SEJARAH DIPLOMASI INDONESIA PERAN OKI DAN INDONESIA DALAM KONFLIK ISRAEL-PALESTINA

Dosen : Rachmayani, M.Si

kelompok 4: 
  1. BAGUS PERDANA 2015230003
  2. REGINA MAURA RIALNO PUTRI 2015230074
  3. STEPHANIE DELFIANA KARTIKA 2015230076
  4. MARIA FEBRIANA LANGGA 2015230075
  5. RASTIKA NAHASURYA 2015230116

INSTITUT ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK (IISIP)
JAKARTA


KATA PENGANTAR



Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah melimpahkan rahmat-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Peran Indonesia dalam Organisasi Kerjasama Islam (OKI), sebagai syarat untuk mata pelajaran Sejarah Diplomasi Indonesia. Penulis juga berterima kasih kepada ibu Rachmawati M.Si. selaku Dosen mata kuliah Sejarah Diplomasi Indonesia di kampus tercinta IISIP Jakarta yang telah memberikan tugas ini kepada penulis sebagai cara penulis agar bisa menjadi mahasiswa yang lebih baik.

Penulis berharap makalah ini dapat berguna bagi pembaca dalam rangka menambah wawasan tentang pentingnya pemahaman akan perubahan iklim yang penulis ulas dalam makalah ini. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh sebab itu, penulis mohon kritik dan saran dari para pembaca guna perbaikan kedepannya. Semoga bermanfaat.


BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Menurut Essay yang terkenal milik Samuel Huntington yang berjudul Clash of Civilization, sumber konflik di dunia paska perang dingin akan terjadi dikarenakan gesekan antar budaya dan agama yang ada di dunia. Civilization Identity akan menjadi hal yang sangat penting di masa yang akan dating dan menurut Huntington, dunia akan dibentuk oleh interaksi antara tujuh atau delapan peradaban besar yang diantaranya adalah; Kristen yang diwakili oleh Negara-negara barat seperti Amerika Utara (minus mexico), Eropa Barat, dan Australia dan Selandia Baru, Konfusianisme yang diwakili oleh China, Buddha yang diwakili oleh sebagian Negara di kawasan Asia Tenggara, Selatan dan sebagian China, Hindu yang diwakili oleh sebagaian besar Asia Selatan, Islam lewat negara-negara di kawasana Timur Tengah, Afrika Utara, Asia Barat, dan sebagian Asia Selatan dan Tenggara, Kristen Orthodox yagn diwakili bangsa Slavic yang menghuni kawasan Eurasia hingga ke Balkan, Jepang, Latin Amerika, dan kemungkinan peradaban Afrika (Huntington 1996: 5).
Bisa kita ambil dari essay milik Huntington tersebut, jika mayoritas konflik akan terbentuk saat adanya pergesekan antara peradaban yang ada, maka akan muncul rasa bagi Negara-negara di dunia yang menganggap memiliki peradaban yang sama baik itu dalam bentuk agama maupun budaya untuk segera membentuk sebuah ikatan atau perkumpulan atas pihak-pihak yang memiliki nilai-nilai peradaban yang sama tersebut. Oleh karena itu munculah organisasi-organisasi seperti Uni Eropa yang muncul dikarekanak adanya kesamaan budaya dan agama oleh Negara-negara eropa yang menyebabkan mereka bersatu dalam satu organisasi supranasional yang mengatur kehidupan bernegara mereka satu sama lain.
Organisasi Kerjasama Islam (OKI) merupakan organisasi inter-governmental terbesar nomor dua di dunia setelah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan anggota yang mencapai dari 57 negara yang terbesar di empat benua. Organisasi ini sering disebut sebagai suara kolektif umat muslim di dunia. Organisasi tersebut menjada dan melindungi kepentingan umat muslim di dunia dan semangat untuk mempromosikan perdamaian dan harmoni dunia melalui cara yang damai.

Organisasi ini didirikan melalui sebuah keputusan penting yang terjadi di sebuah pertemuan yang dilaksanakan di Rabat, Maroko pada 25 September 1969 sebagai respon dari pengerusakan masjid Al-Aqsa di wilayah Jerusalem yang sedang diduduki. Pada tahun 1970, pertemuan pertama Internatioanl Conference of Foreign Minister (ICFM) yang dilaksanakan di Jeddah, Arab Saudi menghasilkan secretariat jendral yang berkedudukuan di kota yang sama yang akan dipimpin oleh seorang Sekretasis Jendral (Sekjen).
Keanggotaan Indonesia di Organisasi Konferensi Islam adalah sesuatu yang unik. Meskipun telah terdaftar sebagai anggota OKI pada tahun 1969 dan disebut sebagai salah satu dari Negara pendiri OKI. Indonesia hingga saat ini belum menandatangani Piagam OKI sebagai salah satu syara keanggotaannya. Namun Indonesia telah berpartisipasi langsung dalam kegiatan organisasi ini, sehingga Indonesia disebut sebagai paritisipan aktif yagn status, hak dan kewajibannya sama seperti Negara anggota OKI lainnya.
Dalam Piagam OKI pertama disebutkan bahwa organsisai ini beranggotakan Negara-negara yang turut serta dalam KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) I, dan atau yang berpartisipasi dalam KTM (Konferensi Tingkat Menteri) di Jeddah (Maret 1970), Karaci (Desember 1970) serta yang menandatangani dan mengesahkan Piagam OKI. Negara-negara Islam yang tidak memenuhi ketentuan tersebut dapat menjadi anggota jika mengajukan lamaran dan disetujui oleh sedikitnya dua pertiga anggota lainnya pada KTM pertama setelah lamaran itu diajukan. Panitia persiapan KTT I mengartikan Negara Islam adalah Negara yang secara konstitusional Islam atau mayoritas penduduknya Islam.

Dalam ketentuan Pasal VIII sebelum perubahan terdapat tiga kategori cara mendapatkan keanggotaan secara otomatis, dalam hal ini Indonesia memenuhi poin ke-2 yang menyatakan semua Negara yang berpartisipasi dalam Konferensi Tingkat Menteri Luar Negeri Negara-negara Islam di Jeddah, Arab Saudi (23-25 Maret 1970), dan di Karachi, Pakistan (26 Desember 1970) dikategorikan sebagai Negara pendiri OKI. Selain itu jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah 200 juta jiwa beragam Islam menjadi faktor lain keistimewaan keanggotaan Indonesia sebagai Negara anggota OKI.
Indonesia pertama sekali mengirim delegasi yang diketuai oleh Adam Malik pada KTT III di Jeddah, Saudi Arabia (1972) yang diberi perintah untuk meningkatkan kerjasama antara anggota OKI berdasarkan kerjasama yang setara dan Piagam PBB. Keanggotaan Indonesia ini dengan syarat “Only involve in loose and non-binding way without involving Islamic sentiments”. Disebut partisipan aktif yang status hak dan kewajibannya sama seperti negeara-negara anggota lainnya. Delegasi ini menjadi tolak ukur langkah awal Indonesia untuk berpartisipasi dalam kegiatan OKI berikutnya. Dengan bergabung bersama OKI, maka Indonesia dapat melaksanakan fungsi dalam menjaga perdamaian dunia, memperkuat kesetiakawanan dan menjalin kerjasama di berbagai bidang dengan Negara-negara anggota OKI lainnya serta sebagai wadah mengakomodir kepentingan-kepentingan Indonesia dengan penduduk yang mayoritas beragama Islam.
Keanggotaan Indonesia di OKI memiliki peranan yang krusial, hal ini dibuktikan dengan kinerja Indonesia sebagai pihak yang berperan aktif dalam agenda-agenda OKI bahkan menjadi tuan rumah penyelenggara Konferensi Internasional. Pada tanggal 2-3 Juni 2014, Indonesia dipilih menjadi tuan rumah penyelenggara Konferensi Internasional Wisata Syariah “The 1st OIC International Forum on Islamic Tourism (OIFIT 2014)” dengan tema “Islamic Tourism, The Prospects and Challenges”. Konferensi Internasional tersebut dihadiri oleh Menteri LUar Negeri maupun Kepala Negara perwakilan dari setiap Negara-negara anggota OKI. Konferensi Internasional tersebut membahas hal-hal yang terkait untuk mendukung dilaksanakannya Pariwisata Syariah. Konferensi internasional wisata syariah merupakan yang pertama kali digelar di dunia. Ini sebagai tindak lanjut dari pertemuan para Menteri Pariwisata Negara anggota OKI di Banjul, Gambia tanggal 6 Desember 2013. Pertemuan tersebut menggagas suatu forum yang akan membahas terkait pengembangan WIsata Syariah di antara Negara anggota OKI. Forum ini diharapkan memacu industry wisata syariah.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dapat dirumuskan masalah yang menjadi bahan pembahasan dalam makalah ini, yaitu, “Bagaimana keterlibatan Indonesia dengan Organisasi Kerjasama Islam dalam diplomasi multilateral?”

Tujuan Penulisan
Sesuai dengan rumusan masalah yang telah ditetapkan, tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui keterlibatan Indonesia dengan Organisasi Kerjasama Islam dalam hubungan diplomasi multilateral.


BAB II
TEORI DAN KONSEP

Liberalisme
Berawal dari premis bahwa system internasional merupakan sesuatu yang berhubungan erat dengan suatu “State of Nature” internasional, Immanuel Kant berpendapat bahwa cara satu-satunya agar situasi ini bisa diatasi adalah menemukan sebuah ‘perdamaian negara’. Kant tidak membayangkan pembentukan pemerintahan dunia atau menyatukan kedaulatan, tetapi lebih kepada sebuah federasi yang lebih ‘longgar’ terdiri dari Negara-negara bebas diperintah oleh aturan hokum, dia tidak melihat situasi ini terwujud secara kebetulan saja atau dengan cepat.
Pada tahun 1970-an, generasi baru para sarjana liberal mulai membuat serangan-serangan terhadap dominasi kaum realisme dalam Hubungan Internasional. Perkembangan yang cepat dalam teknologi, pertumbuhan organisasi-organisasi pada masanya seperti Komunitas Eropa, dan pengaruh dari berbagai peristiwa seperti krisis minyak pada tahun 1973 membuktikan tumbuhnya interdependensi dalam hubungan internasional. Pada masa itu juga muncul salah satu literature kaum liberal tentang hubungan ‘transnasional’ dan ‘masyarakat dunia’ literature ini membuat trobosan yang signifikan terhadap permisahan-permisahan karakteristik yang kaku seperti inside/outside dan domestic/internasional yang dipraktekkan oleh kaum realisme. Lebih lanjut lagi, kaum liberal menunjukkan pertumbuhan yang cukup signifikan dari perusahaan-perusahaan multinasional (MNCs), organisasi internasional non-pemerintah (NGOs) dan pressure group sebagai bukti bahwa negara tidak lagi menjadi satu-satunya actor penting dalam hubungan internasional.
Kaum liberal umumnya mengambil pandangan positif tentang sifat manusia. Mereka memiliki keyakinan besar terhadap akal pikiran manusia dan mereka yakin bahwa prinsip-prinsip rasional dapat dipakai pada masalah-masalah internasional. Kaum liberal mengakui bahwa individu selalu mementingkan diri sendiri dan bersaing terhadap suatu hal, tetapi merka juga percaya bahwa individu-individu tersebut memiliki banyak kepentingan dan dengan demikian dapat terlibat dalam aksi social yang kolaboratif dan kooperatif baik domestic, maupun internasional yang menghasilkan manfaat besar bagi setiap orang baik di dalam negeri maupun luar negeri.

