SEJARAH DIPLOMASI INDONESIA Upaya Diplomasi Indonesia Era Kepemimpinan BJ. Habibie (StudiKasus: Diplomasi Indonesia dalam Upaya Penyelesaian Masalah Timor Timur Periode tahun 1998-1999)
Dosen
: Rachmayani, M.Si
kelompok 5:
ERLITA
PERINA 2015230128
TIARA
INDRIANI 2015230006
HARDIANTY
MUTIARANI 2015230096
NADINA
PUTRI 2015230117
ANNISA
AZAHRA 2015230104
INSTITUT
ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK (IISIP)
JAKARTA
BAB
I
PENDAHULUAN
I.I Latar
Belakang Masalah
Turunnya Soeharto dari kursi
kepresidenan pada tanggal 21 Mei 1998 menjadi salah satu jejak awal perubahan
besar dari penguasa terlama, yang berhasil menggenggam kekuasaan atas Indonesia
selama 32 tahun. Sebelumnya, Soeharto cukup yakin ketika ditetapkan kembali
oleh MPR untuk masa jabatan yang ketujuh pada tanggal 11 Maret 1998, ini akan
memberikan pengaruh yang lebih besar kepada segala sesuatu akan berada di bawah
kontrol pemerintahannya. Tetapi dua bulan setelah Soeharto mengambil sumpah,
Rezim Orde Baru runtuh. Hal ini ditandai, ketika mahasiswa menduduki gedung
DPR/MPR pada tanggal 19 Mei 1998, presiden yang sudah berumur 77 tahun ini
menyaksikan legitimasinya berkurang dengan cepat.
Selama hampir 32 tahun lamanya
Soeharto memanipulasi eksistensi DPR/MPR untuk mengokohkan kekuasaan, namun
pada akhirnya kekuasaannya disingkirkan pula oleh lembaga yang sama, melalui
pernyataan pers pada tanggal 18 Mei 1998, oleh Ketua DPR Harmoko yang
didampingi oleh Ismail Hasan Meutareum, Fatimah Achmad, Syarwan Hamid dan
utusan daerah di depan wartawan dan mahasiswa menyampaikan pernyataan yang
justru menyudutkan dan secara tidak langsung memberi sinyal pada rezim Soeharto
untuk turun dari singasananya. Keterangan pers Ketua DPR itu disambut gembira
oleh ribuan mahasiswa yang mendatangi Gedung DPR/MPR. Banyaknya penolakan
yang melemahkan posisi Soeharto sebagai presiden, dikarenakan dukungan untuk
membentuk Komite Reformasi gagal ditambah lagi banyak desakan yang menganjurkan
presiden untuk mundur. Perasaan ditinggalkan dan terpukul telah membuat
Soeharto tidak punya pilihan lain kecuali memutuskan berhenti dan mengikuti
segala permintaan atas dirinya untuk turun dari jabatan yang seakan sudah
melekat bahkan berkarat dengan tubuhnya.
Akhirnya Presiden Soeharto mengucapkan
pidato pengunduran dirinya pada tanggal 21 Mei 1998. Seusai pidato
berkumandang, Wakil Presiden B.J. Habibie langsung diangkat sumpahnya menjadi
Presiden RI ketiga dihadapan pimpinan Mahkamah Agung yang sesuai dengan
ketentuan UUD bahwa jika Presiden utama mengundurkan diri dari jabatannya, maka
secara langusng pemerintahan akan diserahkan pada Wakil Presiden. Peristiwa
bersejarah ini disambut dengan haru biru oleh masyarakat terutama para
mahasiswa yang berada di Gedung DPR/MPR, akhirnya Rezim Orde Baru di bawah
kekuasaan Soeharto berakhir dan Era Reformasi dimulai di bawah pemerintahan
B.J. Habibie. Bila
dilihat kebelakang tepatnya pada era Orde Lama dan era Orde Baru yang dipimpin
oleh dua cara kepemimpinan yang berbeda telah memperlihatkan bagaimana Politik
Luar Negeri Republik Indonesia yang berprinsipkan Bebas-Aktif diaplikasikan
secara berbeda.
Jika pada era Orde Lama dengan Ir. Soekarno sebagai pemimpin
yang mempunyai latar belakang anti kolonialisme dan imperialisme serta
mempunyai rasa nasionalis yang kental, akhirnya membawa Politik Luar
Negeri yang revolusioner dan cenderung
kekiri-kirian. Hal ini berbanding terbalik dengan keadaan pada era Orde Baru
yang dikuasai oleh kepemimpinan Soeharto, Indonesia lebih terbuka dengan negara
barat bahkan menjalin kerjasama dan menerima bantuan dari negara-negara barat.
Dengan runtuhnya rezim Orde Baru dengan segala persoalan dan
pergejolakan yang dialami, tentu akan membawa dampak yang cukup besar bagi
kepemimpinan dimasa berikutnya yaitu era Reformasi dengan naiknya B.J Habibie
sebagai pemimpin Reformasi selaku wakil presiden pada masa kepemimpinan
Soeharto. Segala sisa jejak kontroversi Orde Baru, sedikit banyak membawa
Indonesia menghadapi segala permasalahan dan isu yang muncul dikemudian hari.
Melalui kharisma dan latar belakang B.J Habibie yang berbeda dari presiden -
presiden sebelumnya, menjadikan Politik Luar Negeri, diplomasi serta kebijakan
Indonesia mengarah kearah yang berbeda pula. Salah satu permasalahan yang
menarik perhatian besar masyarakat internasional pada masa kepemimpinan Habibie
adalah disintegrasinya salah satu bagian dari kesatuan dan keutuhan RI yaitu
Timor Timur (sekarang disebut sebagai Timor Leste). Isu ini pun tercatat
sebagai permasalahan terbesar yang dialami oleh Indonesia pada masa itu.
Disintegrasinya Timor Timur dari Indonesia melalui kepemimpinan B.J Habibie,
menjadi salah satu isu terbesar dalam sejarah pemerintahan Indonesia.
Dalam makalah ini penulis akan memaparkan lebih lanjut dan
menganlisis secara lebih mendalam, bagaimana gaya kepemimpinan, arah kebijakan
PLNI, keberhasilan diplomasi yang diterapkan serta cara menghadapi dan
mengatasi persoalan yang menimpa Indonesia terkait diintegrasinya Timor Timur
dari NKRI oleh presiden era Reformasi yaitu B.J Habibie melalui cara yang adil,
tuntas dan menyeluruh juga dapat diterima oleh masyarakat internasional.
I.2 Rumusan
Masalah
Bagaimana usaha diplomasi B.J
Habibie pada era Reformasi dalam mengatasi permasalahan disintergrasinya Timor
Timur dari Negara Kesatuan Republik Indonesia secara Adil,
Tuntas, Menyeluruh dan Dapat Diterima Internasional periode tahun 1998-1999?
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Neo-realisme
Neorealisme
adalah transformasi baru dari realisme klasik, dan pemikir terkemuka kaum neoralis
yaitu Kenneth Watz (1979) (Jackson & Sorensen, 1999: 110). Teori ini
berupaya menyangkal pernyataan bahwa, mungkin untuk memperkirakan kondisi
politik internasional harus mengetahui dari komposisi internal negara (Waltz
dalam Burchiil & Linklater, 2009:115). Struktur internal negara sangat
tidak relevan bagi sikap internasional mereka. Dalam pandangan Waltz, teori
Hubungan Internasional yang terbaik adalah teori sistem kaum neorealis yang
intinya memfokuskan pada struktur sistem, pada unit – unitnya yang
berinteraksi, dan pada kesinambungan dan perubahan sistem (Kenneth Waltz dalam
Jackson Sorensen, 1999). Neorelisme percaya akan adanya kerjasama yang terjalin
diantara kedua belah pihak negara, namun tetap menjungjung tinggi kepentingan
nasionalnya dalam melakukan kerjasama yang dijalin. Neoliberlis percaya bahwa
struktur internasional akan menentukan posisi, struktur dan level negara dalam
struktur internasional.
2.2
Kepentingan Nasional
Dalam
kepentingan nasional peran ‘negara’ sebagai aktor yang mengambil keputusan dan
memerankan peranan penting dalam pergaulan internasional berpengaruh bagi
masyarakat dalam negerinya. Demikian pentingnya karena ini yang akan menjadi
kemaslahatan bagi masyarakat yang berkehidupan di wilayah tersebut. Seorang ahli,
Thomas Hobbes menyimpulkan bahwa negara dipandang sebagai pelindung wilayah,
penduduk, dan cara hidup yang khas dan berharga. Demikian karena negara
merupakan sesuatu yang esensial bagi kehidupan warga negaranya. Tanpa negara
dalam menjamin alat-alat maupun kondisi-kondisi keamanan ataupun dalam
memajukan kesejahteraan, kehidupan masyarakat jadi terbatasi.[1]
Sehingga ruang gerak yang dimiliki oleh suatu bangsa menjadi kontrol dari
sebuah negara.
Kepentingan
nasional tercipta dari kebutuhan suatu negara. Kepentingan ini dapat dilihat
dari kondisi internalnya, baik dari kondisi politik-ekonomi, militer, dan
sosial-budaya. Kepentingan juga didasari akan suatu ‘power’ yang ingin
diciptakan sehingga negara dapat memberikan dampak langsung bagi pertimbangan
negara agar dapat pengakuan dunia. Peran suatu negara dalam memberikan bahan
sebagai dasar dari kepentingannasional tidak dipungkiri akan menjadi kacamata
masyarakat internasional sebagai negara yang menjalin hubungan yang terlampir
dari kebijakan luar negerinya. Dengan demikian, kepentingan nasional secara
konseptual dipergunakan untuk menjelaskan perilaku politik luar negeri dari
suatu negara.[2]
Seperti yang dipaparkan oleh Kindleberger mengenai kepentingan nasional;
“…hubungan
antara negara tercipta karena adanya perbedaan keunggulan yang dimiliki tiap
negara dalam berproduksi. Keunggulan komparatif (comparative advantage)
tersebut membuka kesempatan pada spesialisasi yang dipilih tiap negara untuk
menunjang pembangunan nasional sesuai kepentingan nasional…”[3]
Pengertian tersebut menjelaskan bahwa
keberagaman tiap-tiap negara yang ada di seluruh dunia memiliki kapasitas yang
berbeda. Demikian tercipta dapat terpengaruh dari domografi, karekter, budaya,
bahkan history yang dimiliki negara tersebut. Sehingga negara saat ingin
melakukan kerjasama dapat melihat kondisi dari keunggulan-keungulan yang dapat
menjadi pertimbangan. Pelaksanaan kepentingan nasional yang mana dapat berupa
kerjasama bilateral maupun multilateral kesemua itu kembali pada kebutuhan
negara. Hal ini didukung oleh suatu kebijakan yang sama halnya dengan yang
dinyatakan oleh Hans J. Morgenthau bahwa kepentingan nasional merupakan;
Kemampuan minimum negara-negara untuk melindungi dan mempertahankan identitas
fisik, politik, dan kultural dari gangguan negara-negara lain. Dari tinjauan
itu, para pemimpin suatu negara dapat menurunkan suatu kebijakanspesifik
terhadap negara lain bersifat kerjasama maupun konflik.
2.3 Diplomasi
Diplomasi
merupakan salah satu instrumen penting dalam pelaksanaan kepentingan nasional
suatu negara. Diplomasi sebagai alat utama dalam pencapaian kepentingan
nasional yang berkaitan dengan negara lain atau organisasi internasional.
Melalui diplomasi ini sebuah negara dapat membangun citra tentang dirinya.
Dalam hubungan antar negara, pada umumnya diplomasi dilakukan sejak tingkat
paling awal sebuah negara hendak melakukan hubungan bilateral dengan negara
lain hingga keduanya mengembangkan hubungan selanjutnya. Diplomasi merupakan
praktek pelaksana perundingan antar negara melalui perwakilan resmi. Perwakilan
resmi dipilih oleh negara itu sendiri tanpa ada campur tangan pihak lain atau
negara lain. Diplomasi antar negara dapat mencakup seluruh proses hubungan luar
negeri, baik merupakan pembentukan kebijakan luar negeri dan terkait
pelaksanaannya. Diplomasi dikatakan juga mencakup teknik operasional untuk
mencapai kepentingan nasional di luar batas wilayah yuridiksi. Ketergantungan
antar negara yang semakin tinggi yang kemudian menyebabkan semakin banyak
jumlah pertemuan internasional dan konferensi internasional yang dilakukan
sampai saat ini.
Diplomasi
juga diartikan sebagai suatu relasi atau hubungan, komunikasi dan keterkaitan.
Selain itu diplomasi juga dikatakan sebagai proses interaktif dua arah antara
dua negara yang dilakukan untuk mencapai poltik luar negeri masing-masing
negara.[4]
Diplomasi dan politik luar negeri sering diibaratkan sebagai dua sisi mata uang
yang tidak dapat dipisahkan. Dikatakan demikian karena politik luar negeri
adalah isi pokok yang terkandung dalam mekanisme pelaksanaan dari kebijakan
luar negeri yang dimiliki oleh suatu negara, sedangkan diplomasi adalah proses
pelaksanaan dari politik luar negeri. Oleh karena itu baik diplomasi dan
politik luar negeri saling berkaitan dan mendukung satu sama lain.
