SEJARAH DIPLOMASI INDONESIA Upaya Diplomasi Indonesia Era Kepemimpinan BJ. Habibie (StudiKasus: Diplomasi Indonesia dalam Upaya Penyelesaian Masalah Timor Timur Periode tahun 1998-1999)


Dosen : Rachmayani, M.Si


kelompok 5:
ERLITA PERINA                            2015230128
TIARA INDRIANI                          2015230006
HARDIANTY MUTIARANI         2015230096
NADINA PUTRI                              2015230117
ANNISA AZAHRA                          2015230104

INSTITUT ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK (IISIP)
JAKARTA



BAB I
PENDAHULUAN

I.I        Latar Belakang Masalah
Turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan pada tanggal 21 Mei 1998 menjadi salah satu jejak awal perubahan besar dari penguasa terlama, yang berhasil menggenggam kekuasaan atas Indonesia selama 32 tahun. Sebelumnya, Soeharto cukup yakin ketika ditetapkan kembali oleh MPR untuk masa jabatan yang ketujuh pada tanggal 11 Maret 1998, ini akan memberikan pengaruh yang lebih besar kepada segala sesuatu akan berada di bawah kontrol pemerintahannya. Tetapi dua bulan setelah Soeharto mengambil sumpah, Rezim Orde Baru runtuh. Hal ini ditandai, ketika mahasiswa menduduki gedung DPR/MPR pada tanggal 19 Mei 1998, presiden yang sudah berumur 77 tahun ini menyaksikan legitimasinya berkurang dengan cepat.
Selama hampir 32 tahun lamanya Soeharto memanipulasi eksistensi DPR/MPR untuk mengokohkan kekuasaan, namun pada akhirnya kekuasaannya disingkirkan pula oleh lembaga yang sama, melalui pernyataan pers pada tanggal 18 Mei 1998, oleh Ketua DPR Harmoko yang didampingi oleh Ismail Hasan Meutareum, Fatimah Achmad, Syarwan Hamid dan utusan daerah di depan wartawan dan mahasiswa menyampaikan pernyataan yang justru menyudutkan dan secara tidak langsung memberi sinyal pada rezim Soeharto untuk turun dari singasananya. Keterangan pers Ketua DPR itu disambut gembira oleh ribuan mahasiswa yang mendatangi Gedung DPR/MPR. Banyaknya penolakan yang melemahkan posisi Soeharto sebagai presiden, dikarenakan dukungan untuk membentuk Komite Reformasi gagal ditambah lagi banyak desakan yang menganjurkan presiden untuk mundur. Perasaan ditinggalkan dan terpukul telah membuat Soeharto tidak punya pilihan lain kecuali memutuskan berhenti dan mengikuti segala permintaan atas dirinya untuk turun dari jabatan yang seakan sudah melekat bahkan berkarat dengan tubuhnya.
Akhirnya Presiden Soeharto mengucapkan pidato pengunduran dirinya pada tanggal 21 Mei 1998. Seusai pidato berkumandang, Wakil Presiden B.J. Habibie langsung diangkat sumpahnya menjadi Presiden RI ketiga dihadapan pimpinan Mahkamah Agung yang sesuai dengan ketentuan UUD bahwa jika Presiden utama mengundurkan diri dari jabatannya, maka secara langusng pemerintahan akan diserahkan pada Wakil Presiden. Peristiwa bersejarah ini disambut dengan haru biru oleh masyarakat terutama para mahasiswa yang berada di Gedung DPR/MPR, akhirnya Rezim Orde Baru di bawah kekuasaan Soeharto berakhir dan Era Reformasi dimulai di bawah pemerintahan B.J. Habibie. Bila dilihat kebelakang tepatnya pada era Orde Lama dan era Orde Baru yang dipimpin oleh dua cara kepemimpinan yang berbeda telah memperlihatkan bagaimana Politik Luar Negeri Republik Indonesia yang berprinsipkan Bebas-Aktif diaplikasikan secara berbeda.
Jika pada era Orde Lama dengan Ir. Soekarno sebagai pemimpin yang mempunyai latar belakang anti kolonialisme dan imperialisme serta mempunyai rasa nasionalis yang kental, akhirnya membawa Politik Luar Negeri  yang revolusioner dan cenderung kekiri-kirian. Hal ini berbanding terbalik dengan keadaan pada era Orde Baru yang dikuasai oleh kepemimpinan Soeharto, Indonesia lebih terbuka dengan negara barat bahkan menjalin kerjasama dan menerima bantuan dari negara-negara barat.
Dengan runtuhnya rezim Orde Baru dengan segala persoalan dan pergejolakan yang dialami, tentu akan membawa dampak yang cukup besar bagi kepemimpinan dimasa berikutnya yaitu era Reformasi dengan naiknya B.J Habibie sebagai pemimpin Reformasi selaku wakil presiden pada masa kepemimpinan Soeharto. Segala sisa jejak kontroversi Orde Baru, sedikit banyak membawa Indonesia menghadapi segala permasalahan dan isu yang muncul dikemudian hari. Melalui kharisma dan latar belakang B.J Habibie yang berbeda dari presiden - presiden sebelumnya, menjadikan Politik Luar Negeri, diplomasi serta kebijakan Indonesia mengarah kearah yang berbeda pula. Salah satu permasalahan yang menarik perhatian besar masyarakat internasional pada masa kepemimpinan Habibie adalah disintegrasinya salah satu bagian dari kesatuan dan keutuhan RI yaitu Timor Timur (sekarang disebut sebagai Timor Leste). Isu ini pun tercatat sebagai permasalahan terbesar yang dialami oleh Indonesia pada masa itu. Disintegrasinya Timor Timur dari Indonesia melalui kepemimpinan B.J Habibie, menjadi salah satu isu terbesar dalam sejarah pemerintahan Indonesia.
Dalam makalah ini penulis akan memaparkan lebih lanjut dan menganlisis secara lebih mendalam, bagaimana gaya kepemimpinan, arah kebijakan PLNI, keberhasilan diplomasi yang diterapkan serta cara menghadapi dan mengatasi persoalan yang menimpa Indonesia terkait diintegrasinya Timor Timur dari NKRI oleh presiden era Reformasi yaitu B.J Habibie melalui cara yang adil, tuntas dan menyeluruh juga dapat diterima oleh masyarakat internasional.