Liberalisme Institusional
Aliran Liberalisme ini mengambil pemikiran terdahulu. Saat ini kaum liberal institusional kurang optimis dibandingkan dengan pendahulunya yang lebih idealis. Mereka setuju bahwa institusi internasional dapat membuat kerjasama jadi lebih mudah dan jauh lebih mungkin. Kaum liberal institusional menyatakan bahwa institusi internasional dapat membantu meningkatkan kerjasama di antara Negara-negara. Dalam upaya mengevaluasi pernyataan tersebut, kaum liberal institusional memakai pendekatan ilmiah, behavioralistik. Institusional juga merupakan jenis institusi yang lebih fundamental, seperti kedaulatan Negara atau perimbangan kekuatan. Instuisi fundamental ini bukanlah difokuskan oleh kaum liberal institusional, tetapi mereka merupakan objek utama dari studi bagi teoritis masyarakat internasional.

Rezim Internasional
Pakar Ilmu Hubungan Internasional, Stephen D. Krasner mendefinisikan Rezim Internasional sebagai “prinsip, norma, peraturan dan prosedur pengambilan keputusan yang implicit atau explicit, dimana ekspetasi para pelaku berkumpul di wilayah hubungan internasional tertentu”, sedangkan menurut Kamus, Rezim bisa berarti sebagai sebuah tata cara atau aturan yang mengatur siapapun yang berada didalam auran tersebut untuk bertindak sesuai aturan tersebut. Rezim Internasional dapat berbentuk sebagai macam hal seperti Konvensi Internasional seperti konvensi Basel, maupun seperti Organisasi Internasional seperti IMF.
Rezim internasional biasanya terbentuk sebagai respon dari dibutuhkannya koordinasi sikap diantara Negara-negara atas sebuah isu. Jumlah rezim internasional meningkat secara drastic paska perang dunia ke II, dan pada masa sekarang rezim hampir mengcover semua aspek dalam hubungan internasional mulai dari isu keamanan atas nuklir (IAEA), perdagangan (WTO), Moneter (IMF), lingkungan (UNCOP), dan sebagainya. Beberapa pendapat menyatakan bahwa pentingnya kekuatan hegemoni yang dibutuhkan untuk membentuk sebuah rezim internasional. Amerika Serikat misalnya, Negara yang menjadi salah satu hegemoni dunia paska Perang Dunia II, menjadi actor utama dalam pembentukan dua rezim internasional yang termesuk paling berperan besar. IMF dan GATT (WTO) lewat peristiwa Bretton Woods, dan Protokol Kyoto lewat UNCOP.

Kerjasama Internasional
Semua Negara di dunia ini tidak dapat berdiri sendiri dalam memenuhi kebutuhan terlebih dalam meningkatkan perkembangan dan kemajuan negaranya. Perlu adanya kerjasama dengan Negara lain karena adanya saling ketergantungan sesuai dengan kebutuhan Negara masing-masing. Perkembangan yang pesat dalam hubungan luar negeri yang paling penting adalah kerjasama internasional yang dirumuskan dalam bentuk perjanjian. Setiap perjanjian internasional yang dilaksanakan akan mengikat suatu Negara yang menyatakan terkait ke dalamnya melalui suatu peraturan perundang-undangan nasional.
Hubungan dan kerjasama internasional muncul karena keadaan dan kebutuhan masing-masing Negara yang berbeda sedangkan kemampuan dan potensi yang dimiliki pun tidak sama. Hal ini menjadikan suatu Negara membutuhkan kemampuan dan kebutuhannya yang ada di Negara lainnya. Kerjasama internasional akan menjadi sangat penting sehingga patut dipelihara dan diadakan suatu pengaturan agar berjalan dengan tertib dan manfaatnya dapat dimaksimalkan sehingga tumbuh rasa persahabatan dan saling pengertian antar Negara satu dengan lainnya.
Disamping itu, kerjasama internasional bukan saja dilakukan antara Negara secara individual, tetapi juga dilakukan antar Negara yang bernaung dalam organisasi atau lembaga internasional. Mengenai kerjasama internasional, Koesnadi Kartasasmita mengatakan bahwa kerjasama internasional merupakan suatu keharusan sebagai akibat adanya hubungan interpedensi dan bertambah kompleksitas kehidupan manusia dalam masyarakat internasional.

Perjanjian Internasional
Perjanjian Internasional menurut Mochtar Kusumaatmadja adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu. Sedangkan menurut ketentuan pasal 1 huruf (a) undang-undang nomor 24 tahun 2000 tentang perjanjian internasional, yang dimaksud perjanjian internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu, yang dibuat dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum public.
Konvensi tentang Perjanjian Internasional, yang ditentukan dalam konferensi internasional yang diadakan oleh PBB di Wina, pada 22 Mei 1969 (The Convention on the Law of Treaties), dalam Pasal 1, menentukan bahwa Konvensi hanya berlaku pada perjanjian internasional yang dibuat oleh Negara. International Law Commission (ILC), pada sidangnya yang ke-14 menentukan perjanjian internasional yang dibuat oleh Organisasi Internasional dari kodifikasi hukum perjanjian internasional tahun 1969. Namun diakui bahwa makin banyaknya perjanjian internasional yang dibuat oleh Organisasi Internasional merupakan kewajiban bagi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengaturnya. Oleh karenanya, timbul usul agar Majelis Umum PBB menugaskan ILC untuk membut draf konvensi yang mengatur tentang perjanjian internasional yang dibuat oleh Organisasi Internasional.

Berdasarkan Pasal 13(1a) Piagam PBB, majelis Umum PBB mempunyai tugas untuk mendorong kemajuan hukum internasional (progressive development of international law) dan kodifikasinya. Guna membantu tugas Majelis Umum dalam bidang kodifikasi dan mendorong kemajuan hukum internasional maka dibentuklah Komisi Hukum Internasional (International Law Commission), selanjutnya kita sebut dengan ILC. Mengingat bahwa PBB bukanlah Organisasi Internasional yang mempunyai sifat super state maka pembuatan aturan-aturan hukum internasional tetap merupakan hak Negara-negara. Kewenangan PBB adalah mendorong, membantu, mengharmonisasikan, dan mewujudkan aturan yang diperlukan.
Kemajuan hukum internasional yang diadakan oleh PBB berguna untuk memenuhi kebutuhan, adanya aspirasi politik, dan kepentingan dari Negara-negara dan masyarakat internasioanl secara keseluruhannya. Kebutuhan untuk mengadakan kemajuan (perkembangan) hukum internasional dan kodifikasinya, selain dilakukan oleh PBB sendiri atau oleh ILC, sejak 1966 dibentuklah United Nations Commission of International.
Majelis umum PBB telah aktif mengasakan pengembangan hukum internasional dan kodifikasinya, misalkan dalam bidang hak-hak asasi manusia, ruang angkasa, dan masalah-masalah maritim. Pada 1969, selain konvensi tentang perjanjian internasional antar-negara, juga terbentuk konvensi untuk misi khusus (Convention on Special Missions). Dilanjutkan pada 1973, muncul konvensi untuk mencegah dan menghukum kejahatan internasional terhadap orang-orang yang dilindungi (convention on the prevention and punishment of crimes against internationally protected persons, including diplomatic agents) dan pada 1979 dihasilkan konvensi internasional tentang tindakan melawan penyanderaan (international convention agains the taking of hostages). Setelah konvensi tentang perjanjian internasional pada 1969, konvensi internasional tentang suksesi Negara sehubungan dengan perjanjian internasional (convention on the succession of states with respect to treaties) diterima pada 1978.

Disamping konvensi-konvensi tersebut, majelis umum PBB masih menganggap perlunya mengadakan konferensi internasional yang akan membicarakan pembuatan perjanjian intenasional yang diadakan oleh Negara dan organisasi internasional, dan antar-organisasi internasional. Oleh karena itu, majelis umum PBB menugaskan ILC untuk membuat draf konvensi tentang perjanjian internasional antar-negara dan organisasi internasional atau antar-organisasi internasional (resolusi majelis umum 2501(XXIV)), 12 November 1969. Pada 1982, majelis umum PBB, dengan resolusi 37/112. 16 Desember 1982, memutuskan bahwa suatu konvensi Internasional tentang perjnajian internasional antara Negara denga organisasi internasional dan antar-organisasi internasional akan dibuat berdasarkan draft yang dibuat oleh ILC.

Diplomasi
kata diplomasi diyakini berasal dari kata Yunani “diploun” yang berarti “melipat”. Menurut Ernest Satow, Burke memakai kata diplomasi untuk menunjukkan keahlian atau keberhasilan dalam melakukan hubungan internasional dan perundingan di tahun 1796. Para pakar memberi definisi yang berbeda terhadap kata diplomasi. Tetapi diantara definisi lain yang dikemukakan oleh pakar, definisi diplomasi menurut KM Panikkar dalam bukunya The Principle and Pratice of Diplomacy lebih mengena apabila ditinjau dari konteks hubungan internasional. Dimana menurutnya, diplomasi dalam hubungannya dengan politik internasional adalah seni yang mengedepankan kepentungan suatu Negara dalam hubungannya dengan Negara lain.

