DIPLOMASI MULTIRATERAL INDONESIA DI PBB TERKAIT KONFLIK DI PAPUA

"Sejarah Diplomasi Indonesia"

"DIPLOMASI MULTIRATERAL INDONESIA DI PBB TERKAIT KONFLIK DI PAPUA"

Dosen : Rachmayani, M.Si

Kelompok 2 : 
  1. W ARI PURNOMO (2016230015)
  2. ACHMAD OKKY (2016230098)
  3. M DEVO EQWIN (2016230150)
  4. ALWAN ELVINO (2016230183)
  5. KEVIN RAMADHANI (2016230204)
INSTITUT ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK (IISIP)
JAKARTA



KATA PENGANTAR

Kami kelompok 2 selaku penulis memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT karena dengan rahmat, karunia, serta hidayah-Nya Penulis dapat menyelesaikan makalah tugas Sejarah Diplomasi Indonesia yang membahas tentang  “ Diplomasi Multirateral Indonesia di PBB terkait konflik di Papua ”. Penulis panjatkan terimakasih kepada Ibu Rachmayani, M.Si. , selaku Dosen Mata Kuliah Sejarah Diplomasi Indonesia kelompok A yang telah memercayakan kepada kelompok kami sebagai penulis untuk membuat dan menyelesaikan makalah ini, dan rekan-rekan di dalam kelas Sejarah Diplomasi Indonesia kelompok A yang telah memperhatikan paparan pembahasan oleh penulis. 
Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat dan berguna untuk menambah wawasan serta pengetahuan mengenai peran serta dari Indonesia dalam diplomasinya di Organisasi Internasional PBB (Perserikatan bangsa – Bangsa) terlebih dalam di dalam hal konflik yang terjadi di Papua.
Terlepas dari hal itu, Penulis  menyadari  sepenuhnya  masih terdapat beberapa  beberapa  kekurangan  baik  dari segi  susunan kalimat  maupun tata bahasa yang  penulis gunakan. Oleh  sebab itu, dengan  kekurangan ini  penulis menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar penulis dapat memperbaiki makalah yang penulis paparkan. 
Akhir kata penulis berharap semoga makalah mengenai “Diplomasi Multirateral Indonesia di PBB terkait konflik di Papua”. Ini dapat bermanfaat dan inspirasi untuk kita semua dan dapat memberikan manfaat bagi siapapun pembaca makalah ini. 



BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah 
Dalam dunia Hubungan Internasional dari setiap Negaranya tentu saja memiliki kebijakan politik luar negeri yang berbeda beda. Dalam kasusnya biasanya politik luar negeri yang digunakan bertujuan untuk kepentingan negara, memperbaik citra negara, dan untuk mempertahankan eksistensi negara di mata dunia internasional dengan kepentingan nasional yang dibawa. Dalam buku yang ditulis Miriam Budiarjo, terdapat definisi politik luar negeri sebagai “Kebijakan (policy) adalah suatu kumpulan yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok dalam usaha memiliki tujuan, kebijaksanaan itu mempunyai kekuasaan untuk melaksanakannya”.Berarti bahwa politik luar negeri memiliki tujuan dalam pelaksanaannya.  Macam – macam cara dilakukan denan tujuan tersebut agar kepentingan nasional tercapai. Salah satu caranya yaitu dengan ikut terlibat dan aktif dalam mengikuti Organisasi Internasional antar negara sebagai bagian dari anggota.
 politik luar negeri pada dasarnya masing – masing negara memiliki landasan politik luar negeri yang berbeda-beda dari kebijakannya, Seperti Indonesia dalam landasan politik luar negeri Indonesia memiliki 3 Landasan Politik Luar Negeri yang juga ditegaskan di dalam UUD 1945 yaitu :Landasan Idil, Landasan Konstitusional, Landasan Operasional 
Dari ketiga landasan Politik Luar Negeri Indonesia diatas setiap landasannya memiliki fungsi sebagai pedoman untuk menentukan bagaimana arah Politik Luar Negeri Indonesia harus dibawa, selain dari ketiga landasan diatas Indonesia juga memegang prinsip Politik Luar Negeri Indonesia  Bebas Aktif   tujuan politik luar negeri bebas aktif adalah untuk mengabdi kepada tujuan nasional bangsa Indonesia yang meliputi ketatanegaraan  politik  nasional  dan tercantum dalam  Pembukaan  UUD 1945 alinea keempat yang menyatakan“Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan  perdamaian  abadi dan keadilan sosial….”  Selain prinsip Politik Luar Negeri Indonesia yang bebas aktif Indonesia juga memegang prinsip Politik Luar Negeri Indonesia yang Anti Kolonialisme dan Anti Imperialisme seperti yang tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945 alinea pertama yang menyatakan “Bahwa kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan“
Nyatanya dalam penerapan landasan sistem Politik Luar Negeri seringkali digunakan cara diplomasi untuk pencapaiannya, dalam prakteknya diplomasi menggunakan landasan politik luar negeri yang bertujuan untuk meraih kepentingan nasional negaranya. Indonesia dalam¬¬¬¬  hal penerapan landasan sistem Politik Luar Negerinya menerapkan Landasan Politik Luar negeri yang disertai dengan diplomasi yang cenderung komperhensif secara luas, dan lengkap tidak meliputi aktor negara saja, tetapi juga dengan aktor non negara dan organisasi – organisasi Internasional.
Dibalik dahsyatnya akibat perang, orang memikirkan tentang perdamaian yang kekal dan abadi. Upaya menghindari peperangan yang mengancam kehidupan manusia, diusahakan dengan membentuk suatu lembaga perdamaian yang merupakan persatuan seluruh bangsa atas dasar kehendak bebas negara masing-masing. Untuk bersama-sama menjaga dan menjamin keamanan dan ketertiban bersama. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka setelah perang dunia pertama (1914-1919) yang berakhir dengan adanya perjanjian Versailles 1919 antara pihak yang berperang Jerman Raya, Austria, Turki Raya vs Inggris dan Prancis, terbentuklah Liga Bangsa-Bangsa atau  League  of  Nations.
Prakarsa mendirikan LBB ini disponsori oleh Woodrow Wilson (Presiden AS), untuk kemudian berdiri secara resmi tanggal 10 Januari 1920 yang berkedudukan di Swiss. Tetapi LBB sebagai organisasi perdamaian dunia tidak memiliki umur panjang karena dua puluh tahun kemudian ternyata LBB tidak mampu bertindak terhadap negara-negara yang melanggar piagam dan akhirnya perdamaian dunia tidak dapat dipertahankan lagi. Karena LBB tidak memiliki kewibawaan untuk menindak negara-negara besar. Kemudian pada tanggal 1 september 1939 pecah Perang Dunia II, ditandai dengan penyerbuan Jerman atas Polandia. LBB tidak dapat berbuat apa-apa sehingga tujuan LBB tidak tercapai dan sebagai organisasi LBB dibubarkan.
Walaupun LBB telah mengalami kegagalan, khususnya dalam mencegah peperangan besar, tetapi banyak segi positif yang berguna dan berjasa dalam sejarah umat manusia antara lain : 
Meletakkan dasar keinginan manusia untuk memelihara perdamaian dunia
Merupakan cikal bakal untuk berdirinya Perserikatan Bangsa-Bangsa
Terbentuknya PBB pada saat Perang Dunia II sedang berkecamuk, dua negarawan yakni Winston Churcill (PM Inggris) beserta Franklin Delano Roosevelt (Presiden AS) mengadakan pembicaraan khusus diatas sebuah kapal milik AS "Agusta" di peraian New Foundland Samudera Atlantik, untuk meredakan peperangan. Pertemuan tanggal 14 Agustus 1941 menghasilkan suatu piagam yang merupakan suatu deklarasi tentang hak kebebasan, kemerdekaan dan perdamaian dunia. Piagam tersebut telah ditandatangani ole kedua pihak sehingga disebut juga Piagam Atlantik atau Atlantik Charter. Dan ada beberapa tahap lainnya dalam proses lahirnya PBB, yaitu Deklarasi PBB tanggal 1 Januari 1942, konferensi Moskow tanggal 30 oktober 1943, konferensi Teheran tanggal 1 Desember 1944, konferensi Yalta tanggal 4 sampai 11 februari 1945, konferensi San Fransisco tanggal 25 April 1945, yang pada akhirnya tanggal 24 oktober 1945 dilakukan ratifikasi terhadap piagam PBB.
Tujuan PBB adalah memelihara perdamaian internasional, mengembangkan hubungan persahabatan antar-bangsa, mewujudkan kerjasama dan memecahkan masalah-masalah internasional baik ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Selain itu dapat juga menjadi pusat untuk menyerasikan tindakan-tindakan bangsa dalam mencapai tujuan. 
Implementasi dari Indonesia terkait dengan landasan Politik Luar Negerinya, Prisipnya, dan Diplomasinya  bisa dilihat dari keterlibatan Indonesia sebagai anggota dewan tidak tetap di PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa). Keterlibatan Indonesia sebagai anggota di PBB terbilang cukup lama. Indonesia Sempat pernah menyatakan keluar dari PBB pada zaman pemerintahan Soekarno pada tahun 1965,dan lalu Indonesia kembali menjadi anggota PBB setelah memasuki pemerintahan Soeharto di tahun 1966. 
Organisasi Papua Merdeka (disingkat OPM) adalah organisasi yang didirikan pada tahun 1965 untuk mengakhiri pemerintahan provinsi Papua dan Papua Barat yang saat ini di Indonesia, yang sebelumnya dikenal sebagai Irian Jaya, dan untuk memisahkan diri dari Indonesia. Gerakan ini dilarang di Indonesia, dan memicu untuk terjadinya kemerdekaan bagi provinsi tersebut yang berakibat tuduhan pengkhianatan. Sejak awal OPM telah menempuh jalur dialog diplomatik, melakukan upacara pengibaran bendera Bintang Kejora, dan dilakukan aksi militan sebagai bagian dari konflik Papua. Pendukung secara rutin menampilkan bendera Bintang Kejora dan simbol lain dari kesatuan Papua, seperti lagu kebangsaan "Hai Tanahku Papua" dan lambang negara, yang telah diadopsi pada periode 1961 sampai pemerintahan Indonesia dimulai pada Mei 1963 di bawah Perjanjian New York.
Di dalam kasusnya PBB adalah salah satu aktor non-negara yang merupakan Organisasi Internasional yang memiliki peran dalam Hubungan Internasional baik Konflik ataupun Kerjasama, jika dikaitkan dengan permasalahan yang ada di Indonesia PBB menjadi forum diskusi para  negara untuk permasalahan yang ada di Papua Barat,  yang saat ini disana sedang ada konflik.
Di makalah yang kami buat  ini, kami akan membahas tentang Isu-Isu  permasalahan yang ada di Papua, lalu bagaimana peran dari Indonesia untuk mempertahankan wilayah Papua di forum  PBB dan  juga lewat Hubungan Internasional, dan Faktor – Faktor pendorong dalam permasalahan di Papua Barat.

