Dur cuma menelepon sekali saja, dan ditanggapi dengan baik,” ujar Anis. (TKI di Malaysia) Gus Dur langsung berkunjung ke Malaysia untuk bertemu dengan Perdana Menteri Malaysia (Abdullah Ahmad Badawi)

3.5 Analisis Kebijakan Diplomasi Persatuan Berdasarkan Paradigma   
            Liberalisme
Indonesia sudah mengalami keadaan yang cukup parah di dalam negeri maupun di dunia internasional hingga pada tahun 1999 Abdurrahman Wahid menjadi Presiden Indonesia ke empat  pada tahun itu. Pada masa ini Indonesia mengalami depresi yang sangat berat. Ini mengakibatkan bahwa Abdurrahman Wahid (Gus Dur) harus mampu memulihkan citra positif dari Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari seringnya Gus Dur melakukan kunjungan ke luar negeri sebagai bentuk upaya pencapaian diplomasi Indonesia, tercatat bahwa Gus Dur pernah melakukan kunjungan ke 80 negara diantaranya negara yang tergabung dalam ASEAN, Eropa, Asia, Afrika dan yang lainnya hanya dalam waktu 20 bulan masa jabatannya. Diplomasi di era Abdurrahman Wahid dalam konteks kebijakan ini dikenal sebagai ‘diplomasi persatuan’ hal ini dimaksudkan untuk kepentingan nasional yaitu, memperoleh dukungan internasional terhadap wilayah kedaulatan Indonesia yang tengah mengalami masalah disintegrasi, mencari dukungan pemulihan ekonomi, dan hal yang tak kalah penting adalah perbaikan citra Indonesia untuk memulihkan kredibilitas dan citra Indonesia di mata Internasional sehingga investasi asing pun dapat mengalir membantu perekonomian Indonesia yang masih depresi berat akibat krisis ekonomi di kawasan tahun 1997-1998 dan situasi politik domestik yang didera dengan persoalan stabilitas keamanan dan separatisme di sebagian wilayah indonesia. Gus Dur memiliki cita-cita mengembalikan citra Indonesia di mata internasional, untuk itu Gus Dur melakukan banyak kunjungan ke luar negeri selama satu tahun awal pemerintahannya sebagai bentuk implementasi dari tujuan tersebut. Dalam setiap kunjungan luar negeri yang ekstensif selama masa pemerintahannya yang singkat, Abdurrahman Wahid secara konstan mengangkat isu-isu domestik dalam pertemuannya dengan setiap kepala negara yang dikunjunginya. Termasuk dalam hal ini, selain isu Timor Timur, adalah soal integritas teritorial Indonesia seperti dalam kasus Aceh dan isu perbaikan ekonomi.
Melalui diplomasi persatuan ini, Abdurrahman Wahid telah mencapai beberapa hal, yaitu :
Peningkatan hubungan multilateral Indonesia dengan negara lain
Indonesia telah turut melakukan berbagai upaya dalam pemajuan dan perlindungan HAM secara internasional antara lain pada Februari 2000 Indonesia telah menandatangani Optional Protocol dari Conventions on the Elimination of Discrimination Against Women. 
Meningkatnya kredibilitas Indonesia di mata internasional yang di perlihatkan dengan mengalirnya bantuan Internasional untuk membantu perekonomian dalam negri
Abdurrachman Wahid (Gus Dur) saat menjadi presiden melakukan diplomasi tingkat tinggi yang kemudian bisa membatalkan hukuman mati seorang TKI di Saudi dan TKI di Malaysia
Dalam kasus TKI di Arab Saudi. Untuk mencegah hukuman mati, selain mengirim surat, Gus Dur juga langsung menelepon Raja Arab Saudi, Abdullah bin Abdulaziz al-Saud. 
Dalam kasus TKI di Malaysia. Gus Dur langsung berkunjung ke Malaysia untuk bertemu dengan Perdana Menteri Malaysia (Abdullah Ahmad Badawi) 
Pada kebijakan kunjungan ke 80 negara yang dilakukan Gus Dur dimasa kepemimpinannya, terlihat bahwa pemulihan citra Indonesia ditekankan dalam banyaknya kerjasama Indonesia dengan antarnegara. Kerjasama yang ditekankan ini berkaitan dengan pandangan liberalisme bahwa dalam wilayah internasional, kaum liberalisme memprcayai kesempatan bekerja sama dan menyatakan bahwa semua negara bisa meraih tujuan mereka. 