Sir
Ernest Satow dalam bukunya, guide to diplomati Practice memberikan
karakterisasi terkait tata cara diplomasi yang baik. Sir Ernest Satow
mengatakan bahwa diplomasi adalah “ the
application of intelligence and tact to conduct of official relations between
the government of independent states “.[5]
Diplomasi
menjadi bagian yang sangat penting untuk dijadikan salah satu solusi atau jalan
keluar untuk mengupayakan penyelesaian secara damai. Diplomasi dilakukan untuk
mencapai suatu kepentingan nasional suatu negara. Meskipun diplomasi
berhubungan dengan aktivitas-aktivitas yang damai, dapat juga terjadi di dalam
kondisi perang atau konflik bersenjata karena tugas utama diplomasi tidak hanya
manajemen konflik, tetapi juga manajemen perubahan dan pemeliharaannya dengan
cara melakukan persuasi yang terus menerus di tengah-tengah perubahan yang
tengah berlangsung.[6]
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa diplomasi adalah perpaduan antara ilmu
dan seni perundingan atau metode untuk menyampaikan pesan melalui perundingan
guna mencapai tujuan dan kepentingan negara yang menyangkut bidang politik,
ekonomi, perdagangan, social, budaya, pertahanan, militer, dan berbagai
kepentingan lain dalam bingkai hubungan internasional.
2.4
Politik Luar Negeri
Kebijaksanaan
luar negeri merupakan aktualisasi dari politik luar negeri suatu negara yang di
dalamnya terdapat kepentingan nasional sebagai akumulasi keragaman kepentingan
masyarakat. Politik luar negeri yang dikeluarkan oleh suatu negara dimaksudkan
kepada tercapainya kesejahteraan rakyat negara tersebut. Indonesia sebagai
suatu entitas dalam merumuskan politik luar negerinya berdasar pada perubahan
yang terjadi di dunia internasional dan domestik.
Dalam buku yang ditulis Miriam
Budiarjo, terdapat definisi politik luar negeri sebagai “Kebijakan (policy) adalah
suatu kumpulan yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok dalam usaha
memiliki tujuan, kebijaksanaan itu mempunyai kekuasaan untuk melaksanakannya”. [7]Berarti
bahwa politik luar negeri memiliki tujuan dalam pelaksanaannya. Kebijaksanaan
luar negeri suatu negara pada hakekatnya merupakan refleksi dari keadaan dan
perkembangan dalam negerinya, juga keadaan dan perkembangan sistem politik
internasional dapat menjadi faktor yang turut menentukan perilaku kebijaksanaan
luar negeri. Jadi, kebijaksanaan luar negeri pada pokoknya dipengaruhi oleh
faktor-faktor internal dan eksternal perkembangan sistem politik internasional
dapat menjadi faktor yang turut Menentukan perilaku kebijaksanaan luar negeri.
Jadi, kebijaksanaan luar negeri pada pokoknya dipengaruhi oleh faktor-faktor
internal dan eksternal menentukan perilaku kebijaksanaan luar negeri. Jadi,
kebijaksanaan luar negeri. Berdasarkan konsep tersebut di atas maka dalam
memberikan batasan tentang kebijaksanaan luar negeri, terlebih dahulu harus
mengetahui kondisi internal negaranya sebelum mengeluarkan suatu politik luar
negeri. Sebagai bagian dari politik luar negeri, maka politik luar negeri jika
ditinjau dari segi proses maka akan erat kaitannya dengan politik dalam negeri
yang didalamnya mencakup proses pengambilan kebijakan yang melibatkan
keseluruhan unsur-unsur negara tetapi lebih khusus kepada badan yudikatif.[8]
BAB
III
PEMBAHASAN
3.1
Biografi BJ. Habibie
Sebelum
menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia yang ke-3, Bacharuddin Jusuf
Habibie atau yang biasa disebut BJ.
Habibie telah menempuh jalur pendidikan TK dan SD di Kota Pare-Pare dan Ujung Pandang. Kemudian ia menyelesaikan SMP di
SMP Negeri 5 yang berada di Bandung pada Tahun 1951 dan melanjutkan SMA Dago di
Bandung pada Tahun 1954. Lalu mengambil perguruan Tinggi di ITB Bandung, atas
usaha dan
kerja kerasnya BJ. Habibie
mendapatkan beasiswa dari Departemen P&K atau sekarang disebut Depdiknas.[9]
Setelah menyelesaikan studi SMA nya, BJ. Habibie melanjutkan studi di Jerman pada tahun
1955-1960, ia mengambil studi mengenai Penerbangan, Spesialisasi Konstruksi
Pesawat terbang di RWTH Aachen yang tepatnya berada di Jerman Barat. Kemudian,
BJ. Habibie mendapatkan gelar Diploma di Jerman tahun
1960 dari Technische Hochschule, dan
pada tahun 1965 BJ. Habibie mendapatkan gelar Doktor dengan Predikat summa cum
laude dari tempat yang sama. Karier Habibie dapat dikatakan sangat lancar
dimana ia sebelumnya bekerja pada perusahaan Humburger Flugzegbau GMBH,
Hamburg, Jerman.
Pada tahun 1965- 1969 , menjabat sebagai kepala Riset dan
Pengembangan Analisis Struktur. Kemudian pada Tahun 1969- 1973 , Ketika Habibie
Pindah kerja di MBB Gmbh, di Hamburg dan Munchen ia menjabat Kepala Divisi Metode dan
Teknologi pada Pesawat Komersial dan Angkut Militer. Pada Tahun 1973, Presiden
Soeharto meminta BJ. Habibie untuk pulang kembali ke Indonesia, maka atas
permintaan tersebut maka pada tahun 1974, BJ. Habibie bersedia pulang kembali
ke Indonesia untuk memenuhi Panggilan Presiden Soeharto tersebut.[10]
Pada tahun 1974-1978, BJ. Habibie ditugaskan untuk
memimpin Divisi Advanced Technology Pertamina. Pada tahun 1978, BJ Habibie
ditujukan sebagai Menteri Riset dan Teknologi( Menristek). Sejak BJ.
Habibie menjabat menjadi menteri negara riset dan
teknoogi (Minristek) sekaligus Ketua Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (
BPPT) tahun 1978-1998. Sejak saat itu, Indonesia menjadi berkembang dan
Indonesia menghasilkan Pesawat Terbang Pertama buatan Indonesia CN-235 dan
N-250.55 dengan menggunakan hubungannya dengan perusahaan Jerman, dia memulai
dengan merakit Helikopter Messerchmitt di sebuah hangar di Bandung.
Awal
masuknya BJ. Habibie terjun ke dunia politik disebabkan karenya adanya tawaran kalangan ICMI
yang membawa ia menjadi Ketua Umum ICMI. BJ. Habibie belajar mengenai
perpolitikan dari Nol. BJ. Habibie mempunyai alasan mengapa ia harus terjun ke
dalam dunia perpolitikan. Karena menurutnya revolusi yang di percepat dalam bidang teknologi terbukti
berhasil di China dan India, berkat dukungan politik dan tersedianya pasar yang
cukup besar. BJ Habibie kecewa terhadap Dana Moneter Internasional atau IMF
ketika merekomendasikan agar bantuan keuangan bagi Industri Pesawat Terbang
Nusantara, IPTN, dan PT PAL di hentikan. Aset bangsa yang dipertaruhkan di
Industri Teknologi Tinggi harus diberhentikan begitu saja.
BJ.
Habibie juga
telah mendapatkan pengakuan di Dunia Internasional,
dimana ia menjadi anggota kehormatan di berbagai lembaga di bidang ke
dirgantaraan, antara lain di Gesselschaft fuer luft und Raumfahrt (Lembaga
Penerbangan dan Angkasa Luar) Jerman, The Royal Aeronautical Society London(
Inggris), The Royal Swedish Academy of Engineering Sciences(Swedia), The
Academie Nationale de’Air et de ‘Escape (Perancis), dan The US Academy of
Engineering (Amerika Serikat).
Karier Politik BJ. Habibie di Indonesia, sebelum menjabat
Presiden adalah Wakil Presiden (Maret 1998-21 Mei 1998), sebelumnya dalam
kabinet pembangunan VII di bawah presiden Soeharto ia menjabat Menteri Negara
Riset dan Teknologi sejak Tahun 1978 sampai maret 1998 BJ. Habibie ingin
menjadikan Indonesia berkecukupan secara teknologi.Sewaktu ada masa
pemerintahan Presiden Soeharto, tidak ada orang yang menyangka bahwa BJ. Habibie
dapat menjadi orang nomor 1 di Indonesia.
Karena dianggap bahwa BJ. Habibie hanya dikenal sebagai
orang yang hanya mengerti Teknologi saja. Sampai pada awal dekade 90 an, BJ.
Habibie memasuki ranah perpolitikan dan BJ. Habibie banyak mendapatkan respon
postif. Banyak para Intelektual mendukung BJ. Habibie dengan impian tentang
masyarakatr sipil. Begitulah biografi singkat dari
Bacharuddin Jusuf Habibie atau yang biasa disebut BJ. Habibie.[11]
3.2 Masa Kepemerintahan BJ. Habibie
Runtuhnya
kepemimpinan Soeharto dari jabatan kepresidenan yaitu pada tanggal 21 Mei 1998
yang menjadi awal lahirnya era Reformasi di Indonesia. Perkembangan politik
ketika itu ditandai dengan pergantian presiden di Indonesia. Seperti telah di
bahas pada kronologi reformasi Indonesia tahun 1998, bahwa dengan segera
setelah Soeharto mengundurkan diri, Mahkamah Agung mengambil sumpah
BaharuddinJusuf Habibie sebagai presiden. Masa pemerintahan Presiden BJ.
Habibie berlangsung sangat singkat yaitu dari tanggal 21 Mei 1998 sampai dengan
tanggal 20 Oktober 1999.[12]
Pengangkatan
BJ. Habibie sebagai presiden ini memunculkan kontroversi di masyarakat, pihak
yang pro menganggap pengangkatan Habibie sudah mumpuni dalam mengemban jabatan
barunya, sedangkan pihak yang kontra menganggap bahwa Habibie sebagai
kelanjutan dari era Soeharto dan pengangkatannya dianggap tidak konstitusional.
Naiknya BJ. Habibie menggantikan Soeharto mengundang perdebatan hukum dan
kontroversial karena mantan presiden Soeharto menyerahkan kekuasaannya secara
sepihak kepada B.J Habibie. Dikalangan para mahasisiwa perbuatan atas
pelantikan Habibie terbagi atas tiga bagian, yakni:
a.
Menolak BJ. Habibie karena merupakan produk orde baru.
b.
Bersikap netral karena pada saat itu tidak ada pemimpin negara yang diterima
oleh seluruh
kalangan
sementara jabatan presiden tidak boleh kosong.
c.
Para mahasiswa berpendapat bahwa adanya pengalihan kekuasaan ke B.J Habibie itu
adalah
sah dan konstusional.
sah dan konstusional.
Pengambilan
sumpah oleh BJ. Habibie sebagai presiden dilakukan di Credential Room, Istana Merdeka. Dalam pidato yang pertama setelah
pengangkatannya, B.J. Habibie menyampaikan hal-hal sebagai berikut:
a.
Mohon dukungan dari seluruh rakyat Indonesia,
b.
Akan melakukan reformasi secara bertahap dan konstitusional di segala bidang,
c.
Akan meningkatkan kehidupan politik pemerintahan yang bersih dan bebas dari
praktik-
praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)
praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)
d.
Akan menyusun kabinet yang sesuai dengan tuntutan zaman.
Setelah
kondisi yang tidak stabil, kemudian langkah-langkah yang dilakukan oleh
Presiden BJ. Habibie untuk mengatasi keadaan yang carut-marut dan menciptakan
Indonesia baru yang bebas KKN dengan cara sebagai berikut:
a.
Membentuk Kabinet Reformasi Pembangunan
Kabinet Reformasi Pembangunan dibentuk
pada tanggal 22 Mei 1998, terdiri atas unsur-unsur perwakilan dari ABRI,
Golkar, PPP, dan PDI. Pada tanggal 25 Mei 1998 diadakan pertemuan pertama.
Pertemuan ini berhasil membentuk komite untuk merancang undang-undang politik
yang lebih longgar, merencanakan pemilu dalam waktu satu tahun dan menyetujui
masa jabatan presiden dua periode. Upaya ini mendapat sambutan positif dari
masyarakat.
b.
Perbaikan bidang ekonomi
Langkah-langkah yang dilakukan B.J.
Habibie agar bangsa Indonesia dapat segera keluar dari krisis ekonomi ialah:
1. Melakukan
rekapitulasi perbankandan menerapkan independensi Bank Indonesia agar lebih
fokus mengurusi perekonomian.