I.2        Rumusan Masalah
            Bagaimana usaha diplomasi B.J Habibie pada era Reformasi dalam mengatasi permasalahan disintergrasinya Timor Timur dari Negara Kesatuan Republik Indonesia secara Adil, Tuntas, Menyeluruh dan Dapat Diterima Internasional periode tahun 1998-1999?








BAB II
LANDASAN TEORI


2.1       Neo-realisme
            Neorealisme adalah transformasi baru dari realisme klasik, dan pemikir terkemuka kaum neoralis yaitu Kenneth Watz (1979) (Jackson & Sorensen, 1999: 110). Teori ini berupaya menyangkal pernyataan bahwa, mungkin untuk memperkirakan kondisi politik internasional harus mengetahui dari komposisi internal negara (Waltz dalam Burchiil & Linklater, 2009:115). Struktur internal negara sangat tidak relevan bagi sikap internasional mereka. Dalam pandangan Waltz, teori Hubungan Internasional yang terbaik adalah teori sistem kaum neorealis yang intinya memfokuskan pada struktur sistem, pada unit – unitnya yang berinteraksi, dan pada kesinambungan dan perubahan sistem (Kenneth Waltz dalam Jackson Sorensen, 1999). Neorelisme percaya akan adanya kerjasama yang terjalin diantara kedua belah pihak negara, namun tetap menjungjung tinggi kepentingan nasionalnya dalam melakukan kerjasama yang dijalin. Neoliberlis percaya bahwa struktur internasional akan menentukan posisi, struktur dan level negara dalam struktur internasional.

2.2 Kepentingan Nasional
Dalam kepentingan nasional peran ‘negara’ sebagai aktor yang mengambil keputusan dan memerankan peranan penting dalam pergaulan internasional berpengaruh bagi masyarakat dalam negerinya. Demikian pentingnya karena ini yang akan menjadi kemaslahatan bagi masyarakat yang berkehidupan di wilayah tersebut. Seorang ahli, Thomas Hobbes menyimpulkan bahwa negara dipandang sebagai pelindung wilayah, penduduk, dan cara hidup yang khas dan berharga. Demikian karena negara merupakan sesuatu yang esensial bagi kehidupan warga negaranya. Tanpa negara dalam menjamin alat-alat maupun kondisi-kondisi keamanan ataupun dalam memajukan kesejahteraan, kehidupan masyarakat jadi terbatasi.[1] Sehingga ruang gerak yang dimiliki oleh suatu bangsa menjadi kontrol dari sebuah negara.
Kepentingan nasional tercipta dari kebutuhan suatu negara. Kepentingan ini dapat dilihat dari kondisi internalnya, baik dari kondisi politik-ekonomi, militer, dan sosial-budaya. Kepentingan juga didasari akan suatu ‘power’ yang ingin diciptakan sehingga negara dapat memberikan dampak langsung bagi pertimbangan negara agar dapat pengakuan dunia. Peran suatu negara dalam memberikan bahan sebagai dasar dari kepentingannasional tidak dipungkiri akan menjadi kacamata masyarakat internasional sebagai negara yang menjalin hubungan yang terlampir dari kebijakan luar negerinya. Dengan demikian, kepentingan nasional secara konseptual dipergunakan untuk menjelaskan perilaku politik luar negeri dari suatu negara.[2] Seperti yang dipaparkan oleh Kindleberger mengenai kepentingan nasional;
“…hubungan antara negara tercipta karena adanya perbedaan keunggulan yang dimiliki tiap negara dalam berproduksi. Keunggulan komparatif (comparative advantage) tersebut membuka kesempatan pada spesialisasi yang dipilih tiap negara untuk menunjang pembangunan nasional sesuai kepentingan nasional…”[3]
 Pengertian tersebut menjelaskan bahwa keberagaman tiap-tiap negara yang ada di seluruh dunia memiliki kapasitas yang berbeda. Demikian tercipta dapat terpengaruh dari domografi, karekter, budaya, bahkan history yang dimiliki negara tersebut. Sehingga negara saat ingin melakukan kerjasama dapat melihat kondisi dari keunggulan-keungulan yang dapat menjadi pertimbangan. Pelaksanaan kepentingan nasional yang mana dapat berupa kerjasama bilateral maupun multilateral kesemua itu kembali pada kebutuhan negara. Hal ini didukung oleh suatu kebijakan yang sama halnya dengan yang dinyatakan oleh Hans J. Morgenthau bahwa kepentingan nasional merupakan; Kemampuan minimum negara-negara untuk melindungi dan mempertahankan identitas fisik, politik, dan kultural dari gangguan negara-negara lain. Dari tinjauan itu, para pemimpin suatu negara dapat menurunkan suatu kebijakanspesifik terhadap negara lain bersifat kerjasama maupun konflik.

2.3       Diplomasi
Diplomasi merupakan salah satu instrumen penting dalam pelaksanaan kepentingan nasional suatu negara. Diplomasi sebagai alat utama dalam pencapaian kepentingan nasional yang berkaitan dengan negara lain atau organisasi internasional. Melalui diplomasi ini sebuah negara dapat membangun citra tentang dirinya. Dalam hubungan antar negara, pada umumnya diplomasi dilakukan sejak tingkat paling awal sebuah negara hendak melakukan hubungan bilateral dengan negara lain hingga keduanya mengembangkan hubungan selanjutnya. Diplomasi merupakan praktek pelaksana perundingan antar negara melalui perwakilan resmi. Perwakilan resmi dipilih oleh negara itu sendiri tanpa ada campur tangan pihak lain atau negara lain. Diplomasi antar negara dapat mencakup seluruh proses hubungan luar negeri, baik merupakan pembentukan kebijakan luar negeri dan terkait pelaksanaannya. Diplomasi dikatakan juga mencakup teknik operasional untuk mencapai kepentingan nasional di luar batas wilayah yuridiksi. Ketergantungan antar negara yang semakin tinggi yang kemudian menyebabkan semakin banyak jumlah pertemuan internasional dan konferensi internasional yang dilakukan sampai saat ini.
Diplomasi juga diartikan sebagai suatu relasi atau hubungan, komunikasi dan keterkaitan. Selain itu diplomasi juga dikatakan sebagai proses interaktif dua arah antara dua negara yang dilakukan untuk mencapai poltik luar negeri masing-masing negara.[4] Diplomasi dan politik luar negeri sering diibaratkan sebagai dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Dikatakan demikian karena politik luar negeri adalah isi pokok yang terkandung dalam mekanisme pelaksanaan dari kebijakan luar negeri yang dimiliki oleh suatu negara, sedangkan diplomasi adalah proses pelaksanaan dari politik luar negeri. Oleh karena itu baik diplomasi dan politik luar negeri saling berkaitan dan mendukung satu sama lain.
Sir Ernest Satow dalam bukunya, guide to diplomati Practice memberikan karakterisasi terkait tata cara diplomasi yang baik. Sir Ernest Satow mengatakan bahwa diplomasi adalah “ the application of intelligence and tact to conduct of official relations between the government of independent states “.[5]
Diplomasi menjadi bagian yang sangat penting untuk dijadikan salah satu solusi atau jalan keluar untuk mengupayakan penyelesaian secara damai. Diplomasi dilakukan untuk mencapai suatu kepentingan nasional suatu negara. Meskipun diplomasi berhubungan dengan aktivitas-aktivitas yang damai, dapat juga terjadi di dalam kondisi perang atau konflik bersenjata karena tugas utama diplomasi tidak hanya manajemen konflik, tetapi juga manajemen perubahan dan pemeliharaannya dengan cara melakukan persuasi yang terus menerus di tengah-tengah perubahan yang tengah berlangsung.[6] Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa diplomasi adalah perpaduan antara ilmu dan seni perundingan atau metode untuk menyampaikan pesan melalui perundingan guna mencapai tujuan dan kepentingan negara yang menyangkut bidang politik, ekonomi, perdagangan, social, budaya, pertahanan, militer, dan berbagai kepentingan lain dalam bingkai hubungan internasional.


