MAKALAH SEJARAH DIPLOMASI INDONESIA “KETERLIBATAN INDONESIA DI GNB”

"Sejarah Diplomasi Indonesia"

"KETERLIBATAN INDONESIA DI GNB"

Dosen : Rachmayani, M.Si

kelompok 1 : 

  1. ADELLA BEATRIX SIMBOLON 2016230003
  2. GHINA ILMA PRADISTIA 2016230033
  3. FITRI HANDAYANI 2016230133
  4. MUSTIKA AULIA 2016230152
  5. MUHAMAD FAUZAN KAMIL 2016230200
INSTITUT ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK (IISIP)
JAKARTA


KATA PENGANTAR
Puji Syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa, yang memberikan kesehatan sehinnga kiranya tugas makalah ini dapat kami selesaikan bersama. Adapun tugas makalah ini sebagai tunjangan nilai mata kuliah Sejarah Diplomasi Indonesia yang diberikan oleh Ibu Rahma. Kami pun mendapatkan tugas mengenai “Keterlibatan Indonesia di dalam GNB”
  Dan daripada itu, kami mohon maaf jika kiranya makalah ini jauh dari kata sempurna, dan mohon maaf jika ada kata-kata yang kurang pantas penempatannya. Kami juga kiranya menerima saran dan kritik dari saudara pembaca makalah ini, agar kiranya kami dapat menunjang perbaikan makalah ini kedepannya.
Akhir kata, kiranya makalah ini bermanfaat bagi saudara pembaca. Dan bermanfaat juga bagi kami selaku pembuat makalah ini. Kiranya makalah ini bisa menjadi bahan pembelajaran juga ke depannya.  Terima Kasih Banyak.


BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Ketegangan yang terjadi pada era 50-an pasca PD II antara Amerika dan Uni Soviet menyebabkan Perang Dingin. Ketegangan antara kedua ini dilatarberlakangi oleh keinginan untuk memperluas pengaruh antara Liberalisme yang dianut Amerika Serikat dan Komunisme yang dianut oleh Uni Soviet. Ketegangan semakin berkembang setelah Uni Soviet menduduki negara-negara Baltik seperti Latvia, Estonia, dan Lithuania, yang merupakan wilayah Polandia.
Ketegangan antara kedua negara menciptakan dua blok, yaitu blok barat dan blok timur. Keadaan tersebut mendorong ketegangan kian bertambah dan menjurus terjadinya Perang Dunia III dan pengembangan senjata nuklir. Situasi ini menjadi tekanan bagi negara-negara yang baru merdeka dan masih berkembang. Ketegangan ini pun mendorong para pemimpin negara yang baru merdeka untuk tidak memihak kepada blok manapun. Akhirnya, terbentuklah suatu gerakan yang di sebut Gerakan Non-Blok yang tidak memihak pada blok manapun. Pada bab berikut, kelompok kami akan menjelaskan mengenai Gerakan Non-Blok secara lebih rinci.
Rumusan Masalah
Bagaimana Awal Mula terbentuknya GNB?
Bagaimana dampak GNB bagi negara berkembang?
Bagaimana Keterlibatan Indonesia di GNB?
Tujuan 
Menjadi bahan belajar untuk mata kuliah SDI
Untuk mengetahui keterlibatan Indonesia di GNB
Memberikan informasi kepada para pembaca mengenai GNB dan keterlibatan Indonesia di dalamnya.


Manfaat
Mengetahui bagaimana sejarah terbentuknya GNB
Mengetahui dampak GNB bagi negara anggota dan dunia
Dapat menganalisis kasus dengan perspektif yang ada

BAB II
LANDASAN TEORI

Sejarah GNB  (Gerakan NON-Blok)
Gerakan Non Blok (GNB) dibentuk awal tahun 1960-an, dipelopori dari negara-negera merdeka yang memilki tekad kuat dalam melancarkan aksi-aksi politiknya menghadapi situasi dunia yang ditandai dengan memuncaknya perang dingin antara blok Barat dengan blok Timur. Lahirnya GNB berkaitan dengan Konferensi Asia Afrika (KAA) yang dilaksanakan di Bandung pada tanggal 18 April 1955 – 24 April 1955. KAA dihadiri oleh 29 kepala negara dan kepala pemerintahan dari benua Asia dan Afrika yang baru saja merdeka dari penjajahan.  
Tujuan dari Konferensi Asia Afrika yang diadakan di Bandung pada saat itu untuk mengidentifikasi dan mendalami masalah-masalah dunia pada saat itu, serta merumuskan kebijakan bersama negara pada tatanan hubungan internasional. Selain itu, konferensi ini juga mengeluarkan resolusi menentang penjajahan, diantaranya penjajahan Perancis atas Guinea Baru. KAA juga menjadi pendahuluan dari terbentuknya Organisasi GNB. 
Sejak Konferensi Asia Afrika di Bandung ini dilaksanakan, proses pendirian GNB menjadi kenyataan, dan dalam proses ini tokoh-tokoh yang memegang peran kunci sejak awal adalah Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser, Presiden Ghana Kwame Nkrumah, Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru, Presiden Indonesia Soekarno, Presiden Yugoslavia Joseph Broz Tito kelima tokoh dunia ini dikenal sebagai pendiri GNB. Pemikiran-pemikiran kelima kepala negara inilah yang menjadi asal usul GNB, sehingga kelima kepala negara ini mendapatkan julukan The Initiatif Five (Inisiatif kelima orang).
Pada tahun 1960 kelima tokoh tersebut meyuarakan resolusi untuk meredakan ketegangan Timur dan Barat di Majelis Umum PBB ke 25, resolusi ini tidak hanya menjadi isapan jempol belaka ataupun opini yang berkembang di dalam Majelis Umum PBB ke 25 resolusi segera dilakukan dengan bentuk gerakan yang tak mau memihak dan terlibat oleh pihak Barat dan Timur. Forum Non Blok ini bisa juga disebut anak kandung Konferensi Bandung (KAA Bandung) dikarenakan di dalam Konferensi Bandung tersebut ide-ide untuk membentuk GNB muncul menurut Abdul Gani, Sekjen Konferensi Asia Afrika. Indonesia yang termasuk sebagai pencetus atau pelopor GNB suatu saat akan menjadi penyelenggara atau tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi.
Non Blok atau Non Aligned merupakan suatu pandangan politik luar negeri suatu negara dimana negara tersebut memiliki kebebasan menentukan jalan politiknya sendiri tanpa mengikut sertakan atau bergantung kepada salah satu blok adidaya yang sedang bertikai. Penggunaan istilah Non-Alignment (tidak memihak) pertama kali dilontarkan Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru dalam pidatonya di Srilangka tahun 1957.
Sejak saat tersebut, Non Aligned sebagai salah satu dari komponen prinsip dasar dari GNB dan prinsip Non Aligned ini dapat diterima secara luas terutama oleh negara-negara yang baru saja bebas dari penjajahan atau berpisah dari negara asal lalu mendirikan negara sendiri. GNB dicanangkan dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) yang dihadiri 25 negara dari Asia, Afrika, Eropa, dan Latin Amerika diselenggarakan di Biograd (Belgrade), Yugoslavia pada tahun 1961. Presiden Broz Tito, menjadi pemimpin pertama dalam GNB. Sejak pertemuan Belgrade tahun 1961. 
Faktor yang melatar belakangi GNB ini bukan hanya pertikaian antara blok Barat dan Timur saja tapi banyak faktor-faktor pendukung dibentuknya GNB ini seperti : 
Adanya kecemasan negara-negara yang baru merdeka dan negara yang sedang berkembang, sehingga negara- negara tersebut menghendaki perdamaian kedua kubu agar tidak menjadi konflik terbuka atau ketegangan dunia.
Dokumen Brioni tahun 1956 yang ditandatangani oleh Presiden Yugoslavia Joseph Broz Tito, Perdana Menteri India Jawharlal Nehru, dan Presiden Mesir Abdul Gamal Nasser yang bertujuan mempersatukan negara-negara di dunia tanpa ada blok baik Barat atau Timur. 
Uni Soviet membangun pangkalan militer di Kuba secara besar-besaran dimana Uni Soviet mengirim sebagian mengirim militer dan persenjataan baik nuklir atau non nuklir, hal ini menyebabkan Amerika Serikat khawatir akan keamanan negaranya. Kejadian ini yang dikenal dengan nama Krisis Kuba tahun 1961.
Pasca perang dunia ke-2 (world war II), dunia memasuki fase yang disebut sebagai ‘Periode Perang Dingin’ (Cold War Period), dimana terdapat dua poros kekuatan utama dunia, yakni Amerika Serikat dengan sekutu-sekutunya seperti negara-negara Eropa Barat, dan poros lain yang digalang oleh Uni Soviet, China, dan Kuba. Adapun penyebutan ‘Negara Dunia Ketiga’ atau ‘the Third-World Nations’ mengacu pada posisi negara yang tidak memihak salah satu poros, atau berada dalam posisi netral (non-aligned).
Ketiga pemimpin negara tersebut juga mendiskusikan masalah yang muncul sebagai dampak kolonialisme, serta campur tangan negara lain dalam urusan pemerintahan dalam negeri. Sedangkan Nehru mengemukakan tujuan utama pembentukan Gerakan Non Blok, yakni:
Perdamaian dan pelucutan senjata (disarmaments).
Kebebasan untuk menentukan nasib sendiri bagi setiap bangsa.
Kesetaraan ekonomi.
Kesetaraan kebudayaan.
Kerjasama dengan banyak negara melalui dukungan nyata pada Perserikatan Bangsa-Bangsa (the United Nations).