Bank
Indonesia adalah lembaga negara yang independent berdasarkan UU No. 30 Tahun
1999 Tentang Bank Indonesia. Dalam rangka mencapai tujuan untuk mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah, Bank Indonesia didukung oleh 3 (tiga) pilar
yang merupakan 3 (tiga) bidang utama tugas Bank Indonesia yaitu menetapkan dan
melaksanakan kebijaksanaan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem
pembayaran, mengatur dan mengawasi Bank.
2. Merekonstruksi
perekonomian nasional
3. Menaikkan
nilai tukar rupiah
4. Melikuidasi
beberapa bank bermasalah, dan melaksanakan reformasi ekonomi seperti yang
disyaratkan IMF.
c.
Melakukan reformasi di bidang politik
Reformasi di bidang politik yang
dilakukan adalah dengan memberikan kebebasan kepada rakyat Indonesia untuk
membentuk partai-partai politik, serta rencana pelaksanaan pemilu yang
diharapkan menghasilkan lembaga tinggi negara yang benar-benar representatif.
B.J. Habibie membebaskan narapidana politik seperti Sri Bintang Pamungkas
(mantan anggota DPR yang dipenjara karena mengkritik Presiden Soeharto) dan
Muchtar Pakpahan (pemimpin buruh yang dituduh memicu kerusuhan di Medan tahun
1994). Beliau juga mencabut larangan berdirinya serikat-serikat buruh
independen. Amnesti pembebasan Sri Bintang Pamungkas dan Muchtar Pakpahan
dikukuhkan dalam keppres No. 80 Tahun 1998.
d.
Kebebasan menyampaikan pendapat
Presiden BJ. Habibie mengeluarkan
kebijakan untuk membuat Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Tugasnya adalah
mencari segala sesuatu yang berhubungan dengan kerusuhan 13-14 Mei 1998 di Jakarta.
Ketuanya adalah Marzuki Darusman. Presiden BJ. Habibie juga mengeluarkan satu
kebijakan yang tertuang dalam undang-undang No. 9 Tahun 1998 yang berisi
tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dan Tata Cara
Berdemonstrasi. Bentuk penyampaian pendapat di muka umum dapat berupa unjuk
rasa atau demonstrasi, pawai, rapat umum, dan mimbar bebas. Ketentuan tersebut
dinyatakan pada pasal 9 (2) UU No. 9 Tahun 1998. Presiden B.J. Habibie juga
mencabut UU No. II/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Aksi Subversi dengan
mengeluarkan UU No. 26 Tahun 1999.
e.
Pelaksanaan Sidang Istimewa MPR 1998
Untuk mengatasi krisis politik
berkepanjangan, maka diadakan sidang istimewa MPR yang berlangsung dari tanggal
10-13 November 1998. Menjelang diselenggarakan sidang tersebut terjadi aksi
unjuk rasa para mahasiswa dan organisasi sosial politik. Untuk mengantisipasi
hal-hal yang tidak diinginkan dilaksanakan pengamanan. jumlah aparat yang
dikerahkan yaitu polisi dan TNI mencapai 150 SSK (Satuan Setingkat Kompi).
Untuk pertama kalinya pengamanan Sidang Istimewa MPR melibatkan warta sipil
yang dikenal dengan nama Pam Swakarsa. Anggota Pam Swakarsa terdiri dari Forum
Umat Islam Penegak Keadilan dan Konstitusi (Furkon) dengan basis di Masjid
Istiqlal, organisasi kepemudaan seperti Pemuda Pancasila, Banser (GP Ansor),
AMPI, FKPPI, dan Kelompok Pendekar Banten.
Dengan adanya tekanan massa yang
terus-menerus, akhirnya pada tanggal 13 November 1998 Sidang Istimewa MPR 1998
ditutup.Dalam Sidang Istimewa MPR tersebut terdapat perombakan besar-besaran
terhadap sistem hukum dan perundang-undangan.Sidang istimewa MPR berakhir
dengan menghasilkan 12 ketetapan yang diwarnai voting dan aksi walk out dari
FPP MPR menyangkut keberadaan ABRI di dalam lembaga perwakilan. Berikut 12
ketetapan MPR 1998 yang dihasilkan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Ketetapan
MPR No. VII Tahun 1998, mengenai Perubahan dan Tambahan atas
ketetapan MPR No. I Tahun 1983
tentang Perubahan Tata Tertib MPR.
2. Ketetapan MPR No.
VIII Tahun 1998, mengenai Pencabutan Ketetapan MPR No. IV Tahun 1993 tentang
Referendum.
3.
Ketetapan MPR No. IX Tahun 1998, mengenai Pencabutan Ketetapan MPR No.
II Tahun 1998 tentang GBHN.
4.
Ketetapan MPR No. X Tahun 1998, tentang Pokok-pokok Reformasi
Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional
sebagai Haluan Negara.
5. Ketetapan MPR No. XI Tahun 1998,
tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.
6. Ketetapan MPR No. XII Tahun 1998,
mengenai Pencabutan Ketetapan MPR No. V Tahun 1998 tentang Pemberian Tugas dan
Wewenang Khusus kepada Presiden/Mandataris MPR dalam Menyukseskan dan
Mengamankan Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila.
7. Ketetapan MPR No. XIII Tahun 1998,
tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.
8. Ketetapan MPR No. XIV Tahun 1998,
mengenai Perubahan dan Tambahan Ketetapan MPR No. III Tahun 1998 tentang
Pemilu.
9. Ketetapan MPR No. XV Tahun 1998,
tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan Pembangunan dan Pemanfaatan
Sumber Daya Nasional yang berkeadilan serta Perimbangan Keuangan Pusat dan
Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
10. Ketetapan MPR No.
XVI Tahun 1998, tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi.
11. Ketetapan MPR No. XVII Tahun 1998,
tentang Hak Asasi Manusia.
12. Ketetapan MPR No. XVIII Tahun 1998,
mengenai Pencabutan Ketetapan MPR No. II Tahun 1978 tentang Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (Eka Prasetya Pancakarsa).
Kemudian
dari 12 ketetapan MPR tersebut, terdapat 4 ketetapan yang memperlihatkan adanya
upaya untuk mengakomodasi tuntutan reformasi, yaitu sebagai berikut:
1.
Ketetapan MPR No. VIII Tahun 1998, yang memungkinkan UUD 1945 diamandemen.
2. Ketetapan MPR No. XII Tahun 1998,
mengenai Pencabutan Ketetapan MPR No. IV Tahun 1993 tentang Pemberian Tugas dan
Wewenang khusus kepada Presiden/Mandataris MPR dalam Rangka Menyukseskan
Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila.
3. Ketetapan MPR No. XIII Tahun 1998,
tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden Maksimal Dua
Periode.
4. Ketetapan MPR No. XVIII Tahun 1998,
menyatakan bahwa Pancasila Tidak Lagi Dijadikan sebagai Asas Tunggal. Seluruh
organisasi politik tidak lagi wajib menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya
asas organisasi.
3.3 Pristiwa-Peristiwa Penting yang
Terjadi Pada Masa Kepemimpinan Presiden
B.J.Habibie
B.J.Habibie
1. Pelaksanaan Pemilu 1999
Keluarnya kebijakan kebebasan
berekspresi ditandai dengan main banyaknya partai politik baru yang terdiri.
Partai-partai plitik tersebut bersiap menyambut datangnya pemilu bebas pertama
dalam kurun waktu 44 tahun. Pemilu 1999 bertujuan untuk memilih anggota MPR,
DPR, dan DPRD. Sementara itu, pemilihan Presiden dan wakilnya masih dilakukan
oleh anggota MPR. Pemilu tahun 1999 diikuti oleh 48 partai. Kampanyenya secara
resmi dimulai pada tanggal 19 Mei 1999.
Pada pemilu 1999, muncul lima partai
besar yaitu, Partai Demokrat Indonesia Perjuangan (PDIP), Golongan Karya
(Golkar), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB),
dan Partai Amanat Nasional (PAN). Suara terbanyak diraih oleh partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDIP). Sebelum berlangsungnya pemilu, para tokoh pemimpin
Indonesia melakukan pertemuan di kediaman K.H. Abdurrahman Wahid di Ciganjur.
Para tokoh tersebut adalah K.H.
Aburrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Sukarnoputri, Amien Rais, dan Sri Sultan
Hamengku Buwana X. Selanjutnya, pertemuan ini dikenal sebagai pertemuan
kelompok Ciganjur. Pertemuan ini menghasilkan seruan moral agar para pemimpin
lebih memikirkan nasib bangsa dan negara Republik Indonesia.
2.
Pembebasan Tahanan Politik
Pemerintahan B.J. Habibie mengambil
prakarsa untuk melakukan koreksi. Sejumlah tahanan politik dilepaskan. Tiga
hari setelah menjabat sebagai presiden, Habibie membebaskan Sri Bintang
Pamungkas dan Muchtar Pakpahan. Tahanan politik dilepaskan secara bergelombang
akan tetapi, Budiman Sujatmiko dan beberapa petinggi Partai Rakyat Demokrat
(PRD) yang ditahan oleh pemerintah Orde Baru baru dibebaskan pada masa Presiden
K.H. Abdurrahman Wahid.
3. Lepasnya Timor Timur
Sejarah kelam yang terjadi pada masa
pemerintahan Presiden B.J. Habibie adalah Timor Timur dari Indonesia. Pada
tanggal 3 Februari 1999, pemerintahan B.J. Habibie mengeluarkan opsi terhadap
masalah timor timur. Opsi pertama menerima otonomi khusus atau tetap menjadi
wilayah RI. Opsi kedua Merdeka dari wilayah Indonesia. Untuk memutuskan masalah
timor timur tersebut, diadakan jajak pendapat yang diikuti oleh seluruh rakyat
timor timur.
Menurut hasil jajak pendapat yang
dilaksanakan pada 30 Agustus 1999 sebanyak 78.5% rakyat Timor Timur memilih
untuk memisahkan diri atau merdeka dari Indonesia. Pada bulan oktober 1999 MPR
membatalkan dekret 1976 yang berisi tentang integrasi Timor Timur ke wilayah
Indonesia. Selanjutnya otoritas transisi PBB (UNTAET), mengambil alih tanggung
jawab untuk memerintah Timor Timur dan berbah menjadi Timor Leste, sehingga
kemerdekaan penuh dicapai pada bulan Mei 2002.
4. Munculnya Beberapa Kerusuhan dan Gerakan
Separatis
Kerusuhan terjadi menyangkut kerusuhan
antar etnis dan antar agama. Kerusuhan antar etnis misalnya kerusuhan antar
etnis di Cilacap dan di Jember, serta kekerasan terhadap kaum pendatang Madura
di Kalimantan Barat. Kerusuhan serupa juga terjadi dikampung-kampung dan dikota-kota
diwilayah Indonesia. Serangkaian peristiwa tragis terjadi di Jawa Timur dari
Malang sampai Banyuwangi pada akhir tahun 1998. Tersebar isu adanya
segerombolan orang yang berpakaian ala ninja mengancam ketentraman penduduk.
Selain itu, muncul ancaman sihir hitam
(Santet) di wilayah Jawa Timur dan Ciamis. Beberapa kerushan terburuk terjadi
pada konflik antar agama di Ambon. Kerusuhan bersifat sparatis juga terjadi di
Aceh dan Papua. Pada bulan Juli 1998, para demonstran Papua mengibarkan bendera
organisasi papua merdeka (OPM) di Biak. Pada bulan Mei 1999 para demonstran
dari masyarakat Papua Barat menuntut kemerdekaan bagi tanah kemerdekaan mereka.
Akan tetapi tuntutan tersebut tidak
mendapatkan duukungan dari kekuatan-kekuatan lain. Kerusuhan terburuk di Papua
terjadi pada bulan september 1999. Dalam kerusuhan tersebut, penduduk setempat
membakar gedung DPRD berseta gedung-gedung lain dan kendaraan bermotor.
5. Sidang Umum (SU) MPR 1999
Pada bulan Oktober 1999, MPR mengadakan
sidang umum. Sesuai hasil keputusan SU Amin Rais terpilih dan ditetapakan
sebagai ketua MPR menyisihkan Matori Abdul Jalil dari Partai Kebangkitan Bangsa
(PKB). Adapun Akbar Tanjung terpilih sebagai ketua DPR. Pada saat pemilihan Presiden ada 3 tokoh
yang mungkin sebagai calon presiden ketiga tokoh tersebut adalah KH.
Abdurrahman Wahid dari partai kebangkitan bangsa (PKB), Megawati sokarno putri
dari partai demokrasi indonesia perjuangan (PDIP), dan Yusril Ihza Mahendra
dari partai bulan bintang (PBB).
Namun Yusril Ihza mahendra mengundurkan
diri sebelum diadakan pemungutan suara oleh anggota MPR. Pada saat pemungutan
suara KH. Abdurrahman Wahid mengungguli Megawati Sukarno Putri dalam pemungutan
suara. Berdasarkan hasil tersebut KH. Abdurrahman Wahid ditetapkan menjadi wakil
Presiden RI mengalahkan Hamzah Haz dari partai persatuan pembangunan (PPP)
dalam pemilihan wakil presiden.