Organisasi Internasional
Menurut T. May Rudi, Organisasi Internasional, secara sederhana dapat di definisikan sebagai “Pola kerjasama yang melintasi batas-batas negara, dengan didasari struktur organisasi yang jelas dan lengkap serta diharapkan atau diproyeksikan untuk berlangsung serta melaksanakan fungsinya secara berkesinambungan dan melembaga guna mengusahakan tercapainya tujuan-tujuan yang diperlukan serta disepakati bersama, baik antara pemerintah dengan pemerintah maupun antara sesame kelompok non-pemerintah pada Negara yang berbeda” (Rudy, 1998:3). Jadi organisasi internasional, menurut pengertian sederhana tersebut, mencakup adanya 3 unsur, yaitu; keterlibatan Negara dalam suatu pola kerjasama; adanya pertemuan-pertemuan secara berkala; adanya staff yang bekerja sebagai ‘pegawai sipil internasional’. Perkembangan pesat dalam bentuk serta pola kerjasama melalui organisasi internasional, telah makin menonjolkan peran organisasi internasional yang bukan hanya melibatkan Negara beserta pemerintah saja, Negara tetap merupakan actor dominan di dalam bentuk-bentuk kerjasama internasional, namun perlu diakui keberadaan organisasi-organisasi internasional non-pemerintah yang makin hari makin banyak jumlahnya.
Memang, perlu diingat bahwa suatu kerjasama internasional tidak selalu harus berbentuk organisasi internasional. Mungkin saja dilaksanakan melalui perjanjian atau kesepakatan saja, yang bukan berupa perjanjian untuk membentuk suatu organisasi internasional. Oleh karena itu, untuk dinyatakan suatu organisasi internasional, selain ada unsur-unsur seperti; kerjasama yang ruang lingkupnya melintasi batas Negara. Mencapai tujuan yang disepakati bersama, dan baik antar pemerintah maupun non pemerintah. Perlu pula dipenuhi unsur-unsur sebagai berikut; struktur organisasi yang jelas dan lengkap, melaksanakan fungsi secara berkesinambungan.


BAB III
PEMBAHASAN

Sejarah Organisasi Kerjasama Islam (OKI)
Organisasi Kerjasama Islam (OKI) adalah organisasi antar pemerintah terbesar kedua setelah Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan keanggotaan 57 negara bagian yang tersebar di empat benua. Organisasi ini adalah suara kolektif dunia muslim. Ini berusaha melindungi kepentingan dunia Muslim dengan semangat untuk mempromosikan perdamaian dan harmoni internasional di antara berbagai orang di dunia.
Organisasi tersebut didirikan pada sebuah keputusan pertemuan puncak historis berlangsung di Rabat, Kerajaan Maroko pada tanggal 12 Rajab 1389 Hijriah (25 September 1969) setelah pembakaran Masjid Al-Aqsa di Yerusalem yang diduduki.
Pada tahun 1970 pertemuan pertama Konferensi Menteri Luar Negeri Islam (ICFM) diadakan di Jeddah yang memutuskan untuk mendirikan secretariat permanen di Jeddah yang dikepalai oleh sekretaris jendral organisasi tersebut. Dr. Yousef Ahmed Al-Othaimeen adalah Sekretaris Jenderal ke 11 yang mnejabat sejak bulan November 2016.
Piagam OKI pertama di adopsi oleh siding ICFM ke-3 yang diadakan pada tahun 1972. Piagam tersebut menetapkan tujuan dan prinsip organsisasi dan tujuan mendasar untuk memperkuat solidaritas dan kerjasama di antara Negara-negara anggota. Selama 40 tahun terakhir, keanggotaan telah berkembang dari anggota pendiri 30 sampai 57 negara bagian. Piagam tesebut diubah untuk mengimbangi perkembangan yang telah terjadi di seluruh dunia. Piagam OIC saat ini diadopsi oleh KTT Islam Kesebelas yang diadakan di Dakar pada tanggal 13-14 Maret 2008 untuk menjadi pilar tindakan Islam masa depan OKI sesuai dengan persyaratan abad ke-21.

Piagam OKI pertama diadopsi oleh Sidang ICFM ke-3 yang diadakan pada tahun 1972. Piagam tersebut menetapkan tujuan dan prinsip organisasi dan tujuan mendasar untuk memperkuat solidaritas dan kerjasama di antara Negara-negara anggota. Selama 40 tahun terakhir, keanggotaan OKI telah berkembang dari anggota pendiri 30 sampai 57 negara bagian. Piagam tersebut diubah untuk mengimbangi perkembangan yang telah terjadi di seluruh dunia. Piagam OIC saat ini diadopsi oleh KTT Islam Kesebalas yang diadakan di Dakar pada tanggal 13-14 Maret 2008  untuk menjadi pilar tindakan Islam masa depan OKI sesuai dengan persyaratan abad ke-21.Organisasi tersebut memiliki kehormatan tunggal untuk menggembleng umat ke dalam sebuah kesatuan dan secara aktif mewakili kaum Muslimin dengan mendukung semua penyebab yang dekat dengan hati 1.5 miliyar Muslim di dunia. Organisasi tersebut memiliki hubungan konsultatif dan kooperatif dengan PBB dan organisasi antar pemerintah lainnya untuk melindungi kepentingan vital kaum Muslimin dan bekerja untuk penyelesaian konflik dan perselisihan yang melibatkan Negara-negara anggota. Dalam menjaga nilai-nilai sejati Islam dan Muslim, organisasi tersebut telah mengambil berbagai langkah untuk menghapus kesalahan persepsi dan telah sangat menganjurkan penghapusan diskriminasi terhadap umat Islam dalam segala bentuk dan manifestasi.

Negara-negara anggota OKI menghadapi banyak tantangan di abad 21 dan untuk mengatasi tantangan tersebut, Sidang Luar Biasa Ketiga dalam KTT Islam yang diadakan di Makkah pada bulan Desember 2005, memberikan cetak biru yang disebut Program Aksi Sepuluh Tahun. Ini berhasil diakhiri dengan akhir 2015. Program penerus untuk decade berikutnya (2016-2025) sejak saat itu telah diadopsi.
Program baru OIC-2015 ini berlabuh dalam ketentuan Piagam OKI dan berfokus pada 18 area prioritas dengna 107 tujuan. Area prioritas meliputi isu-isu Perdamaian dan Keamanan, Palestina dan Al-Quds, Pengentasan Kemiskinan, Penanggulangan Terorisme, Investasi dan Keuangan, Ketahanan Pangan, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Perubahan Iklim dan Keberlanjutan, Moderasi, Budaya dan Kesetiaan Antar-agama, Pemberdayaan Perempuan, Aksi Kemanusiaan Bersama, Hak Asasi Manusia dan Tata Pemerintah yang Baik.
Diantara badan-badan kunci OKI; KTT Islam, Dewan Menteri Luar Negeri (CFM), Sekretariat Jenderal, di samping Komite Al-Quds dan tiga komite permanen yang peduli dengan sains dan teknologi, ekonomi dan perdagangan, dan informasi dan budaya. Ada juga organ khusus di bawah bendera OKI termasuk Islamic Development Bank dan Islamic Educational, Scientific dan Cultural Organization, serta anak perusahaan dan organ afiliasi yang berperang penting dalam meningkatkan kerja sama di berbagai bidang di antara Negara-negara anggota OKI.

Dinamika Hubungan Indonesia didalam Organisasi Kerjasama Islam (OKI)
OKI yang memiliki anggota terdiri dari 57 negara Islam atau berpendudukan Islam, diharapkan dapat memberikan angina segar terhadap situasi politik dan keamanan dunia. Latar belakang dari berdirinya OKI ini adalah peristiwa sejarah yang dimana pembakaran masjid di Kota Yerusalem oleh Israel pada tahun 1969. Tujuan dari OKI ini diarahkan bagi tegaknya ikatan persaudaraan di Negara-negara anggota serta hak keberadaan suatu bangsa untuk berdaulat. Tujuan yang dimaksud adalah; dapat meningkatkan kerja sama dan solidaritas antar Negara anggota OKI, menghapus perbedaan rasial, diskriminasi, dan kolonialisme, mengupayakan perlindungan bagi tempat-tempat suci Islam, dan mendukung perjuangan rakyat Palestina untuk mendapatkan hak pembentukan Negara mereka dan berdaulat.
Peran aktif Indonesia di OKI yang menonjol adalah ketika pada tahun 1993 Indonesia menerima mandate sebagai ketua Committee of Six, yang bertugas memfasilitasi perundingan damai antara Moro National Liberation Front (MNLF) dengan pemerintah Filipina. Kemudian pada Tingkat Menteri (KTM-OKI) ke-24 di Jakarta. Selain itu, Indonesia juga memberikan kontribusi untuk mereformasi OKI sebagai wadah untuk menjawab tantangan umat Islam memasuki abad ke-21. Pada penyelenggaraan KTT OKI ke-14 di Dakar Senegal, Indonesia mendukung pelaksanaan OIC’s ten-Year Plan of Action. Dengan diadopsinya piagam ini, Indonesia memiliki ruang untuk lebih berperan dalam memastikan implementasi reformasi OKI tersebut. Indonesia berkomitmen dalam menjamin kebebasan, toleransi dan harmonisasi serta memberikan bukti nyata akan keselarasan Islam, demokrasi dan modernitas. Bagi Indonesia, OKI merupakan wahana untuk menunjukkan citra Islam yang santun dan moderat. Sebagaimana yang ditunjukkan Indonesia pada dunia internasional dalam pelaksanaan reformasi 1998 serta kemampuan Indonesia melewati transisi menuju Negara yang demokratis melalui penyelenggarakan pemilihan umum legislative ataupun pemilihan presiden secara langsung yang berjalan dengan relative baik. Pengalaman Indonesia tersebut dapat dijadikan rujukan bagi Negara-negara anggota OKI lainnya, khususnya Negara-negara di Timur Tengah dan Afrika Utara yang sedang mengalami proses demokratisasi. Dalam mengatasi konflik Aceh, Indonesia mampu belajar dari pengalaman bahwa puluhan tahun perseteruan Indonesia-GAM hanya bisa diselesaikan melalui perjanjian damai yang saling menguntungkan bukan dengan jalan kekerasan yang memakan korban banyak jiwa. Selain itu berbagai keberhasilan Indonesia yang didukung berbagai pihak dalam menyelesaikan konflik yang terjadi di Poso, Sulawesi tengah mampu dijadikan nilai tambah bagi Indonesia di mata Negara-negara yang tergabung dalam OKI. Indonesia dapat mengambil sejumlah peluang dengan menjadikan OKI sebagai organisasi multilateral non-PBB yang dapat memberikan kontribusi nyata bagi kepentingan Indonesia di kancah internasional. Melalui OKI, Indonesia juga dapat menawaarkan program-program nasional yang bisa dikembangkan oleh Negara-negara anggota OKI lainnya. Sebagai contoh peningkatan pembangunan ekonomi, program anti korupsi, Good Govermance, penegakkan HAM, dan hak-hak perempuan. Peluang Indonesia untuk memimpin OKI semakin terbuks pada KTT OKI 2014 yang telah diselenggarakan di Jakarta. Pemerintah Indonesia memiliki modal dasar yang kuat terkait peranan-peranan di dunia internasional; Pertama, sebagai Negara muslim terbesar di dunia Indonesia menjadi kekuatan penting pada abad ke-21 terkait dengan pembangunan demokrasi. Di dunia Islam-selain Malaysia dan Turki-konsep demokrasi dan toleransi sulit diterapkan secara penuh oleh Negara-negara anggota OKI. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan munculnya konflik kekerasan hingga memakan korban jiwa yang tidak sedikit dalam pelaksanaan demokrasi di Kawasan Timus Tengah. Kedua, sebagai ketua ASEAN, posisi Indonesia semakin diperhitungkan.