1.2. Rumusan Masalah
Bagaimana upaya  diplomasi Indonesia dalam PBB studi kasus gerakan separatisme di dalam konflik yang ada di Papua ?

1.3. Tujuan
Untuk mengetahui peran dimensi Internasional dalam kasus yang     ada di Papua
Untuk mengetahui upaya dari negara Indonesia di Organisasi Persatuan  bangsa-bangsa (PBB) dalam diplomasi dan menghadapi gerakan separatisme yang ada di dalam kasus di Papua




BAB II
TEORI DAN KONSEP

2.1 Teori Liberalisme
Teori liberalisme merupakan bagian dari teori dalam Ilmu Hubungan Internasional. Liberalisme sebagai sebuah 'isme' merupakan sebuah teori politik, ekonomi, sosial, dan suatu filsafat. Liberalisme adalah sebuah filsafat yang berdasarkan pada kepercayaan tentang nilai akhir kebebasan individu dan peluang kemajuan manusia.
Poin - poin utama perspektif liberal dapat diketahui dari ringkasan poin-poin sebagai berikut:  rasionalitas merupakan ciri universal yang tegas dari umat manusia;  secara rasional orang-orang mengejar kepentingan-kepentingan mereka sendiri, tetapi ada satu keselarasan kepentingan yang potensial diantara masing-masing orang;  kerjasama adalah ciri utama dari semua hubungan manusia, termasuk hubungan internasional;  pemerintah itu diperlukan, tetapi sentralisasi kekuasaan tidaklah baik; kebebasan individu merupakan kepentingan politik yang utama
Kaum liberal juga menganggap bahwa manusia bertindak secara rasional. Dalam hal ini, rasionalitas dibuktikan dengan kemampuan seseorang untuk mempertimbangkan untung ruginya setiap tindakan. Menurut para pemikir 'utilitarian' seperti bentham, seseorang yang bertindak secara rasional akan berindak untuk memaksimalkan kegunaan atau keuntungan mereka. Jika pada awalnya pendapat ini terkesan seperti perilaku mementingkan diri sendiri yang berakar pada pandangan pesimistik tentang karakteristik manusia, maka kaum liberal menawarkan suatu justifikasi moral yang mengarahkan berlangsungnya situasi semacam itu. 
Di negara-negara demokrasi-liberal, keberadaan negara dipandang sebagai 'penengah netral' (neutral arbiter) diantara berbagai kepentingan yang saling bersaing dalam suatu masyarakat yang terbuka dan plural. Teori  liberalis yang memandang rasionalitas kerjasama untuk mencapai keuntungkan dalam penyelesaian konflik.

2.2 Konsep

2.2.1 Diplomasi
Diplomasi secara gegabah diambil untuk menunjukkan paling paling tidak lima hal yang berbeda. Dari kelima hal tersebut empat hal yang pertama menyangkut: politik luar negeri, negosiasi, mekanisme pelaksanaan negosiasi tersebut, dan suatu cabang dinas luar negeri Kebebasan individu merupakan kepentingan politik yang utama. Ia selanjutnya mengatakan bahwa interpretasi kelima merupakan suatu kualitas abstrak pemberian, yang dalam arti baik mencakup keahlian dalam pelaksanaan negosiasi internasional; dan dalam arti yang buruk mencakup tindakan taktik yang lebih licik. Tetapi akhirnya Nicholson menerima definisi yang diberikan oleh Oxford English Dictionary yang ia anggap cukup luas untuk mencakup aspek-aspek yang berbeda dari diplomasi.  selain itu menurut para ahli diplomasi Menurut Sir  Earnest Satow dalam bukunya mengatakan diplomasi adalah “the application of intelligence and tact to conduct of official relations between the government of  independent states.” (penerapan kepandaian dan taktik pada pelaksanaan hubungan resmi antara pemerintah negara-negara berdaulat). Menurut GR Berriedge, diplomasi adalah dijalankannya hubungan internasional melalui negoisasi bukan dengan kekerasan, propaganda, atau penerapan hukum juga dengan berbagai cara damai lainnya (sebagai contoh mengumpulkan informasi atau menyampaikan niat baik. Menurut M.S Anderson, Diplomasi adalah aktifitas yang diatur atau dibatasi dengan kebiasaan dan hukum, namun fleksibilitas tetap merupakan salah satu bagian yang terpentingnya. Diplomasi juga berarti aktivitas profesional. 
Diplomasi secara konseptual dipahami sebagai teknik pelaksanaan kekuasaan untuk mencapai kepentingan di luar negeri. KM Panikkar dalam bukunya The Principle and Practice of Diplomacy (1995), memberi batasan diplomasi sebagai seni mengedepankan kepentingan suatu negara dalam berhubungan dengan negara lain. Diplomasi merupakan aplikasi kecerdasan dan kehati-hatian dalam menerapkan strategi dan taktik untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan. Ivo D. Duchacek berpendapat, “Diplomasi biasanya didefinisikan sebagai praktek politik luar negeri suatu negara dengan cara negosiasi dengan negara lain.” Tetapi diplomasi kadang-kadang juga dihubungkan dengan perang. Oleh karena itulah Clausewitz , seorang filosof Jerman, dalam pernyataannya yang terkenal mengatakan bahwa perang merupakan kelanjutan diplomasi dengan melalui sarana lain.
2.2.2 Organisasi Internasional
Organisasi Internasional secara sederhana dapat didefinisikan sebagai, pengaturan bentuk kerjasama internasional yang melembaga antara negara-negara, umumnya berlandaskan suatu persetujuan dasar, untuk melaksanakan fungsi-fungsi yang memberikan manfaat timbal-balik yang diejawantahkan melalui pertemuan-pertemuan serta kegiatan-kegiatan staf secara berkala
Organisasi-organisasi internasional tumbuh karena adanya kebutuhan dan kepentingan masyarakat antar-bangsa untuk adanya wadah serta alat untuk melaksanakan kerjasama internasional. Sarana untuk mengkoordinasikan kerjasama antar-negara dan antar-bangsa ke arah pencapaian tujuan yang sama dan yang perlu diusahakan secara bersama-sama.
Negara-negara berdaulat menyadari perlunya pengembangan cara/metode kerjasama berkesinambungan yang lebih baik mengenai penanggulangan berbagai masalah. Negara-negara membentuk organisasi internasional untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Posisi PBB sebagai aktor Organisasi International Antar-pemerintah (Inter-Governmental Organization) yang lazim disingkat IGO. Anggotanya adalah pemerintah, atau instansi yang mewakili pemerintah suatu negara secara resmi dan kegiatan administrasinya diatur berlandaskan hukum publik.




BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Upaya dari dalam negeri terhadap konflik di Papua Barat
Upaya dari pemerintah Indonesia dalam konflik yang ada di Papua Barat menurut Neles Tebay salah satu pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Fajar Timur Papua, dalam wawancaranya dengan reporter kompas menyebutkan upaya  dari Pemerintah Indonesia saat ini yaitu dengan berusaha memajukan pembangunan pada sisi Infrastruktur dan Ekonomi, salah satu contohnya dengan kebijakan yaitu memberikan BBM Murah untuk rakyat Papua. agar masyarakat Papua lebih menikmati berada di Papua Barat, disamping Papua Barat saat ini sedang dilanda konflik dengan adanya Kelompok Separatis yaitu OPM (Organisasi Papua Merdeka). Sebelum membahas OPM terlebih dahulu kita membahas apa arti dari separatis, separatisme artinya mengasingkan diri, kelompok yang mengasingkan diri dari suatu wilayah dari satu sama wilayah lain (atau suatu negara lain). menurut sumber lain penyebab separatisme sering tergantung kepada sejarah, ketidak-adilan atau keragaman identitas. Lalu dikaitkan dengan kelompok separatis yang ada di Papua yaitu Organisasi Papua Merdeka.
Permasalahan yang dihadapi adalah bagaimana menurunkan tingkat perlawanan gerakan separatis dan menggalang tokoh kunci gerakan separatis OPM. Tergalangnya tokoh-tokoh kunci gerakan separatis tersebut diharapkan mampu meredam aktivitas bersenjata. Embrio dari gerakan separatisme tersebut muncul karena ketidakpuasan elemen masyarakat di daerah terhadap kebijakan Pemerintah Pusat yang dinilai tidak adil. Penelitian yang dilakukanoleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menunjukan bahwa akar permasalahan terjadinya konflik di Papua adalah karena adanya marginalisasi dan tindakan diskriminatif dalam pembangunan ekonomi terhadap orang asli Papua, kurangnya pembangunan terutama di bidang pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi rakyat, paradigma sejarah bergabungnya Papua ke Indonesia, dan belum adanya rekonsiliasi atas kekerasan yang terjadi di masa lalu.
Oleh karena itu, langkah yang diperlukan untuk menyelesaikannya harus komprehensif dan menyeluruh dalam semua bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan. Langkah kebijakan yang ditempuh dalam upaya pencegahan dan penanggulangan separatisme adalah sebagai berikut:
1. pemulihan kondisi keamanan dan ketertiban serta menindak secara tegas para pelaku separatisme bersenjata yang melanggar hak-hak masyarakat sipil;
2. peningkatan kualitas pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi serta demokratisasi;
3. peningkatan deteksi dini dan pencegahan awal potensi konflik dan separatisme;
4. peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah rawan konflik atau separatisme, melalui perbaikan akses masyarakat lokal terhadap sumber daya ekonomi dan emerataan pembangunan antardaerah;
5. pelaksanaan pendidikan politik secara formal, informal, dialogis, serta melalui media massa dalam rangka menciptakanrasa saling percaya.
6. penerapan konsep penyelesaian konflik secara damai, menyeluruh, dan bermartabat.
Pemerintah berusaha mengeliminisasi permasalahan separatis di Papua, baik melalui lobi-lobi di luar negeri maupun pendekatan dengan seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) di Papua. Upaya untuk menjelaskan bahwa Otonomi Khusus (Otsus) Papua dalam kerangka NKRI merupakan penyelesaian terbaik untuk masalah Papua juga dilakukan guna meluruskan dan mendudukkan permasalahan Papua secara jernih dan objektif. Langkah lainnya yang dilakukan pemerintah adalah terus mendorong pemerintah daerah melaksanakan tugas secara konsekuen agar dapat memanfaatkan dana oprasional secara tepat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat terutama di bidang pendidikan, kesehatan, dan masalah-masalah sosial lainnya.
Di tingkat internasional, langkah yang dilakukan pemerintah adalah mempresentasikan perkembangan positif di Papua, misalnya menyangkut keberhasilan Pemilu 2009, inpres percepatan pembangunan, community development, dan implementasi otsus.
Muncul dan berkembangnya embrio separatisme tidak terlepas dari masalah ketidakadilan dan kesenjangan kesejahteraan sehingga untuk mengatasi hal tersebut pemerintah akan terus melanjutkan dan mengembangkan kebijakan yang telah diambil selama ini. Pendekatan terhadap masalah separatisme tidak lagi hanya menggunakan kekuatan militer, tetapi menggunakan prioritas utama untuk melakukan langkah persuasif dengan pendekatan perdamaian dan dialog dan peningkatan kesejahteraan melalui pemerataan pembangunan.
Konsep penyelesaian damai secara “bermartabat” akan terus diterapkan dalam pencegahan dan penanggulangan separatisme di daerah lain. Penyelesaian secara “bermartabat” bertujuan agar pihak separatis tidak akan kehilangan muka untuk melepaskan aspirasinya. Penguatan basis dukungan masyarakat melalui lembaga politik dan adat, seperti Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Adat Papua (DAP) menjadi tonggak utama untuk mengurangi ketidakpuasan dan perbedaan pendapat antara masyarakat di daerah dan Pemerintah Pusat.
Untuk menjamin keberhasilan pendekatan tersebut, secara berkala perlu dilakukan evaluasi menyeluruh sehingga perbaikan terhadap langkah-langkah yang diambil oleh Pemerintah dapat berjalan dan lebih terfokus pada permasalahan sesungguhnya. Peningkatan pelayanan publik, terutama untuk mendapatkan informasi yang benar, dilakukan agar sosialisasi terhadap pentingnya menjaga keutuhan NKRI dapat terus dilaksanakan dengan baik.
Kebijakan militer sebagai langkah terakhir dan hanya akan diambil apabila permasalahan tidak dapat diselesaikan melalui dialog. Kebijakan pemekaran wilayah yang didasarkan atas pertimbangan dan kepentingan pembangunan masyarakat di daerah akan tetap mendapatkan prioritas apabila hal itu dapat membantu masyarakat di daerah tersebut untuk mendapatkan keadilan dan kesejahteraan sehingga dapat mencegah muncul dan berkembangnya embrio separatisme.
Terkait dengan permasalahan separatis di Papua, pemerintah berupaya menempuh langkah strategis, baik melalui lobi-lobi internasional maupun pendekatan dengan pemangku kepentingan (stake holder) di Papua. Di samping itu, pemerintah juga melakukan counter propaganda guna meluruskan dan meletakkan permasalahan Papua secara jernih dan objektif serta dapat dimengerti masyarakat internasional bahwa penyelesaian masalah Papua melalui Otonomi Khusus dalam kerangka NKRI merupakan solusi terbaik. Dalam hal ini, pemerintah memanfaatkan momentum penyelenggaraan konferensi Inter Parliamentary Union (IPU) untuk menemui delegasi parlemen Australia, Belanda, dan Inggris guna memberikan informasi yang sebenarnya mengenai perkembangan di Papua. Selain itu, pemerintah juga melakukan counter propaganda ke beberapa negara Eropa lainnya dalam rangka menangkal isu-isu negatif yang menjadi persepsi internasional selama ini dan sekaligus mempresentasikan perkembangan positif mengenai perkembangan di Papua seperti implementasi otonomi khusus, community development, keberhasilan pilkada, dan Inpres percepatan pembangunan. Hal ini telah berhasil mengubah pandangan sejumlah anggota parlemen negara-negara Barat, khusunya Amerika Serikat yang selama ini selalu mendiskreditkan Pemerintah Indonesia dan cenderung mendukung gerakan separatis Papua.