3.4 Aktor yang Berpengaruh dalam
Pembuatan Kebijakan Luar Negeri Periode BJ. Habibie
Politik
luar negeri tentu tidak lepas dari peran aktor pembuat kebijakan luar negeri.
Polugri era reformasi diwarnai oleh peran dari beberapa aktor: presiden,
sebagai aktor utama, serta TNI sebagai aktor sekunder.
1. Presiden
Sebagai presiden, Habibie memang
berperan besar dalam proses pengambilan kebijakan. Pada awal masa
pemerintahannya, banyak terdapat permasalahan legitimasi dan krisis moneter,
yang mengakibatkan kurangnya kepercayaan masyarakat domestik dan internasional
terhadapnya.Untuk memperoleh dukungan internasional, Habibie menghasilkan dua
Undang-Undang (UU) menyangkut masalah Hak Asasi Manusia (HAM). Selain itu,
pemerintahan B.J. Habibie pun berhasil mendorong ratifikasi empat konvensi
internasional dalam masalah hak-hak pekerja, serta membentuk Komnas Perempuan.
Dalam permasalahan Timor-Timur, Habibie
juga berusaha untuk mencari dukungan internasional dengan menawarkan
referendum, apakah Timor-Timur ingin tetap menjadi bagian dari Republik
Indonesia ataukah ingin melepaskan diri dari Indonesia.Sayangnya, kebijakan
referendum Habibie yang dimaksudkan untuk mencari dukungan internasional ini
malah berbalik menyerang Habibie karena ternyata Timor-Timur lebih memilih opsi
yang kedua untuk memerdekakan wilayahnya sendiri terlepas dari Indonesia.
Rakyat menganggap Habibie bertanggung
jawab atas lepasnya Timor-Timur dari Indonesia.Belum lagi isu tindakan
kekerasan yang dilakukan TNI di wilayah Timor-Timur, sehingga dunia
internasional juga menganggap Habibie tidak mampu mengendalikan TNI, karena TNI
mendukung referendum Timor-Timur namun nyatanya terdapat tindak kekerasan yang
dilakukan TNI di Timor-Timur.[13]
2. TNI
Pada masa reformasi era presiden BJ
Habibie, TNI adalah salah satu aktor politik luar negeri yang cukup berpengaruh
dalam kepemerintahan negara Republik Indonesia.Dalam masa pemerintahan Presiden
BJ Habibie yang melanjutkan era Soeharto, beliau membuat kebijakan terkait
reformasi militer.Ada beberapa hal yang perlu dicatat sebagai bagian positif
penataan militer pada era ini dalam hal penataan masalah pertahanan dan kemanan
serta perubahan paradigma militer.Pada tanggal 1 Februari 1999, BJ Habibie
mengesahkan UU No.4 tahun 1999 tentang Susduk MPR, DPR dan DPRD. Didalam
Undang-Undang ini diatur tentang keberadaan militer didalam MPR, DPR dan DPRD
sebagai berikut:
·
Jumlah anggota MPR sebanyak 700 orang:
DPR, 500 orang. Utusan Daerah 135 orang.
·
Jumlah anggota DPR sebanyak 500 orang
dimana anggota ABRI yang diangkat sebanyak 38 orang.
·
Jumlah Anggota DPRD I sekurang-kurangnya
45 orang dan maksimal 100 orang termasuk 10% ABRI yang diangkat.
·
Anggota DPRD II sekurang-kurangnya 20
orang dan maksimal 45 orang termasuk 10% ABRI yang diangkat.
·
Jumlah Jumlah anggota DPR / MPR ABRI
yang diangkat di dalam UU No.4 tahun 1999, lebih sedikit jumlahnya dibandingkan
Undang-Undang sebelumnya UU No.5 tahun 1995 sebanyak 75 orang.Selain itu,
Habibie melakukan perubahan dalam ABRI dengan merubah nama ABRI menjadi TNI,
serta memisahkan TNI dengan Polri.
3.5 Fokus Kebijakan Luar Negeri Periode
Presiden B.J Habibie
Politik
luar negeri Indonesia dari awal merdeka hingga sekarang mengalami banyak pasang
surut seiring dengan perubahan tampuk kepemimpinan.Lain pemimpin, lain karakter
dan fokus politik luar negerinya.Hal ini karena berdasarkan skema tahapan
pembuatan kebijakan luar negeri Kegley menjabarkan bahwa hal-hal yang
mempengaruhi pembuatan kebijakan luar negeri ada 3 yaitu kondisi internasional,
kondisi domestik, karakter pemimpin.
Fokus
politik luar negeri Indonesia pun berubah-ubah dari masa ke masa mengikuti perubahan
kondisi politik global dan politik domestik yang ada. Sering kali, fokus
politik luar negeri di era kepemimpinan tertentu menjadi pembeda politik luar
negeri di era kepemimpinan tersebut dengan era kepemimpinan lain. Fokus politik
luar negeri Indonesia era awal reformasi pun tak luput dari sorotan meskipun
B.J Habibie, presiden di awal reformasi, hanya menjabat tidak kurang dari 2
tahun.
Dalam
menjalankan politik luar negeri era reformasi, terdapat 3 fokus utama yaitu
pemulihan citra Indonesia, mendahulukan stabilisasi sosial dan politik,
memobilisasi sumber daya demi memperoleh bantuan ekonomi.[14]
a)
Pemulihan citra Indonesia
Fokus pertama adalah pemulihan citra
Indonesia di mata internasional.Sebab, ketika orde baru berada di ambang
kehancuran, banyak permasalahan yang diwariskan kepada kepemimpinan yang baru,
utamanya adalah krisis multidimensional yang menyebabkan keterpurukan yang
dialami Indonesia tidak sebatas permasalahan ekonomi-politik tetapi juga
merambah ke aspek sosial-budaya.
Realitas ekonomi dan politik domestik
pasca orde baru telah menyebabkan posisi dan kredibilitas Indonesia di luar
negeri sangat merosot. Pemulihan citra ini dilakukan agar pemerintah Indonesia
yang belum mendapat legitimasi yang kuat di lingkungan domestik karena dianggap
hanya meneruskan langkah orde baru, mendapat dukungan internasional lagi
selepas krisis.Upaya pemulihan citra ini memperoleh keberhasilan, meskipun
tidak sepenuhnya, dibuktikan dengan Indonesia diberi kepercayaan oleh dua
institusi penting di kancah internasional yakni IMF dan World Bank.
b) Mendahulukan stabilisasi sosial, ekonomi dan
politik
Fokus kedua adalah mendahulukan
stabilisasi ekonomi, sosial dan politik. Hal ini karena pemerintahan BJ.
Habibie hirau cukup besar terhadap perbaikan dalam negeri akibat krisis
multidimensional. Karakter politik luar
negeri Indonesia era pemerintahan BJ Habibie dikatakan no profile, hal tersebut
karena tidak adanya peranan Indonesia secara jelas dalam implementasi politik luar
negerinya.
Dalam usaha menjaga stabilitas sosial,
ekonomi dan politik dalam negeri Habibie berusaha mendapatkan dukungan
internasional melalui berbagai
cara, antara lain : pemerintahan
Habibie menghasilkan dua Undang- Undang (UU) yang berkaitan dengan perlindungan
atas hak asasi manusia yaitu UU no.5/1998 mengenai Pengesahan Convention against Torture and other
Cruel,Inhuman or Degrading Treatment or Punishment dan UU no.29/1999
mengenai Pengesahan Convention on the
Elimination of All Forms of Racial Discrimination 1965.
Selain itu, pemerintahan Habibie
berhasil mendorong ratifikasi empat konvensi internasional dalam masalah
hak-hak pekerja. Pembentukan Komnas Perempuan juga dilakukan pada masa
pemerintahan Habibie. akan tetapi Habibie kurang berhasil dalam menyikapi
masalah Timor-Timur. Pada kasus Timor-Timur Juni 1998 Habibie mengeluarkan
pernyataan adanya pemberlakuan otonomi seluas-luasnya untuk provinsi Timor
Timur. Hingga pada akhirnya Indonesia harus kehilangan Timor- Timur, akibatnya
Habibie kehilangan kepercayaan baik dimata masyarakat internasional maupun
domestik.
c) Memobilisasi sumber daya demi memperoleh
bantuan ekonomi.
Implementasi yang dilakukan Habibie
terutama lebih ditekankan pada upaya pendekatan kepada Barat, utamanya
Eropa.sebagai upaya untuk memperoleh dukungan kepemimpinannya yang mewarisi
carut-marutnya ekonomi dan politik. Kepemimpinan Habibie akhirnya mendapat
dukungan internasional ketika menawarkan referendum kepada Timor-Timur.
Dengan catatan positif bidang HAM
Habibie relatif berhasil menarik perhatian internasional sebagai kompensasi
atas minimnya legitimasi dalam negeri, seperti terlihat dalam hubungan Habibie
dan IMF.jika di era Soeharto, IMF mendesak menghentikan proyek pembuatan
pesawat rancangan Habibie yang berbiaya tinggi, belakangan di era Habibie justru
tidak dipersoalkan lagi. IMF dan bank dunia justru mencairkan program bantuan
untuk mengatasi krisis ekonomi sebesar 43 milliar dolar AS, bahkan menawarkan
tambahan bantuan sebesar 14 milliar dolar AS.
3.6 Sejarah Timor Timur (Bergabung dan
Terpisahnya dari Indonesia)
Timor Timur merupakan nama yang
sudah tidak asing lagi untuk didengar, namun sejarahnya masih samar ditelan
zaman. Sejarah mengenai Timor Timur tidak terlepas dari sejarah reformasi
Indonesia dan kerusuhan Mei tahun 1998 yang menjadi pembuka kran demokrasi utuh
di Indonesia.Jika membicarakan mengenai Timor Timur, pikiran kita mungkin akan
melayang pada nama-nama terkenal seperti Prabowo Subianto yang sempat
mencalonkan diri menjadi Presiden Indonesia. Atau mungkin bagi orang yang
kehidupannya keras tidak akan asing dengan Hercules sang preman Tanah Abang
yang legendaris.[15]
Hercules merupakan pengubah sejarah
kepremanan di Tanah Abang. Namun diantara nama-nama yang terkenal di telinga
orang Indonesia, Xanana Gusmao menjadi nama yang sangat erat dengan sejarah
Timor Timur (TimTim).Bumi Loro Sae –sebutan Timor Timur- bukanlah daerah asli
milik Indonesia. Namun ia mewarnai sejarah Indonesia dengan banyak warna yang
sangat meriah. Wilayah di bagian Timur Indonesia tersebut tidak menjadi bagian
dari sejarah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Justru ada
banyak perjuangan sendiri yang dilakukan oleh masyarakat Timor Timur dalam
memperjuangkan kemerdekaannya.
Sejarah Timor Timur terbagi menjadi 2 bagian penting. Yaitu
sejarah bergabungnya dengan Indonesia dan sejarah terlepasnya dari wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kerusuhan, tragedi, air mata dan perjuangan
rakyat Timor Timur patut diapresiasi oleh semua pihak. Terutama negara-negara
besar yang menurut para ahli politik menjadi pengaruh kuat pada sejarah Timor
Timur.
3.6.1 Timor Timur Bergabung dengan
Indonesia
·
Revolusi
Bunga
Sejarah yang dibuat oleh rakyat
Timor Timur berawal dari munculnya revolusi bunga (red flower’s revolution) di Portugal. Pada saat itu, pemerintahan
dalam negeri Portugal sangat buruk. Terjadi kerusuhan dan chaos yang disebabkan
oleh kudeta militer terhadap Dr. Antonio De Oliveire Salazar. Kudeta ini
dinahkodai oleh Jenderal De Spinola.
Akibat
dari revolusi bunga ternyata tidak hanya mengacaukan kondisi politik dan
perekonomian Portugal. Lebih dari itu, sebagai negara penjajah yang sudah
menerapkan kolonialisme dan mempunyai beberapa negara koloni, Portugal memiliki
kewajiban mengurusi wilayah-wilayah koloninya. Salah satu daerah koloni milik
Portugal yang telah dimiliki sejak masa penjajahan Belanda di Indonesia.
Pemerintah Timor Timur telah
kewalahan menghadapi kudeta militer yang terus menerus menyerang pemerintahan.
Akhirnya dari revolusi bunga lahirlah kebijakan yang membebaskan daerah koloni
Portugal menentukan sendiri nasibnya. Politik yang dulunya tabu bagi warga
sipil mulai dilaksanakan secara mandiri dan bebas menentukan arah masa depan
bangsa. Begitu pula dengan rakyat Timor Timur yang dicengkeram Portugal.
·
Timbul
Golongan
Karena diberikan kebebasan oleh
Portugal, di golongan rakyat Timor Timur pun timbul beberapa golongan partai
politik yang berbeda arah tujuan. Meskipun sudah tidak lagi menjajah, Portugal
masih berkewajiban mengurus masa depan Timor Timur sampai jelas. Sebagai tindak
lanjut dari tugas tersebut, Portugal yang sudah lemah dari dalam mendatangi
Indonesia.