Dari latar belakang sejarah tersebut, diselenggarakanlah Konferensi Gerakan Non Blok Pertama (the 1st Summit of the Heads of State or Government of the Member Countries of the Non-Aligned Movement) di Belgrade, Yugoslavia pada 1-6 September 1961. Lima negara yang menjadi pemrakarsa (founding members) gerakan ini adalah Indonesia (dipimpin oleh Presiden Soekarno), Mesir (dipimpin oleh Presiden Gamal Abdel Nasser), India (diwakili Perdana Menteri Jawaharlal Nehru), Yugoslavia (dibawah pimpinan Presiden Josip Broz Tito), dan Ghana (dipimpin oleh Presiden Kwame Nkrumah).
Pada konferensi tersebut disepakati 27 butir deklarasi (Belgrade Declaration), yang beberapa poin penting diantaranya adalah:
Negara-negara anggota Gerakan Non Blok harus menerapkan kebijakan yang bebas dari intervensi kelompok manapun, atau setidaknya menunjukkan ketidakberpihakan pada kutub tertentu.
Negara-negara anggota Gerakan Non Blok harus secara konsisten melawan kolonialisme dan mendukung Gerakan untuk Kemerdekaan Bangsa (the Movements for National Independence).
Negara-negara anggota Gerakan Non Blok tidak boleh menjadi anggota sekutu militer dari poros negara adidaya, baik Poros Barat (Amerika Serikat) maupun Poros Timur (Uni Soviet).
Jika suatu negara memiliki kerjasama bilateral dengan negara adidaya dalam bidang militer atau tergabung dalam salah satu anggota pakta pertahanan, kerjasama tersebut tidak boleh membuatnya terlibat dalam persaingan dua kutub.

Gerakan Non Blok beranggotakan 25 negara, maka seiring perkembangan dunia, jumlah anggota institusi ini bertambah hingga 120 negara, yang sebagian besar berada di wilayah Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Lebih lanjut, entitas ini mengadakan pertemuan rutin setiap empat tahun sekali dalam format Konferensi Tingkat Tinggi (the Non-Aligned Movement Summit).
Tantangan dunia modern saat ini tidak sama dengan saat awal berdirinya Gerakan Non Blok. Beberapa poin dibawah ini menjadi penegasan terjadinya perubahan jaman, sekaligus menjadi tantangan bagi relevansi keberadaaan Gerakan Non Blok di dunia modern:
Perang Dingin telah berakhir sejak lama. Polaritas kekuatan militer dunia bisa dikatakan tidak ada lagi.
Keruntuhan komunisme, seiring dengan berakhirnya Uni Soviet menjadi salah satu tanda bahwa jaman telah mengalami perubahan.
Kerjasama militer di dunia modern lebih didasarkan pada konsep penguatan wilayah teritorial dan kawasan, bukan dalam rangka kolonialisme dan imperialisme.
Telah terjadi pergeseran fokus persoalan, dari yang semula pada persaingan kekuatan militer, menjadi tantangan dalam pembangunan perekonomian, teknologi informasi dan komunikasi, serta lingkungan hidup.

Mengenai relevansi keberadaan Gerakan Non Blok, terdapat beberapa argumentasi yang menyatakan bahwa gerakan ini masih relevan di era modern. Berikut beberapa hal yang mendasarinya:
Meskipun saat ini kekuatan dunia sudah tidak terpusat pada dua kubu setelah runtuhnya Uni Soviet, masih ada Amerika Serikat yang menjadi poros kekuatan dunia. Kehadiran Gerakan Non Blok diharapkan mampu menjadi penyeimbang kekuatan tersebut, agar tidak ada satu negara pun yang berada diatas negara lain.
Pola kerjasama dalam Gerakan Non Blok juga mengalami pergeseran menyesuaikan perkembangan jaman. Pada prosesnya, gerakan ini juga aktif dalam upaya pemberantasan kemiskinan, intoleransi, serta ketidakadilan.
Dengan anggota yang berjumlah 120 negara, Gerakan Non Blok menjadi entitas multinasional terbesar kedua setelah Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ini membuktikan bahwa setiap aktivitas dan keputusan yang diambil dalam Gerakan Non Blok, memainkan peran penting dalam konstelasi hubungan internasional.

Untuk menjawab tantangan dunia modern, maka KTT Gerakan Non Blok ke-17 (the 17th Summit of the Non-Aligned Movement) di Margarita, Venezuela pada 13-18 September 2016, mengusung tema ‘Peace, Sovereignty and Solidarity for Development’.
Dari tema tersebut bisa ditegaskan bahwa yang menjadi perhatian utama adalah ‘development’ atau pembangunan; lebih tepatnya, pembangunan yang didasarkan pada perdamaian, kedaulatan, dan solidaritas.
Adapun dalam KTT tersebut disepakati deklarasi yang terdiri dari 21 butir kesepakatan. Beberapa poin penting dari deklarasi tersebut antara lain: 
Penguatan dan Revitalisasi organisasi Gerakan Non Blok.
Memperkuat keamanan dan perdamaian internasional, dengan salah satu tujuannya adalah untuk menyelamatkan generasi penerus dari konflik-konflik yang tejadi.
Mempromosikan perlindungan hak asasi manusia.
Mengutuk aksi-aksi terorisme sebagai ancaman perdamaian dan keamanan global.
Mengedepankan dialog antar warga bangsa yang menjunjung tinggi penghormatan terhadap perbedaan agama, sosial, dan budaya, sehingga mampu menciptakan perdamaian, toleransi, dan saling menghormati satu sama lain.
Bersepakat untuk menyukseskan agenda the Sustainable Development Goals (SDGs), mengingat bahwa agenda tersebut menempatkan manusia sebagai subjek sekaligus objek pembangunan jangka panjang, yang terintegrasi dengan dimensi pembangunan ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Mempromosikan pengembangan pendidikan, pengetahuan, dan teknologi. Salah satu caranya adalah dengan memberantas ‘buta pengetahuan’ (illiteracy) sebagai salah satu faktor pemicu masalah kemiskinan dan keterasingan.
Memberikan perhatian pada isu perubahan iklim (climate change). Menegaskan bahwa masalah perubahan iklim dan pemanasan global (global warming) menjadi salah satu tantangan besar yang harus dijawab dalam rangka mewujudkan pembangunan jangka panjang.
Memberikan perhatian pada masalah tata kelola perekonomian dunia, yakni dengan menegaskan pentingnya reformasi arsitektur keuangan internasional melalui demokratisasi dalam pengambilan keputusan. Hal ini terutama terkait dengan institusi multinasional seperti the International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia. Selain itu menyerukan penguatan partisipasi negara-negara berkembang dalam pengambilan keputusan dan proses pembuatan kebijakan ekonomi internasional, serta transparansi dalam organisasi keuangan dunia.
Memberikan perhatian pada generasi muda dan perempuan dalam kaitannya dengan perdamaian dan keamanan; dan menekankan pentingnya peran generasi muda dan perempuan dalam upaya mengatasi konflik dan memelihara perdamaian. Oleh karenanya, perwujudan kesetaraan gender (gender equality) menjadi salah satu faktor penting dalam proses ini.
Ketika dunia mengalami pergeseran akibat perkembangan sosial-ekonomi dan teknologi, maka sudah semestinya apabila Gerakan Non Blok (Non-Aligned Movement/NAM) yang tujuan awalnya menggalang kerjasama untuk berdiri netral diantara dua poros kekuatan dunia, mengalami perubahan menjadi penggalangan kerjasama untuk menjawab tantangan pembangunan manusia dan lingkungan hidup. 


Faktor – faktor terbentuknya GNB (Gerakan Non-Blok)
Berdirinya  dilatarbelakangi oleh faktor-faktor sebagai berikut:
Munculnya dua blok yaitu Blok Barat dan Blok Timur yang bersaing untuk memperebutkan pengaruh dunia internasional. Blok Barat diikat dalam suatu pertahanan yang bernama NATO (North Atlantic Treaty Organization) sedangkan Blok Timur terikat dalam Pakta Warsawa.
Adanya kecemasan negara-negara yang baru saja mencapai kemerdekaannya. Mereka merasa cemas karena persaingan antara blok adidaya tersebut.
Adanya “Dokumen Brioni”  yang merupakan pernyataan dari presiden Josep Broz Tito (Yugoslavia).  Perdana menteri Jawaharlal Nehru (India ) dan Presiden Gamal Abdul Nasser (Mesir) tahun 1956 di Pulau Brioni,  Yugoslavia.  Dokumen tersebut memuat prinsip-prinsip dasar untuk mempersatukan gerakan Non Blok.
Adanya pertemuan lima orang negarawan Non Blok di markas besar PBB dalam sidang Umum PBB ke-15 tahun 1960.
Terjadinya krisis Kuba tahun 1961. Krisis ini terjadi karena Uni Soviet membangun pangkalan rudal di Kuba secara besar-besaran.  Amerika Serikat merasa terancam dan memprotes tindakan Uni Soviet tersebut.  Situasi dunia menjadi tegang . Hal ini mendorong negara-negara Non Blok untuk segera menyelenggarakan KTT Non Blok.