3.2 Upaya dari Luar Negeri mengenai Konflik di Papua.
Upaya internasionalisasi untuk menarik perhatian internasional atau mendukung kemerdekaan Papua, sebenarnya mulai dijalankan sejak tahun 19623 sebagai bentuk perlawanan terhadap Perjanjian New York (New YorkAgreement/NYA) tahun 1962 yang mengakui masuknya wilayah Papua menjadi bagian wilayah Republik Indonesia (RI). Gerakan kemerdekaan Papua mendapat peluang besar sejak bergulirnya reformasi di Indonesia yang dimulai pada pertengahan tahun 1998, di mana kelompok pro-merdeka (dan kelompok pro-demokrasi di Papua) lebih berani dan terbuka dalam mengemukakan tuntutan politik mereka. Apalagi dengan lepasnya wilayah Timor Timur dari Indonesia dan menjadi negara merdeka pada tahun 1999, maka peristiwa politik tersebut menjadi spirit baru bagi perjuangan OPM untuk mewujudkan kemerdekaan Papua. Gagasan untuk menginternasionalisasi Papua adalah salah satu rekomendasi yang dihasilkan dalam Kongres Rakyat Papua II, yakni pembentukan sebuah tim untuk melobi masyarakat internasional, termasuk meminta bantuan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) dalam kaitannya dengan peran DK PBB sebagai penjaga ketertiban dan perdamaian dunia, termasuk untuk menjaga/ memelihara keamanan di Papua sampai terbentuk pemerintahan yang tetap. Selain itu, kongres juga meminta PDP melakukan dialog dengan Indonesia, Belanda, Amerika Serikat (AS), dan PBB. 
Lobi internasional oleh kelompok pendukung kemerdekaan Papua dilakukan secara bilateral antamegara maupun di forum regional/intemasional dan dengan LSM. Lobi bilateral dijalankan melalui pendekatan persuasif kepada pemegang simpul pemerintahan di berbagai negara. Upaya bilateral juga dilakukan dengan membuka kantor perwakilan dan konsulat. Hasilnya adalah beberapa negara di Pasifik Selatan secara tegas mendukung perjuangan kelompok pro-merdeka di Papua. Namun demikian, haruslah diingat bahwa dukungan dari pemerintahan negara asing terhadap kelompok pro-merdeka di Papua tidak bersifat konstan, tetapi cenderung fluktuatif bergantung pada siapa pemimpin negara yang sedang berkuasa pada saat tertentu. Lobi secara bilateral kemudian ditindaklanjuti di forum regional dan internasional, seperti di PBB dan Forum Negara Pasifik untuk memperoleh dukungan secara terbuka. Dukungan ini merupakan second voice untuk memudahkan upaya menggalang simpati internasional melalui perwakilan negara asing yang mendukung kemerdekaan Papua. 
Beberapa isu yang biasanya diangkat dalam forum regional/ internasional adalah sejarah politik Papua, keabsahan Pepera, masalah HAM, peran dan dominasi militer Indonesia, ketidakadilan sosial dan ekonomi masyarakat Papua, diskriminasi rasial (ras Melanesia) dan kerusakan lingkungan.
Berikut ini adalah posisi negara- negara asing dalam isu Papua:
1. Amerika Serikat (AS)
AS memainkan peran yang signifikan dalam konflik di Papua. Untuk itu, Menteri Luar Negeri RI, Hassan Wirayuda dalam siaran pers “Refleksi tahun 2002” menyatakan bahwa Indonesia secara khusus melakukan pendekatan dengan Pemerintah AS untuk mempertahankan dukungannya terhadap integritas wilayah Indonesia. Posisi atau peran AS sulit dipisahkan dari sejarah panjang dan proses politik di Papua. Menurut John Roberts, AS mendukung kebijakan Indonesia untuk “mengembalikan” wilayah Papua melalui aksi diplomasi dan mendukung Pepera (Act of Free Choice) tahun 1969 yang kemudian melahirkan keputusan PBB yang menyatakan Papua merupakan bagian dari wilayah Indonesia.
Tindakan AS di Papua juga berhubungan dengan keberadaan PT Freeport Indonesia (PTFI) sebagai perusahaan tambang tembaga terbesar di dunia. Kehadirannya didukung oleh keputusan politik Pemerintah Orde Baru (Orba) melalui kesepakatan Kontrak Karya I tahun 1967, kemudian mulai beroperasi pada tahun 1970 dan berproduksi untuk pertama kalinya pada tahun 1973. Keberadaan PTFI di Timika, Kabupaten Mimika, Papua diperpanjang dengan penandatanganan Kontrak Karya II tahun 1991. Dengan demikian, perusahaan multinasional ini dapat beroperasi di Papua sampai tahun 2021 dan kesepakatan kerja tersebut masih dapat diperpanjang dua kali masing-masing dalam waktu sepuluh tahun. Berkaitan dengan kebijakan AS di Papua, Pemerintah AS menegaskan tidak akan mendukung separatisme di Papua, sebaliknya, tetap mendukung keutuhan negara RI dan pemberlakuan otonomi khusus di Papua. Selain itu, Pemerintah AS melalui USAID dan lembaga bantuan keuangan AS, juga membiayai berbagai program di Papua seperti manajemen sumber daya alam (SDA), termasuk program-program pengembangan masyarakat (community development) seperti yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia.
2. Australia
Posisi Australia dalam kasus Papua sangat penting karena Australia mempunyai pengaruh politik di kalangan negara-negara Pasifik Selatan. Selain itu, Australia juga cukup berperan dalam pembangunan di Indonesia, terutama melalui program bantuan berupa hibah kepada Indonesia meliputi berbagai sektor. Dalam kaitan dengan penanganan kasus Papua, hubungan bilateral Indonesia-Australia tidak hanya bertujuan untuk menghadapi sikap dan reaksi negara- negara Pasifik Selatan dalam kasus Papua yang secara tegas, beberapa negara sudah memberikan dukungan mereka pada gerakan kemerdekaan Papua, namun juga untuk meredam dukungan LSM Australia yang juga secara lugas mendukung kelompok pro- merdeka di Papua. Kekhawatiran Indonesia terhadap Australia cukuplah beralasan apabila dikaitkan dengan peristiwa politik di Timor Timur tahun 1999 di mana sikap dan dukungan Pemerintah dan LSM Australia akhirnya berhasil mewujudkan kemerdekaan Timor Timur (Timor Leste). Apalagi dengan adanya informasi bahwa Australia membentuk Task Force Papua yang diketuai oleh Chief of Defence Force, Jenderal Peter Cosgrove yang sedang mengkaji permasalahan di Papua dan prospek kemerdekaan Papua.
 Meskipun hal itu belum tentu benar, Pemerintah Indonesia tetap berhati-hati dalam menjalankan hubungannya dengan Australia. Meskipun Australia mendukung langkah yang diambil Indonesia untuk menyelesaikan persoalan di Papua dengan otonomi khusus, namun Australia m enginginkan Indonesia menghormati penegakan hukum dan penghormatan HAM di Papua. Walaupun demikian, dukungan dari Pemerintah A ustralia tidak serta-m erta mendapat dukungan dari semua elemen pemerintahan. Di Parlemen Australia, misalnya, Partai Buruh dan Fraksi Kiri sering kali menjadikan isu separatisme di Papua sebagai bahan perdebatan.
3. Kanada
Kebijakan Pemerintah Kanada secara eksplisit mendukung implementasi otonomi khusus di Papua secara konsekuen, berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2001 dengan menghormati hak rakyat Papua. Kanada membantu Papua juga melalui Canada Fund berdasarkan prioritas geografis dan program prioritas pembangunan sosial di empat bidang: kesehatan dan gizi, pendidikan dasar, penanganan HIV/AIDS, dan perlindungan anak.  Di sektor bisnis, Kanada pun memiliki usaha pertambangan (emas) di Papua, yaitu PT Ingold dan mengembangkan eksplorasi minyak di Teluk Bintuni.
4. Senegal
Salah satu negara Afrika yang mendukung kemerdekaan Papua adalah Senegal, Afrika Selatan. Dukungannya didasarkan pada paham N egritude- solidaritas antara ras kulit hitam di seluruh dunia. Tujuannya adalah untuk menentang kolonialisme dan dukungan bagi ras M elanesia serta gerakan pembebasan Papua. Sikap ini diikuti dengan usaha membangun keija sama ekonomi, militer, dan memerangi diskriminasi rasial. Gerakan ini lebih dikenal gerakan Pan-Africoid (‘Gerakan Pan-N egro’) yang memperjuangkan korban dari konspirasi rasisme dunia, genosida, dan pengambilalihan tanah di seluruh dunia, termasuk di Papua.
Dalam perkembangannya, gerakan ini semakin mendapatkan dukungan luas, terbukti sekitar 15 negara-negara di Afrika Barat dan Afrika Tengah menolak hasil Pepera di Papua dan berharap akan adanya implementasi hak penentuan nasib sendiri (self-determination) di Papua. Gerakan mendukung kemerdekaan Papua dari negara Afrika dimulai sejak 1969 saat penentuan voting Act of Free Choice (AFC) di Sidang Umum PBB, negara-negara tersebut menuduh bahwa AFC merupakan salah satu bentuk penjajahan dan bentuk ketidakdemokratisan terhadap saudara kulit hitam di Papua Barat. Sebagai tindak lanjutnya, Organisasi Afrika-Amerika yang tergabung dalam National Association for the Advancement of Colored People (NAACP) mengirim surat kepada Sekretaris Jenderal PBB, U Thant sebagai bentuk protes atas AFC dan meminta PBB merevisi kebijakan tersebut. Meskipun demikian hingga saat ini belum ada pernyataan resmi yang mendukung Papua hanya berasal dari sebagian kecil tokoh di Senegal, Ghana, dan Afrika Selatan.