2.4       Politik Luar Negeri
            Kebijaksanaan luar negeri merupakan aktualisasi dari politik luar negeri suatu negara yang di dalamnya terdapat kepentingan nasional sebagai akumulasi keragaman kepentingan masyarakat. Politik luar negeri yang dikeluarkan oleh suatu negara dimaksudkan kepada tercapainya kesejahteraan rakyat negara tersebut. Indonesia sebagai suatu entitas dalam merumuskan politik luar negerinya berdasar pada perubahan yang terjadi di dunia internasional dan domestik.
            Dalam buku yang ditulis Miriam Budiarjo, terdapat definisi politik luar negeri sebagai “Kebijakan (policy) adalah suatu kumpulan yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok dalam usaha memiliki tujuan, kebijaksanaan itu mempunyai kekuasaan untuk melaksanakannya”. [7]Berarti bahwa politik luar negeri memiliki tujuan dalam pelaksanaannya. Kebijaksanaan luar negeri suatu negara pada hakekatnya merupakan refleksi dari keadaan dan perkembangan dalam negerinya, juga keadaan dan perkembangan sistem politik internasional dapat menjadi faktor yang turut menentukan perilaku kebijaksanaan luar negeri. Jadi, kebijaksanaan luar negeri pada pokoknya dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan eksternal perkembangan sistem politik internasional dapat menjadi faktor yang turut Menentukan perilaku kebijaksanaan luar negeri. Jadi, kebijaksanaan luar negeri pada pokoknya dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan eksternal menentukan perilaku kebijaksanaan luar negeri. Jadi, kebijaksanaan luar negeri. Berdasarkan konsep tersebut di atas maka dalam memberikan batasan tentang kebijaksanaan luar negeri, terlebih dahulu harus mengetahui kondisi internal negaranya sebelum mengeluarkan suatu politik luar negeri. Sebagai bagian dari politik luar negeri, maka politik luar negeri jika ditinjau dari segi proses maka akan erat kaitannya dengan politik dalam negeri yang didalamnya mencakup proses pengambilan kebijakan yang melibatkan keseluruhan unsur-unsur negara tetapi lebih khusus kepada badan yudikatif.[8]




BAB III
PEMBAHASAN


3.1 Biografi BJ. Habibie
Sebelum menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia yang ke-3, Bacharuddin Jusuf Habibie atau yang biasa disebut BJ. Habibie telah menempuh jalur pendidikan TK dan SD di Kota Pare-Pare dan Ujung Pandang. Kemudian ia menyelesaikan SMP di SMP Negeri 5 yang berada di Bandung pada Tahun 1951 dan melanjutkan SMA Dago di Bandung pada Tahun 1954. Lalu mengambil perguruan Tinggi di ITB Bandung, atas usaha dan kerja kerasnya BJ. Habibie mendapatkan beasiswa dari Departemen P&K atau sekarang disebut Depdiknas.[9]
Setelah menyelesaikan studi SMA nya, BJ. Habibie melanjutkan studi di Jerman pada tahun 1955-1960, ia mengambil studi mengenai Penerbangan, Spesialisasi Konstruksi Pesawat terbang di RWTH Aachen yang tepatnya berada di Jerman Barat. Kemudian, BJ. Habibie mendapatkan gelar Diploma di Jerman tahun 1960 dari Technische Hochschule,  dan pada tahun 1965 BJ. Habibie mendapatkan gelar Doktor dengan Predikat summa cum laude dari tempat yang sama. Karier Habibie dapat dikatakan sangat lancar dimana ia sebelumnya bekerja pada perusahaan Humburger Flugzegbau GMBH, Hamburg, Jerman.
Pada tahun 1965- 1969 , menjabat sebagai kepala Riset dan Pengembangan Analisis Struktur. Kemudian pada Tahun 1969- 1973 , Ketika Habibie Pindah kerja di MBB Gmbh, di Hamburg dan Munchen  ia menjabat Kepala Divisi Metode dan Teknologi pada Pesawat Komersial dan Angkut Militer. Pada Tahun 1973, Presiden Soeharto meminta BJ. Habibie untuk pulang kembali ke Indonesia, maka atas permintaan tersebut maka pada tahun 1974, BJ. Habibie bersedia pulang kembali ke Indonesia untuk memenuhi Panggilan Presiden Soeharto tersebut.[10]
Pada tahun 1974-1978, BJ. Habibie ditugaskan untuk memimpin Divisi Advanced Technology Pertamina. Pada tahun 1978, BJ Habibie ditujukan sebagai Menteri Riset dan Teknologi( Menristek). Sejak BJ. Habibie menjabat menjadi menteri negara riset dan teknoogi (Minristek) sekaligus Ketua Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi ( BPPT) tahun 1978-1998. Sejak saat itu, Indonesia menjadi berkembang dan Indonesia menghasilkan Pesawat Terbang Pertama buatan Indonesia CN-235 dan N-250.55 dengan menggunakan hubungannya dengan perusahaan Jerman, dia memulai dengan merakit Helikopter Messerchmitt di sebuah hangar di Bandung.
            Awal masuknya BJ. Habibie terjun ke dunia politik disebabkan karenya adanya tawaran kalangan ICMI yang membawa ia menjadi Ketua Umum ICMI. BJ. Habibie belajar mengenai perpolitikan dari Nol. BJ. Habibie mempunyai alasan mengapa ia harus terjun ke dalam dunia perpolitikan. Karena menurutnya revolusi yang di percepat dalam bidang teknologi terbukti berhasil di China dan India, berkat dukungan politik dan tersedianya pasar yang cukup besar. BJ Habibie kecewa terhadap Dana Moneter Internasional atau IMF ketika merekomendasikan agar bantuan keuangan bagi Industri Pesawat Terbang Nusantara, IPTN, dan PT PAL di hentikan. Aset bangsa yang dipertaruhkan di Industri Teknologi Tinggi harus diberhentikan begitu saja.
            BJ. Habibie juga telah mendapatkan pengakuan di Dunia Internasional, dimana ia menjadi anggota kehormatan di berbagai lembaga di bidang ke dirgantaraan, antara lain di Gesselschaft fuer luft und Raumfahrt (Lembaga Penerbangan dan Angkasa Luar) Jerman, The Royal Aeronautical Society London( Inggris), The Royal Swedish Academy of Engineering Sciences(Swedia), The Academie Nationale de’Air et de ‘Escape (Perancis), dan The US Academy of Engineering (Amerika Serikat).
Karier Politik BJ. Habibie di Indonesia, sebelum menjabat Presiden adalah Wakil Presiden (Maret 1998-21 Mei 1998), sebelumnya dalam kabinet pembangunan VII di bawah presiden Soeharto ia menjabat Menteri Negara Riset dan Teknologi sejak Tahun 1978 sampai maret 1998 BJ. Habibie ingin menjadikan Indonesia berkecukupan secara teknologi.Sewaktu ada masa pemerintahan Presiden Soeharto, tidak ada orang yang menyangka bahwa BJ. Habibie dapat menjadi orang nomor 1 di Indonesia.
Karena dianggap bahwa BJ. Habibie hanya dikenal sebagai orang yang hanya mengerti Teknologi saja. Sampai pada awal dekade 90 an, BJ. Habibie memasuki ranah perpolitikan dan BJ. Habibie banyak mendapatkan respon postif. Banyak para Intelektual mendukung BJ. Habibie dengan impian tentang masyarakatr sipil. Begitulah biografi singkat dari Bacharuddin Jusuf Habibie atau yang biasa disebut BJ. Habibie.[11]