TUJUAN GNB (Gerakan Non-Blok)
Tujuan Gerakan Non Blok semula adalah meredakan ketegangan dunia sebagai akibat pertentangan antara Blok Barat dan Blok Timur. Dalam perkembangannya tidak hanya terbatas pada usaha perdamaian saja tetapi juga berkaitan dengan hak asasi manusia, ekonomi dan hubungan antarbangsa. Adapun tujuan Gerakan Non Blok dapat dirinci sebagai berikut: 
Berkaitan dengan Perdamaian Dunia:
mengusahakan terwujudnya perdamaian dunia dan hidup berdampingan secara damai.
menyelesaikan persengketaan antarbangsa secara damai. 
Mengusahakan tercapainya perlucutan senjata secara menyeluruh
Menolak adanya persekutuan militer
Menolak adanya pangkalan asing dan pasukan asing di suatu negara
Berkaitan dengan Hak Asasi Manusia menentang kolonialisme, rasialisme dan apartheid.
Berkaitan dengan ekonomi:
Memperjuangkan kemerdekaan di bidang ekonomi dan kerja sama atas dasar  persamaan derajat bagi keuntungan bersama. 
Mengusahakan terwujudnya kerja sama negara-negara maju dan negara-negara berkembang untuk menata ekonomi dunia yang lebih adil dan merata
Berkaitan dengan hubungan Antarbangsa:
Mengusahakan hubungan antarbangsa secara demokratis.
Memelihara dan meningkatkan persatuan negara-negara Non Blok.

D. PERSPEKTIF YANG DIGUNAKAN INDONESIA DAN GNB
Dalam hubungan internasional, diketahui beberapa perspektif seperti Realisme, Liberalisme, Konstruktivisme, Strukturalisme, dan lain-lain. Perspektif ini juga tidak lepas dari GNB, Indonesia, dan politik luar negeri mereka. Jika kita lihat, maka perspektif yang dipakai adalah Neo-realisme, Liberalisme, dan Neo-liberalisme. Namun, kami akan menganalisis menggunakan perspektif Neo-Realisme di Bab 3 dan di bab ini kami akan memaparkan dulu perspektif teori Neo-realisme. 
GNB adalah organisasi internasional yang diciptakan pada perang dingin sebagai reaksi dari negara-negara yang menolak memihak blok-blok manapun. Tujuan utama dari GNB adalah perdamaian, stabilitas negara dan integritas wilayah negara. GNB juga mendorong perdamaian dan penguatan kekuatan militer untuk tujuan mempertahankan kemerdekaan dan bukan untuk kepentingan agenda blok barat maupun kepentingan blok timur.
Dari pernyataan diatas, kami akhirnya memutuskan untuk menggunakan perspektif Neo-realisme. Untuk lebih jelasnya, point-point yang kami pakai sebagai dasar untuk analisis adalah sebagai berikut:
Negara sebagai aktor utama dalam hubungan internasional.
Organisasi internasional diakui negara jika menguntungkan kepentingan nasional.
Pengejaran kekuatan hanya sebatas untuk mempertahankan diri (Defensive Realist)
NEO-REALISME
Neo-realisme adalah perkembangan dari realisme. Neo-realisme adalah gabungan dari realisme dan liberalisme. Di bidang high politics seperti militer, politik, dan keamanan digunakan perspektif realisme. Sedangkan di bidang low politics seperti ekonomi, hak asasi manusia, dan masalah menyangkut organisasi internasional menggunakan perspektif liberalisme. Dalam buku “Pengantar studi keamanan” Neo-realis melihat dimensi keamanan sebagai berikut:
The origins of threats (Asal mula ancaman)
Asal mula ancaman menjelaskan mengenai asal ancaman. Ancaman bisa dari pihak eksternal atau dari luar negara, misalnya negara lain yang bisa saja diakibatkan dari sengeta wilayah, atau pihak internal dari dalam negara seperti konflik etnik.
The nature of threats (Sifat ancaman)
Dilihat dari sisi tradisional, sifat ancaman dapat berupa militer. Sedangkan dari pandangan non-tradisional, sifat ancaman lebih kompleks dan rumit seperti ancaman ekonomi, sosial-budaya, HAM, lingkungan hidup, dan sebagainya. Akibatnya, isu-isu global kentemporer makin beragam dengan kehadiran isu baru, misalnya konflik SARA, ketidakamanan ekonomi, degradasi lingkungan, termasuk adanya kemungkinan pengunaan senjata pemusnah massal, seperti nuklir, biologi, dan senjata kimia pleh aktor negara serta aktor-aktor nonnegara.
Changing response (Perubahan reopons)
Dimensi ini melihat adanya perubahan tanggung jawab keamanan. Jika dahulu difokuskan pada militer, kini tanggung jawab dapat diatasi dengan pendekatan nonmiliter dengan ekonomi, politik, hukum, dan sosial budaya.
Changing resposibility of security (Perubahan tanggung jawab dalam keamanan)
Menurut pandangan tradisional, negara wajib memberikan rasa aman kepada warganya. Namun menurut pandangan non-tradisional, dibutuhkan interaksi individu pada tataran global, bukan hanya negara saja. Tingkat keamanan yang tinggi sangat tergantung pada seluruh interaksi individu pada tataran global. Misalnya, tercapainya Human security tidak hanya tergantung pada negara saja, tetapi juga sangat ditentukan oleh kerjasama transnasional di antara aktor nonnegara.
Core values of security (Nilai inti dalam keamanan)
Pandangan tradisional memfokuskan keamanan pada kedaulatan integritas territorial. Sedangkan pada pada pandangan non-tradisional memusatkan perhatian misalnya pada Trans national crime (TNC), HAM, dan Terorisme. Terdapat nilai-nilai baru dalam tataran individual maupun global yang perlu dilindungi antara lain: penghormatan pada HAM, demokratisasi, perlindungan terhadap lingkungan hidup, dan upaya memerangi kejahatan lintas batas, sepert narkotika, money laudering, terorisme, dan human trafficking.
Neo-realisme menganggap jika negara tidak selalu anarki, negara dapat menjalankan suatu kerja sama demi pencapaian keamanan global, melalui kerja sama internasional dengan adanya koordinasi kebijakan dari berbagai negara untuk mencapai stabilitas dan perdamaian internasional. Menurut Mearsheimer, neo-realisme menolak budaya perbedaan antarnegara dan juga perbedaan tipe rezim, karena sistem internasional menciptakan dasar sama tanpa melihat apakah negara itu demokratik atau otorikratik, yang terpenting bagaimana sikap suatu negara terhadap negara lain misalnya melalui kebijakan luar negeri atau peningkatan pertahanan. Neo-realisme memperlakukan negara dianggap sama, kecuali untuk beberapa fakta memang terdapat juga adanya negara yang berkekuatan kuat atau lemah dibandingkan dengan negara lain. Neo-realisme memandang politik internasional dama dengan power politics. Menurut Mearsheimer, terdapat lima alasan suatu negara mementingkan power dalam sistem internasional yaitu:
Negara yang memiliki power kuat akan mengatur dan memainkan sistem internaional yang anarki.
Offensive realist, di mana negara memperkuat dan meningkatkan power untuk menyerang negara lain (musuh) terlebih dahulu.
Deffensive realist, di mana negara memperkuat power, hal ini dibutuhkan untuk mempersiapkan jika negara lain (musuh) menyerang.
Tujuan negara adalah bertahan, dengan cara meningkatkan power dan kapabilitas militernya. Tujuan bertahan ini dapat dilihat dari suatu negara mempertahnkan wilayahnya dari negara lain dan mempertahankan politik dalam negerinya agar tercapai tujuan negara lainnya, yaitu meningkatkan kemakmuran dan menjaga warga negaranya.
Negara merupakan aktor yang rasional dengan terus mengembangkan tekonologi pertahanan yang canggih semaksimal mungkin untuk menjaga wilayahnya dan untuk bertahan di dalam sistem.