5. Negara-Negara Asia
Berkaitan dengan Papua, beberapa negara di Asia yang memiliki perhatian khusus adalah Malaysia, Filipina, Korea Selatan, Jepang, India, dan Cina. Bagi Malaysia dan Filipina, Papua adalah pemasok kayu terbesar bagi kebutuhan impor kedua negara atau sekitar 70 persen berasal dari Papua. Bagi Jepang, Cina, Korea Selatan, dan India, ladang di sekitar kawasan Teluk Bintuni {Proyek LNG Tangguh) menyediakan cadangan LNG mencapai 23,7 triliun kaki kubik. Indonesia berkomitmen untuk mengekspor LNG ke Asia rata-rata enam sampai tujuh ton per tahun.

6. Negara-Negara Pasifik Selatan
Posisi negara-negara Pasifik Selatan dapat dibedakan menjadi tiga kelompok sebagai berikut:

- Negara Kepulauan Cook (Cook Island)
Pemerintah Negara Kepulauan Cook mendukung kemerdekaan Papua yang disampaikannya dalam KTT Milennium PBB. M eskipun dukungannya tidak signifikan, tindakan ini memiliki pertalian erat dengan sikap Pemerintah New Zealand dalam kasus Papua.
- Nauru
Pemerintahan Nauru secara tegas mendukung kemerdekaan Papua. Hal ini disampaikan dalam KTT Forum Pasifik Selatan di Kiribati, Oktober 2000. Selain itu, Nauru juga mendukung resolusi PBB mengenai penentuan nasib bagi rakyat Papua Barat. Sebelumnya, Bemard Dowiyogo M.P. (Presiden Republik Nauru) dalam Millenium Summit PBB yang diselenggarakan pada September 2000, mengemukakan mengenai kemerdekaan Papua dan menganggap bahwa selama ini Papua berada di bawah dominasi penjajah dan kontrol luar negeri. Namun pernyataan tersebut ini tidak langsung merujuk pada Indonesia.
- Tuvalu
Pemerintah Tuvalu juga mendukung kemerdekaaan Papua, meskipun dalam kapasitas yang terbatas.
- Vanuatu
Pemerintahan Vanuatu mendukung kemerdekaan Papua Barat. Argumentasi Pemerintah Vanuatu tak jauh berbeda dari Nauru, yaitu karena faktor-faktor sejarah dan kedekatan secara geografis. Di Vanuatu terdapat kantor perwakilan rakyat Papua Barat, yang diketuai oleh Dr. John Ondowame. Kemudian Pemerintah Vanuatu mempunyai komitmen untuk mempromosikan identitas dan hak dasar Ras M elanesia di wilayah Asia-Pasifik, khususnya bagi Papua Barat. Pemerintah Vanuatu juga mendorong dibukanya kasus- kasus ketidakadilan yang selama ini teijadi di Papua, dan memperjuangkan kesejahteraan sosial bagi masyarakat Papua.
Adapun kelompok Negara yang abstain, Seperti:
- Papua Nugini (PNG)
Beberapa daerah di PNG seperti Port Moresby, Black Water Sepik, Sowampa, dan Amanaf juga digunakan oleh OPM untuk melakukan aksinya. Posisi PNG dan Papua adalah berbatasan darat secara langsung. Posisi perbatasan PNG ini sangat strategis bagi para pelintas batas, termasuk kelompok merdeka dari Papua yang ingin melepaskan diri dari kejaran TNI dan Polri. Namun demikian, Pemerintah Indonesia sampai saat ini pun belum melakukan perjanjian ekstradisi dengan Pemerintah PNG untuk mengatasi masalah perbatasan ini. PNG secara tegas menyatakan dukungan terhadap keutuhan NKRI, seperti dalam joint statement yang disampaikan oleh Perdana Menteri PNG, Mekere Morouta kepada Megawati Sukarnoputri (sebagai wakil presiden Indonesia saat itu). Kendati demikian, Pemerintah PNG masih bersikap gamang, terutama karena banyaknya anggota masyarakat dan lembaga di PNG yang mendukung kemerdekaan Papua, seperti Gubernur Sandaun, John Tekwi, Politisi Tei Abai. Mereka tidak dikenakan sanksi oleh Pemerintahan Nasional di PNG.
 Sebaliknya, mereka terus-menerus berusaha mempengaruhi kebijakan pemerintahan PNG untuk mendukung perjuangan kemerdekaan Papua.
- New Zealand (NZ)
Sikap Pemerintahan NZ adalah mendukung keutuhan NKRI. Pemerintah NZ juga memiliki program bantuan untuk pembangunan di Indonesia (program the New Zealand Aid AgencylNZAlD), yang mencakup wilayah timur Indonesia, termasuk Papua. Meskipun demikian, salah satu partai di NZ, yaitu Green Party mendukung bahkan mengupayakan kemerdekaan Papua dan terus mendorong internasionalisasi isu Papua. Green Party berkedudukan di Wellington dan memiliki cabang yang tersebar hampir di seluruh provinsi/w ilayah. Partai ini mendapatkan dukungan dari partai lain, seperti Partai Buruh, Partai Nasional, Partai Warisan Kristen, Partai Aliansi, dan Partai Nasional. Dalam pernyataan resminya di Forum Negara Pasifik Selatan, partai ini meminta masalah Papua Barat dijadikan salah satu agenda sidang pertemuan yang kemudian diharapkan akan memberikan dukungan secara institusional untuk kemerdekaan Papua. Dalam berbagai kesempatan, Keith Locke sebagai juru bicara hubungan luar partai, secara tegas menginginkan nasib Papua adalah masalah yang harus menjadi perhatian negara-negara Pasifik Selatan dan mengingatkan negara yang tergabung dalam forum tersebut untuk mendukung dan mengikuti langkah Vanuatu dalam memperjuangkan kemerdekaan rakyat Papua. 
Sedangkan di dalam negeri, Keith Locke juga berusaha keras menyakinkan Perdana Menteri NZ, Helen Clark agar Papua dijadikan salah satu fokus dan agenda pemerintahannya. Hal ini dijadikan prioritas dukungan resmi kenegaraan.