3.2 Masa Kepemerintahan BJ. Habibie
Runtuhnya kepemimpinan Soeharto dari jabatan kepresidenan yaitu pada tanggal 21 Mei 1998 yang menjadi awal lahirnya era Reformasi di Indonesia. Perkembangan politik ketika itu ditandai dengan pergantian presiden di Indonesia. Seperti telah di bahas pada kronologi reformasi Indonesia tahun 1998, bahwa dengan segera setelah Soeharto mengundurkan diri, Mahkamah Agung mengambil sumpah BaharuddinJusuf Habibie sebagai presiden. Masa pemerintahan Presiden BJ. Habibie berlangsung sangat singkat yaitu dari tanggal 21 Mei 1998 sampai dengan tanggal 20 Oktober 1999.[12]
Pengangkatan BJ. Habibie sebagai presiden ini memunculkan kontroversi di masyarakat, pihak yang pro menganggap pengangkatan Habibie sudah mumpuni dalam mengemban jabatan barunya, sedangkan pihak yang kontra menganggap bahwa Habibie sebagai kelanjutan dari era Soeharto dan pengangkatannya dianggap tidak konstitusional. Naiknya BJ. Habibie menggantikan Soeharto mengundang perdebatan hukum dan kontroversial karena mantan presiden Soeharto menyerahkan kekuasaannya secara sepihak kepada B.J Habibie. Dikalangan para mahasisiwa perbuatan atas pelantikan Habibie terbagi atas tiga bagian, yakni:
a. Menolak BJ. Habibie karena merupakan produk orde baru.
b. Bersikap netral karena pada saat itu tidak ada pemimpin negara yang diterima oleh seluruh
kalangan sementara jabatan presiden tidak boleh kosong.
c. Para mahasiswa berpendapat bahwa adanya pengalihan kekuasaan ke B.J Habibie itu adalah 
    sah dan konstusional.
Pengambilan sumpah oleh BJ. Habibie sebagai presiden dilakukan di Credential Room, Istana Merdeka. Dalam pidato yang pertama setelah pengangkatannya, B.J. Habibie menyampaikan hal-hal sebagai berikut:
a. Mohon dukungan dari seluruh rakyat Indonesia,
b. Akan melakukan reformasi secara bertahap dan konstitusional di segala bidang,
c. Akan meningkatkan kehidupan politik pemerintahan yang bersih dan bebas dari praktik-
     praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)
d. Akan menyusun kabinet yang sesuai dengan tuntutan zaman.
Setelah kondisi yang tidak stabil, kemudian langkah-langkah yang dilakukan oleh Presiden BJ. Habibie untuk mengatasi keadaan yang carut-marut dan menciptakan Indonesia baru yang bebas KKN dengan cara sebagai berikut:
a.             Membentuk Kabinet Reformasi Pembangunan
Kabinet Reformasi Pembangunan dibentuk pada tanggal 22 Mei 1998, terdiri atas unsur-unsur perwakilan dari ABRI, Golkar, PPP, dan PDI. Pada tanggal 25 Mei 1998 diadakan pertemuan pertama. Pertemuan ini berhasil membentuk komite untuk merancang undang-undang politik yang lebih longgar, merencanakan pemilu dalam waktu satu tahun dan menyetujui masa jabatan presiden dua periode. Upaya ini mendapat sambutan positif dari masyarakat.
b.            Perbaikan bidang ekonomi
Langkah-langkah yang dilakukan B.J. Habibie agar bangsa Indonesia dapat segera keluar dari krisis ekonomi ialah:
1.      Melakukan rekapitulasi perbankandan menerapkan independensi Bank Indonesia agar lebih fokus mengurusi perekonomian.
Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independent berdasarkan UU No. 30 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia. Dalam rangka mencapai tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, Bank Indonesia didukung oleh 3 (tiga) pilar yang merupakan 3 (tiga) bidang utama tugas Bank Indonesia yaitu menetapkan dan melaksanakan kebijaksanaan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, mengatur dan mengawasi Bank.
2.      Merekonstruksi perekonomian nasional
3.      Menaikkan nilai tukar rupiah
4.      Melikuidasi beberapa bank bermasalah, dan melaksanakan reformasi ekonomi seperti yang disyaratkan IMF.