DEFENSIVE REALISM
Dalam neo-realisme terdapat dua varian, yaitu Offensive realist dan Defensive realist. Kelompok kami mengamati hubungan Indonesia dan GNB lebih baik diamati denga neo-realisme varian Defensivi realist karena beberapa kesamaan yang ada. Dalam neo-realisme yang telah dijelaskan di atas, power merupakan salah satu bagian terpenting suatu negara. Tujuan negara mengejar power  salah satunya untuk mempertahankan negara dari situasi internasional yang cenderung anarki. Defensive realism sepaham dengan neo-realisme yang menjelaskan situasi internaional yang anarki sangat potensial mengancam keamanannegara.
Melihat ancaman yang dapat muncul setiap saat, maka dibutuhkan peningkatan  power sebagai bentuk pertahanan. Hal inilah yang ditekankan oleh defensive realism. Defensive realism merupakan bagian dari kerangka pemikiran Hobbes yang memfokuskan pada unitary actor dalam lingkungan anarki, di mana negara akan mengejar keamanan.
Menurut Stephen Walt dalam “Balance of Threat” defensive realism merupakan keseimbangan kekuatan terhadap ancaman lebih penting dibandingkan peningkatan power hanya untuk menjadi super power dalam sistem internasional. Menrurut Griecco, defensive realism mempertahankan suatu negara untuk memaksimalkan power untuk mempertahankan distribusi power agar suatu negara tidak bersikap agresif dalam mengejar power.
Menurut Boulding, defensive realism menekankan pada “teknologi dan geopolitik”, di mana ancaman yang datang bisa saja muncul dari konflik atau sengketa wilayah, yang berujung pada peningkatan power dan pertahanan militer berupa pengembangan senjata pertahanan berteknologi canggih. Hal ini agar dapat meminimalisasi ancaman, defensive realism fokus pada peningkatan power bukan tujuan utama dan tujuan akhir, melainkan ada tujuan akhir dari suatu negara untuk meningkatkan power.
Defensive realism melihat jika suatu negara tidak dapat meningkatkan power, kerja sama masih menjadi satu kemungkinan. Kerjasama dengan negara super power menjadi pilihan beberapa negara untuk dapat mempertahankan wilayahnya sekalgus menyeimbangkan kekuatan. Peran super power dalam defensive realism membantu negara tersebut dari segi pertahanan, misalnya transfer teknologi.
Menurut Waltz, defensive realism merupakan cara suatu negara meningkatkan power, namun tidak memaksimalkan power melebihi hegemon. Tujuan dari peningkatan power bukan untuk menjadi hegemon baru, namun mempertahankan power mereka (negara) dalam sistem. Di sisi lain, Mearsheimer yang merupakan seorang offensive realist memandang jika defensive realism dalam struktur internasional memberikan sedikit dorongan kepada negara-negara untuk meningkatkan power mereka sebagai bentuk pertahanan dan juga menjaga keseimbangan kekuatan dan juga dapat menangkal ancaman atau Balance of Threat di dalam sistem internasional.
Dalam defensive realsim terdapat konsep offense-defense balance, menurut Sean Lynn-Jones menjelaskan batasan dan dorongan dari offense-defense balance. Offense-defense argues that there is an offense-defense balance that determines the relative efficacy on offense and defensive security strategic. Variations in the offense-defense balance, the theory suggest, affect patrern of international politics and foreign policiy. Most important, offense-defense theory contend that international conflict an war are more likely when offense has advantage, while peace and cooperation are more probable when defense has the advantage. (Offense-defense menitikberatkan pada perbedaan antara keseimbangan offensi-defensive, dimana perang dan konflik internasional lebih mungkin terjadi bila offense lebih ditekankan, disisi lain perdamaian dan kerja sama lebih mungkin terjadi jika defense ditekankan).
Dalam “structural Realism”, Mearsheimer menjelaskan offense-defense balance mengindikasikan seberapa mudah atau sulitnya untuk menaklukan wilayah atau pertahanan dalam suatu peperangan. Defensive realism mempertahankan offense-defense balance yang biasanya sangat mendukung pertahanan, dan menjadikan setiap negara berusaha untuk meningkatkan pertahanan secara terus menerus yang mungkin akan hilang ketika perang. Maka hal ini akan menghasilkan setiap negara untuk mengakui bahwa offense terlihat sia-sia dibandingkan dengan defense yang tujuannya untuk mempertahankan Balance of power dan Balance of threat.


E. POTENSI KEKUATAN DAN PENCAPAIAN GNB
Adlai E. Stevenson pernah menyebutkan PBB  sebagai “Satu lembaga yang tidak sempurna dalam dunia yang tidak sempurna ini”, hal yang sama juga berlaku bagi GNB. Memang GNB telah menjadi organisasi yang diakui dalam dunia internasional dan walaupun beranggotakan negara-negara berkembang dan negara dunia ketiga, organisasi ini masih memainkan perannya dalam dunia internasional. Setelah beberapa dekade GNB memeliki naik turun sama halnya dengan organisasi internasional lainnya. GNB juga memiliki kegagalan dan pencapaiannya sendiri. Pencapaian tersebut diantaranya adalah bidang antiblok, antipenjajahan, apartheid, ekonomi, bidang pelucutan senjata, dan sebagainya.
Bidang antiblok
Memang benar bahwa negara-negara adikuasa yang menjadi tulang punggung blok-blok tersebut semakin bertambah kuat berkat persenjataan canggih yang mereka miliki, semakin canggihnya bahkan bisa memicu perang dunia 3. Namun, jangan sampai ada kesalahpahaman. Pendirian antiblok itu bukanlah usaha meleburnya secara fisik. Itu tidak akan mungkin karena jauh di luar jangkauan nonblok. Dalam rangka ini tujuannya lebih banyak dipusatkan kepada usaha antara lain untuk mencegah jangan sampai dunia terpecah belah secara total antara blok-blok, dan menajamkan mata pisau konfrontasi blok-blok tersebut di titik-titik krisis di mana mereka secara langsung bertarung. Dalam kenyataannya wilayah damai yang dicita-dicitakan GNB menjadi bertambah luas, sedangkan ruang lingkup blok-blok itu makin menciut dan bertambah kecil. Selama ini tidak ada stu negara pun yang menjadi anggota tambahan baik dalam NATO, maupun Pakta Warsawa. Malah sebaliknya timbul erosi dalam kewajiban dan disiplin negara-negara anggotanya. Ketika menghangatnya perang dingin dan memburuknya keadaan internasional, negara-negara GNB dalam KTT non-blok 1 di Beograd tahun 1961, mengambil serangkaian prakarsa untuk mendorong agar negara adikuasa kembali ke meja perungingan untuk meredakan ketegangan dunia. Sekali lagi kecenderungan-kecenderungan yang ditimbulklannya menjadi dasar dari detente yang mencapai titik puncak dalam Final act  Helsinki tahun 1975.
Bidang anti penjajahan dan Anti apartheid
Bagaimana keberhasilan GNB di bidang antipenjajahan, barangkali inilah satu-satunya bidang di mana GNB dapat merasa bangga sekali. Revolusi dekolonisasi yang berkobar seusainya PD 2, mendapat angin luar biasa dan GNB yang bertindak sebagai pendorong utama di dalam maupun di luar PBB. Hal itu tidak mengherankan, pertama, karena satu dari lima kriteria untuk dapat menjadi anggota GNB seperti yang telah ditentukan dalam konferensi persiapan KTT Nonblok 1 di Kairo adalah keharusan mendukung gerakan kemerdekaan. Kedua, mayoritas anggota GNB adalah bekas daerah jajahan. Adapun perjuangan GNB melawan diskriminasi rasial dan apartheid tidak seberhasil perjuangan melawan penjajahan, meskipun Afrika Selatan telah berhasil dikucilkan dari PBB dan bahkan terhadapnya telah dikenakan embargo senjata yang mengikat. Tidak dapat disangkal lagi bahwa apa yang disebut oleh PBB sebagai kejahatan terhadap perkemanusiaan itu tidak dapat bertahan lama, karena tekanan untuk persamaan hak dan desakan untuk membasmi sistem yang tidak adil itu terus-menerus dilakukan dari luar maupun dari dalam.
Bidang ekonomi
Keberhasilan GNB tercermin pula di bidang ekonomi. Sesudah KTT Beograd 1961 dan KTT Kairo 1964, GNB mulai memprakarsai kampanye mengenai pembangunan ekonomi negara-negara berkembang. Namun kegiatan yang sangat berkesan tercantum dalam prakarsa mewujudkan sistem yang lebih adil dan seimbang dalam hubungan ekonomi internasional. Perjuangan baru itu ada yang menyebutnya’ proses dekonisasi ekonomi’, tapi lebih terkenal lagi dengan nama ‘Tata Ekonomi Internasional Baru” (TEIB).
TEIB sebagai progaram baru GNB merupakan tujuan jangka panjang telah didukung dan diterima oleh negara-negara berkembang yang tergabung dalam kelompok 77. Seperti telah diketahui bersama apa yang menjadi tuntutan kelompok 77, prioritasnya lebih ditekankan kepada usaha untuk mengatasi kepincangan yang diakibatkan oleh ulah manusia dalam hubungan yang disebut “Utara-Selatan”.
Kepincangan tersebut merupakan jurang pemisah antara negara maju yang terdiri dari 1/3 penduduk dunia dan negara berkembang yang terdiri dari 2/3 penduduk dunia. “Jurang perbedaan itu” kata Robert McNamara, “dapat dan akan mendorong timbulnya badai dan goncangan yang dahsyat. Apabila negara kaya tidak berusaha lebih keras menutupi jurang yang menganga lebar memisahkan belahan bumi utara yang kekayaannya berlimpah-limpah dari bumi belahan selatan yang kelaparan, niscaya pada akhirnya tidak seorang pun akan selamat, betapapun banyaknya senjata yang disediakan”.
GNB yang diberi julukan oleh Tito sebagai “hati nurani umat manusia” telah mengetengahkan perjuangan yang paling mulia tetapi barangkali yang paling sulit, karena tata internasional yang dicita-citakan, baru akan tercipta apabila kondisi monopoli dibongkar sampai ke akar-akarnya, dan ini pun dapat terjadi apabila negara maju telah bersedia menerimanya. Semua itu merupakan lingkaran setan tanpa ujung pangkal.
Bagaimanapun juga TEIB itu kini sudah dicanangkan GNB dan bahkan sudah pula disalurkan melalui PBB yang telah menerimanya tahun 1974.  Hal tersebut sudah merupakan keberhasilan yang tidak kecil bagi gerakan seperti GNB karena telah mampu paling tidak meletakkan landasan hukumnya. Sambil meramalkan masa depan TEIB, Mohammed Bedjaoui mengatakan, “Tidak dapat diragukan (bahwa) pada suatu saat TEIB pasti terbentuk. Seperti aliran sungai yang terbentur karena hambatan alam yang dijumpainya di tengah perjalanan tetapi tetap mengalir ke laut, maka konsep TEIB pun kadang-kadang tersendat atau kehilangan jejak beribu kali dalam jurang yang berbeda-beda”.
Sebagai akibat sampingan dari perjuangan TEIB tersebut, negara GNB ke dalam makin bertambah kompak, hal yang sangat dibutuhkan oleh suatu gerakan yang anggotanya terdiri dari beraneka ragam negara. Unsur kohesif yang dtitmbulkannya merupakan kekayaan yang tidak ada taranya. Hal ini sekaligus membantah kebenaran teori mata rantai yang menggambarkan betapa lemahnya GNB. Karena jika ada persatuan di kalangan negara lemah sekalipun, kelompok itu mencerminkan sesuatu kekuatan yang tidak gampang dipermainkan. 
Bidang pelucutan senjata
Masalah perlombaan sejata merupakan hal yang secara fisik juga di luar kemampuan GNB untuk mencegahnya. Namun soal itu tetap mendapat perhatian yang sungguh-sungguh dari kalangan negara nonblok. GNB berpendirian bahwa karena hal ini menyangkut keselamatan dunia dan umat manusia, maka pembicaraan mengenai masalah itu dilakukan dibawah naungan PBB. Berdasarkan pemikiran tersebut, masalah perlombaan senjata tetap dijadikan bahan pokok pertimbangan dan tetap dicantumkan dalam agenda setian konferensi Nonblok, di samping usaha untuk menyalurkannya ke PBB.
Oleh karena itu GNB mengerahkan segala upaya dan tenaga untuk menarik perhatian dunia terhadap urgensinya masalah perlucutan senjata itu, dan terhadap kemungkinan bencana yang bakal ditimbulkannya di satu pihak apabila tidak dicari jalan keluar untuk mengakhirinya atau paling tidak untuk mengekangnya dan di pihak lain terhadap keuntungan yang mungkin dapat diraih oleh negara berkembang jika sebagian kecil dari pembiayaan itu dapat disalurkan untuk kepentingan pembangunan.
Usaha GNB itu akhirnya berhasil juga menarik perhatian negara-negara dunia, ketika tahun 1978 MU-PBB mengadakan sidang istimewa khusus untuk membicarakan masalah perlucutan senjata. Dengan dibentuknya komisi perlucutan senjata dan panitia perlucutan senjata sebagai badan-badan PBB, maka GNB dapat pula ikut serta mengambil bagian dalam mencari pemecahan masalah itu.