Dipilih Indonesia karena negara ini
lebih kuat dan menjanjikan dibanding negara lain di dekat Timor Timur. Lagi
pula Indonesia merupakan negara merdeka, berdaulat dan bahkan secara tidak
langsung adat istiadat sampai kebudayaannya banyak yang diadopsi oleh warga
Timor Timur. Sehingga ada ikatan batin yang erat antara rakyat Timor Timur
dengan wilayah merah putih.
Dr. Antonio De Almeida Santos
bertindak sebagai Menteri Seberang Lautan Portugal mendatangi Indonesia untuk
membicarakan permasalahan Timor Timur. Menteri tersebut mendatangi Presiden RI
yang saat itu dijabat oleh H. Soeharto dengan kekuasan orde barunya yang gagah
pada tanggal 16 sampai 19 Oktober 1974.
Setelah pembicaraan dengan
Indonesia, muncullah beberapa kubu politik di Timor Timur. Kubu tersebut adalah
sebagai berikut:[16]
a) Fretilin yang dulu bernama ASDT.
Fretilin (Frente Revolutinaria De Timor Leste Independente menghendaki Timor
Timur merdeka dan berdaulat di atas kaki sendiri. Fransisco Xavier Do Amaral
menjadi tumpuan rakyat Timor Timur yang menginginkan kebebasan sendiri,
karenanya dia menjabat sebagai pimpinan partai Fretilin ini.
b) AITI (APODETI), Partai Buruh
(Pratido Trabalhista), dan KOTA maunya Timor Timur lepas dari Portugal dan
menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mereka berargumen bahwa
Indonesia dan Timor Timur tidak dapat terpisahkan. Sejarah masa lalu sempat
memberikan kenangan hubungan kedua wilayah tersebut. Bahkan Timor Timur merasa
terkait dengan sejarah bahasa Indonesia yang dalam prakteknya banyak
dipakai sebagai bahasa komunikasi mereka.
c) UDT (Uni Demokrasi Timor) ingin
Timor Timur bergabung dengan negara Portugal yang menjadi induk semangnya
bertahun-tahun. Alasan Mario Vegas Carascalao sebagai pemimpin partai untuk tetap
menjadi bagian dari Portugis karena Timor Timur tidak memiliki potensi merdeka.
Timor Timur masih menjadi negara bekas jajahan Portugal yang sama sekali tidak
memiliki persiapan untuk merdeka sehingga dari segi ekonomi, politik dan taraf
hidup rakyatnya dikhawatirkan kondisi Timor Timur jika merdeka sendiri justru
semakin terpuruk dan miskin.
Ketiga kubu politik di atas
sama-sama ingin mencapai tujuannya sendiri. Namun di kemudian hari, UDT
memutuskan bergabung dengan kubu pro bergabung dengan Indonesia. Jadi ia masuk
bersama 3 partai lain yang sudah lebih dulu menyuarakan pendapat mayoritas
rakyat Timor Timur.
·
Keputusan
Timor Timur
Di hari lain, Fretilin nekad
memproklamasikan berdirinya negara Timor Timur. Negara baru ini mendudukkan
Xavier Do Amaral yang awalnya menjadi pemimpin partai sekarang sebagai
presiden. Negaranya dinamai Republik Demokrasi Timor Timur dan dideklarasikan
tanggal 28 November 1975.
Sebagai aksi balasan dan usaha
mempertahankan tujuan dari kubu lawan, gabungan empat partai politik yang lain
turut mengambil tindakan sebagai sikap tanggapan atas kelancangan yang
dilakukan Fretilin. Mereka pun membuat deklarasi lain yang dilakukan sehari
setelah proklamasi kemerdekaan Timor Timur. Tepatnya pada tanggal 29 November
1975, Kubu ini mengumumkan telah bergabung dengan NKRI. Namun penandatanganan
sebagai tanda resminya baru dilaksanakan akhir November tanggal 30 tahun 1975.
Kemudian proklamasi ini dikenal dengan nama proklamasi Balibo karena
dilangsukan di Balibo.
Kubu pro Indonesia menunjukkan tekad
yang tidak main-main dengan keinginannya bergabung bersama Indonesia. Mereka
menyelenggarakan Pemerintahan Sementara Timor Timur (PSTT) di tanggal 17
Desember 1975 sebagai bentuk kekuatan hukum dan keseriusan mereka dalam menjadi
bagian dari negara berdaulat.
Keputusan Fraksi pro Indonesia baru
menyampaikan maksudnya secara resmi kepada Presiden Soeharto di tanggal 7 Juni
1976. Keinginan berintegrasi dengan Indonesia diterima oleh Preside RI 10 hari
setelah surat tersebut sampai di Jakarta. Sebagai bukti tertulis diterimanya
Timor Timur menjadi provinsi ke-27 Indonesia, Presiden mengeluarkan UU No. 7
Tahun 1976. Arnodo Dos Reis Araujo bersama Fransisco Xavier Lope DaCruz menjadi
pasangan gubernur dan wakilnya yang perdana.
Seusai dikeluarkan keputusan resmi
dari pemerintahan Indonesia, pihak Indonesia yang berinduk di Jakarta
mengerahkan segenap usaha pembenahan di Timor Timur. Bukan hanya kerusuhan,
melainkan juga usaha meningkatkan taraf hidup rakyat Timor Timur yang rendah,
dan usaha meratakan pembangunan di bidang infrastruktur, ekonomi dan kesehatan
sebagaimana wilayah RI lain yang juga mengalami pembangunan.
3.6.2
Timor Timur Terlepas dari Indonesia
·
Tidak
Puas
Setelah sekira 24 tahun bersama
dengan Indonesia, Timor Timur akhirnya menyalahi janji kesetiannya sendiri yang
dulu diabdikan untuk Indonesia. Namun di balik Tragedi Timor Timur yang
menyedihkan, ada hubungan tak terlihat antara kasus ini dengan sejarah
keruntuhan Uni Soviet.
Keanehan menyeret nama sejarah Uni
Soviet dalam sejarah Timor Leste bukan tanpa alasan. Kerusuhan yang terjadi di
akhir abad 19 tersebut mengundang perhatian dunia internasional, termasuk
Amerika Serikat yang menjadi polisi dunia. Amerika, Australia dan semua
sekutunya menginginkan modernisasi dan kapitalisme dipakai seluruh negara di
dunia.
Permusuhan antara Amerika dan Uni
Soviet yang sudah berakhir seiring selesainya perang dingin ternyata masih
menyisakan kewaspadaan. Amerika takut dengan paham komunisme dan marxisme yang
dianut oleh pemimpin Timor Timur. Oleh karenanya, ada usaha terselubung yang
direncanakan secara dramatis.
Meskipun Indonesia sebagai negara
sudah berusaha melakukan pembangunan sebaik mungkin pada Timor Timur, masih
saja ada golongan yang tidak puas. Tidak berhenti pada kedongkolan hati karena
merasa pembangunan masih kurang, mereka melakukan tindakan separatis yang
memicu disintegrasi bangsa.
Konflik ternyata terus berlangsung
sejak 1975 Timor Timur mendeklarasikan bergabung dengan Indonesia sampai tahun
1999 ketika Indonesia baru saja keluar dari krisis moneter yang menyisakan
kekacauan ekonomi dan politik. Ratusan ribu permasalahan disintegrasi bangsa
terus bermunculan di bumi loro sae. Hingga memakan korban nyawa rakyat jelata.
Ada 84.200 orang mati karena terserang
·
PBB
Datang
United
Nation Organization
(UNO) atau disebut PBB dalam bahasa Indonesia, merupakan organisasi dunia yang
memiliki banyak sayap untuk menyelesaikan konflik di dunia internasional.
Kedatangan PBB ke Timor Timur bertujuan memastikan masa depan Timor Timur tanpa
menimbulkan lebih banyak korban.
PBB datang untuk melaksanakan jajak
pendapat rakyat Timor Timur. Apakah mayoritas berada di pihak pro integrasi
atau malah pro disintegrasi. Jajak pendapat atau referendum ini dilaksanakan
tanggal 30 Agustus 1999 dan disokong oleh Amerika beserta sekutunya seperti
Australia. Sungguh mengagetkan, 78,3 % rakyat Timor Timur ingin berpisah dari
janji kesetiannya pada NKRI.
Sebenarnya pada waktu Presiden
Habibie menggantikan Soeharto setahun sebelumnya, beliau telah mengambil
kebijaksanaan yang sangat tepat. Ada tawaran otonomi daerah kepada Timor Timur
untuk mengurus sendiri rumah tangganya tetapi masih di bawah payung NKRI. Namun
dunia internasional kurang sejalan dengan sikap Habibie, banyak negara dari
Eropa dan Australia yang lantas menekan Indonesia agar melepaskan Timor Timur.
Bahkan Perdana Menteri Australia
menyarankan Habibie untuk membebaskan Timor Timur agar merdeka sendiri. Tentu
saja Habibie yang sudah memanggul banyak beban dalam negeri semakin kecewa
karena ternyata dunia internasional lebih banyak menekan melepas TimTim
dibanding mempertahankannya. Beliau pun menyetujui referendum PBB setahun
setelahnya yang resmi memisahkan TimTim dengan NKRI.
Setelah referendum PBB, kondisi
internal Timor Timur masih kacau. Perang saudara masih terjadi, dan
administrasi wilayahnya dipegang oleh UNTAET -organisasi bawahan PBB yang
mengurus kasus Timor Timur. Kesiapan kemerdekaan Timor Timur baru didapatkan
pada abad 20. Mula-mula dilakukan pemilihan umum untuk memilih konstitusi
negara sejak tahun 2001 hingga bulan Februari 2002.
Segala persiapan untuk sebuah negara
merdeka sudah cukup kuat di awal millenium kedua. Timor Timur pun
memproklamasikan kemerdekaan negaranya sendiri di tanggal 20 Mei 2002 dengan
Xanana Gusmao sebagai Presiden awalnya. Sejak saat itulah, Timor Timur merubah
namanya menjadi Timor Leste dan menghapus segala kenangan bersama NKRI.
Bahasa yang digunakan di Timor Leste
adalah Portugal. Sementara itu, mata uang yang diberlakukan di negara tersebut
yaitu Dollar Amerika. Adat istiadat dibuat sebisa mungkin lebih condong ke
daerah sendiri atau Portugal. Dengan Dili sebagai ibukotanya, Timor Leste
diterima sebagai anggota UNO (PBB) tepat pada tanggal 27 September 2002.
3.7 Studi
Kasus: Diplomasi Indonesia dalam
Upaya Penyelesaian Masalah Timor Timur Secara Adil, Tuntas, Menyeluruh dan
Dapat Diterima Internasional: Dialog Segitiga (Tripartite Talks) sampai Hasil
Jajak Pendapat
Dalam menyelesaikan masalah Timor Timur, Indonesia melakukan
diplomasi dengan cara menghadiri pertemuan-pertemuan seperti Dialog Segitiga (Tripartite Talks).[17]Setelah
Portugal membawa permasalahan Timor Timur ke PBB, dan berdasarkan Resolusi PBB
37/30 diadakanlah beberapa pertemuan Tripartite
Talks. Tripartite Talksadalah
pembicaraan antara pihak Portugal dengan Pihak Indonesia yang diprakarsai oleh
PBB. Dalam Tripartite Talks atau
biasa disebut dialog segitiga ini, pihak Indonesia dan Pihak Portugal
dipertemukan untuk bersama-sama mencari jalan tengah dari permasalahan yang ada
di Timor Timur. Dialog segitiga ini terjadi sebanyak delapan kali, dimulai dari
pertemuan pertama pada bulan Desember 1992 yang berlangsung di New York,
hinggga pertemuan terakhir pada Juni 1996 di Jenewa.[18]
1.
Pertemuan
Dialog Segitiga (Triparite Talks) di
New York, USA
Dialog segitiga (Tripartite Talks) pertama kali
diselenggarakan di markas besar PBB, NewYork pada tanggal 17 Desember
1992.Pertemuan tersebut berlangsung cukup panjang, dan dianggap belum
menghasilkan keputusan yang jelas, karena pihak Indonesia maupun pihak Portugal
belum dapat menyatukanpemikirandan mencari penyelesaian yang tepat terhadap
masalah Timor Timur.[19]PihakIndonesia
yang pada saat itu diwakili oleh Menteri Luar Negeri Ali Alatas menegaskan
bahwa sikap Indonesia terhadap Timor Timur tidak akan berubah, dan proses
dekolonialisasi sudah berakhir sejak 30 November 1975, ketika mayoritas rakyat
Timor Timur memilih untuk bergabung dengan Indonesia secara sukarela.