c.             Melakukan reformasi di bidang politik
Reformasi di bidang politik yang dilakukan adalah dengan memberikan kebebasan kepada rakyat Indonesia untuk membentuk partai-partai politik, serta rencana pelaksanaan pemilu yang diharapkan menghasilkan lembaga tinggi negara yang benar-benar representatif. B.J. Habibie membebaskan narapidana politik seperti Sri Bintang Pamungkas (mantan anggota DPR yang dipenjara karena mengkritik Presiden Soeharto) dan Muchtar Pakpahan (pemimpin buruh yang dituduh memicu kerusuhan di Medan tahun 1994). Beliau juga mencabut larangan berdirinya serikat-serikat buruh independen. Amnesti pembebasan Sri Bintang Pamungkas dan Muchtar Pakpahan dikukuhkan dalam keppres No. 80 Tahun 1998.

d.            Kebebasan menyampaikan pendapat
Presiden BJ. Habibie mengeluarkan kebijakan untuk membuat Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Tugasnya adalah mencari segala sesuatu yang berhubungan dengan kerusuhan 13-14 Mei 1998 di Jakarta. Ketuanya adalah Marzuki Darusman. Presiden BJ. Habibie juga mengeluarkan satu kebijakan yang tertuang dalam undang-undang No. 9 Tahun 1998 yang berisi tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dan Tata Cara Berdemonstrasi. Bentuk penyampaian pendapat di muka umum dapat berupa unjuk rasa atau demonstrasi, pawai, rapat umum, dan mimbar bebas. Ketentuan tersebut dinyatakan pada pasal 9 (2) UU No. 9 Tahun 1998. Presiden B.J. Habibie juga mencabut UU No. II/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Aksi Subversi dengan mengeluarkan UU No. 26 Tahun 1999.
e.             Pelaksanaan Sidang Istimewa MPR 1998
Untuk mengatasi krisis politik berkepanjangan, maka diadakan sidang istimewa MPR yang berlangsung dari tanggal 10-13 November 1998. Menjelang diselenggarakan sidang tersebut terjadi aksi unjuk rasa para mahasiswa dan organisasi sosial politik. Untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan dilaksanakan pengamanan. jumlah aparat yang dikerahkan yaitu polisi dan TNI mencapai 150 SSK (Satuan Setingkat Kompi). Untuk pertama kalinya pengamanan Sidang Istimewa MPR melibatkan warta sipil yang dikenal dengan nama Pam Swakarsa. Anggota Pam Swakarsa terdiri dari Forum Umat Islam Penegak Keadilan dan Konstitusi (Furkon) dengan basis di Masjid Istiqlal, organisasi kepemudaan seperti Pemuda Pancasila, Banser (GP Ansor), AMPI, FKPPI, dan Kelompok Pendekar Banten.
Dengan adanya tekanan massa yang terus-menerus, akhirnya pada tanggal 13 November 1998 Sidang Istimewa MPR 1998 ditutup.Dalam Sidang Istimewa MPR tersebut terdapat perombakan besar-besaran terhadap sistem hukum dan perundang-undangan.Sidang istimewa MPR berakhir dengan menghasilkan 12 ketetapan yang diwarnai voting dan aksi walk out dari FPP MPR menyangkut keberadaan ABRI di dalam lembaga perwakilan. Berikut 12 ketetapan MPR 1998 yang dihasilkan tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Ketetapan MPR No. VII Tahun 1998, mengenai Perubahan dan Tambahan atas
ketetapan MPR No. I Tahun 1983 tentang Perubahan Tata Tertib MPR.
2. Ketetapan MPR No. VIII Tahun 1998, mengenai Pencabutan Ketetapan MPR No. IV Tahun 1993 tentang Referendum.
3.  Ketetapan MPR No. IX Tahun 1998, mengenai Pencabutan Ketetapan MPR No. II Tahun 1998 tentang GBHN.
4.  Ketetapan MPR No. X Tahun 1998, tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara.
5. Ketetapan MPR No. XI Tahun 1998, tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.
6. Ketetapan MPR No. XII Tahun 1998, mengenai Pencabutan Ketetapan MPR No. V Tahun 1998 tentang Pemberian Tugas dan Wewenang Khusus kepada Presiden/Mandataris MPR dalam Menyukseskan dan Mengamankan Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila.
7. Ketetapan MPR No. XIII Tahun 1998, tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.
8. Ketetapan MPR No. XIV Tahun 1998, mengenai Perubahan dan Tambahan Ketetapan MPR No. III Tahun 1998 tentang Pemilu.
9. Ketetapan MPR No. XV Tahun 1998, tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan Pembangunan dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang berkeadilan serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
10. Ketetapan MPR No. XVI Tahun 1998, tentang Politik Ekonomi dalam Rangka   Demokrasi Ekonomi.
11. Ketetapan MPR No. XVII Tahun 1998, tentang Hak Asasi Manusia.
12. Ketetapan MPR No. XVIII Tahun 1998, mengenai Pencabutan Ketetapan MPR No. II Tahun 1978 tentang Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Eka Prasetya Pancakarsa).
Kemudian dari 12 ketetapan MPR tersebut, terdapat 4 ketetapan yang memperlihatkan adanya upaya untuk mengakomodasi tuntutan reformasi, yaitu sebagai berikut:
1. Ketetapan MPR No. VIII Tahun 1998, yang memungkinkan UUD 1945 diamandemen.
2. Ketetapan MPR No. XII Tahun 1998, mengenai Pencabutan Ketetapan MPR No. IV Tahun 1993 tentang Pemberian Tugas dan Wewenang khusus kepada Presiden/Mandataris MPR dalam Rangka Menyukseskan Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila.
3. Ketetapan MPR No. XIII Tahun 1998, tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden Maksimal Dua Periode.
4. Ketetapan MPR No. XVIII Tahun 1998, menyatakan bahwa Pancasila Tidak Lagi Dijadikan sebagai Asas Tunggal. Seluruh organisasi politik tidak lagi wajib menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi.