Permasalahnnya adalah mampu tidaknya pemerintah mengelola potensi strategis sebagai ketua ASEAN tersebut. Ketiga, letak geografis Indonesia yang sangat strategis dapat membantu meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan Indonesia dan kawasan sekitarnya. Disamping itu, jabatan yang diembang Indonesia sebagai ketua Parliamentary Union of OIC Member States (PUIC) pada siding keenam di Kampala, Uganda Januari 2011, memberikan kesempatan lebih bagi Indonesia untuk lebih vocal dalam menyuarakan kebijakan luar negeri dan kepentingannya. Dalam PUIC, Indonesia dapat berperan untuk mendorong peningkatan kinerja OKI ditengah tantangan globalisasi, PUIC menjadi salah satu kekuatan yang diperhitungkan tidak hanya oleh dunia Islam, tetapi juga oleh Barat. Dengan mengoptimalkan peran PUIC, OIC dan subsidiary organs diharapkan dapat mengurangi ketergantungan dunia Islam terhadap Negara Barat dalam penyelesaian masalah di negara-negara anggotanya.Konferensi tingkat tinggi Organisasi Kerjasama Islam yang terjadi di Jakarta selama 2 hari tersebut menghadirkan 500 delegasi dari 49 negara, dan dihadiri oleh tiga Negara pengamat, empat anggota “kuartet” kelompok negosiasi perdamaian Palestina-Israel (Rusia, Amerika Serikat, PBB, Uni Eropa), dan dewan keamanan PBB. Konferensi ini membahas persengketaan batas wilayah Palestina yang diduduki Israel dari tahun 1967, persoalan tersebut mengakibatkan banyaknya warga Negara Palestina yang mengungsi ke Negara-negara lain dan ini menjadi persoalan kedua dalam deklarasi di Jakarta itu sendiri. Setidaknya ada sekitar 4 juta warga Negara Palestina yang tinggal diluar wilayahnya mereka, Delegasi OKI tersebut juga membahas tentang status resminya Yerusalem yang dimana kota tersebut menjadi kota suci yang termasuk keamanan dan pembatasan umat muslim untuk beribadah dari agama Yahudi dan agama Kristen. Dalam pertemuan tertutup yang dilakukan OKI tersebut, membahas tentang resolusi untuk menguatkan posisi OKI terhadap dukungannya terhadap Palestina dan kota Yerusalem. Deklarasi di Jakarta ini memuat 23 butir komitmen sebagai upaya konkrit OKI, yaitu;
Menyatukan upaya untuk mengakhiri pendudukan Israel sejah tahun 1967
Meningkatkan dukungan penuh politik, diplomatic, dan upata legal melindungi hak-hak dasar rakyat palestina
Melindungi status masjid Al-Quds Al-Sharif dengan mengambil aksi yang memungkinkan untuk mengakhiri pendudukan Israel
Mengambil semua tindakan yang memungkinkan untuk mendukung keteguhan rakyat Palestina di wilayah pendudukan dan secara khusus di Al-Quds untuk melanjutkan perlindungan identitas sejarah dan budaya di kota suci
Mendukung semua upaya Saudi Arabia, dibawah kepemimpinan penjaga dua masjid suci
Mendukung upaya, Raja Yordania dalam melindungi Al-Quds terkait situs suci muslim dan Kristen di Yerusalem
Menyerukan semua tindakan untuk mengakhiri pendudukan Israel di Al-Quds AL Sharif untuk hak muslim melakukan ibadah
Mendesak dewan keamanan PBB untuk mempertanyakan pendudukan illegal Israel yang mengancam solusi dua Negara dalam upaya perdamaian dan menyediakan perlindungan internasional terhadap palestina
Mengakui peran penting Dewan Hak Asasi Manusia, dan mempertanyakan kekerasan terhadap HAM dan Hukum kemanusiaan internasional di wilayah pendudukan
Mengambil langkah penting untuk menjamin persatuan Negara-negara muslim, menghindari perbedaan dalam internasional forum
Memperluas dukungan untuk menyelengarakan konferensi perdamaian internasional yang membangun upaya internasional baru
Meningkatkan bantuan financial dan pembangunan kapasitas oleh Negara anggota OKI untuk membangun institusi nasional palestina
Pengembangan organisasi hukum antar pemerintah untuk membantu advokasi Palestina di lembaga internasional dan mekanisme hukum lainnya
Mendukung upaya penempatan komite Al-Quds pada kepemimpinan Raja Mohamed VI dan mengajak Negara anggota member kontribusi untuk Bayt Mal Al-Quds Agency
Menghidupkan kontribusi financial Al-Quds Fund dan Waqf. Mengajak semua muslim untuk menyumbangkan satu dollar
Menyerukan masyarakat internasional mendukung boykot terhadap produk yang dihasilkan dipemukiman illegal
Mempromosikan upaya jalur dua, termasuk dialog antar-agama, untuk mendorong upayayang bertujuan mencapai solusi dua Negara
Memperkuat dukungan media untuk palestina untuk memobilisasi dan membangun kesadaran opini public internasional terhadap palestina
Menekankan penguatan persatuan dan solidaritas di antara para anggota OKI sebagai dukungan bagi palestina
Mendorong para pemimpin OKI, untuk memobilisasi upaya lebih luas guna mendukung palestina dan Al-Quds di forum internasional juga melanjutkan deklarasi ini
Melanjutkan upaya Ministerial Contact Group dalam melindungi kota Al-Quds dari Systematic Judaization
Menyerukan persatuan dalam mendukung rakyat palestina
Mengintesifikasi upaya terpadu untuk mendukung rekonsiliasi nasional palestina, dibawah kepemimpinan Presiden Mahmod Abbas sebagai kontribusi untuk meningkatkan persatuan rakyat palestina dalam menghadapi mesin perang Israel dan rencananya untuk kekuasaan dan ekspansi.
Butir-butir pada deklarasi Jakarta ini yang merupakan gagasan dari Indonesia, yang mencerminkan upaya nyata yang juga sejalan dengan UUD 1945 yang dimana untuk menghapuskan penjajahan berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social, ini adalah makna dari deklarasi yang diadakan di Jakarta.

Studi Kasus: Konflik Israel-Palestina dan upaya Indonesia dan OKI dalam menyelesaikannya

Konflik Israel-Palestina

Konflik antara Israel dan Palestina merupakan salah satu konflik yang paling lama dan rumit di dunia, konflik tersebut memiliki akar sejarah yang saling mengklaim wilayah yang ada di timur laut Mediterrania dan delta Sungai Jordan. Untuk bangsa Palestina, 100 tahun belakangan merupakan tahun tahun yang penuh dengan kolonisasi, pengusiran, dan pendudukan militer, yang diikuti oleh pencarian jadi diri yang lama dan sulit dan keinginan hidup di dalam negara mereka sendiri yang mereka telah huni sekian lamanya. Bagi bangsa Yahudi dari Israel, kembalinya mereka ke tanah leluhur mereka setelah pengucilan berabad-abad lamanya di seluruh dunia belum menghasilkan perdamaian untuk mereka, dikarenakan banyaknya negara-negara tetangga mereka yang ingin menghapus negara mereka dari peta dunia.
Wilayah Israel-Palestina sudah menjadi wilayah yang sering diperebutkan sejak jaman dahulu hingga pada abad 12 saat Perang Salib selesai dimana wilayah tersebut jatuh ke tangan Kekaisaran Ottoman yang terus bertahan memiliki daerah tersebut hingga kehancuran mereka pada awal abad 20. Penulis akan membagi konflik Israel-Palestina menjadi beberapa timeline agar lebih tersusun dan mudah dimengerti

1910an
Pada saat Perang Dunia pertama, area tersebut merupakan area Kekaisaran Ottoman, kekuasaan Ottoman didaerah tersebut berakhir saat pasukan Badui Arab yang disokong oleh Inggris Raya berhasil mengusir Ottoman dari wilayah Arab. Pada 1916, komisioner Inggris di Mesir, Sir Henry McMahon menjanjikan kemerdekaan bagi suku-suku Arab yang daerahnya dikuasai oleh Kekaiaran Ottoman,tetapi disaat yang bersamaan, Inggris dan Perancis menandatangani Perjanjian Sykes-Picot yang membagi wilayah bekas Ottoman di bawah pengaruh mereka. Lalu pada 1917, Menteri Luar Negeri Inggris, Arthur Balfour membuat surat yang ditujukan kepada salah satu pimpinan Zionist, Lord Rothschild yang berisi komitmen Inggris Raya untu ‘mendirikan rumah nasional bagi kaum yahudi di Palestina’.
Inggris menduduki daerah yang sekarang disebut Israel dan Palestina pada masa-masa akhir perang pada tahun 1918 dan ditugaskan sebagai pengawas daerah mandat tersebut oleh LBB pada 25 April 1920 

1920-1930an
Migrasi besar-besaran mengakibatkan ratusan ribu orang yahudi bermigrasi besar-besaran ke daerah Palestina yang masih menjadi daerah Mandat Inggris Raya, mengakibatkan kegaduhan di komunitas arab yang tinggal di daerah tersebut. Pada 1922, sensus yang dilakukan oleh Inggris Raya menunjukkan populasi kaum Yahudi telah meningkat menjadi 11% dari 750.00 penduduk Palestina. Lebih dari 300.000 imigran akan datang dalam jangka 15 tahun selanjutnya.
Pada Agustus 1922, bentrokan antara Zionis-Arab terjadi untuk pertama kalinya yang berujung pada dibunuhnya 133 kaum yahudi oleh orang-orang Palestina dan 110 orang Palestina oleh polisi Inggris raya. Ketidaktenangan bangsa arab kembali terjadi pada saat mogok besar-besaran pada 1936. Pada periode tersebut, grup militant Zionist bernama Irgun Zvai Leumi terus mengotaki serangan-serangan yang menargetkan obyek-obyek milik Palestina dan Inggris Raya dengan target untuk ‘membebaskan’ Palestina dan Transjordan (sekarang Yordania) dengan paksa. Pada juli 1937, Komisi Kerajaan yang dipimpin oleh Sekretaris Negara untuk India, Lord Peel, merekomendasikan pembagian lahan untuk membuat negara yahudi (sepertiga daerah Mandat Palestina, termasuk Galilee dan daerah tepi ;aut) dan negara arab. Perwakilan dari Palestina dan Arab menolak rekomendasi tersebut dan memaksa untuk Inggris agar segera menghentikan keran imigran dan pengamanan satu negara kesatuan dengan perlindungan hak-hak bagi minoritas. Inggris tidak memenuhi hal tersebut yang mengakibatkan penolakan yang berujung pada kekerasan yang terus bertahan hingga 1938 saat kerusuhan tesebut dihancurkan oleh bala bantuan dari Inggris.