Selain itu, ada juga kelompok Negara yang mendukung NKRI, Seperti :
Kepulauan Salomon, Republik Fiji, Kiribati dan Samoa Barat yang juga tergabung dengan Forum Negara Pasifik Selatan adalah negara-negara yang mendukung NKRI. Namun kelompok kemerdekaan Papua secara terus-menerus membangun komunikasi dengan beberapa negara ini untuk mendukung tuntutan politik mereka.
8. Negara-negara Uni Eropa
Beberapa negara Uni Eropa memiliki perhatian lebih banyak terhadap Papua.34 Sebagai contoh, delegasi Uni Eropa yang diwakili oleh para duta besar negara-negara tersebut berkunjung ke Papua pada bulan Maret 2002. Dalam kunjungan tersebut, secara ekplisit negara yang tergabung Uni Eropa tersebut mendukung sepenuhnya integritas Papua ke dalam NKRI. Dukungan juga diberikan bagi pelaksanaan Otonomi Khusus (Otsus) yang sebenar-benarnya di Papua dan memberikan perhatian pada masalah HAM di Papua.
Posisi organisasi antar pemerintahan di berbagai level dalam kasus Papua dapat diketahui beberapanya sebagai berikut:
1. ASEAN
ASEAN sebagai organisasi regional di wilayah Asia Tenggara secara resmi menyatakan dukungan atas kesatuan wilayah Indonesia dan menolak segala bentuk usaha untuk mengganggu keutuhan wilayah Indonesia.37 Hal ini sesuai dengan salah satu prinsip dasar ASEAN, yaitu tidak akan ikut campur dalam persoalan internal (non- interference principle) tiap-tiap negara. Berdasarkan prinsip ini, isu Papua dianggap sebagai masalah internal Indonesia, meskipun permasalahan di Papua memiliki dimensi internasional.
2. Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB)
Peran PBB di Papua menjadi faktor sejarah yang sangat penting. Lembaga dunia inilah yang ikut “menyelesaikan” masalah wilayah Papua, terutama sengketa antara Indonesia dan Belanda. PBB terlibat mulai dari pembentukan komisi PBB untuk Indonesia yang merancang adanya Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949 yang menyatakan bahwa akan menyetujui adanya transfer kedaulatan dari Pemerintah Belanda ke Pemerintah Indonesia. Kemudian dibentuk Komisi Administrasi PBB untuk penanda-tanganan Perjanjian New York tahun 1962, yang menyatakan bahwa Irian Jaya (sekarang Papua) menjadi bagian dari wilayah Indonesia, hingga pengawasan terhadap pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Papua tahun 1969.Pada tahun 1968, PBB juga membentuk tim peninjau mengenai kondisi di Papua yang diketuai oleh Femando Ortiz Sanz, seorang diplomat Bolivia. Kemenangan Pemerintah Indonesia dalam Perjanjian New York inilah yang menjadi salah satu persoalan mendasar bagi tuntutan kemerd ekaan rakyat Papua, yang= menuduh bahwa PBB dan Indonesia melakukan rekayasa perjanjian tersebut dan menuntut adanya reformasi di PBB.

3.3 Langkah Diplomatik Indonesia di PBB
Saat ini Pemerintah Indonesia mengambil langkah dalam diplomatik Indonesia di Forum PBB dengan mengirim diplomat muda contoh pertama yaitu Nara Rakhmatia di Sidang PBB, Di Sidang Umum Perserikatan Bangsa Bangsa, Indonesia melalui juru bicaranya Nara Masista Rakhmatia memprotes keras tudingan negara-negara di Kepulauan Pasifik yang mengkritik catatan HAM di Papua. Mereka yang menuding Indonesia itu adalah Perdana Menteri Kepulauan Solomon dan Vanuatu yang didukung oleh Nauru, Kepulauan Marshall, Tuvalu dan Tonga.
Melalui pernyataan resmi yang dibacakan Perwakilan Tetap Republik Indonesia (PTRI) Nara Masista Rakhmatia, Indonesia menilai apa yang dilakukan enam negara di Kepulauan Pasifik itu telah melanggar Piagam PBB. Padahal salah satu agenda utama Sidang Umum PBB kali ini adalah untuk membahas implementasi Sustainable Development Goals (SDGs) merupakan kelanjutan dari Millenium Development Goals (MDGs). 
Namun negara Solomon, Vanuatu, Nauru, Marshall, Tuvalu dan Tonga justru mencampuri kedaulatan negara lain dan melanggar integritas teritorial. 
"Para pemimpin tersebut malah memilih untuk melanggar piagam PBB dengan mengintervensi kedaulatan negara lain dan melanggar 
integritas teritorial," kata Nara saat membacakan tanggapan resmi pemerintah Indonesia di Sidang Umum PBB, Rabu  (28/9/2016). 
Nara menyebut negara-negara tersebut punya agenda tersendiri dan menggunakan forum Majelis Umum PBB untuk mengalihkan perhatian dari masalah politik dan sosial dalam negeri mereka.
Berikut ini protes keras pemerintah Indonesia atas tudingan enam negara kepulauan Pasifik di Sidang Umum PBB:

Tuan  Presiden 
Indonesia hendak menggunakan hak jawab kami terhadap pernyataan yang disampaikan Perdana Menteri kepulauan Salomon dan Vanuatu, yang juga disuarakan oleh Nauru, kepualau Marshall, Tuvalu dan Tonga Terkait masalah Papua, provinsi Indonesia.

Indonesia terkejut mendengar di mimbar, mimbar yang sangat penting ini di mana para pemimpin bertemu di sini untuk membahas implementasi awal SDGs, transformasi dari tindakan kolektif kita dan tantangan global lainnya seperti perubahan iklim, di mana negara pasifik yang akan paling terdampak, para pemimpin tersebut malah memilih untuk melanggar piagam PBB dengan mengintervensi kedaulatan negara lain dan melanggar integritas teritorial. 