3.3 Pristiwa-Peristiwa Penting yang Terjadi Pada Masa Kepemimpinan Presiden
B.J.Habibie
1.      Pelaksanaan Pemilu 1999
Keluarnya kebijakan kebebasan berekspresi ditandai dengan main banyaknya partai politik baru yang terdiri. Partai-partai plitik tersebut bersiap menyambut datangnya pemilu bebas pertama dalam kurun waktu 44 tahun. Pemilu 1999 bertujuan untuk memilih anggota MPR, DPR, dan DPRD. Sementara itu, pemilihan Presiden dan wakilnya masih dilakukan oleh anggota MPR. Pemilu tahun 1999 diikuti oleh 48 partai. Kampanyenya secara resmi dimulai pada tanggal 19 Mei 1999.
Pada pemilu 1999, muncul lima partai besar yaitu, Partai Demokrat Indonesia Perjuangan (PDIP), Golongan Karya (Golkar), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Amanat Nasional (PAN). Suara terbanyak diraih oleh partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Sebelum berlangsungnya pemilu, para tokoh pemimpin Indonesia melakukan pertemuan di kediaman K.H. Abdurrahman Wahid di Ciganjur.
Para tokoh tersebut adalah K.H. Aburrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Sukarnoputri, Amien Rais, dan Sri Sultan Hamengku Buwana X. Selanjutnya, pertemuan ini dikenal sebagai pertemuan kelompok Ciganjur. Pertemuan ini menghasilkan seruan moral agar para pemimpin lebih memikirkan nasib bangsa dan negara Republik Indonesia.


2.      Pembebasan Tahanan Politik
Pemerintahan B.J. Habibie mengambil prakarsa untuk melakukan koreksi. Sejumlah tahanan politik dilepaskan. Tiga hari setelah menjabat sebagai presiden, Habibie membebaskan Sri Bintang Pamungkas dan Muchtar Pakpahan. Tahanan politik dilepaskan secara bergelombang akan tetapi, Budiman Sujatmiko dan beberapa petinggi Partai Rakyat Demokrat (PRD) yang ditahan oleh pemerintah Orde Baru baru dibebaskan pada masa Presiden K.H. Abdurrahman Wahid.

3.      Lepasnya Timor Timur
Sejarah kelam yang terjadi pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie adalah Timor Timur dari Indonesia. Pada tanggal 3 Februari 1999, pemerintahan B.J. Habibie mengeluarkan opsi terhadap masalah timor timur. Opsi pertama menerima otonomi khusus atau tetap menjadi wilayah RI. Opsi kedua Merdeka dari wilayah Indonesia. Untuk memutuskan masalah timor timur tersebut, diadakan jajak pendapat yang diikuti oleh seluruh rakyat timor timur.
Menurut hasil jajak pendapat yang dilaksanakan pada 30 Agustus 1999 sebanyak 78.5% rakyat Timor Timur memilih untuk memisahkan diri atau merdeka dari Indonesia. Pada bulan oktober 1999 MPR membatalkan dekret 1976 yang berisi tentang integrasi Timor Timur ke wilayah Indonesia. Selanjutnya otoritas transisi PBB (UNTAET), mengambil alih tanggung jawab untuk memerintah Timor Timur dan berbah menjadi Timor Leste, sehingga kemerdekaan penuh dicapai pada bulan Mei 2002.

4.      Munculnya Beberapa Kerusuhan dan Gerakan Separatis
Kerusuhan terjadi menyangkut kerusuhan antar etnis dan antar agama. Kerusuhan antar etnis misalnya kerusuhan antar etnis di Cilacap dan di Jember, serta kekerasan terhadap kaum pendatang Madura di Kalimantan Barat. Kerusuhan serupa juga terjadi dikampung-kampung dan dikota-kota diwilayah Indonesia. Serangkaian peristiwa tragis terjadi di Jawa Timur dari Malang sampai Banyuwangi pada akhir tahun 1998. Tersebar isu adanya segerombolan orang yang berpakaian ala ninja mengancam ketentraman penduduk.
Selain itu, muncul ancaman sihir hitam (Santet) di wilayah Jawa Timur dan Ciamis. Beberapa kerushan terburuk terjadi pada konflik antar agama di Ambon. Kerusuhan bersifat sparatis juga terjadi di Aceh dan Papua. Pada bulan Juli 1998, para demonstran Papua mengibarkan bendera organisasi papua merdeka (OPM) di Biak. Pada bulan Mei 1999 para demonstran dari masyarakat Papua Barat menuntut kemerdekaan bagi tanah kemerdekaan mereka.
Akan tetapi tuntutan tersebut tidak mendapatkan duukungan dari kekuatan-kekuatan lain. Kerusuhan terburuk di Papua terjadi pada bulan september 1999. Dalam kerusuhan tersebut, penduduk setempat membakar gedung DPRD berseta gedung-gedung lain dan kendaraan bermotor.

5.      Sidang Umum (SU) MPR 1999
Pada bulan Oktober 1999, MPR mengadakan sidang umum. Sesuai hasil keputusan SU Amin Rais terpilih dan ditetapakan sebagai ketua MPR menyisihkan Matori Abdul Jalil dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Adapun Akbar Tanjung terpilih sebagai ketua DPR.       Pada saat pemilihan Presiden ada 3 tokoh yang mungkin sebagai calon presiden ketiga tokoh tersebut adalah KH. Abdurrahman Wahid dari partai kebangkitan bangsa (PKB), Megawati sokarno putri dari partai demokrasi indonesia perjuangan (PDIP), dan Yusril Ihza Mahendra dari partai bulan bintang (PBB).
Namun Yusril Ihza mahendra mengundurkan diri sebelum diadakan pemungutan suara oleh anggota MPR. Pada saat pemungutan suara KH. Abdurrahman Wahid mengungguli Megawati Sukarno Putri dalam pemungutan suara. Berdasarkan hasil tersebut KH. Abdurrahman Wahid ditetapkan menjadi wakil Presiden RI mengalahkan Hamzah Haz dari partai persatuan pembangunan (PPP) dalam pemilihan wakil presiden.