1940an
Inggris Raya yang telah menguasai daerah Palestina sejak 1920, menyerahkan kewajiban untuk menyelesaikan permasalahan Zionis-Arab kepada PBB pada 1947. Daerah Palestina pada masa tersebut memiliki ketegangan horizontal antara orang Arab asli dengan imigran Yahudi yang pada saat itu telah mencapai sepertiga dari populasi Arab. Situasinya menjadi lebih kritis lagi disaat ratusan ribu Yahudi melarikan diri dari Nazi di Eropa datang ke daerah Palestina.
PBB membentuk komite special yang merekomendasikan untuk pembagian wilayah antara Kaum Yauhdi dan Palestina. Representatif Palestina, disebut sebagai Komite Tinggi Arab, menolak rencana tersebut; di pihak lain, Agensi Yahudi menyetujui perjanjian tersebut. Pemisahan tersebut berisi tentang pembagian 56.47% daerah Mandat Palestina sebagai bagian dari Negara yahudi, sedangkan 43.53% sebagai bagian Negara Arab, dengan Yerusalem jatuh menjadi kawasan bebas internasional dibawah pengawasan PBB. Pada 29 November 1947, proses voting di Majelis Umum PBB menghasilkan 33 negara yang setuju atas pembagian wilayah, 13 negara yang menolak dan 10 negara yang abstain. Rencana yang ditolak oleh pihak Palestina tersebut tidak pernah terealisasi.
Pada 15 May 1948, Inggris Raya mengeluarkan pendapat bahwa mereka ingin untuk menghabisi masa mandat mereka di Palestina, tetapi kericuhan muncul sebelum program tersebut dapat terealisasikan. Banyaknya tentara Inggris yang meninggal dikarenakan kericuhan di daerah Palestina membuat publik Inggris tidak mendukung pendudukan Inggris di Palestina. Ditambah lagi dengan tekanan dari Amerika Serikat yang terus menekan agar terus menerima imigran Yahudi yang akan datang, yang secara tidak langsung mulai menunjukkan dukungan Amerika Serikat bagi Zionisme. 
Pada 14 May 1948, Negara Yahudi pertama sejak 2.000 tahun yang lalu; Israel memproklamasikan kemerdekaannya di Tel Aviv. Deklarasi tersebut berjalan secara efektif pada 15 May 1948 dimana hari terakhir Inggris Raya menduduki daerah Palestina. Kaum Palestina mengingat tanggal 15 Mei sebagai ‘al-Nakba’, atau bencana. Sehari setelah proklamasi kemerdekaan Israel, 5 kekuatan Arab; Yordania, Mesir, Lebanon, Suriah, dan Irak langsung menyerang Israel tapi mampu dipukul balik oleh Israel, dan tentara Israel dapat menghancurkan sisa-sisa perlawanan. Akhirnya gencatan senjata ditandatangani dan menurut gencatan senjata tersebut, perbatasan Israel terlletak di garis terluar kebanyakan dari daerah Mandat Palestina yang dahulu di awasi oleh Inggris Raya. Mesir mendapatkan garis Gaza sementara Yordania menganeksasi daerah timur Yerusalem dan daerah yang sekarang disebut sebagai tepi barat. Wilayah tersebut merupakan 25% total wilayah Mandat Palestina terdahulu.



1960an
Sejak tahun 1948, telah terjadi kompetisi yang sengit antara negara-negara Arab untuk menjadi pemimpin dalam mengeluarkan respon mereka terhadap pembentukan negara Israel, hal tersebut membuat orang-orang Palestina menjadi penonton yang passif dan tidak dapat berbuat apa-apa. Pada Januari 1964, pemerintah-pemerintah Arab – menginginkan sebuah organisasi yang terdiri dari orang-orang Palestina yang akan tetap dalam kontrol mereka – yang disebut sebagai Palestine Liberation Organisation (PLO). Tetapi pihak Palestina menginginkan badan independen yang benar-benar berjuang untuk kemerdekaan mereka, hingga akhirnya Yasser Arafat yang mengambil alih kepemimpinan PLO pada 1969 sukses mengubah struktur PLO, dan disaat bersamaan organisasi Fatah yang dia bentuk secara rahasia tahun 1959 juga menerima sorotan dikarenakan perjuangan melalui angkat senjata melawan Israel.
Lalu pada 1967, ketegangan antara Israel dan negara Arab tetangganya semakin memuncak saat 5 Juni 1967, Suriah dan Mesir dibantu oleh pasukan dari negara-negara arab lainnya secara bersama-sama menyerang Israel dari dua arah. Israel yang awalnya sempat dipukul mundur dikarenakan ketidaksiapan mereka akhirnya memundur balik pasukan Mesir dan Suriah jauh ke daerah mereka. Perang berakhir pada 11 Juni 1967 dengan kemenangan Israel dan pendudukan Israel di kawasan Sinai (yang sebelumnya daerah Mesir) di selatan dan dataran tinggi Golan (yang sebelumnya milik Suriah) di utara dan memukul mundur pasukan Yordania keluar dari tepi barat dan Yerusalem timur. Perang tersebut mengubah wajah konflik di timur tengah, dan kondisi dunia. Dengan berlipat gandanya wilayah Israel yang menyebabkan naiknya level percaya diri bagi Israel dan pendukungnya. Menurut PBB, konflik tersebut menyebabkan 500.000 orang Palestina pergi meninggalkan Palestina menuju Mesi, Suriah, Lebanon dan Yordania. Akhirnya Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi 242, yang menkankan kepada “… tidak dapat diterimanya akusisi wilayah oleh perang dan kebutuhan untuk bekerja untuk perdamaian yang adil dan abadi dimana setiap negara didalam wilayah tersebut dapat hidup dalam keamanan…” resolusi tersebut memanggil untuk “penarikan tentara Israel dari wilayah yang diduduki saat konflik baru-baru ini, resolusi tersebut juga meminta berakhirnya “semua klaim atau keadaan dari sikap agresif dan penghormatan terhadap … kedaulatan … setiap negara bagian di wilayah dan hak mereka untuk hidup dalam damai … bebas dari ancaman atau tindakan kekerasan,”.

1970an
Dikarenakan Suriah dan Mesir mengambil kembali daerah yang hilang paska perang 6 hari melalui jalur diplomatik, Mesir dan Suriah melancarkan serangan besar-besaran terhadap Israel di saat hari besar umat Yahudi yaitu Yom Kippur, serangan ini juga dikenal sebagai perang Ramadan. Rencananya, Mesir dan Suriah akan menyerang melalui Sinai dan Dataran tinggi Golan dan mengambil alih daerah mereka. Tetapi setelah tiga minggu berperang, keadaan berbalik dan Israel berhasil memukul mundur kedua negara hingga melebihi garis yang dibuat paska perang 1957. Amerika Serikat, Uni Soviet dan PBB melakukan intervensi diplomatik yang bertujuan untuk menciptakan gencatan senjata. Perang tersebut meninggalkan Israel yang sangat bergantung terhadap Amerika Serikat untuk militer, dukungan diplomatik dan ekonomi. Sesaat setelah perang, Arab Saudi memimpin negara-negara arab anggota OPEC untuk melakukan embargo minyak terhadap negara-negara yang mendukung Israel. Pada Oktober 1973, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi 388 yang berisi tentang gencatan senjata antara setiap pohak “untuk melakukan gencatan senjata dan mencabut setiap aktivitas militer secepatnya… (dan memulai) negosiasi antara pihak-pihak yang terpengaruh dibawah penengah yang pantas dan bertujuan untuk menciptakan perdamaian yang adil dan awet di timur tengah.”
Pada 19 November 1977, presiden Anwar Sadat mengejutkan dunia dengan berpidato di depan hadapan parlemen Israel. Sadat menjadi pemimpin Arab pertama yang mengakui Israel pada masa tersebut. Lalu pada September 1978, Mesir yang diwakili oleh Presiden Anwar Sadat dan Israel yang diwakili oleh Perdana Menteri Menachem Begin menandatangani Camp David Accord yang diprakarsai oleh presiden Amerika Serikat, Jimmy Carter yang menggaris besarkan kepada “kerangka kerja untuk perdamaian di timur tengah”yang juga mencakup otonomi terbatas bagi kaum Palestina. Enam bulan kemudian, Sadat dan Begin menandatangani perjanjian damai, lalu wilayah Sinai dikembalikan Israel ke Mesir. Saat Mesir menandatangani perjanjian damai dengan Israel, negara-negara Arab langsung memboykot Mesir karena keputusan tersebut.

1980an
Pada 1982, Tentara Israel meluncurkan operasi militer ’Peace for Galilee’ ke Lebanon yang bertujuan untuk menyaupu markas-markas gerilya Palestina di perbatasan utara Israel. Tetapi Menteri Pertahanan Israel Ariel Sharon menyatakan mereka akan terus mendorong hingga Beirut hingga berhasil mengusir PLO dari negara mereka. Tentara Israel berhasil mencapai Beirut pada bulan Agustus, yang berujung kepada kesepakatan gencatan senjata yang mengijinkan kepergian dari pasukan PLO dari Lebanon yang meninggalkan kamp pengungsi Palestina tanpa perlindungan. Dari 16 hingga 18 September, Militia Phalange – yang terikat dengan Israel- membunuh ratusan pengungsi Palestina di kamp Sabra dan Shatila, Ariel Sharon mengundurkan diri sebagai menteri pertahanan saat penyelidikan dari pihak Israel menyatakan bahwa dia telah gagal mencegah terjadinya pembantaian tersebut. 
Pada 1987, masyarakat Palestina mulai melakukan Intifada -pergejolakan massa- terhadap pendudukan Israel yang awalnya bermula di Gaza dan dengan cepat menyebar ke Tepi Barat. Protes-protes tersebut terdiri mulai dari ketidakpatuhan sipil, mogok kerja, boykot terhadap produk-produk Israel, graffiti, dan barikade masa, tetapi aksi pelemparan batu ke tentara pendudukan yang berseragam lengkap merupakan hal yang paling disorot dunia internasional. Pasukan Keamanan Israel akhirnya mulai merspon Intifada tersebut, dan menurut catatan, lebih dari 1.000 orang meninggal dalam Intifada yang berlangsung hingga 1993.
PLO, yang bermarkas di Tunis sejak pengusiran mereka dari Lebanon, menganggap Intifada mengancam peran mereka sebagai pemain utama dalam ‘revolusi’ Palestina dikarenakan fokusnya berpindah menuju pendudukan wilayah, bukannya populasi diaspora. Dewan Nasional Palestina (sebuah pemerintahan dalam pelarian) dibentuk di Aljazair pada November 1988 dan memilih untuk menerima solusi ‘dua-negara’ berdasarkan resolusi PBB nomor 181 tahun 1946, mengakhiri kegiatan terror mereka dan menerima hasil negosiasi daerah kependudukan berdasarkan resolusi 242, yang menyebutkan Israel harus mundur dari teritori  yang mereka ambil pada perang tahun 1967,dan resolusi 338. Amerika Serikat memulai dialog dengan PLO, tapi, Israel dibawah Perdana Menteri Yitzhak Shamir terus menganggap PLO merupakan organisasi teroris dan tidak akan bernegosiasi dengan mereka. Melainkan, Shamir mengusulkan pemilihan di wilayah yang diduduki Israel sebelum negosiasi dijalankan.