F. APAKAH POLITIK BEBAS AKTIF IDENTIK  DENGAN GERAKAN NONBLOK?
Indonesia merupakan salah satu pendiri Gerakan Nonblok memiliki politik luar negeri bebas aktif. Hal ini sempat menjadi pertanyaan mengenai politik GNB, apakah berarti GNB juga menganut politik yang bebas aktif seperti Indonesia?. Kalau politik GNB sama dengan politik luar negeri Indonesia, bukannya sama saja Indonesia telah membuat organisasi yang sama seperti NATO dan Pakta Warsawa yang menyebarkan ideologinya?. 
Pendirian yang mengatakan politik bebas aktif  adalah sama dengan politik Nonblok perlu mendapat sorotan lebih lanjut, karena jika tidak, akan membuat pengertian politik bebas aktif dan juga politik Nonblok menjadi kabur.
Dalam hal ini B.A. Ubani telah memberikan alasannya secara panjang lebar dengan mengutarakan bahwa kesimpulan itu justru diambil karena terdapatnya persamaan, baik dalam apa yang ia sebut “unsur”, maupun “tujuan” dari kedua macam politik luar negeri tersebut.
Unsur-unsur penting politik luar negeri bebas aktif itu menurut B.A. Ubani adalah sebagai berikut: 
Kebebasan menentukan sendiri pendirian dalam masalah-masalah internasional sesuai dengan kepentingan nasional.
Keterlapasan dari ikatan blok ideologi atau blok militer manapun.
Keaktifan dan kepositifan dalam mencapai perdamaian dunia berdasarkan kemerdekaan dan persamaan bangsa-bangsa serta keadilan sosial.
Perjuangan anti imperalisme dan kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya.
Kerja sama internasional di bidang politik, ekonomi dan sosial yang saling menguntungkan tanpa membeda-bedakan sistem sosial negara-negara bersangkutan.  
Hidup berdampingan secara damai dan bertetangga baik.
Menghormati kedaulatan negara-negara lain.
Tidak mencampuri urusan dalam negeri negara-negara lain.
Begitu pula terdapat kesamaan dalam tujuan-tujuan politik bebas aktif dan politik non-alignment seperti:
Pengabdian kepada kepentingan nasional.
Menjamin dan mempertahankan bentuk dan sifat negara serta integritas wilayahnya.
Menciptakan masyarakat yang adil dan makmur melalui pembangunan-pembangunan sesuai dengan aspirasi dan identitas nasional.
Persahabatan dengan semua negara menuju kepada perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Di samping alasan-alasan tersebut masih dikemukakan kesejajaran kriteria Kairo yang merupakan ketentuan-ketentuan politik Nonblok dengan ketentuan-ketentuan politik bebas aktif. Ketentuan-ketentuan Nonblok itu mengandung tiga prinsip penting sebagai berikut:
Menjalankan politik bebas berdasarkan hidup berdampingan secara damai.
senantiasa mendukung gerakan pembebasan.
Tidak mengikatkan diri kepada salah satu blok yang terlibat dalam perang dingin, apakah sebagai anggota blok militer atau sebagai tempat pangkalan militer asing.
Politik bebas aktif memang sepenuhnya menganut tiga prinsip tersebut. Bahkan secara pasti dapat dikatakan bahwa prinsip-prinsip Nonblok itu adalah juga prinsip-prinsip politik bebas aktif dengan demikian sebenarnya tidaklah salah jika disimpulkan bahwa politik bebas aktif adalah politik nonblok atau meminjam kata B.A. Ubani identik dengan politik nonblok.