3.4  Aktor yang Berpengaruh dalam Pembuatan Kebijakan Luar Negeri Periode BJ. Habibie
Politik luar negeri tentu tidak lepas dari peran aktor pembuat kebijakan luar negeri. Polugri era reformasi diwarnai oleh peran dari beberapa aktor: presiden, sebagai aktor utama, serta TNI sebagai aktor sekunder.
1.      Presiden
Sebagai presiden, Habibie memang berperan besar dalam proses pengambilan kebijakan. Pada awal masa pemerintahannya, banyak terdapat permasalahan legitimasi dan krisis moneter, yang mengakibatkan kurangnya kepercayaan masyarakat domestik dan internasional terhadapnya.Untuk memperoleh dukungan internasional, Habibie menghasilkan dua Undang-Undang (UU) menyangkut masalah Hak Asasi Manusia (HAM). Selain itu, pemerintahan B.J. Habibie pun berhasil mendorong ratifikasi empat konvensi internasional dalam masalah hak-hak pekerja, serta membentuk Komnas Perempuan.
Dalam permasalahan Timor-Timur, Habibie juga berusaha untuk mencari dukungan internasional dengan menawarkan referendum, apakah Timor-Timur ingin tetap menjadi bagian dari Republik Indonesia ataukah ingin melepaskan diri dari Indonesia.Sayangnya, kebijakan referendum Habibie yang dimaksudkan untuk mencari dukungan internasional ini malah berbalik menyerang Habibie karena ternyata Timor-Timur lebih memilih opsi yang kedua untuk memerdekakan wilayahnya sendiri terlepas dari Indonesia.
Rakyat menganggap Habibie bertanggung jawab atas lepasnya Timor-Timur dari Indonesia.Belum lagi isu tindakan kekerasan yang dilakukan TNI di wilayah Timor-Timur, sehingga dunia internasional juga menganggap Habibie tidak mampu mengendalikan TNI, karena TNI mendukung referendum Timor-Timur namun nyatanya terdapat tindak kekerasan yang dilakukan TNI di Timor-Timur.[13]


2.      TNI
Pada masa reformasi era presiden BJ Habibie, TNI adalah salah satu aktor politik luar negeri yang cukup berpengaruh dalam kepemerintahan negara Republik Indonesia.Dalam masa pemerintahan Presiden BJ Habibie yang melanjutkan era Soeharto, beliau membuat kebijakan terkait reformasi militer.Ada beberapa hal yang perlu dicatat sebagai bagian positif penataan militer pada era ini dalam hal penataan masalah pertahanan dan kemanan serta perubahan paradigma militer.Pada tanggal 1 Februari 1999, BJ Habibie mengesahkan UU No.4 tahun 1999 tentang Susduk MPR, DPR dan DPRD. Didalam Undang-Undang ini diatur tentang keberadaan militer didalam MPR, DPR dan DPRD sebagai berikut:
·         Jumlah anggota MPR sebanyak 700 orang: DPR, 500 orang. Utusan Daerah 135 orang.
·         Jumlah anggota DPR sebanyak 500 orang dimana anggota ABRI yang diangkat sebanyak 38 orang.
·         Jumlah Anggota DPRD I sekurang-kurangnya 45 orang dan maksimal 100 orang termasuk 10% ABRI yang diangkat.
·         Anggota DPRD II sekurang-kurangnya 20 orang dan maksimal 45 orang termasuk 10% ABRI yang diangkat.
·         Jumlah Jumlah anggota DPR / MPR ABRI yang diangkat di dalam UU No.4 tahun 1999, lebih sedikit jumlahnya dibandingkan Undang-Undang sebelumnya UU No.5 tahun 1995 sebanyak 75 orang.Selain itu, Habibie melakukan perubahan dalam ABRI dengan merubah nama ABRI menjadi TNI, serta memisahkan TNI dengan Polri.

3.5  Fokus Kebijakan Luar Negeri Periode Presiden B.J Habibie
Politik luar negeri Indonesia dari awal merdeka hingga sekarang mengalami banyak pasang surut seiring dengan perubahan tampuk kepemimpinan.Lain pemimpin, lain karakter dan fokus politik luar negerinya.Hal ini karena berdasarkan skema tahapan pembuatan kebijakan luar negeri Kegley menjabarkan bahwa hal-hal yang mempengaruhi pembuatan kebijakan luar negeri ada 3 yaitu kondisi internasional, kondisi domestik, karakter pemimpin.
Fokus politik luar negeri Indonesia pun berubah-ubah dari masa ke masa mengikuti perubahan kondisi politik global dan politik domestik yang ada. Sering kali, fokus politik luar negeri di era kepemimpinan tertentu menjadi pembeda politik luar negeri di era kepemimpinan tersebut dengan era kepemimpinan lain. Fokus politik luar negeri Indonesia era awal reformasi pun tak luput dari sorotan meskipun B.J Habibie, presiden di awal reformasi, hanya menjabat tidak kurang dari 2 tahun.
Dalam menjalankan politik luar negeri era reformasi, terdapat 3 fokus utama yaitu pemulihan citra Indonesia, mendahulukan stabilisasi sosial dan politik, memobilisasi sumber daya demi memperoleh bantuan ekonomi.[14]
a) Pemulihan citra Indonesia
Fokus pertama adalah pemulihan citra Indonesia di mata internasional.Sebab, ketika orde baru berada di ambang kehancuran, banyak permasalahan yang diwariskan kepada kepemimpinan yang baru, utamanya adalah krisis multidimensional yang menyebabkan keterpurukan yang dialami Indonesia tidak sebatas permasalahan ekonomi-politik tetapi juga merambah ke aspek sosial-budaya.
Realitas ekonomi dan politik domestik pasca orde baru telah menyebabkan posisi dan kredibilitas Indonesia di luar negeri sangat merosot. Pemulihan citra ini dilakukan agar pemerintah Indonesia yang belum mendapat legitimasi yang kuat di lingkungan domestik karena dianggap hanya meneruskan langkah orde baru, mendapat dukungan internasional lagi selepas krisis.Upaya pemulihan citra ini memperoleh keberhasilan, meskipun tidak sepenuhnya, dibuktikan dengan Indonesia diberi kepercayaan oleh dua institusi penting di kancah internasional yakni IMF dan World Bank.
b)  Mendahulukan stabilisasi sosial, ekonomi dan politik
Fokus kedua adalah mendahulukan stabilisasi ekonomi, sosial dan politik. Hal ini karena pemerintahan BJ. Habibie hirau cukup besar terhadap perbaikan dalam negeri akibat krisis multidimensional.  Karakter politik luar negeri Indonesia era pemerintahan BJ Habibie dikatakan no profile, hal tersebut karena tidak adanya peranan Indonesia secara jelas dalam implementasi politik luar negerinya.
Dalam usaha menjaga stabilitas sosial, ekonomi dan politik dalam negeri Habibie berusaha mendapatkan  dukungan  internasional  melalui  berbagai  cara, antara lain :  pemerintahan Habibie menghasilkan dua Undang- Undang (UU) yang berkaitan dengan perlindungan atas hak asasi manusia yaitu UU no.5/1998 mengenai Pengesahan Convention against Torture and other Cruel,Inhuman or Degrading Treatment or Punishment dan UU no.29/1999 mengenai Pengesahan Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination 1965.
Selain itu, pemerintahan Habibie berhasil mendorong ratifikasi empat konvensi internasional dalam masalah hak-hak pekerja. Pembentukan Komnas Perempuan juga dilakukan pada masa pemerintahan Habibie. akan tetapi Habibie kurang berhasil dalam menyikapi masalah Timor-Timur. Pada kasus Timor-Timur Juni 1998 Habibie mengeluarkan pernyataan adanya pemberlakuan otonomi seluas-luasnya untuk provinsi Timor Timur. Hingga pada akhirnya Indonesia harus kehilangan Timor- Timur, akibatnya Habibie kehilangan kepercayaan baik dimata masyarakat internasional maupun domestik.
c)  Memobilisasi sumber daya demi memperoleh bantuan ekonomi.
Implementasi yang dilakukan Habibie terutama lebih ditekankan pada upaya pendekatan kepada Barat, utamanya Eropa.sebagai upaya untuk memperoleh dukungan kepemimpinannya yang mewarisi carut-marutnya ekonomi dan politik. Kepemimpinan Habibie akhirnya mendapat dukungan internasional ketika menawarkan referendum kepada Timor-Timur.
Dengan catatan positif bidang HAM Habibie relatif berhasil menarik perhatian internasional sebagai kompensasi atas minimnya legitimasi dalam negeri, seperti terlihat dalam hubungan Habibie dan IMF.jika di era Soeharto, IMF mendesak menghentikan proyek pembuatan pesawat rancangan Habibie yang berbiaya tinggi, belakangan di era Habibie justru tidak dipersoalkan lagi. IMF dan bank dunia justru mencairkan program bantuan untuk mengatasi krisis ekonomi sebesar 43 milliar dolar AS, bahkan menawarkan tambahan bantuan sebesar 14 milliar dolar AS.