1990an
Pada saat perang teluk terjadi, hal tersebut merupakan bencana bagi PLO dan pemimpinnya Yasser Arafat yang kehilangan dukungan pihak kaya timur tengah dikarenakan mendukung Irak. Amerika Serikat paska perang teluk mulai memfokuskan kepada perdamaian di timur tengah, kunjungan berulang-ulang dari Menlu AS James Baker menyiapkan landasan untuk pertemuan internasional du Madrid. Suriah setuju untuk ikut dengan harapan dapat bernegosiasi agar dapat mendapat kembali dataran tingi Golan, Yordania juga menerima undangan pertemuan tersebut. Tetapi, PM Shamir menolak untuk berbicara langsung dengan ‘teroris’ PLO, jadi delegasi gabungan Palestina-Yordania dibentuk dengan 0 anggota dari PLO. Beberapa hari sebelum pertemuan tersebut, Amerika Serikat menahan pinjaman sebesar $10 miliar yang akan diberikan ke Israel.pertemuan berjalan di Madrid pada 30 Oktober dan berjalan dengan kondusif. Setelah pertemuan tersebut, AS menyiapkan pertemuan bilateral terpisah di Washington antara Israel dan Suriah, dan Israel dengan delegasi Palestina-Yordania.
Pada Juni 1992, pemilu Israel dimenangkan oleh partai buruh berbasi kiri pimpinan Yitzhak Rabin. Pada masa pemerintahan tersebut, Israel lebih focus terhadap pembicaraan damai dengan Palestina, disaat yang bersamaan, PLO lebih serius dalam menjalin dialog perdamaian dikarenakan melemahnya posisi mereka paska perang teluk. Israel langsung menarik larangan bagi partisipan PLO dalam perundingan bilateral mereka di Washington, dan Menteri Luar Negeri Shimon Peres dan wakilnya Yossi Beilin mulai mencari kemungkinan mengaktifkan forum rahasia untuk berdialog yang difasilitasi Norwegia. Olso Track yang trahasia dibuka pada 20 Januari 1993 di kota Sarpsbog, Norwegia, perbincangan tersebut membahas tentang bagaimana pihak Palestina bersedia mengakui Israel asal pihak Israel bersedia mempreteli dan meninggalkan daerah pendudukan meeka. Negosiasi tersebut berujung pada penandatanganan Deklarasi Nilai yang ditandatangani di halaman gedung putih disaksikan oleh Presiden AS, Bill Clinton dan dikunci dengan jabatan tangan antara PM Yitzhak Rabin dan Yasser Arafat yang disaksikan oleh 400 juta orang diseluruh dunia  
Pada 4 May 1994, Israel dan PLO berhasil mencapai sebuah persetujuan di Kairo untuk mengimplementasikan isi dari Deklarasi Nilai. Implementasi ini terdiri daripenarikan militer Israel dari mayoritas wilayah Gaza, kecuali wilayah penduduk Yahudi dan lahan sekitarnya, dan dari kota Jericho milik Palestina di tepi barat. Negosiasi berjalan dengan alot dan hampir gagal dikarenakan pada 25 Februari saat penduduk Yahudi di kota Hebron yang menembak ke kumpulan muslim yang sedang beribadah, membunuh 29 orang. Perjanjian tersebut tersebut juga mengandung hal yang bisa membuatnya gagal, seperti mempertimbangkan penarikan militer lebih lanjut selama periode lima tahun di mana merupakan solusi untuk masalah yang benar-benar sulit dinegosiasikan - isu-isu seperti pembentukan negara Palestina, status Yerusalem, permukiman Yahudi di Wilayah Pendudukan dan nasib lebih dari 3,5 juta pengungsi Palestina dari gejolak tahun 1948 dan 1967. Kritik terhadap proses perdamaian terdiam disaat warga Gaza menyambut kedatangan YasserArafat pada 1 juli yang menandakan kembakinya Pasukan Pembebasan Palestina di wilayah tersebut. Arafat ditunjuk menjadi ketua Otoritas Nasional Palestina di wilayah otonomi tersebut, lalu dia dipilih menjadi presiden otoritas tersebut pada Januari 1996.

Tahun pertama pemerintahan Palestina di Gaza dan Jercho dilanda banyak kendala, serangan bom oleh militia Palestina membunuh banyak warga Israel, sementara Israel terus memblokade daerah otonomi tersebut dan terus menyerang para militant, pendudukan oleh Israel terus berjalan, Otoritas Palestina mulai menghadapi penahanan massal, dan pihak yang mengoposisi proses perdamaian mulai muncul dari kelompok kelompok sayap kanan dan nasionalis agamis di Israel. Pada 24 September 1995, perjanjian Oslo II ditandatangani di Taba, Mesir lalu di konfirmasi empat hari kemudian di Washington. Perjanjian ini membagi tepi barat menjadi tiga bagian; Zona A terdiri dari 7% dari wilayah (kota-kota utama Palestina terkecuali Hebron dan Yerusalem Timur) akan berada pada kontrol penuh Palestina; Zona B yang berisi 21% dari wilayah tepi barat akan berada dibawah pengawasan Israel-Palestina; Zona C yang berarti sisanya, akan tetap ditangan Israel, lalu tambahan juga diberikan berupa Israel akan melepas semua tahanan Palestina. Perjanjian Oslo II tidak diterima dengan begitu baik oleh kedua belah pihak, masyarakat Palestina tidak begitu gembira dengan perjanjian tersebut sedangkan kaum agamis Israel marah akan perjanjian tersebut, hingga akhirnya pada 4 November 1995, PM Israel Yitzhak Rabin dibunuh oleh seorang Yahudi ekstrimis. Lalu digantikan  oleh Shimon Peres yang sebelumnya merupakan orang yang memprakarsai perjanjian tersebut.
Konflik antara kedua belah pihak kembali terjadi pada awal tahun 1996, dimana saat itu banyak terjadi berkali-kali peledakan bom bunuh diri di Israel yang dilakukan oleh kelompok Hamas dan pengeboman tiga minggu yang dilakukan oleh Israel di Lebanon. Pada 29 Mei, Israel melantik Perdana Menteri baru, Binyamin ‘Bibi’ Netanyahu yang sering berkampanye melawan perjanjian damai Oslo. Netanyahu langsung membakar amarah bangsa arab dengan mengangkat larangan pembangunan perumahan baru di wilayah yang mereka duduki dan menimbulkan rasa takut lewat merusak Masjid al-Aqsa melalui pembukaan situs arkeologi tepat dibawah kompleks mesjid al-Aqsa. Meskipun Netanyahu sangat membenci proses perdamaian Oslo, tetapi dibawah tekanan AS, Israel menyerahkan 80% dari wilayah Hebron pada Januari 1997 dan menandatangani Memorandum sungai Wye pada 23 Oktober 1998 yang menandai semakin jauhnya Israel mundur dari tepi barat. Koalisi Netanyahu bubar pada Januari 1999 dikarenakan implementasi Memorandum sungai Wye dan akhirnya pada 15 Mei dia kalah pemilu dari Ehud Barak dari partai buruh yang menjanjikan untuk mengakhiri konflik antara Israel dan bangsa Arab dalam satu tahun.

2000an
Optimisme tentang proses damai yang sempat dibangkitkan oleh Ehud Barak ternyata tidak beerjalan begitu sukses, memorandum sungai Wye diperbaharui pada September 1999 tapi tidak berjalan lancar, populasi Palestina mulai merasa frustasi dikarenakan mandeknya perjanjian tersebut. Barak berkonsentrasi pada perdamaian dengan Suriah – juga tidak sukses, tapi dia berhasil memenuhi janji kampanyenya untuk menghentikan konflik antara Israel dan Lebanon yang terjadi selama 21 tahun. Setelah Israel mundur dari Lebanon pada Mei 2000, perhatian kembali diberikan kepada Yasser Arafat, yang sedang berada dibawah tekanan dari Barak dan Bill Clinton untuk membuang negosiasi yang pernah terjadi demi membuat ulang sebuah perjanjian final di Camp David. Pembicaraan dilaksanakan selama dua minggu dan gagal untuk menemukan solusi yang dapat diterima mengenai status Yerusalem dan hak kembali bagi pengungsi Palestina. Pada 28 september 2000, Ariel Sharon, penerus Binyamin Netanyahu sebagai ketua partai Likud melakukan tur di komplek al-Awsa dan kuil mount dan kemudian mengkritisi banyak hal, kritik Sharon dinilai sebagai tindakan yang provokatif, yang menyebabkan demonstrasi warga Palestina yang akhirnya berujung kepada al-Aqsa Intifada. Pada akhir 2000, PM Israel Ehud Barak menghadapi intifada yang dilakukan oleh warga Palestina di wilayah tepi barat dan Gaza terhadap pendudukan Israel dan akhirnya Barak mengundurkan diri sebagai PM pada 10 desember.

Pada pemilu pada 6 februari, Ariel Sharon nak menjadi PM Israel lewat dukungan dari populasi Israel yang dahulu lebih memilih penyelesaian konflik secara damai menjadi lebih keras terhadap menyelesaikan masalah tersbut. Konflik semakin sering terjadi saat pemerintahan Sharon seperti pembunuhan militant Palestina, serangan udara ke kawasan Palestina, yang dibalas dengan seranganbom bunuh diri di berbagai tempat di Israel yang dilakukan oleh Militan Palestina.Serangan sporadic yang dilakukan pada tiga bulan awal tahun oleh militant Palestina dibalas Israel dengan memblokade kegiatan Yasser Arafat di Ramallah selama 5 minggu dan mengirim puluhan tank dan ribuan tentara untuk menduduki kembali hampir keseluruhan tepi barat dengan alasan untuk menghancurkan infrastruktur milik teroris. Kontroversi terjadi disaat pasukan Israel berhasil menduduki kota Jenin di wilayah tepi barat pada bulan April. PBB menganulir laporan dari pihak Palestina yang menyatakan adanya pembantaian di kota tersebut, tetapi Amnesty International menyimpulkan bahwa Israel melakukan kejahatan perang di Jenin dan Nablus. Pada bulan Juni, Presiden AS George Bush meminta agar Palestina untuk mengganti pemimpin mereka dengan yang tidak ‘tercemar oleh teror’ dan menggarisbesarkan pentingya roadmap negosiasi. Israel mulai membangun tembok pembatas di tepi barat dengan alasan untuk mengurangi peluang serangan dari dalam Israel, tetapi warga Palestina takut bahwa hal tersebut merupakan contoh dari pendudukan wilayah.