G. KEMAMPUAN PERJUANGAN NON BLOK
Perkembangan Non Blok pada saat ini masih tetap menjadi perhatian Internasional. Tidak kurang dari berbagai negara anggota Non Blok, negara-negara yang bukan anggota Gerakan Non Blok dan negara-negara Adikuasa tidak segan-segannya untuk khusus mengikuti perkembangan gerakan ini. Perhatian Internasional yang masih tetap demikian besar terhadap perkembangan Non Blok bukan berarti Non Blok semakin dipandang sebagai gerakan yang terus menerus akan mengalami kemerosotan dalam memperjuangkan aspirasi-aspirasi negara-negara Dunia Ketiga. Non Blok tidak pula telah mengalami penyimpangan yang sangat ekstrim, sehingga negara-negara Non Blok yang saling bertikai sudah tidak lagi mempercayai peranan Non Blok sebagai pihak penengah yang paling memungkinkan. Non Blok masih tetap merupakan gerakan yang harus selalu diperhitungkan dalam percaturan politik internasional. 
Pandangan Non Blok yang saat ini lebih pragmatik dan realistik merupakan bukti, bahwa gerakan ini kini tidak hanya sekedar menyerukan urgensi tentang arti kolonialisme dan imperialisme saja. Non Blok sudah semakin dewasa dalam menghadapi realita situasi dan kondisi politik internasional yang penuh dengan dinamika. Sudah tinggal sedikitnya bangsa-bangsa yang perlu diperjuangkan agar dapat terlepas dari cengkraman kolonialisme memungkinkan Non Blok untuk memulai menggendorkan seruan-seruan politik yang mengandung pandangan anti kolonialisme dan imperialisme. Secara tidak langsung, pandangan yang terlalu anti Barat akibat trauma kolonialisme dan imperialisme sudah berkurang banyak.
Adanya tuntutan kebutuhan ekonomi dan perbaikan kehidupan sosial yang banyak terjadi di negara-negara Dunia Ketiga sebagai kelompok yang mayoritas anggotanya merupakan anggota Non Blok menempatkan Non Blok untuk lebih mengutamakan kebutuhan yang sifatnya lebih mendesak. Sementara kebijaksanaan politik tetap menyerukan dan mencanangkan bagi pengurangan ketegangan dunia, Non Blok memberikan orientasi yang lebih besar pada perjuangannya. Wawasan Non Blok yang semula hanya mengandalkan kekuatan moral untuk mendesak negara-negara besar agar sejalan pandangan politiknya dengan Non Blok, sudah beranjak pada upaya yang lebih jauh dan dengan negosiasi yang lebih mantap.
Kecenderungan untuk memahami setiap persoalan internasional dengan sikap yang lebih menahan emosi politik menjadikan Non Blok cukup banyak mendapatkan simpati internasional. Ini sering banyak terjadi manakala ada satu atau lebih anggota Non Blok yang sedang terjebak dalam kekalutan politik, Non Blok tidak langsung demikian saja secara gegabah mengomentari dengan pernyataan-pernyataan yang kontroversial. Non Blok lebih banyak bersikap untuk mencoba memahami sambil melihat dan menunggu kesempatan yang baik di mana Non Blok dapat menyodorkan peranannya.
Memang kebijaksanaan negosiasi Non Blok tidak selamanya dapat berhasil seperti yang diharapkan. Dari setiap kasus dan permasalahan yang berkembang, jarang terjadi Non Blok dapat dengan mudah dan tuntas menanganinya. Peranan Non Blok masih jauh terbelakang dibanding PBB sebagai badan dunia atau pun kelompok regional dari beberapa negara yang saling berdekatan. PBB masih lumayan, karena kadang-kadang dapat memaksakan resolusi dan keputusan atas suatu masalah. Kalau perlu dengan dicapainya mayoritas suara tanpa sebuah negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB-pun sampai mengeluarkan veto, dan ini berarti negara-negara besar sedang sejalan dengan kebijaksanaan PBB, tidak ada halangan lagi bagi PBB untuk melaksanakan resolusi yang telah disepakati bersama.
Demikian pula dengan kelompok-kelompok regional. Biasanya setiap permasalahan dapat  diselesaikan dengan baik oleh suatu kelompok regional. Negara-negara yang terbentur pada suatu masalah dapat segera di dekatkan dan diselesaikan, karena adanya sikap yang lebih menghargai negara-negara yang saling berdekatan untuk menghindarkan diri dari kemungkinan dikucilkan oleh negara-negara tetangganya. Apalagi kelompok regional yang  menaungi merupakan forum yang sewaktu-waktu dapat diandalkan untuk menanggulangi setiap masalah yang berkembang dan untuk diajak sebagai partner kerjasama bilateral yang paling dekat.
Sebaliknya kewenangan seperti yang dimiliki PBB dan kelompok-kelompok regional tidak sepenuhnya atau bahkan boleh dikatakan sedikit dimiliki Non Blok. Jarang sekali terdengar Non Blok dapat berhasil memaksakan kewenangan tuntutan dan kebijaksanaannya terhadap masalah yang sedang berkembang. Paling maksimal Non Blok hanya berhasil memaksakan kehendak dan harapannya, yang itu pun dalam kerangka sebagai kepentingan bersama yang ditujukan untuk maksud yang dapat dirasakan manfaatnya oleh suasana kebersamaan pula. Jadi masalah yang lebih khusus atau suatu hal tidak dapat banyak ditekankan dengan lancar oleh Non Blok.
Posisi Non Blok yang serba sering menemui kesulitan bukan tidak memberi efek samping yang menguntungkan. Sebagai suatu kekuatan moral internasional belaka, tanggung jawab Non Blok tidak seberat sebagaimana yang seharusnya diemban oleh suatu organisasi internasional. Suatu keberuntungan, bahwa Non Blok bukan merupakan suatu organisasi Internasional. Dan pula, Non Blok bukanlah struktur, melainkan suatu proses. Struktur bersifat statis, sedangkan proses lebih banyak bersifat dinamik.
Seandainya Non Blok mempunyai bentuknya sebagai suatu organisasi internasional yang lengkap dengan perangkat lembaga-lembaga eksekutif yang mendukungnya, mungkin sudah sejak dari dulu-dulu Non Blok kehilangan kewibawaannya. Pertentangan di antara para anggota yang banyak diakibatkan oleh faktor penekanan, di mana ada yang menghendaki harus terus terlalu anti kolonialisme dan imperialisme, yang cukup moderat dan yang pula pada dekade antara Konferensi Tingkat Tinggi Non Blok di Havana dengan di New Delhi yang terancam oleh gelombang pembelokan ke kiri, tidak mungkin lagi dapat mencegah Non Blok terjebak dalam jurang kemelut politik. Namun tidak terdapatnya ikatan Non Blok sebagai organisasi sering menyelamatkan gerakan ini dari ancaman eksistensi kehadirannya.
Non Blok cukup arif kedudukannya sejak gerakan ini tumbuh dan berkembang hingga sekarang ini. Fleksibilitas Non Blok dalam bentuk kekuatan moral Internasional dapat disanggah lagi merupakan kunci utama keberhasilan Non Blok dalam menyelamatkan eksistensi. Sayangnya tidak seluruh anggota menyadari hal yang sebenarnya sangat prinsip ini. Banyak yang selalu mengulang-ulang harapannya agar sesuai dengan perkembangan dan peningkatan perjuangannya, Non Blok harus dibenahi dengan cara merubah gerakan ini menjadi suatu organisasi. Dengan harapan, segala langkah Non Blok dapat lebih terkendalikan dengan adanya kelengkapan-kelengkapan organisasi yang dibutuhkan.
Sebenarnya ada saja faktor-faktor penunjang utama yang melengkapi Non Blok. Salah satu di antaranya adalah forum Konferensi Menteri-Menteri Penerangan Non Blok. Forum ini banyak disebut sebagai satu-satunya forum operasional dalam Non Blok yang paling jelas perjuangannya. Meskipun orientasi perjuangan forum yang lebih dikenal dengan nama COMINAC ini dalam memperjuangkan terwujudnya tata informasi dan komunikasi dunia yang baru belum dapat berhasil dengan baik dan sasaran ke arah itupun belum dapat dijamin dapat diperjuangkan dengan tanpa suatu halangan sedikit pun, namun gagasan-gagasan COMINAC membuat negara-negara maju harus berpikir ganda dalam menghadapinya.
Keretakkan yang kini terus melanda UNESCO, akibat ancaman beruntun dari sejumlah negara-negara Barat untuk berturut-turut mengundurkan diri dan mengurangi bantuan bagi dana pengembangan UNESCO sering banyak dikaitkan dengan masalah tuntutan COMINAC. Selain UNESCO tidak becus dalam menangani masalah manajemen keuangan dan tidak mampu mencegah adanya usaha dari sekelompok negara-negara tertentu yang ingin memanfaatkan badan khusus PBB ini untuk tidak lagi hanya bergerak dalam ilmu pengetahuan dan kebudayaan saja, tetapi harus pula menjadi ajang perjuangan kepentingan politik, masalah tuntutan-tuntutan negara Dunia Ketiga melalui UNESCO dalam menginginkan terwujudnya tata informasi dan komunikasi dunia yang baru ternyata mampu menggoyahkan kepentingan negara-negara Barat di UNESCO.



BAB III
PEMBAHASAN
“KETERLIBATAN INDONESIA DI GNB”
Pada bab ini, kelompok kami akan membahas bagaimana keterlibatan indonesia di dalam GNB, selain itu kami juga akan menjabarkan peran indonesia, mengenai apa saja yang sudah indonesia lakukan di GNB, dan mengapa indonesia memilih GNB. Kami juga akan mencoba menganalisa mengenai GNB. Pasalnya, Gerakan Non Blok adalah suatu organisasi yang di bentuk oleh lebih dari 100 negara yang cinta damai, termasuk Indonesia. Indonesia adalah salah satu negara yang terlibat langsung dalam pembentukan GNB. Indonesia sendiri sebagai negara yang menganut sistem politik luar negeri yang bebas aktif, berusaha untuk menjaga perdamaian dan keamanan dunia internasional. Indonesia sebagai negara yang menganut sistem politik bebas aktif juga merasa bahwa hubungan kerja sama yang baik akan mewujudkan tatanan dunia yang terstruktur dan damai. Berikut pembahasan lebih rinci mengenai Indonesia di GNB.
Peran Indonesia
presiden pertama Republik Indonesia yaitu Ir. Soekarno menjadi salah bersama dengan 4 kepala negara lainnya, yaitu Presiden Yugoslavia Josip Broz Tito, Perdana menterii India Pandit Jawaharlal Nehru, Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser, dan Perdana Menteri Ghana Kwame Nkrumah adalah pendiri GNB.
Indonesia mendapat Kepercayaan untuk memimpin GNB (Pada masa kepemerintahan Soeharto)
Indonesia telah dipercaya untuk membantu menyelesaikan pertikaian atau konflik regional di beberapa negara seperti kamboja, sengketa yang terjadi di laut cina selatan, serta gerakan separatis Moro di Philipina.