Kami menolak mentah-mentah sindiran terus menerus dalam pernyataan mereka. Itu jelas mencerminkan ketidakpahaman mereka 
terhadap sejarah, situasi saat ini dan perkembangan progresif di Indonesia termasuk di provinsi Papua dan Papua Barat serta manuver polotik yang tidak bersahabat dan retoris. 

Pernyataan bernuansa politik mereka itu dirancang untuk mendukung kelompok-kelompok sparatis di provinsi-provinsi tersebut 
yang begitu bersemangat terlibat mengganggu ketertiban umum dan melakukan serangan teroris bersenjata terhadap masyarakat 
sipil dan aparat keamanan. Jelas pernyataan yang dibuat oleh negara-negara itu benar-benar melanggar tujuan dan maksud piagam PBB dan melanggar prinsip hukum internasional tentang relasi persahabatan antar negara serta kedaulatan dan integritas teritori suatu negara.
Kami ulangi. Itu sudah melanggar kedaulatan dan integritas teritori satu negara. Hal itu sangat disesalkan dan berbahaya bagi negara-negara untuk menyalahgunakan PBB termasuk sidang umum ini. 
Negara-negara ini sudah menggunakan Majelis Umum PBB untuk mengajukan agenda domestik mereka dan bagi beberapa negara untuk mengalihkan perhatian dari persoalan politik dan persoalan sosial di negara mereka. 
Negara-negara itu juga menggunakan informasi yang salah dan mengada-ada sebagai landasan pernyataan mereka. Sikap negara- negara ini meremehkan piagam PBB dan membahayakan kredibilitas Majelis ini. 

Tuan Presiden 
Komitmen Indonesia terhadap HAM tak perlu dipertanyakan lagi. Indonesia adalah anggota Dewan HAM PBB. Indonesia sudah menjadi anggota dewan tersebut selama tiga periode dan saat ini menjadi anggota untuk keempat kalinya.
Indonesia adalah penggagas komisi HAM antar pemerintah ASEAN dan komisi independen OIC. Indonesia sudah meratifikasi delapan dari sembilan instrumen utama HAM. Semuanya terintegrasi dalam sistem hukum nasional kami dibanding dengan hanya empat negara kepulauan Salomon dan lima negara oleh Vanuatu. 
Indonesia ada di antara segelintir yang memiliki rencana aksi nasional HAM dan saat ini generasi keempat dari rencana tersebut dari 2015-2019. Indonesia memiliki KOMNAS HAM yang aktif dan kuat sejak tahun 1993 masyarakat sipil yang aktif dan media yang bebas.
Indonesia juga merupakan negara demokrasi yang dewasa di dalam fungsi-fungsinya. Dengan demokrasi yang begitu dinamis bersama dengan komitmen sangat tinggi terhadap promosi dan perl;indungan HAM di semua level. 
Hampir-hampir mustahil pelanggaran HAM terjadi tanpa diketahui dan diperiksa. 

“Tuan Presiden
Kami tegaskan kembali ada mekanisme domestik di tingkat nasional di Indonesia juga di tingkat provinsi di Papua dan Papua Barat. 
Di pihak kami Indonesia akan terus memberi fokus yang tepat pada pembangunan di Provinsi Papua dan Papua Barat dan untuk kepentingan terbaik bagi semua. 
Sebagai kesimpulan tuan presiden, ada pepatah di kawasan Asia pasifik.
Ketika seseorang menunjukkan jari telunjuknya pada yang lain, jari jemarinya secara otomatis menunjuk pada wajahnya sendiri. 
Terimakasih”
Selain itu ada perwakilan lain di tahun 2017 dari Indonesia bernama Ainan Nuran yang  menangkis omongan dari Negara Vanuatu & Solomon Island di ikuti oleh tuvalu , Saint Vincent & Granadies  tentang Papua dan Papua Barat  bahwa negara-negara tersebut percaya atas tipuan dan tuduhan palsu yang beredar oleh Individu yang termotivasi secara ekonomi oleh agenda kelompok separatis di Papua dan pendukungnya ,dan faktanya yang ada di Papua pembangunan jalan yang sudah mencapai 4.325 kilometer (km); pembangunan 30 pelabuhan laut dan tujuh bandara baru; sekira 2,8 juta warga Papua sekarang ini mendapat pelayanan kesehatan dasar yang gratis; dan sedikitnya 360 ribu pelajar asal Papua mendapatkan akses pendidikan gratis. 
Upaya diplomasi Indonesia di forum Melanesia Spearhead Group (MSG) yaitu dengan Indonesia ikut bergabung di forum  MSG  dengan menggunakan diplomasi dengan menjalin hubungan bilateral dengan Papua Nugini untuk mengurangi ketergantungan pada Australia, Keberedaan Indonesia sebagai anggota MSG ini juga akan menguntungkan dalam membangun hubungan diplomasi, terutama terkait isu OPM
3.4 Studi Kasus
KOMPAS - Pelanggaran hak-hak asasi manusia di Papua menjadi satu isu yang menarik perhatian baik secara nasional maupun internasional. Akan tetapi, hal itu tak perlu dikhawatirkan karena pemerintah telah berkomitmen menyelesaikan semua pelanggaran hak asasi manusia di Papua secara menyeluruh, seperti yang diumumkan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan (Kompas.com, 8/6/2016).
Menkopolhukam dalam kunjungannya di Jayapura menegaskan kembali komitmen pemerintah ini bahwa semua persoalan hak asasi manusia (HAM) di Papua akan diselesaikan secara transparan dan independen, tanpa ada rekayasa (Antaranews. com, 16/6/2016). Kini pemerintah sedang menangani tiga kasus pelanggaran HAM, yakni kasus-kasus Wasior (2001), Wamena (2003), dan Paniai (2014).
Mendorong audit
Komitmen pemerintah ini patut diapresiasi, tetapi penyelesaian masalah HAM Papua yang difokuskan hanya pada ketiga kasus tersebut akan menimbulkan pertanyaan. Apakah hanya tiga kasus pelanggaran HAM ini saja yang terjadi sejak Papua berintegrasi ke dalam Republik Indonesia, 1 Mei 1963, hingga kini? Pertanyaan seperti ini tidak perlu dijawab melalui pernyataan yang defensif karena pemerintah dapat dicurigai sengaja menyembunyikan kasus lain dan mengangkat hanya tiga kasus ini.
Pemerintah justru perlu mendorong pelaksanaan audit HAM di tanah Papua. Audit ini dibuat bukan karena adanya kecurigaan, tuduhan, dan tekanan dari luar, tetapi sebagai inisiatif pemerintah sendiri. Juga bukan untuk menentukan siapa yang benar dan siapa yang salah.
Melalui audit ini, semua data tentang situasi HAM di Papua sejak 1963 hingga kini dapat dihimpun dan diungkapkan secara menyeluruh, obyektif, transparan, dan tanpa ada rekayasa. Tentunya pengungkapan kebenaran ini tidak didorong oleh kebencian, permusuhan, dan hasrat balas dendam karena kemajuan dan keutuhan negara ditempatkan sebagai motif dan tujuan utamanya.
Hasil audit HAM selanjutnya dipublikasikan sebagai dokumen resmi yang dimiliki dan diterbitkan oleh negara. Masyarakat luas perlu mendapatkan kemudahan akses untuk membacanya karena dia menyimpan pelajaran yang berharga demi kemajuan dan masa depan Indonesia. Belajar dari pengalaman historis yang telah didokumentasikan ini, pelanggaran HAM dapat dicegah bukan hanya di Papua, melainkan juga di seluruh persada Nusantara.