Setelah beberapakali mendapatkan serangan dari Hamas pada awal Januari 2003, Israel mulai meningkatkan usaha mereka dalam membasmi grup tersebut hingga berhasil membunuh pendiri grup tersebut. Dikarenakan AS dan Israel terus menolak untuk berurusan langsung dengan Yasser Arafat, otoritas Palestina akhirnya menunjuk Mahmoud Abbas sebagai perdana menteri mereka. Pada akhir April, AS mengedarkan roadmap milik mereka yang sempat tertahan selama beberapa saat. Yang menegaskan kepada jadwal yang terdiri dari langkah-langkah kecil terhadap negara Palestina yang terus di negosiasikan, dengan langkah pertama terdiri dari penyelesaian kekerasan di kedua belah pihak dan kegiatan pendudukan. Pada pertemuan dengan presiden AS di Aqaba, Yordania, Abbas menyerukan penyelesaian intifada bersenjata, sementara Sharon mendeklarasikan dukungannya terhadap pembuatan ‘negara Palestina demokratis yang berdamai dengan Israel’. Negosiasi lanjutan berujung kepada penarikan tentara Israel dari Gaza dan Bethelhem dari pihak Israel, sedangkan Abbas meyakinkan gencatan senjata dari kelompok-kelompok Palestina. Pada bulan agustus, 7 minggu ste;ah kedamaian, gencatan senjata kembali gagal dikarenakan adanya bom bunuh diri dari pihak Palestina dan penyerbuan dari Pihak Israel. Abbas mengundurkan diri dari jabatannya pada September digantikan oleh loyalis Arafat, Ahmed Qurei, sedangkan pembangunan tembok pembatas di tepi barat tetap dilaksnakan meski mendapatkan kecaman dunia internasional.
Sementara serangan bom bunuh diri Palestina dan serangan udara Israel terus berlanjut, Israel memprovokasi warga Palestina dengan membunuh pemimpin spiritual Hamas Sheikh Ahmed Yassin dengan serangan misil pada Maret 2004. Pada April, Ariel Sharon mengemukakan rencana penarikan yang berisi penarikan 8.000 pemukim dan tentara-tentara yang melindungi mereka dari Gaza, dan dari tiga wilayah pemukiman kecil di utara tepi barat. Pembangunan tembok pembatas di tepi barat teris dilanjutkan meski mahkamah internasonal tersebut illegal tetapi vonis yang tidak mengikat tersebut dihiraukan oleh Israel. Pada Oktober 2004, Arafat mendadak sakit dan dibawa ke Perancis untuk perawatan gawat darurat, dia meninggal pada 11 november dikarenakan kelainan darah yamg misterius.

Peran OKI dan Indonesia dalam menyelesaikan konflik Israel-Palestina

3.3.2.1 Peran OKI
Dari setiap konflik ada beberapa diantaranya yang dapat diselesaikan, tetapi ada juga yang tidak dapat diselesaikan sehingga menimbulkan beberapa aksi kekerasan. Kekerasan merupakan gejala tidak dapat diatasinya akar konflik sehingga menimbulkan kekerasan dari model kekerasan yang terkecil hingga  peperangan. Konflik Israel-Palestina yang bernuansa kekerasan sebetulnya sudah terjadi sejak lama dengan berbagai latar sebab. Walau demikian, bukan berarti tak ada solusi bagi terwujudnya perdamaian. Di saat dunia Barat lesu menghadapi guncangan ekonomi dan budaya, serta Jazirah Arab masih dilanda konflik sosial dan politik, maka kekuatan Dunia Islam seperti Organization of Islamic Conference (OIC) yang dikenal dengan Organisasi Konferensi Islam (OKI) didesak untuk mengambil peran penting dalam penyelesaian konflik. Sebagaimana yang dilansir media massa, pada 6-7 Maret 2016 negara-negara yang tergabung dalam OKI kembali mengadakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa di Jakarta (Kadir, 2016). 
OKI dideklarasikan melalui Deklarasi Rabat di Maroko pada 25 September 1969 dengan anggota 25 negara sebagai respon terhadap pembakaran Masjid Al-Aqsha oleh Israel ketika itu. Kini jumlah negara yang tergabung dalam OKI mencapai 57 negara. OKI didirikan berdasarkan keyakinan agama Islam dan nilai-nilai luhur universal kemanusiaan seperti penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM), kerjasama politik, ekonomi, dan sosial-budaya, mendukung perdamaian dan keamanan internasional, melindungi tempat-tempat suci Islam dan membantu  perjuangan kemerdekaan dan kedaulatan Palestina dari jajahan Israel. Dalam  berbagai pertemuan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menegaskan bahwa KTT Luar Biasa yang berlangsung sebagai respon terhadap permintaan Presiden Palestina Mahmud Abas. Dengan mengangkat tema “United for a Just Solution” kali ini diharapkan akan menghasilkan resolusi yang akan memuat pernyataan dan komitmen politik negara anggota OKI dan Jakarta Declaration (Deklarasi Jakarta) yang memuat sejumlah rencana aksi penyelesaian isu Palestina dan Al-Quds Al-Syarif. Isu-isu utama yakni masalah perbatasan, pengungsi Palestina, sengketa Kota Yerusalem, permukiman ilegal, keamanan, dan akses air bersih (Setiawanto, 2016).

Pada KTT Luar Biasa kali ini ada beberapa langkah strategis yang ditempuh oleh OKI, menurut Kadir (2016) langkah yang ditempuh diantaranya: 
3.3.2.1.1.1 Mempererat solidaritas antar negara-negara OKI dan meneguhkan Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin. Dalam situasi konflik yang tak  berkesudahan di kawasan Timur Tengah (termasuk Palestina) dan fenomena Islamofobia di beberapa negara Barat, OKI perlu memperteguh konsolidasi sesama negara OKI dan memproklamirkan secara masif bahwa Islam agama yang damai dengan dilakukan secara damai pula. Bahwa umat Islam sejatinya dapat berdialog dan berdampingan secara damai dan terbuka dengan berbagai elemen kemanusiaan lintas latar belakang.
Menegaskan peran OKI dalam menyelesaikan konflik Palestina, terutama dalam mengintervensi Israel. Mesti diakui bahwa Israel telah melanggar hukum HAM Internasional dan berbagai resolusi Perserikatan Bagsa-Bangsa (PBB), karena telah menjajah Palestina yang seharusnya memiliki hak untuk merdeka dan menjalankan pemerintahanya secara bebas-aktif. Atas dasar itu, OKI mesti mendesak dan mendukung laporan Palestina kepada Mahkamah Pidana Internasional (Internastional Criminal Court, ICC) untuk melakukan penyidikan atas kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan yang dialukan Israel dan memperkuat kapasitas pemerintah serta rakyat Palestina di segala sektor (pendidikan, kesehatan,  pemerintahan, infrastruktur dan lain-lain).
Mendesak negara-negara Barat dan PBB agar bersikap tegas kepada Israel. Mesti diakui bahwa selama ini negara-negara Barat dan PBB kerap menghambat resolusi perdamaian. Mereka sangat lamban dan mandul dalam menyelesaikan konflik Israel-Palestina. Dengan hak vetonya, Amerika Serikat dengan begitu mudahnya mementahkan semua keputusan Dewan Keamanan dan Sidang Umum PBB (Husaini, 2004: 156). Dalam kondisi demikian, OKI sudah meyakinkan negara-negara Barat dan PBB  bahwa sikap adil dan tegas adalah prinsip sekaligus kunci perdamaian yang sesungguhnya.
Meskipun peran dari OKI dalam memperjuangkan perdamaian di dunia, khususnya dunia Islam kurang maksimal, tapi OKI juga memiliki jasa yang tidak  bisa dilupakan begitu saja terhadap penyelesaian konflik yang terjadi. Dalam usaha menyelesaikan berbagai konflik, OKI lebih berlatar belakang dengan jalan  perdamaian, yakni dengan perundingan, penengahan, dan arbitrase. Seperti dalam halnya reaksi OKI atas tindakan Israel yang melakukan serangan terhadap Palestina, dalam Sihbudi (2007: 369) menyatakan negara-negara anggota OKI memutuskan untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel, seperti Arab Saudi, Sudan dan Suriah. Mereka menarik duta besar di Israel sampai kemudian terjadinya perdamaian. Dalam hal ini negara-negara Arab memiliki legitimasi  politik untuk membekukan hubungan dengan Israel, menyusul perilaku keji Israel terhadap rakyat sipil Palestina yang jelas-jelas melanggar hak asasi manusia.  
Negara-negara Arab juga bisa memutuskan hubungan dengan Israel seperti dalam bidang budaya, wisata, ekonomi, serta memboikot perundingan multilateral. Hal-hal seperti ini dilakukan negara-negara OKI sampai proses damai dilakukan. Dalam artian tetap memilih jalan damai sebagai pilihan strategis dalam meyelesaikan masalah (Rahman, 2002: 212). OKI turut memainkan peran yang  berarti dalam perdamaian Israel-Palestina, dengan berusaha keras untuk menggalang dukungan internasional atas kemerdekaan Palestina. Beberapa langkah telah OKI lakukan untuk merespon ketidakadilan yang ditimbulkan Israel terhadap Palestina, sehingga OKI menyadari tidak ada jalan lain bagi perdamaian Palestina selain dari Palestina harus menjadi negara merdeka yang berdaulat. 