Namun, pihak Portugal menginginkan
agar proses dekolonialisasi dilakukan melalui referendum.Setelah melalui
perdebatan yang panjang tersebut, pihak Indonesia dan Portugal pun sepakat
untuk kembali melakukan dialog segitiga dalam upaya mencari penyelesaian
masalah Timor Timur, yang akan diselenggarakan di Roma pada tanggal 23 April
1993. Dialog tersebut akan diawali dengan pertemuan persiapan kedua belah pihak
di markas besar PBB, New York. Selain itu pihak Indonesia maupun pihak Portugal
dalam pertemuan ini sepakat untuk melakukan membangun rasa saling percaya
antara pihak Indonesia dan Portugal agar tercipta suasana baik dalam pemecahan
masalah Timor Timur tersebut.
Sesuai dengan kesepakatan yang telah
diperoleh sebelumnya, maka pada tanggal 21 April 1993, kembali diadakan Tripartite Talks atau dialog segitiga
antara pihak Indonesia, Portugal dan PBB sebagai penengah. Dalampertemuan kedua
ini belum sampai pada tahapan identifikasi permasalahan di Timor Timur, karena
kedua belah pihak sepakat untuk tidak membahas permasalahan-permasalahan secara
rinci.[20]Pertemuan
kedua ini terbagi menjadi tiga tahapan. Tahap pertama adalah pertemuan Sekjen
PBB dengan Menteri Luar Negeri Ali Alatas, tahap kedua adalah pertemuan Sekjen
PBB dengan Menteri Luar Negeri Portugal, dan tahapan terakhir adalah pertemuan
antara pihak Indonesia dengan pihak Portugal dibawah pengawasan Sekjen PBB.
Karena pada dialog kedua ini masih
tidak ditemukan solusi dari permasalahan di Timor Timur, maka disepakati untuk
diadakan kembali dialog segitiga pada 17 September di markas besar PBB,
NewYork. Kemudian sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya, pada
tanggal 17 September kembali diadakan dialog segitiga di markas besar PBB, New
York. Dialog segitiga ini dihadiri oleh Menteri Luar Negeri Indonesia Ali
Alatas, Menteri Luar NegeriPortugal Duraos Baroso, dan Sekertaris Jendral PBB
yaitu Boutro-BoutrosGhali.Dari pertemuan ini disepakati bahwa pihak Indonesia
maupun pihak Portugal harusmenciptakansuasana yang saling menguntungkan dan
tidak konfrontatif, tercapainya kemajuan bagi penyelesaian masalah yang
menyeluruh.
Lalu kedua Menteri LuarNegeri pun sepakat
untuk meningkatkan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia dalam aspek
luas, mencakup hak sipil, ekonomi, sosial, dan budaya serta kebebasan yang
fundamental di Timor Timur. Selain itu dialog ini juga menggaris bawahi niat
dari pihak PBB untuk menjalankan misi-misi yang dianggap bermanfaat untuk
mencari titik temu sekaligus jalan keluar guna pemecahan masalah di Timor
Timur. Kemudian akan diadakan kembali pertemuan serupa pada tanggal 6 Mei 1994.
2.
Pertemuan
Dialog Segitiga (Tripartite Talks) di
Jenewa, Swiss
Sesuai dengan kesepakatan pada
pertemuan dialog segitiga sebelumnya di New York, maka pada tanggal 6 Mei 1994
kembali diadakan dialog segitiga diJenewa. Pada dialog kali ini disepakati
bahwa para tahanan politik Timor Timur akan mendapat perlakuan manusiawi dan
mengenai pembebasan tahanan-tahanan tersebut. Selain itu, kedua belah pihak
menyetujui adanya penyidikan kembali oleh pihak Indonesia terhadap
korban-korban pada insiden Dili 1991, kemudian kedua belah pihak yaitu
Indonesia dan Portugal meminta kepada Sekjen PBBuntuk mengidentifikasi
permasalahan-permasalahan di Timor Timur untuk dibahas pada dialog segitiga
berikutnya, yang akan diselenggarakan pada 9 Januari 1995.
Kemudian pada tanggal 9 Januari
1995, kembali diadakan dialog Segitiga, di Jenewa, Swiss. Pembicaraan ini lebih
memusatkan pada usulan dari Sekjen PBB untuk memberikan kemudahan dan
menawarkan pengaturan-pengaturan yang harus dilakukan bagi terselenggaranya
dialog antara rakyat Timor Timur, baik yang berada didalam ataupun diluar
wilayah Timor Timur. Tujuandiselenggarakannyadialog tersebut adalah sebagai
forum bagi kelanjutan pertukaran pandangan secara bebas dan informal yang
mungkin berdampak positifbagi Timor Timur.[21]
Lalu pada pertemuan ini pula kedua
menteri sepakat untuk meningkatkan dialog kepada warga Timor Timur mengenai Hak
Asasi Manusia, khususnya sebagaimana dinyatakan Sekjen PBB dan disahkan secara
consensus sebagai keputusan dari UNHCR mengenai akses ke Timor Timur,
pembebasan dini penduduk Timor Timur yang dipenjara, serta penghitungan ulang
korban yang tewas maupun hilang pada insiden Dili 1991 oleh pihak Indonesia.[22]Kemudian
pada tanggal tanggal 8 Juli 1995, kembali diadakan dialog segitiga babak keenam
yang diselenggarakan di Jenewa.
Pada perundingan ini diperoleh kesepakatan-kesepakatan
yaitu:[23]
a. Kedua Menlu membahas mengenai
perkembangan di Timor Timur sejakdiadakannya dialog kelima pada 9 Januari
berakhir, termasuk mengenai hak-hak asasi manusia seperti yang telah disetujui
pada sidang ke -51 UNHCR.
b. Kedua Menlu menyambut baik
penyelenggaraan pertemuan Informal antara orang-orang Timor Timur (AIETD) di
Borgh schlaining Schloss, Austria dari tanggal 2 hingga 5 Juni 1995, yang
terlaksana atas prakarsadari Sekjen PBB.
c. Kedua Menlu menyambut baik usulan
Sekjen PBB mengenai perlunya diadakan kembali pertemuan AIETD.
d. Kedua Menlu telah memulai membahas
mengenai masalah Substansifyang diidentifikasikan oleh Sekjen PBB, antara lain
mengenai landasanpenyelesaian permasalahan di Timor Timur.
e. Kedua Menteri Luar negeri sepakat
mengadakan dialog segitiga babakberikutnya yang akan diselenggarakan pada 16
Januari 1996 di London.
Sesuai
dengan keputusan yang disepakati pada pertemuan sebelumnya, pada tanggal 16
Januari 1995 diadakan kembali dialog segitiga. Kali ini pihak Indonesia menyatakan
ada tiga masalah besar yang harus dibahas, yakni mengenai kerangka kerjamasalah
Timor Timur yang dapat diterima oleh semua pihak pemeliharaan dan pengembangan
identitas kultural rakyat Timor Timur, serta kandungan kandungan hubungan
bilateral Indonesia dan Portugal.Selanjutnya dalam dialog segitiga yang
berlangsung tanggal 29 Juni 1996 di Jenewa,
pembicaraan-pembicaraanlebihmenuntut Portugal untuk menunjukan kesungguhan
terhadap penyelesaian permasalahan di Timor Timur.
3.
Pertemuan
AIETD (All Inclusive Intra East Timorese
Dialog)
Pada
tanggal 3-5 Juni 1995 diselenggarakan Pertemuan Informal All Inclusive Intra East Timorese Dialog(AIETD)
diselenggarakan di Burgschleining SchlossAustria,guna menindaklanjuti
pernyataan sekjen PBB di Jenewa, pada 9 Januari 1995, sebagai hasil dialog
segitiga antara menteri luar negeri Indonesia dengan Portugal.Dalam pertemuan
inidihadiri oleh tokoh-tokoh Timor Timur warga Indonesia dan tokoh Timor Timur
anti Integrasi di Perantauan. AIETD bukan merupakan forum parallel dengan
dialog segitiga dan tidak membicarakan status politik Timor Timur.
Tujuan
AIETD adalah untuk menentukkan usulan-usulan konkret yang mempunyai dampak
positif di Timor Timur dan dapat menciptakan suasana yang lebih kondusif pada
dialog segitiga guna menyelesaikan permasalahan Timor Timur. Menurut Kriteria
PBB yang bertindak sebagai pengundang dan fasilitator, para peserta AIETD
adalah sebagai pribadi yang tidak mewakili latar belakang politik apapun atau
jabatan fungsional mereka.[24]Hasil-hasil
dalam pertemuan AIETD tersebut adalah sebagai berikut:[25]
a. Mengusulkan kepada Sekjen PBB untuk
melakukan dialog-dialog baru antara orang Timor Timur dalam kerangka yang sama
seperti telah dilaksanakan untuk memperdebatkan masalah-masalah utama di Timor
Timur sebelum diadakannya putaran perundingan antara menteri luar negeri
Indonesia dengan Portugal.
b. Menegaskan kembali perlunya
pelaksanaan langkah-langkah penting di bidang Hak Asasi Manusia dan
bidang-bidang lain dengan tujuan meningkatkan perdamaian, stabilitas, keadilan
dan kerukunan sosial.
c. Menegaskan kembali perlu adanya
pembangunan sosial, dan budaya di Timor Timur sebagai dasar pemeliharan
identitas kultural rakyat Timor Timur.
Hasil dari
Pertemuan AIETD tersebut menunjukkan bahwa adanya indikasi positif yang mendukung
pembentukan langkah membangun kepercayaan (Confidence Building Measures) dalam
dialog segitiga, bahwa hasil-hasil yang didapat dari pertemuan AIETD ini hanya
membicarakan masalah-masalah non politik. Pertemuan in formal AIETD tersebut
sangat positif karena sudah berjalan sesuai dengan tatanan yang telah
ditentukan dalam dialog segitiga.[26]
4.
Pemberian
Dua Opsi Kepada Timor Timur
Tawaran Serta Pemberian Opsi I:
Seperti
diungkapkan oleh Makarim Z A dalam bukunya Hari-Hari Terakhir Timor Timur bahwa
kelanjutan dari opsi pertama adalah diutusnya Menteri Luar negeri Ali Alatas ke
New York untuk secara khusus menjelaskan kepada sekjen PBB usulan otonomi
Khusus yang diperluas untuk Timor Timur pada 18 Juli 1998.[27]Pemerintah
Portugal maupun PBB menyambut positif tawaran status khusus dengan otonomi luas
bagi Timor Timur yang diajukan oleh Pemerintah Republik Indonesia. Setelah
pengumuman opsi I tersebut Intensitas pertemuan Indonesia-Portugal meningkat
tajam dari tahun-tahun sebelumnya.
Sekjen PBB
hampir setiap dua bulan mengirimkan wakilnya ke Jakarta, Lisabon, dan Dili
untuk mengadakan konsultasi Intensif dengan berbagai pihak, termasuk menjaring
masukan dari tokoh-tokoh Timor Timur, selama proses penyusunan tersebut juga
disepakati bahwa Jamsheed Marker akan meningkatkan konsultasinya dengan
berbagai tokoh masyarakat Timor Timur, baik di dalam maupun diluar Timor Timur.
Selepas Agustus 1998, minimal telah dilakukan empat kali kunjungan wakil sekjen
PBB ke Jakarta dan Timor Timur, baik oleh Jamsheed Marker maupun oleh pejabat
tinggi lainnya seperti Tamrat Samuel atau Francesco Vendrell.
Dengan
demikian jelas bahwa sejumlah tokoh Timur Timur dilibatkan secara tidak
langsung dalam perundingan, termasuk Xanana Gusmao, Uskup Belo, serta
unsur-unsur CNRT dan pro Integrasi. Hasilnya adalah perundingan “Senior Official Meeting” (SOM) atau
Pejabat Senior dibawah tingkat menteri di New York pada tanggal 4 –5 Agustus
1998. Pada pertemuan tersebut, posisi dasar Indonesia dan Portugal
dikesampingkan, hingga selesainya rancangan sementara konsep Daerah Otonomi
Khusus. Selama proses perundingan dan penyerapan aspirasi rakyat Timor Timur
peran pemerintah Republik Indonesia khususnya TNI tidak dapat dipandang sebelah
mata.[28]
Hal lain
yang perlu dicatat dalam pertemuan SOM pada tanggal 4-5 Agustus 1998, adalah
diterimanya prakarsa Indonesia oleh Sekjen PBB, untuk memberikan status otonomi
khusus yang diperluas kepada Timor Timur. Portugal pun menganggap bahwa ide
tersebut adalah ide terbaik, meski belum siap menerimanya sebagai penyelesaian
terakhir.Portugal tetap pada pendapatnya bahwa pemberian otonomi khusus bagi
Timor Timur hanya bersifat sementara sampai rakyat Timor Timur siap untuk
menentukan nasibnya sendiri.
Memasuki
oktober 1998, pembicaraan di Tingkat Senior
Official Meetingkembali menjadi alot ketika membahas aspek-aspek
konstitusional, hukum, sistem pemerintahan, dan administrasi daerah otonomi.
Pembahasan tersebut senantiasa melihat model-model otonomi luas yang ada
dinegara-negara lain seperti Kepulauan Aruba Belanda dan Kaledonia Perancis.
Dengan kata lain, proses pembicaraan Senior Official Meetingini lebih diarahkan
pada tanggapan resmi kedua belah pihak.