Restorasi hubungan
Dalam menangani persoalan HAM di Papua, perlu dipikirkan juga upaya penghentian dan pencegahannya agar tidak terjadi pelanggaran yang sama di masa depan. Teori episode-episentrum yang diperkenalkan oleh seorang ahli studi perdamaian, John Paul Lederach (2003), dapat membantu refleksi kita.
Berbagai kasus pelanggaran HAM dipandangnya sebagai episode-episode dari sebuah konflik. Sebuah episode terjadi tidak dari suatu kevakuman karena selalu ada konteks yang memengaruhinya. Konteks inilah yang disebut episentrum, yang kapan saja dapat menyebabkan aksi kekerasan baru. Selama episentrumnya belum diatasi, pelanggaran HAM akan terus terjadi.
Mengikuti teori ini, dapat dikatakan bahwa bukan hanya kasus-kasus HAM yang perlu dituntaskan, tetapi hal yang jauh mendasar adalah mengatasi episentrum yang setiap saat dapat melahirkan pelanggaran HAM baru di Papua.
Episentrum masalah HAM di Papua, menurut pengamatan penulis, adalah adanya relasi permusuhan antara orang Papua dan pemerintah. Di satu pihak, orang Papua, sekalipun tidak semuanya, dicurigai sebagai pendukung gerakan separatis yang dimotori Organisasi Papua Merdeka (OPM). Pemerintah selama ini berusaha membasmi separatis Papua, yang merupakan musuh negara, dengan mengedepankan pendekatan keamanan.
Di pihak lain, OPM memandang pemerintah ssarebagai penjajah. Maka, aksi-aksi kekerasan dan diplomasi dilakukannya demi pembebasan tanah dan orang Papua dari penjajahan (dekolonisasi). Relasi permusuhan inilah yang melahirkan kasus-kasus HAM. Maka, selama relasi ini tidak diperbarui, pelanggaran HAM akan terus terjadi di Papua sekalipun ketiga kasus HAM di atas mungkin dapat diselesaikan.
Dalam suasana permusuhan seperti ini, pelanggaran HAM di Papua tak dapat diakhiri dan dicegah melalui suatu keputusan sepihak, entah oleh pemerintah entah oleh OPM. Keputusan seperti itu akan ditolak oleh pihak lain, terutama, karena merasa diri dipandang sebagai musuh yang tidak dilibatkan dalam proses pembuatan keputusan tersebut.
Meski demikian, restorasi relasi antara pemerintah dan OPM merupakan suatu keharusan apabila pelanggaran HAM mau diakhiri dan dicegah di Papua. Relasi permusuhan perlu diperbarui menjadi relasi persahabatan, ketika mereka tidak saling memandang sebagai musuh, tetapi sebagai saudara. Sekali relasinya direstorasi, sikap saling tidak percaya yang mewarnai relasi antarmereka selama ini akan hilang dan muncul sikap saling percaya satu sama lain. Selanjutnya, mereka dapat bertemu dan berdiskusi dalam suasana persaudaraan.
Pembaruan relasi ini menuntut keterlibatan dari kedua belah pihak dan sarananya adalah dialog. Karena itu, pemerintah dan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP)  yang mewakili OPM diharapkan bertemu untuk memperbarui relasi antarmereka dan secara bersama membahas upaya penyelesaian dan pencegahan pelanggaran HAM secara menyeluruh melalui dialog


BAB IV
KESIMPULAN

Papua adalah wilayah yang strategis dan sangat menarik bagi berbagai pihak karena kekayaan alamnya yang melimpah. Indonesia sebagai negara yang memiliki wilayah tersebut, memiliki banyak tantangan yang muncul dari dalam maupun luar negri. PBB sebagai Organisasi Internasional menjadi wadah untuk indonesia dalam menangani konflik dan isu yang timbul di Papua. Konflik yang timbul disebabkan oleh kelompok separatis yang bernama Organisasi Papua Merdeka (OPM). Organisasi tersebut ingin mendeklarasikan kemerdekaan di Papua Barat, karena mereka menilai Indonesia kurang memperhatikan masalah-masalah apa saja yang terjadi di Papua.
Upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia adalah dengan melakukan pembangunan jalan yang sudah mencapai 4.325 kilometer (km); pembangunan 30 pelabuhan laut dan tujuh bandara baru; sekira 2,8 juta warga Papua sekarang ini mendapat pelayanan kesehatan dasar yang gratis; dan sedikitnya 360 ribu pelajar asal Papua mendapatkan akses pendidikan gratis di Papua.
Upaya diplomatik yang dilakukan oleh Indonesia, adalah dengan mengirimkan delegasi dari Indonesia ke forum PBB yang dapat menangkis isu yang di lontarkan oleh negara-ngara di Kepulauan Pasifik. Melalui pernyataan resmi yang dibacakan Perwakilan Tetap Republik Indonesia (PTRI) Nara Masista Rakhmatia, Indonesia menilai apa yang dilakukan enam negara di Kepulauan Pasifik itu telah melanggar Piagam PBB. Padahal salah satu agenda utama Sidang Umum PBB kali ini adalah untuk membahas implementasi Sustainable Development Goals (SDGs) merupakan kelanjutan dari Millenium Development Goals (MDGs). 
Dengan dibuatnya makalah penelitian ini diharapkan agar para mahasiswa lebih mengetahui konflik yang terjadi di Papua dalam garis besar dan dalam perspektf.


DAFTAR PUSTAKA

Buku
Budiarjo Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta:Gramedia Pustaka Utama)
Surajiyo & Wiyanto Agus, 2009, Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi, (Jakarta:Inti Prima)
May .T Rudy, 2005, Administrasi & Organisasi Internasional,(Bandung:Refika Aditama)
Steans Jill & Lloyd Pettiford, 2012, Hubungan Internasional Perspektif dan Tema,(Jogjakarta:Pustaka Pelajar) Hal.100-111
Roy S.L,1991, Diplomasi, (Jakarta : Rajawali Pers) Hal.3
H.Bull, The Anarchical Society : A Study Of Order In World Politics. (London: Macmillan, 1997)
Roy S.L., 1991, Diplomasi,(Jakarta:Rajawali Pers) Hal. 3
GR Berriedge, Diplomacy : Theory and Practice. (Hertfordshire:Prentice Hall,1995),hlm 1.
 M.S. Anderson, The Rise Of Modern Diplomacy. (London & New York: Longman, 1993
May .T Rudy, 2005, Administrasi & Organisasi Internasional,(Bandung:Refika Aditama) Hlm. 2-5
John M Echols, 2005, Kamus Bahasa Inggris, (Jakarta:Gramedia Pustaka Utama)

Jurnal
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/436/1/102708-FIRMANSYAH-FSH.PDF (Diakses Pada tanggal 22 Okt 2017)
I Sujatmiko, 2001, Empat Kelompok Separatis,(Jakarta:Tempo) Hlm.58
Jurnal Politik LIPI Vol.3 No.1 PAPUA MENGGUGAT
http://1073zb3xfs20yv98x228do7r.wpengine.netdna-cdn.com/wp-content/uploads/2015/03/STARBUK-Rebekah.pdf (Diakses pada tanggal 22 Oktober 2017)
Sumber Lain
https://www.kompasiana.com/simanungkalitrai/indonesia-gabung-msg-untuk-memperkuat-hubungan-diplomasi_560b97d0d47a614705f86446 (diaksses tanggal 23 oktober 2017)
https://news.detik.com/berita/d-3309674/ini-pernyataan-keras-ri-yang-dibacakan-nara-rakhmatia-di-sidang-pbb (Diakses tanggal 22 Oktober 2017)
https://news.okezone.com/read/2017/09/27/18/1783639/lagi-aksi-diplomat-indonesia-tampar-pemimpin-negara-di-sidang-pbb (Diakses Tanggal 22 Oktober 2017)
http://regional.kompas.com/read/2016/07/19/07323321/menangani.pelanggaran.ham.di.papua (Diakses pada tanggal 22 Oktober 2017)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DIPLOMASI PADA ERA PEMERINTAHAN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO (SBY)

DIPLOMASI PADA MASA PEMERINTAHAN MEGAWATI

TANTANGAN DIPLOMASI MULTILATERAL INDONESIA PADA MASA PEMERINTAHAN JOKOWI