Salah satu kemajuan signifikan peran OKI dalam proses menuju kemerdekaan yang hakiki bagi Palestina adalah diakuinya Palestina sebagai salah satu negara anggota PBB melalui resolusi Sidang Umum PBB di New York pada 10 September 2015 silam. Suatu kemajuan yang menambah optimisme OKI untuk  berperan lebih maksimal hingga Palestina benar-benar merdeka dan memperoleh kedaulatan negara (Kadir, 2016). Adapun tantangan ataupun kendala OKI sampai sekarang dalam kegiatan yang dilakukan antara lain:
Meminimalisasi perbedaan orientasi politik diantara negara anggota OKI.
Mengubah dan menghapuskan salah penafsiran dunia Barat terhadap Islam yang selalu negatif, seperti mengaitkan Islam, dengan kegiatan fundamentalis, terorisme, dan kekerasan lainya. 
Meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan serta solidaritas antar anggota.
Meningkatkan kerjasama dalam berbagai bidang untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat seluruh negara anggota OKI.
Mengupayakan kemerdekaan dan kedaulatan rakyat Pelestina
Mengurangi ketergantungan negara anggota OKI terhadap negara-negara Barat (Azhar, 2002: 80-81; Noor, 2014: 367-368, Sihbudi, 2007: 105)
3.3.2.2 Peran Indonesia
Pada tanggal 29 November 2012, Negara Palestina resmi disahkan sebagai non-member observer state PBB melalui resolusi Majelis Umum PBB No. 67/19 (Indonesia sebagai co-sponsor). Hal ini memiliki implikasi simbolis sekaligus strategis bagi Palestina, yaitu menunjukan pengakuan dunia internasional atas statehood Palestina dan memberikan kesempatan bagi Negara Palestina untuk berperan aktif dalam forum PBB, termasuk memberikan dalam pemilihan tertentu. Lebih lanjut lagi pada tanggal 30 September 2015 telah diadakan upacara historik untuk penaikan bendera Palestina di Markas Besar PBB di New York. Upacara tersebut dapat dilakukan berkat dukungan mayoritas negara-negara anggota PBB melalui resolusi Sidang Majelis Umum PBB (Indonesia juga menjadi co-sponsor).
Melalui Dewan Keamanan PBB, negara-negara juga berupaya untuk mendorong proses perdamaian Palestina-Israel. Pada tanggal 30 Desember 2014 telah diadakan voting terhadap rancangan resolusi mengenai Palestina yang disusun oleh Palestina dan diajukan oleh Yordania atas nama Liga Arab. Kendati demikian, Dewan Keamanan PBB gagal mensahkan ranres tersebut karena hanya memperoleh delapan suara mendukung, dua suara menentang, dan lima suara abstain. Saat ini upaya dunia internasional mendorong kedua pihak menuju two-state solution kembali mengalami kendala berat, khususnya menyusul agresi militer Israel ke wilayah Gaza pada bulan Juli 2014 dan peningkatan kekerasan di Yerusalem pada akhir tahun 2015.
Selama keanggotaan Indonesia sebagai Anggota Tidak Tetap Dewan Keamanan PBB periode 2007-2008, Indonesia konsisten menyuarakan hak-hak rakyat Palestina, termasuk berdirinya negara Palestina yang merdeka, demokratik dan viable. Indonesia selalu mendorong agar Dewan Keamanan PBB mengeluarkan keputusan terkait masalah Palestina, termasuk dalam bentuk presidential statement (PRST) maupun resolusi, sebagai cerminan tanggung jawab Dewan Keamanan PBB dalam memelihara perdamaian dan keamanan internasional.

Sebagai kelanjutan dari perannya di Dewan Keamanan PBB, Indonesia melalui Biro Koordinasi Gerakan Non-Blok di New York, telah menjadi salah satu penggagas utama dilaksanakannya Sidang Khusus Majelis Umum PBB pada tanggal 15-16 Januari 2009 mengenai isu Palestina. Sidang tersebut kemudian melahirkan resolusi Majelis Umum PBB yang pada intinya berisi dukungan bagi implementasi resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1860 (2009) serta seruan kepada masyarakat internasional untuk membantu krisis kemanusiaan di Jalur Gaza. Meskipun saat ini Indonesia bukan anggota Dewan Keamanan PBB, namun Indonesia secara konsisten menyampaikan dukungannya kepada Palestina melalui serangkaian open debate dan pertemuan DK PBB terkait Palestina.
Indonesia sebagai anggota Dewan HAM juga telah mendorong dilaksanakan Special Session Dewan HAM (SSDHAM) pada tanggal 9 Januari 2009 dan dilanjutkan pada tanggal 12 Januari 2009. Sidang Dewan HAM tersebut kemudian mengesahkan ranres "The Grave Violation of Human Rights in the Occupied Palestinian Territory, particularly due to the recent Israeli military attacks against the Occupied Gaza Strip"
Pada Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Indonesia pada bulan April 2015 yang lalu, telah disepakati Declaration on Palestine sebagai capaian penting dari pertemuan dimaksud. Deklarasi ini pada intinya mengarisbawahi dukungan negara-negara Asia dan Afrika terhadap perjuangan bangsa Palestina dalam rangka memperoleh kemerdekaannya dan upaya menciptakan two-state solution yang hidup berdampingan secara damai dengan Israel. KAA 2015 juga menelurkan Deklarasi Penguatan New Asia Africa Strategic Partnership yang diantara juga menegaskan kembali dukungan negara-negara Asia dan Afrika bagi penguatan bantuan kapasitas kepada Palestina hingga tahun 2019.
Pada tanggal 14-16 Desember 2015, Indonesia menjadi tuan rumah International Conference on the Question of Jerusalem. Konperensi tersebut diadakan bekerja sama dengan Organisasi Kerjasama Islam dan United nations Committee on the Inalienable Rights of the Palestinian People. Isu Yerusalem diangkat karena merupakan satu dari enam outstanding core issues dari penyelesaian konflik Palestina dan Israel dan sebagai respon atas peningkatan kekerasan di Yerusalem pada akhir tahun 2015.
Selain memberikan dukungan di tingkat multilateral, Indonesia juga memberikan bantuan di tingkat regional dan bilateral melalui bantuan teknis. Bantuan teknis yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia, antara lain adalah pelatihan bagi 1.338 Rakyat Palestina yang terbagi dalam 128 program. Pelatihan ini akan terus diperpanjang sampai tahun 2019. Pada tahun 2016, Pemerintah Indonesia berencana untuk menyediakan program peningkatan kapasitas bagi polisi dan pegawai negeri Palestina.
Posisi Indonesia
3.3.2.2.1 Mendukung solusi dua negara (Israel dan Palestina), berdasarkan hukum internasional dan HAM, dan agar kedua belah pihak mematuhi parameter yang telah dibentuk dalam sejumlah resolusi PBB.
Menekankan perlunya sikap berimbang (imparsial) dari masyarakat internasional dalam membantu penyelesaian masalah Palestina dan mendorong proses perdamaian.
Mendukung pentingnya menjaga keberlangsungan kerja UNRWA (United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees in the Near East) untuk memberikan pelayanan kepada para pengungsi Palestina, serta ikut menyerukan perlunya keterlibatan masyarakat internasional dalam membantu para pengungsi Palestina, terutama dalam menjamin masa depan anak-anak.
Indonesia secara konsisten menyampaikan komitmennya untuk membantu penyelesaian konflik yang berkepanjangan antara Palestina dan Israel.

Analisa
Dari penjelasan diatas, dapat dilihat bahwa konflik Israel-Palestina merupakan konflik multidimensional yang sangat rumit dan sensitive sehingga segala proses penyelesaian melalui proses diplomasi nampaknya sulit untuk dilakukan. Tetapi, melihat dari Perjanjian Oslo yang meskipun tidak berjalan begitu baik, masih ada keinginan bagi kedua belah pihak untuk berdamai dan merujuk solusi ‘dua negara’ yang berujung kepada penciptaan dua negara yang hidup berdampingan. Tetapi tekanan mulai dari negara-negara arab lain yang enggan untuk menerima Israel sebagai sebuah negara yang berdaulat dan juga pihak ekstrimis di kedua belah pihak yang menganggap bahwa percuma apabila berdamai dengan satu sama lain. Oleh karena itu, Indonesia dan OKI terus berusaha agar bisa mewujudkan negara Palestina yang berdaulat melalui cara-cara diplomatik sehingga bisa mencuri perhatian khalayak luas dengan cara yang benar. Sementara upaya perundingan antara kedua belah pihak terus coba diangkat oleh Indonesia dan OKI, Indonesia dan OKI juga menyoroti kondisi di Palestina yang semakin hari terus dikekang oleh pendudukan Israel yang mengakibatkan kesengsaraan bagi warga Palestina dan menyebabkan ratusan ribu warga Palestina mengungsi dari tempat kelahiran mereka sendiri. 

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari makalah ini adalah Indonesia, meskipun bukanlah negara yang memiliki ideologi Islam (syariah), tetap menjadi figur penting dalam OKI, Indonesia dalam OKI memainkan peranan penting mulai dari contoh bagaimana Islam dapat berbaur dalam keragaman, menjadi tuan rumah KTT OKI, hingga menjadi pelopor bagi deklaras-deklarasi OKI. Indonesia banyak berperan dalam penyelesaian konflik antara Israel dan Palestina, Indonesia memilih untuk mencari solusi terbaik bagi kedua pihak sembari terus mendukung Palestina untuk dapat menjadi negara merdeka dan berdaulat lewat memberikan bantuan diplomatik, hingga bantuan langsung seperti pendirian Rumah Sakit, dan bantuan lainnya.


DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Huntington, Samuel. 1996. The Clash of Civilization and the Remaking of World Order. New York: Simon & Schuster.
Jackson, Robert and George Sorensen. 2007. Introduction to International Relations; Theories and Approaches, 3rd edition. New York: Oxford Univesity Press.
Krasner, Stephen D. 1983. Structural Causes and Regine Consequences; Regines as Intervening Variables. New York: Cornell University Press, Ithaca.
Kusumaatmadja, Mochtar. 1997. Pengantar Hukum Internasional. Jakarta: Binacipta.
Roy, S.L. 1995. Diplomasi. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Stean, Jill and Llyod Pettiford. 2009. Hubungan Internasional; Perspektif dan Tema. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Teuku, Rudy May. 1998. Administrasi dan Organisasi Internasional. Bandung: Refika Aditama.
Ula, Mutammimul. 2009. Indonesia dan Organisasi Konferensi Islam (OKI). Jakarta: Pustaka Inovasi.
Jurnal Ilmiah:
Zulkifli. 2012. Kerjasama Internasional sebagai Solusi Pengelolaan Kawasan Perbatasan Negara; Studi Kasus Indonesia. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Dokumen:
Pasal 1 huruf (a) UU No. 24 Tahun 2000, Mengenai Perjanjian Internasional.

Web:
Situs Resmi Organisasi Kerjasama Islam
www.oic-oci.org (Diakses 29 Oktober 2017)
www.usu.ac.id (Diakses 30 Oktober 2017)
Indonesian Journal of International Law (Diakses 30 Oktober 2017)
Revitalisasi Peran Indonesia di Organisasi Kerjasama Islam:
http://www.politik.lipi.go.id/kolom/kolom-1/politik-internasional/443-revitalisasi-peran-indonesia-di-organisasi-konferensi-islam-oki (Diakses 1 November 2017)
Dampak Resolusi dan Deklarasi Jakarta di KTT OKI diragukan
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/03/160306_indonesia_ktt_oki_dampak 
Organisasi Kerjasama Islam dan Deklarasi Jakarta
http://setkab.go.id/organisasi-kerja-sama-islam-oki-dan-deklarasi-jakarta/
Kemlu: Isu Palestina
 https://www.kemlu.go.id/id/kebijakan/isu-khusus/Pages/Isu-Palestina.aspx

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TANTANGAN DIPLOMASI MULTILATERAL INDONESIA PADA MASA PEMERINTAHAN JOKOWI

DIPLOMASI PADA ERA PEMERINTAHAN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO (SBY)

MAKALAH SEJARAH DIPLOMASI INDONESIA “KETERLIBATAN INDONESIA DI WTO”