Cara Yang di lakukan Indonesia dalam meningkatkan perannya 
Meningkatkan kerja sama antar negara-negara yang tergabung dalam Gerakan Non-Blok
Membantu penyelesaian masalah-masalah ekonomi internasional
Selain itu, Indonesia juga menjadi tuan rumah pada konferensi KTT X di Jakarta tahun 1992
Dalam mengemban tugas sebagai ketua GNB, Indonesia kiranya perlu memperhatikan dan mengupayakan beberapa garis pokok dan tugas utama, yaitu:
GNB senantiasa harus mempertahankan prinsip-prinsip dasar dan tujuan pokoknya secara murni seperti telah dicetuskan para pendirinya yang telah dan akan tetap relevan betapapun dunia mengalami perubahan dalam menjabarkan berbagai kebijakan dan kegiatannya. Kemurnian politik Non Blok akan tetap terjamin selama negara-negara anggotanya menjalankan politik luarnegeri yang bebas aktif secara benar-benar.
GNB juga harus memliki keberanian dan kemauan politik serta keluwesan sikap untuk menjalin hubungan lebih erat lagi dengan negara-negara atau kelompok-kelompok lainnya dalam menghadapi dan menangani tantangan-tantangan bersama serta masalah-masalah baru yang timbul dalam perkembangan dunia dewasa ini melalui dialog terbuka dan kerjasama secara konstruktif.
Oleh karena itu wawasan serta pendekatan GNB haruslah bersifat terbuka, kooperatif, non-konfrontatif dan non-dogmatis. Maka tepatlah tema sidang KTM GNB di Accra 1991 pada saat suasana perang dingin mulai mencair yakni “Dunia dalam peralihan: dari konfrontasi yang menyusut menuju kerjasama yang meningkat”. Yang sebenarnya merupakan cerminan dari sikap murni GNB. 
Menghadapi era pasca perang dingin, GNB perlu menetapkan suatu skala prioritas baru yang sesuai dengan kenyataan keadaan baru maupun kepentingan nyata dan mendasar anggota-anggotanya. Skala prioritas ini hendaknya dipakai sebagai pedoman yang lentur (Flexible) dan bukan sebagai suatu acuan yang kaku.
Masalah-masalah pembangunan dan kerjasama ekonomi internasional perlu ditempatkan kembali pada urutan prioritas utama mengingat masalah ini sudah diluncurkan untuk pertama kali pada KTT IV GNB di Aljier 1973. Pada saat itu KTT Aljier berhasil merumuskan dan menyepakati serangkaian garis kebijaksanaan dalam menghadapi peluncuran dialog global utara-selatan tahun 1970-an. sesuai dikap murni GNB dialog utara-selatan perlu dihidupkan kembali melalui pendekatan dialogis dan bukan pendekatan konfrontatif seperti yang pernah ditempuh sebagai akibat dan pengaruh politik perang dingin, mengingat kebersamaan kepentingan dan keuntungan utara-selata yang pada hakekatnya saling membutuhkan dan saling bergantung.
Dalam rangka peluncuran kembali dialog utara-selatan, GNB perlu pula meningkatakan kerjasama selatan-selatan berdasarkan asas kemandirian bersama, bukan saja demi mengurangi ketergantungan negara-negara selatan pada dengara-negara utara serta membuka prospek-prosepek baru bagi pengembangan ekonomi negara-negara berkembang dan demi memperkuat posisi bersama bersama negara-negara berkembang pada perundingan utara-selatan, tetapi justru perlu dilakukan sebagai bagian utuh dari setiap upaya untuk membentuk suatu tata ekonomi internaional baru.
Penempatan masalah ekonomi dan pembangunan sebagai urutan prioritas pertama bukan berarti mengalihkan perhatian dan arah kegiatan GNB dari masalah-masalah politik dan keamanan internasional yang senantiasa telah, sedang dan akan menjadi perhatian dan kepentingan pokok GNB mengingat kenyataan masalah-masalah tersebut saling terkait dan mempengaruhi.
PBB adalah sarana pokok dan forum multilateral utama untuk memperjuangkan kepentingan negara-negara GNB Sebagai pergerakan politik negara-negara berkembang. GNB tidak akan menandingi PBB tetapi justru akan bekerja di dalamnya dan akan ikut aktif dalam setiap upaya  untuk memperkokokh dan menyempurnakan organisasi internasional tersebut dalam rangka pencapaian suatu tata internaional tersebut dalam rangka pencapaian suatu tata internasional baru.
Selanjutnya GNB perlu meningkatkan upaya untuk mewujudkan salah satu cita-cita dasarnya yakni pembentukan suatu tata informasi dunia baru guna menghapus ketimpangan-ketimpangan yang mencolok dalam kemampuan maupun arus informasi/komunikasi global antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang.
Memasuki era pasca perang dingin, GNB pun harus senantiasa bersikap tanggap, aktif dan konstruktif dalam mengahadapi dan menangani masalah-masalah global baru seperti pelestarian lingkungan hidup, hak asasi manusia, masalah demokrasi, demokratisasi dan pluralisme politik, masalah terorisme internasional, narkotik, migrasi besar-besaran, pengungsi dan masalah-masalah baru lainnya. Untuk tetap mempertahankan relevansi GNB dan mencegah marjinalisasi peranan GNB maka semakin dirasakan perlu agar GNB secara lebih terarah, terpadu dan konsepsional menyusun posisi dan pendekatan bersama dalam menghadapi masalah-masalah tersebut dan pertemuan-pertemuan internasional yang akan datang.
Kenapa Indonesia memilih GNB?
karena pada saat itu indonesia tidak memihak kepada dua grup ataupun gerakan sekutu yang sedang bermusuhan.indonesia lebih memilih menciptakan perdamaian dunia daripada harus memihak kepada satu gerakan.
karena pada saat itu indonesia tidak memihak kepada dua grup ataupun gerakan sekutu yg sedang bermusuham.indonesia lebih memilih menciptakan perdamaian dunia daripada harus memihak kepada 1 gerakan sekutu 
karena indonesia tidak memihak blok timur(uni soviet)danblok barat(AS) atau bebas aktif
Sebagai sebuah suatu pergerakan (movement), keputusan-keputusan yang telah dicapai dan disepakati dalam GNB seringkali masih bersifat morally binding, tidak mempunyai kekuatan yang mengikat (obligatory). Namun sebagai pergerakan, GNB telah mencatat banyak keberhasilan sebagai kelompok penekan, terutama dalam forum PBB.
Analisis Kasus
Pada  GNB serta keterlibatan Indonesia di GNB, kelompok kami akan mencoba menganalisa menggunakan perspektif realisme. kami   menggunakan perspektif realisme di lihat dari sudut pandang politik yang terjadi di antara Amerika Serikat dan Uni Soviet  untuk memperluas pengaruhnya. Selain itu, negara-negara yang turut berkerja sama dalam GNB untuk kepentingan nasional masing-masing negara anggota GNB. Berikut adalah beberapa pemahaman yang kami buat mengenai perspektif yang kami gunakan   :
Perspektif Realisme 
Alasan kami menggunakan perspektif ini, karena kelompok kami melihat dari sudut pandang politik, dimana  adanya kedua negara adidaya yang ingin memperluas pengaruh serta kekuasaannya kepada negara-negara yang merdeka maupun baru saja merdeka dan kepada negara-negara berkembang. Di lihat dari asumsi-asumsi yang terdapat pada perspektif realisme bahwa (a) negara berdaulat merupakan aktor utama, (b) adanya dorongan kekuasaan untuk mengejar kepentingan nasional, (c) niat agresif dari berbagai negara, (d) adanya persamaan mengenai tatanan dan keamanan dengan membentuk aliansi-aliansi. Dalam hal ini, Amerika Serikat maupun Uni Soviet adalah negara yang di curigai ingin membentuk aliansi-aliansinya dengan memperluas pengaruhnya. Selain itu, adanya suatu polar yang mana Amerika Serikat dan Uni Soviet yang pada saat ini menjadi balance of power, di sebut bipolar. Perspektif ini juga berkembang pada saat perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Selain itu, negara-negara yang tidak ikut ke dalam blok barat maupun blok timur, tergabung dalam suatu Gerakan Non-Blok yang mana tidak memihak ke kubu manapun. Disini, kelompok kami melihat adanya kepentingan nasional yang ingin di capai, termasuk Indonesia. Indonesia sebagai negara yang baru saja merdeka, belum terlalu di akui di dunia. Sebagai negara yang masih berkembang, Indonesia tidak ingin negaranya kembali di acak-acak dengan adanya ketegangan dunia yang di sebabkan oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet. Indonesia juga berperan penting di dalam GNB dengan membantu negara-negara yaang sedang bertikai di kawasan regional, Indonesia juga pada saat itu membantu dalam pembangunan palestina. Banyak hal yang Indonesia lakukan pada saat di GNB untuk mempererat kerja sama dan juga sebagai bentuk agar Indonesia di akui keberadaannya. Walaupun pada perspektif realisme tidak mengindahkan adanya kerjasama, bukan berarti realisme tidak menerima adanya kerja sama. Realisme menerima kerja sama yang menguntungkan. 
Jadi, kesimpulannya adalah kelompok kami menganalisis Kasus ini menggunakan asumsi-asumsi yang terdapat pada realisme yang sesuai dengan kasus ini. 
Perspektif Neo-realis
Soekarno mencetuskan GNB sebagai bentuk perlawanan dan penolakan terhadap blok barat dan blok timur. Soekarno khawatir akan perselisihan antara kedua blok tersebut mulai mempengaruhi Indonesia dan kemungkinan terjadinya perang dunia 3. Untuk mencegah hal itu, Soekarno besama 4 pimpinan negara lainnya, Jawaharlal Nehru, Josep Broz Tito, Gamel Abdel Nasser, dan Kwame Nkrumah mendirikan GNB. Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam analisis Neo-Realis dalam GNB dan Indonesia adalah sebagai berikut:
Dimensi keamanan
Asal mula ancaman
Ancaman tersebut berasal dari luar, yaitu dari blok barat yang dipimpin oleh Amerika dan blok timur yang dipimpin oleh Uni soviet. Kewaspadaan Soekarno tentu lebih mengarah ke blok barat mengingat sejarah Indonesia yang berhubungan dengan negara barat.
Sifat ancaman
Hal yang paling mengancam pastinya terkait militer mengingat kedua blok berusaha mengembangkan teknologi militer mereka khusunya dalam senjata nuklir.
Perubahan respons
Soekarno berusaha menangkal pengaruh blok barat-blok timur dengan berbagai cara, baik dalam segi militer dan segi non militer yaitu dengan cara menjalin kerjasama dengan negara-negara lain dan membentuk GNB untuk mendapatkan dukungan.
Defensive Realism
Indonesia pada masa Soekarno sangat mementingkan keamanan negaranya. Ia mengejar power, namun hanya sebatas mempertahankan keamanan dan kepentingan Indonesia. Sehingga cocok dengan pemikiran Neo-realis dalam varian Defensive Realism. Dalam Defensive realism juga dikemukakan ”jika negara tidak dapat meningkatkan power, kerja sama masih menjadi satu kemungkinan”. Hal ini lah yang menjadi dasar bagi kelompok kami untuk menggunakan perspektif Neo-realis. Indonesia pada masa itu sulit untuk meningkatkan power nya sehingga menjalin kerjasama dengan negara-negara dunia ketiga dan membentu GNB untuk mempertahankan dirinya. Power yang dikejar oleh Indonesia pun tidak lagi terpaku kepada militer saja pada era Soeharto. Memang militer pada era Soeharto juga menjadi power yang diperhitungkan sebagai contoh pengiriman kontingen Garuda ke wilayah konflik dalam misi perdamaian. Namun, pengejaran power dalam ekonomi juga diperhitungkan.