BAB IV
KESIMPULAN


  •  Kesimpulan

Abdurrahman wahid melakukan diplomasinya dengan cara melakukan kerjasama dengan negara lain dengan tujuan utama untuk membangun citra Indonesia yang baik di mata internasional karena Indonesia butuh dukungan dari negara lain untuk membantu mengembalikan citra Indonesia yang baik di mata internasional serta menangani konflik yang ada di Indonesia seperti masalah ekonomi dan disintegrasi. Salah satu kebijakan yang sudah dicapai Gus Dur adalah diplomasi persatuan. Gus Dur melakukan kunjungan ke 80 negara dengan tujuan diplomasi yang diantaranya negara yang tergabung dalam ASEAN, Eropa, Asia, Afrika dan yang lainnya hanya dalam waktu 20 bulan masa jabatannya. Gus Dur juga melakukan rencana pembukaan hubungan diplomatic dengan Israel, tetapi hal ini mendapat banyak kritik dan hingga saat ini hubungan diplomatik Indonesia dengan Israel belum terjalin tetapi tidak menutup kemungkinan akan terbuka seiring dinamika perubahan sosial. 
Era pemerintahan Abdurrahman Wahid dikenal sebagai sosok yang sangat kontroversional karena Gus Dur dikenal sebagai presiden yang spontan dalam mengambil keputusan dan dapat memprediksi bagaimana negara di tahun kemudian. Seperti alasan pembentukan poros Jakarta – Beijing – New Delhi, alasan Gus Dur membuat poros ini pada saat itu adalah karena tiga ibu kota itu memiliki rakyat yang banyak, mereka pasti bisa menguasai setengah pasar dunia. Ini merupakan dugaan Gus Dur pada saat masih menjabat sebagai Presiden dan sudah dapat dibuktikan saat ini.
DAFTAR PUSTAKA

Sumber buku :
Jackson, Robert dan Georege Sorensen. (2014). Pengantar Studi Hubungan Internasional : Teori Dan Pendekatan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Bandoro, Bantarto. (2005). Mencari Desain Baru Politik Luar Negeri Indonesia. Yogyakarta : percetakan kanisius Yogyakarta
Stean, Jill dan Lloyd Pettiford. (2009). Hubungan Internasional : Perspektif dan Tema. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Kepustakaan Presiden dan Greg Barton. (2002). Biografi Gus Dur. Yogyakarta : LKiS
Abuddin dan Nata. (1999). Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada
Greg dan Barton. (2003). Biografi Gus Dur. Yogyakarta: LKiS
Santoso, Listiyono. (1999). Teologi Politik K.H. Abdurrahman Wahid, Yogyakarta : Ar-Ruzz
Umaruddin, Masdar. (1998). Membaca Pikiran Gus Dur dan Amin Rais tentang Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Wahid, Abdurrahman. (1999). Mengurai Hubungan Agama dan Negara, Jakarta : PT. Grasindo




Sumber Jurnal :
Jurnal Farabi Volume 12 Nomor 1 Juni 2015
Suhartiningtyas. 2014. Analisa Kebijakan Presiden Abdurrahman Wahid Untuk Membuka Hubungan Diplomatik Dengan Israel Dalam Upaya Peduli Perdamaian Palestina-Israel. Jurnal Hubungan Internasional UNAIR
Amien, riezchy. 2014. Politik Luar Negeri Indonesia Era Reformasi. Jurnal FISIP UNAIR pada http://riezchy-amien-fisip13.web.unair.ac.id/artikel_detail-116587-Studi%20Strategis%20Indonesia%20II-Politik%20Luar%20Negeri%20Indonesia%20Era%20Reformasi.html
https://www.kompasiana.com/veyosarian/politik-luar-negeri-indonesia-gaya-perpolitikan-dan-dominasi-politik-luar-negeri-gus-dur_550ffc998133119f36bc60d4

Komentar

  1. MGM Resorts Ltd. - JamBase
    The MGM Resorts 포항 출장안마 International 김해 출장안마 (MGM) Limited ("MGM") 의왕 출장샵 is 구리 출장샵 an American 광주 출장샵 integrated entertainment and entertainment (ICC) company, MGM Resorts: 10Total gaming space: 3,100 sq ft (13,500 m2)Address: 3131 South Las Vegas BoulevardSouth Las Vegas, NV 89109

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

TANTANGAN DIPLOMASI MULTILATERAL INDONESIA PADA MASA PEMERINTAHAN JOKOWI

DIPLOMASI PADA ERA PEMERINTAHAN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO (SBY)

SEJARAH DIPLOMASI INDONESIA PERAN OKI DAN INDONESIA DALAM KONFLIK ISRAEL-PALESTINA