Indonesia
dan Portugal pun mengalami kesepakatan untuk membuka kantor interest section
guna meningkatkan rasa saling percaya dan pengertian kedua belah pihak konsep
Daerah Otonomi Khusus diharapkan sudah dapat diputuskan. Dengan kata lain,
proses pembicaraan Senior Official
Meetingini lebih diarahkan pada tanggapan resmi kedua belah pihak.
Indonesia dan Portugal pun mengalami kesepakatan untuk membuka kantor interest
section guna meningkatkan rasa saling percaya dan pengertian kedua belah pihak.
Tawaran
Mengenai Pemberian Opsi II:
Namun,
pada tanggal 27 Januari 1999 presiden B.J Habibie mengeluarkan keputusan yang terkesan
melangkahi proses yang sedang terjadi, karena sementara Menteri Luar Negeri
sedang melakukan diplomasi dan memperjuangkan otonomi khusus, Presiden B.J
Habibie mengeluarkan putusan tanpa mengonsultasikannya dengan perwakilan
Indonesia dalam perundingan tersebut, opsi ke-2 tersebut ialah pemberian status
merdeka kepada Timor Timur.[29]Pada
tanggal 27 Januari 1999, Menteri Luar Negeri Ali Alatas mengumumkan hasil rapat
kabinet paripurna yang menawarkan dua pilihan kepada rakyat Timor Timur yakni
pemberian otonomi seluas-luasnya dan tawaran untuk merdeka kepada Timor Timur
setelah diusulkan pemerintah kepada sidang MPR yang baru terpilih agar Timor
Timur dapat berpisah dengan Indonesia secara baik-baik, damai, terhormat,
tertib dan konstitusional.[30]
Keluarnya
Opsi II mengejutkan bagi banyak pihak dan tidak diterima secara menyeluruh di
Indonesia. Salah satu pihak yang sangat menentang Opsi II adalah tentara
Indonesia (ABRI/TNI). Mereka mengkhawatirkan bahwa pemisahan Timor Timur dapat
membawa akibat yang merugikan bagi persatuan dan keamanan di wilayah itu.[31]Ancaman
terhadap instabilitas keamanan di Timor Timur seperti yang dikhawatirkan
menjadi kenyataan, terbukti dengan kekerasan yang terjadi disana. Meningkatnya
intensitas kekerasan dan ketegangan di Timor Timur disebabkan oleh kedua
kelompok (pro-integrasi dan pro-kemerdekaan) saling melakukan teror dan
intimidasi.
Kelompok
pro-kemerdekaan yang mendapat “angin segar” atas keputusan pemberian Opsi II
semakin menunjukkan sikap permusuhan terhadap kelompok pro-integrasi dan
Pemerintah Republik Indonesia. Tindak kekerasan tidak hanya menghantui rakyat
setempat tetapi juga masyarakat pendatang, baik para pedagang maupun aparat
pemerintah yang bertugas dan ditugaskan di wilayah itu. Usai pengumuman opsi II
sebagai alternatif pemecahan jika tawaran otonomi khusus ditolak, pada 3
Februari 1999 kembali diadakan pertemuan para Bupati dan ketua DPRD se-Timor
Timur di Jakarta untuk membicarakan dua opsi yang ditawarkan pemerintah. Pada
pertemuan di Jakarta ini guna membicarakan langkah-langkah yang harus
dipersiapkan oleh pemerintah Timor Timur demi suksesnya jajak pendapat.[32]
5.
Kesepakatan
Hasil Perjanjian Dalam Pertemuan New York
Perjanjian tersebut akhirnya
mendapatkan suatu keputusan yang disepakati kedua belah pihak dan
ditandatangani pada tanggal 5 Mei 1999 yang berisi:[33]
a. Sekjen PBB diberi mandat dan
tanggung jawab dalam pelaksanaan pertemuan di New York,sementara pihak
Indonesia akan membantu dan kerjasama secara penuh dengan PBB sebagai
Fasilitator.
b. Dewan Keamanan PBB telah menerima
resolusi no 1236 yang akan dikeluarkan pada tanggal 7 Mei 1999 yang selanjutnya
akan menjadi landasanhukum PBB dalam melaksanakan mandat dan tanggung jawabnya.
c. Pemerintah Indonesia diberi tanggung
jawab untuk menjamin keamanan, perdamaian, tertib umum, dan tertib hukum di
Timor Timur sebagai syarat pelaksanaan Persetujuan New York.
Dilihat
dari isi persetujuan New York yang mencakup tiga hal, dapat disimpulkan bahwa
penyelesaian ini merupakan “respectable
relief”, pengurangan beban diplomasi dan politik bagi kedua pemerintahan
yang bersengketa, sejak Timor Timur berintegrasi kedalam Negara kesatuan RI
pada 1976. Selain tiga hal yang disetujui dan ditandatangani, ada satu lampiran
lampiran yang berisi konsep otonomi khusus yang diperluas bagi Timor Timur.
Terdapat tiga hal penting dalam resolusi Dewan Keamanan nomor 1236, yakni (1)
kesepakatan induk Indonesia-Portugal mengenai penyelesaian masalah Timor Timur,
(2) persetujuan tentang modalitas atau tatacara jajak pendapat lewat pemungutan
suara secara langsung, bebas, jujur, dan adil, (3) persetujuan tentang
pengaturan keamanan jajak pendapat.[34]
6.
Proses
Jajak Pendapat
Penyelenggaraan Jajak Pendapat
dilakukan oleh UNAMET sebagai badan khusus yang didirikan oleh PBB. Badan ini
mempunyai misi dan kewajiban untuk memantau keadaan Timor Timur serta
menyelenggarakan Jajak Pendapat dengan bersikap netral. Hal ini sesuai dengan
kesepakatan yang telah dicapai oleh Menteri luar negeri Ali Alatas (RI) dan
Menteri luar negeri Jaime Gama (Portugal) dengan mengikutsertakan wakil PBB
Jamsheed Marker, serta memperoleh perhatian langsung dari Sekretaris Jendral
PBB Kofi Annan. Jajak Pendapat merupakan suatu cara bagi penyelesaian persoalan
Timor Timur yang muncul dari tawaran (Opsi) Presiden B.J. Habibie.
Jajak Pendapat dilakukan secara
serentak di lebih dari 700 Tempat Pemungutan Suara (TPS) di wilayah Timor Timur
pada tanggal 30 agustus 1999 dan diikuti oleh sekitar 600.000 orang Timor Timur
yang berada di wilayah ini. Disamping itu juga diikuti oleh sekitar 30.000
orang Timor Timur yang berada di daerah lain (Denpasar, Jakarta, Makasar,
Surabaya, Yogyakarta) serta di Luar Negeri (Amerika Serikat, Australia, Macau,
Mozambik, Portugal) yang telah memenuhi syarat menjadi pemilih yang telah
disebutkan dalam perjanjian New York. Hasil tersebut pada satu sisi sangat
menggembirakan kelompok pendukung anti-integrasi, sedangkan pada sisi lain
mengecewakan kelompok pro-integrasi dan para prajurit TNI/POLRI yang telah
berjuang mempertahankan integrasi Timor Timur.
7.
Hasil
Jajak Pendapat
Hasil Jajak Pendapat menunjukkan
bahwa sekitar 78,5% atau sekitar 344.580 orang Timor Timur memilih merdeka dan
menolak status khusus dengan otonomi luas yang ditawarkan Pemerintah dan 21,5 %
atau sekitar 94.388 orang menerima tawaran tersebut. Dengan hasil tersebut maka
Pemerintah Republik Indonesia melalui MPR hasil Pemilu tahun 1999 kemudian
menindaklanjuti dengan mengambil langkah-langkah konstitusional untuk
melepaskan Timor Timur dari NKRI dan mengembalikan status wilayah itu seperti sebelum
berintegrasi.[35]
3.8
Analisis Studi Kasus
Setelah beberapa cara diplomasi
dilakukan oleh Indonesia untuk mempertahankan Timor Timur, namun, pada masa
kepemerintahan BJ. Habibie ini akhirya Timor Timur lepas dari wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Habibie
mengeluarkan peryataan pertama mengenai isu Timor-Timur pada bulan juni 1998
dimana ia mengajukan dinamika politik Indonesia berubah drastis dengan jatuhnya
pemerintahan Soeharto. Pada bulan januari tahun 1999 Indonesia menawarkan
otonomi kepada Timor-Timur, jika rakyat nya menolak tawaran ini, maka Indonesia
akan menerima pemisahan diri dari republik Indonesia.
Pada tanggal 5 mei 1998 PBB, Indonesia dan Portugal
menandatangani Perjanjian Tripartite yang menyatakan bahwa PBB akan melakasanakan
jajak pendapat di Timor-Timur, rakyat diminta memilih untuk tetap menjadi
negara bagian Indonesia atau menjadi sebuah negara merdeka. Pada juli 1998
Habibie mengeluarkan pernyataan mengenai Timor-Timur dimana ia mengajukan
tawaran untuk pemberlakuan otonomi seluas-luasnya untuk provinsi Timor-Timur.
Proposal ini oleh masyarakat internasional dilihat sebagai pendekatan baru,
diakhir 1998. Habibie mengeluarkan kebijakan yang radikal dengan menyatakan
bahwa Indonesia akan memberi pilihan referendum untuk mencapai solusi akhir
atas masalah Timor-Timur.
Aksi kekerasan sebelum dan setelah referendum memojokan
pemerintahan Habibie. Habibie kehilangan legitimasi baik dimata masyarakat
Internasional maupun domestik. Dimata Internasional Habibie dinilai gagal
mengontrol dalam pernyataannya yang menawarkan referendum namun kenyataannya
malah berujung pada tindak kekerasan kepada rakyat Timor-Timur, dimasa publik
domestik Habibie harus menhadadapi sentiment nasionalis terutama ketika pasukan
penjaga perdamaian yang dipimpin oleh Australia masuk ke Timor-Timur.
Pada tanggal 30 agustus diadakan lah jajak pendapat di
Timor-Timur yang berujung pada kemerdekaan Timor-timur karena sebagian besar
rakyat nya memilih untuk merdeka (78,5%) seperti sebelumnya pada akhir pasukan
Australia lah yang menjadi pahalawan dalam menangani kasus Timor-Timur.[36]Menurut
Habibie, pantaslah jika Timor Timur berada dibawah pemerintahan Indonesia. Hal
tersebut dikarenakan alasan yang menjadi pertimbangan bergabungnya Timot Timur
dengan Indonesia sudah tidak lagi relevan.
Blok komunis yang di khawatirkan mengacam Indonesia dan
Australia yang adalah negara yang non komunis suadah runtuh. Lalu bagaimana
dengan wilayah-wilayah yang lain didalam Indonesia apa keberadaannya dibawah
pemerintahan Indonesia masih relevan? Jawabanaya tentu masih, karena Habibie
melihat berdirinya Indonesia didasari oleh kepentingan bersama dan rasa
kebersamaan atas penjaajahan belanda. Isu-isu kemudian berkembang pada masa
pemerintahan habibie adalah isu mengenai HAM, demokrasi dan globalisasi.
Sudah tentu jalan yang dipilih habibie mengutamakan HAM dan
demokrasi, nyata nya adalah dengan dilaksanakanya jajak pendapat yang mana
rakyat Timor-timur dapat menentukan sendiri nasib mereka, setelah itu Habibie
memandang peremasalahan Timor-Timur membawa efek domino pada aspek-aspek lain
di pemerintahan maka seharusnya kalau usus buntu didalam tubuh mengalami
infeksi maka masuk akal kalau usus buntu itu dipotong segera mungkin.
Permasalahan Timor-Timur menyulut ketidakstabilan politik
dan ekonomi Indonesia karena Indonesia selalu dikucilkan dimata internasional
sebagi negara yang melakukan pelanggaran HAM, sehingga sulit bagi Indonesia
untuk melakaukan diplomasi politik maupun ekonomi dengan negara lain karena ada
nya permasalahan nya Timor-Timur. Perdana Menteri Australia, Jhon Howard
mengusulkan suatu jalan keluar terkait penyelasaian masalah Timor-Timur.
usulanya serupa dengan langkah yang diambil dalam pemecahan masalah antara
Prancis - New Caledonia yakni dengan cara memeberikan hak otonomi khusus kepada
Timor-timur selama 5 hingga 10 tahun untuk memepersiapkan kemerdekaan nya.
Lalu setelah itu referendum dilakasanakan dengan perwujudan
pemberian kemerdekaan kepada Timor-Timur. Habibie jelas menolak usulan
tersebut, karena kasus Prancis dan New Caledonia kasus penjajah dan negara
terjajah tidak serupa dengan Indonesia dan Timor-Timur. Indonesia tidak
menjajah Timor-timur, pengintegrasian Timor-Timur kedalam Indonesia merupakan
aspirasi rakyat Timor-Timur yang dicetuskan pada tanggal 30 November 1975
melalui Deklarasi Balibo untuk dapat melaksanakan pembangunan nasional dengan
bergabung ke Indonesia.[37]
Selain itu, presisden tidak berhak atas itu serta
bagaimanapun hasil referendum, MPR melalui tap MPR lah yang berhak atas itu.