BAB IV
PENUTUP
  •  KESIMPULAN
Bagi negara-negara kelompok pertama tersebut, ketidaksanggupan Non Blok sebagai kekuatan moral internasional dalam turut serta menyelesaikan pertikaian di antara beberapa negara Non Blok merupakan masalah klasik yang belum juga dapat terselesaikan dengan baik. Negara-negara kelompok kedua sering menganggap Non Blok kurang efektif dalam merealisasikan program-program dari setiap hasil Konferensi Tingkat Tinggi Non Blok. Sedang negara-negara kelompok ketiga sering merasa tidak banyak kesulitan dalam persaingan perlombaan persenjataan meskipun mendapat tekanan dari Non Blok.
Bagi negara-negara Barat yang selama ini selalu mendominasi arus informasi dan komunikasi dunia, tuntutan Dunia Ketiga dianggap sangat kurang beralasan. Seandainya tatanan baru itu dapat diwujudkan, negara-negara Barat terancam akan tidak lagi mendominasi bidang ini. Alasan politis dengan mengkaitkan masalah ini sebagai dapat mengurangi kebebasan internasional dalam menyebarluaskan informasi dan komunikasi menjadi sebab utama mengapa negara-negara Barat harus perlu memperhitungkan  konsekuensi tujuan Dunia Ketiga.
Ofensif Non Blok dalam bidang informasi dan komunikasi sebenarnya merupakan bukti nyata, bahwa Non Blok tidak selamanya tidak diperhitungkan dalam percaturan politik internasional. Demikian gagahnya usaha Non Blok mengakibatkan ini telah menempati porsi utama untuk terus diperjuangkan. Potensi ini dapat diandalkan untuk menjaga keseimbangan arus informasi dan komunikasi internasional. Sehingga kemajuan-kemajuan pembangunan negara-negara Non Blok dapat lebih ditonjolkan daripada yang sekarang berlangsung dan eksploitasi negara-negara besar terhadap negara-negara Non Blok yang cenderung meningkat dan berat sebelah, dalam perkembangannya nanti dapat dicegah sebanyak mungkin.
Pentingnya Non Blok untuk memperjuangkan keseimbangan itu pada dasarnya merupakan implementasi dari kerangka tujuan pokok Gerakan Non Blok, yaitu dalam rangka mewujudkan terciptanya demokratisasi dalam hubungan-hubungan Internasional. Banyak aspek yang terangkum di dalam demokratisasi ini, baik mulai dari aspek politik, ekonomi, perdagangan, sosial sampai kebudayaan.
Di antara sekian banyak aspek-aspek tujuan Non Blok, aspek ekonomi memegang peranan penting yang tidak kecil artinya seiring dengan perkembangan Non Blok dari Konferensi Tingkat Tinggi yang satu ke Konferensi Tingkat Tinggi yang lain. Perjuangan Non Blok ini dimaksudkan untuk mengubah sistem-sistem hubungan ekonomi internasional, untuk menyusun tata ekonomi baru dan untuk mengatasi jurang pemisah antara negara-negara maju dengan negara-negara Dunia Ketiga. Pemecahan masalah yang  berkaitan dengan perbedaan perkembangan ekonomi di dunia ini adalah salah satu sasaran gerakan yang pokok, khususnya sesudah KTT Non Blok III Tahun 1970 di Lusaka.
SARAN
Menyadari bahwa Makalah ini masih jauh dari kata sempurna maka demikian kami hanya akan memberikan suatu referensi belajar untuk  mempermudah pembaca maupun pengamat dalam  menanggapi masalah mengenai Gerakan non-blok (GNB) sesuai dasar  dan pengantar. 






DAFTAR PUSTAKA
Buku 

Widjaja, 1986. Indonesia asia-afrika non-blok. Palembang: Bina Aksara.

Sabir, M, 1990. Quo vadis non-blok?. Jakarta: cv. Aji masagung.

Pardede, Samuel, 1993. Peran dan kepemimpinan Indonesia dalam gerakan non-blok. Persatuan wartawam Indonesia pusat.

Yani, yanyan mochamad, 2017. Pengantar studi keamanan. Malang: intrans publishing.

Steans, jill, 2009. Hubungan internasional perspektif dan tema. Yogyakarta: pustaka pelajari.

Singham, A. W, and Shirley Hune,  1986. Non-alignment in an Age of Aligments. Zimbabwe: the college press. 

Peranan Indonesia sebagai pendiri gerakan non-blok dalam usaha memurnikan tujuan dan prinsip-prinsipnya. 1986. Jakarta selatan: penlitian dan pengembangan departemen luar negeri.

Jurnal
Indonesia ajak gerakan non-blok reformasi dewan keamanan pbb, 2016. Dalam https://nasional.tempo.co/read/804674/indonesia-ajak-gerakan-non-blok-reformasi-dewan-keamanan-pbb.  

Pengamanan ketat jelang KTT ke-17 GNB di Venezuela, 2016. Dalam https://m.detik.com/news/berita/3300042/pengamanan-ketat-jelang-ktt-ke-17-gerakan-non-blok-di-venezuela.

Indonesia sebagai tuan rumah KTT gerakan non-blok X taun 1992, 2017. Dalam http://jurnalmahasiswa.unesa.ac.id/article/. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DIPLOMASI PADA ERA PEMERINTAHAN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO (SBY)

DIPLOMASI PADA MASA PEMERINTAHAN MEGAWATI

TANTANGAN DIPLOMASI MULTILATERAL INDONESIA PADA MASA PEMERINTAHAN JOKOWI