Serta bagaimanapun hasil referendum MPR tidak dapat menolaknya maka yang
dilakukan di Timor-timur bukan lah referendum melainkan jajak pendapat tidak
memerlukan izin dari MPR sehingga MPR dapat menolak hasil dari jajak pendapat
tersebut melalui sidang umum MPR. Pengintegrasian Timor-Timur kedalam NKRI
melalui tap MPR sebagai hasil dari siding umum MPR 1978.
Oleh karena itu jika Timor-Timur harus lepas dari Indonesia
maka harus pula disahkan dengan MPR setelah dialaksanakanya sidang umum MPR.
masalah Timor-Timur sudah berlarut-larut dibahas di forum PBB sejak tahun 1975,
akhirnya 1983 sepakat untuk dibuat sebuah forum triparti yang terdiri dari
perwakilan Indonesia, Portugal dan PBB Indonesia menyadari bahwa perlu adanya
penyelesaian yang tuntas dengan waktu yang tidak terlalu lama untuk
menyelesaikan masalah Timor-Timur. Maka diajukanlah dua macam pilihan sebagai
jalan keluar alternatif penyelesain dengan dua macam opsi ini dengan
penyelesain yang paling demokratis tuntas dan terhomat.[38]
Kebijakan dua pilihan, sejak dinyatakan sebagai bagian dari
wilayah indoinesia hingga dikeluarkanya persoalan Indonesia pada awalnya
mendapat dukungan internasional untuk tetap menjadikan Timor-Timur sebagai
wilayah yang datang dari Australia dan Amerika Serikat. Sejak awal tahun 1975
Australia mendukung Indonesia dengan maksud agar negaranya mendapat keuntungan
tertunda kaya minyak yang dikenal dengan celah Timor. Sedangakan Amerika
mendukung Indonesia menjadikan Timor menjadi wilayahnya karena Amerika
berkepentingan atas selat Ombai (ibarat Pulau Timor) bagi kapal selamnya yang
berpangkalan di Autoro.
Dalam perkembanganya dukungan kedua Negara tersebut kepada
Indonesia ternyata tetap didasarkan atas perkembangan politik global. Dimana
saat perang dingin telah berakir tidak ada lagi isu komunis dan non komunis dan
yang menonjol saat itu adalah malah demokrasi dari HAM, sehingga Indonesia
disamping harus selalu mengahadapi tuntutan dari sebagian rakyat Timor untuk
mendesak pemerintah Indonesia juga harus menerima tudingan publik internasional
terutama PBB sebagai Negara pelanggar HAM isu HAM itu sendiiri muncul sendiri
sebagai akibat rangkaian peristiwa seperti Insiden Dili 12 November 1991 yang
menewaskan korban TNI dan Peristiwa Liquisa 12 november 1991.[39]
BAB
IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Awal masuknya BJ. Habibie terjun ke dunia politik
disebabkan karenya adanya tawaran kalangan ICMI yang membawa ia menjadi Ketua
Umum ICMI. BJ. Habibie belajar mengenai perpolitikan dari Nol. BJ. Habibie
mempunyai alasan mengapa ia harus terjun ke dalam dunia perpolitikan. Karena
menurutnya revolusi yang di percepat dalam bidang teknologi terbukti berhasil
di China dan India, berkat dukungan politik dan tersedianya pasar yang cukup
besar.
Kemudian dengan runtuhnya kepemimpinan
Soeharto dari jabatan kepresidenan yaitu pada tanggal 21 Mei 1998 yang menjadi
awal lahirnya era Reformasi di Indonesia. Perkembangan politik ketika itu
ditandai dengan pergantian presiden di Indonesia. Seperti telah di bahas pada
kronologi reformasi Indonesia tahun 1998, bahwa dengan segera setelah Soeharto
mengundurkan diri, Mahkamah Agung mengambil sumpah Baharuddin Jusuf Habibie
sebagai presiden. Masa pemerintahan Presiden BJ. Habibie berlangsung sangat
singkat yaitu dari tanggal 21 Mei 1998 sampai dengan tanggal 20 Oktober 1999. Meskipun pada saat pengangkatannya sebagai Presiden ini
menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat. Kemudian BJ.Habibie yang kala
itu menjabat menjadi Presiden mengambil tindakkan yang serius untuk memberantas
KKN, juga diadakannya Pemilu, serta pembebasan tahanan politik, munculnya beberapa kerusuhan dan gerakan
separatispun turut mewarnai masa pemerintahan BJ.Habibie. Dan salah satu yang
sangat berpengaruh untuk Indonesia hingga kini adalah pembuatan kebijakan luar
negri pada periode itu. Dan fokus utama kebijakan luar negeri dalam masa
pemerintahan BJ.Habibie yaitu terdapat 3 fokus utama pemulihan
citra Indonesia, mendahulukan stabilisasi sosial dan politik, memobilisasi
sumber daya demi memperoleh bantuan ekonomi. Lalu juga peristiwa lepasnya Timor-Timur dari Indonesia
mendorong BJ.Habibie untuk melakukan diplomasi, dan dengan kedatangan PBB ke
Timor Timur yang bertujuan untuk memastikan masa depan Timor Timur tanpa
menimbulkan lebih banyak korban, PBB pun mengeluarkan referendum untuk
meredakan masalah Timor timur, tetapi setelah
referendum PBB, kondisi internal Timor Timur masih kacau. Pada akhirnyapun Timor timur lepas dari Indonesia.
Dengan lepasnya Timor Timur dari Indonesia juga membuat Habibie di cap gagal
sebagai Presiden karena bagaimanapun juga lepasnya suatu wilayah merupakan
kegagalan terbesar dalam suatu pemerintahan dalam menjaga dan untuk memastikan
pemerintahannya membawa kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia pada saat
itu.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Robert Jackson dan Georg Sorensen. 2009.
Pengantar Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Anthonius Sitepu. 2011. Studi Hubungan
Internasional. Yogyakarta: Graha Ilmu.
S.L , Roy, 1995, Diplomasi, Jakarta
Utara, PT Raja Grafindo persada.
Watson Adam, , 1984, The Dialogues
Between States, London, Methuem.
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar
Ilmu Politik. 1995.Jakarta:Gramedia Pustaka Utama
B.J
Habibie, Detik-Detik yang menentukan:Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi.
Jakarta: THC Mandiri, 2006.
Radius
Prawiro.2008. Pergaulatan Indonesia Membangun Ekonomi, Pragtisme dalam Aksi.
Jakarta: Primamedia Pustaka
Radius
Prawiro. Pergaulatan Indonesia Membangun Ekonomi, Pragtisme dalam Aksi.
Jakarta: Primamedia Pustaka.
Djohari,
O, Diplomasi RI Dalam Upaya Penyelesaian Masalah Timor Timor Secara Tuntas,
Adil, Menyeluruh, Dan Diterima Internasional: Dialog Segitiga (Triparite Talks). Jakarta: Universitas
Indonesia, 1999.
Ali
Alatas, The Pebble in The Shoe, The Diplomatic Strugle for East Timor. Jakarta:
Aksara Karunia, 2006.
JURNAL DAN WEBSITE
Mappa
Nasrun, Indonesian Relations With The
South Pacific Countries: Problrm and Prospect,
Desertasi, Unahs: 1990
Melalui
website http://www.biografiku.com/2009/01/biografi-bj-habibie.html, diakses pada 10 November 2017
Ahmad Sahab, Biografi Politik Presiden RI Ketiga BJ
Habibie Berbasis Teknologi, Jakarta: Peace, 2008.
Ganewati Wuryandari. “Politik
Luar Negeri Indonesia Di Tengah Pusaran Politik Domestik”, P2PLIPI,
2008
Muhammad
A.S. Hikam, “Communication Democracy in
Indonesia and East Timor”, In Pacifica
Review,Volume 12, Number 1, February 2001.
Melalui
website http://sejarahlengkap.com/indonesia/kemerdekaan/pasca-kemerdekaan/sejarah-timor-timur, diakses pada 10 November 2017
Muhammad
A.S. Hikam, “Communication Democracy in
Indonesia and East Timor”, In Pacifica
Review,Volume 12, Number 1, February 2001.
Djohari,
O, Diplomasi RI Dalam Upaya Penyelesaian Masalah Timor Timor Secara Tuntas,
Adil, Menyeluruh, Dan Diterima Internasional: Dialog Segitiga (Triparite Talks). Jakarta: Universitas
Indonesia, 1999.
Harian
Suara Pembaruan,Edisi 10 November 1993
Media
Indonesia, dalam “pertemuan Tripartite Talks di Jenewa”,Swiss Edisi 10 Mei 1999
www.un.org.
UNHCR “laporan korban hilang dan tewas pada insiden Dili 1991”. Diakses pada 10
November 2017
Ali
Alatas, The Pebble in The Shoe, The Diplomatic Strugle for East Timor. Jakarta:
Aksara Karunia, 2006.hal.35
PBB,
Penentuan Nasib Sendiri Melalui Jajak Pendapat, (New York: Deppen Publik PBB,
2000). Op.cit. hal.9
Kompas,
Edisi 1 Februari 1999
Kompas,Edisi
29 Januari 1999
Harian
Suara Timor Timur, Edisi 4 Februari 1999
Wachid
Ridwan. Kebijakan Opsi Kemerdekaan Presiden Habibie pada Jajak Pendapat di
Timor Timur. Depok. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Indonesia 2002
[1]Robert
Jackson dan Georg Sorensen. 2009. Pengantar Studi Hubungan Internasional.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 89
[2]P.Anthonius
Sitepu. 2011. Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Graha Ilmu. Hal.163
[3]Charles. P. Kindlerberger.
Op.Cit,. hal.21
[4]S.L , Roy, 1995, Diplomasi,
Jakarta Utara, PT Raja Grafindo persada. hlm. 35.
[5]S.L Roy, op. cit, hlm. 2.
[6]Watson Adam, , 1984, The
Dialogues Between States, London, Methuem. hlm. 1.
Desertasi, Unahs: 1990, hal. 98
[9] Melalui website http://www.biografiku.com/2009/01/biografi-bj-habibie.html, diakses pada 10 November 2017
[11]Ahmad
Sahab, Biografi Politik Presiden RI Ketiga BJ Habibie Berbasis Teknologi,
Jakarta: Peace, 2008.
[12]Radius Prawiro. Pergaulatan
Indonesia Membangun Ekonomi, Pragtisme dalam Aksi. Jakarta: Primamedia Pustaka
hlm. 200
[13] Ganewati
Wuryandari. “Politik Luar Negeri Indonesia Di Tengah Pusaran Politik Domestik”,
P2PLIPI,
2008,
hlm 78
Review,Volume 12, Number 1, February 2001,
hlm. 83-84.
[15]Melalui website http://sejarahlengkap.com/indonesia/kemerdekaan/pasca-kemerdekaan/sejarah-timor-timur, diakses pada 10 November 2017
Review,Volume 12, Number 1, February 2001,
hlm 93
[17] Ibid, hlm 95
[18]Djohari, O, Diplomasi RI Dalam Upaya Penyelesaian Masalah
Timor Timor Secara Tuntas, Adil, Menyeluruh, Dan Diterima Internasional: Dialog
Segitiga (Triparite Talks). Jakarta:
Universitas Indonesia, 1999. hal.71
[19]Harian Suara Pembaruan,Edisi 10 November 1993
[20]Ibid
[21]Media Indonesia, dalam “pertemuan Tripartite Talks di
Jenewa”,Swiss Edisi 10 Mei 1999
[22]www.un.org. UNHCR “laporan korban hilang dan tewas pada
insiden Dili 1991”. Diakses pada 10 November 2017
[23]Djohari, O. 1999. Op.cit. hal.78
[24]Harian Merdeka, Loc.cit
[25]Djohari, O. 1999. Op.cit. hal.91
[26]Ali Alatas, The Pebble in The Shoe, The Diplomatic Strugle
for East Timor. Jakarta: Aksara Karunia, 2006.hal.35
[27]Zacky Anwar Makarim. Op.cit, hal.197
[28]PBB, Penentuan Nasib Sendiri Melalui Jajak Pendapat, (New
York: Deppen Publik PBB, 2000). Op.cit. hal.9
[29]Djohari, O. 1999. Op.cit.hal.96
[30]Kompas, Edisi 1 Februari 1999
[31]Kompas,Edisi 29 Januari 1999
[32]Harian Suara Timor Timur, Edisi 4 Februari 1999
[33]Djohari, O. 1999. Op.Cit. hal .99
[34]Zacky Anwar Makarim. Op.cit. hal.197
[35]B.J Habibie, Detik-Detik yang
menentukan:Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi. Jakarta: THC Mandiri,
2006.hal.252
[36] Wachid Ridwan. Kebijakan Opsi
Kemerdekaan Presiden Habibie pada Jajak Pendapat di Timor Timur. Depok.
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia 2002
[37]Ibid,.
[38]Ibid,.
[39]Ibid,.
Komentar
Posting Komentar