3.6  Sejarah Timor Timur (Bergabung dan Terpisahnya dari Indonesia)
Timor Timur merupakan nama yang sudah tidak asing lagi untuk didengar, namun sejarahnya masih samar ditelan zaman. Sejarah mengenai Timor Timur tidak terlepas dari sejarah reformasi Indonesia dan kerusuhan Mei tahun 1998 yang menjadi pembuka kran demokrasi utuh di Indonesia.Jika membicarakan mengenai Timor Timur, pikiran kita mungkin akan melayang pada nama-nama terkenal seperti Prabowo Subianto yang sempat mencalonkan diri menjadi Presiden Indonesia. Atau mungkin bagi orang yang kehidupannya keras tidak akan asing dengan Hercules sang preman Tanah Abang yang legendaris.[15]
Hercules merupakan pengubah sejarah kepremanan di Tanah Abang. Namun diantara nama-nama yang terkenal di telinga orang Indonesia, Xanana Gusmao menjadi nama yang sangat erat dengan sejarah Timor Timur (TimTim).Bumi Loro Sae –sebutan Timor Timur- bukanlah daerah asli milik Indonesia. Namun ia mewarnai sejarah Indonesia dengan banyak warna yang sangat meriah. Wilayah di bagian Timur Indonesia tersebut tidak menjadi bagian dari sejarah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Justru ada banyak perjuangan sendiri yang dilakukan oleh masyarakat Timor Timur dalam memperjuangkan kemerdekaannya.
Sejarah Timor Timur terbagi menjadi 2 bagian penting. Yaitu sejarah bergabungnya dengan Indonesia dan sejarah terlepasnya dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kerusuhan, tragedi, air mata dan perjuangan rakyat Timor Timur patut diapresiasi oleh semua pihak. Terutama negara-negara besar yang menurut para ahli politik menjadi pengaruh kuat pada sejarah Timor Timur.


3.6.1 Timor Timur Bergabung dengan Indonesia
·         Revolusi Bunga
Sejarah yang dibuat oleh rakyat Timor Timur berawal dari munculnya revolusi bunga (red flower’s revolution) di Portugal. Pada saat itu, pemerintahan dalam negeri Portugal sangat buruk. Terjadi kerusuhan dan chaos yang disebabkan oleh kudeta militer terhadap Dr. Antonio De Oliveire Salazar. Kudeta ini dinahkodai oleh Jenderal De Spinola.
Akibat dari revolusi bunga ternyata tidak hanya mengacaukan kondisi politik dan perekonomian Portugal. Lebih dari itu, sebagai negara penjajah yang sudah menerapkan kolonialisme dan mempunyai beberapa negara koloni, Portugal memiliki kewajiban mengurusi wilayah-wilayah koloninya. Salah satu daerah koloni milik Portugal yang telah dimiliki sejak masa penjajahan Belanda di Indonesia.
Pemerintah Timor Timur telah kewalahan menghadapi kudeta militer yang terus menerus menyerang pemerintahan. Akhirnya dari revolusi bunga lahirlah kebijakan yang membebaskan daerah koloni Portugal menentukan sendiri nasibnya. Politik yang dulunya tabu bagi warga sipil mulai dilaksanakan secara mandiri dan bebas menentukan arah masa depan bangsa. Begitu pula dengan rakyat Timor Timur yang dicengkeram Portugal.
·         Timbul Golongan
Karena diberikan kebebasan oleh Portugal, di golongan rakyat Timor Timur pun timbul beberapa golongan partai politik yang berbeda arah tujuan. Meskipun sudah tidak lagi menjajah, Portugal masih berkewajiban mengurus masa depan Timor Timur sampai jelas. Sebagai tindak lanjut dari tugas tersebut, Portugal yang sudah lemah dari dalam mendatangi Indonesia.
Dipilih Indonesia karena negara ini lebih kuat dan menjanjikan dibanding negara lain di dekat Timor Timur. Lagi pula Indonesia merupakan negara merdeka, berdaulat dan bahkan secara tidak langsung adat istiadat sampai kebudayaannya banyak yang diadopsi oleh warga Timor Timur. Sehingga ada ikatan batin yang erat antara rakyat Timor Timur dengan wilayah merah putih.
Dr. Antonio De Almeida Santos bertindak sebagai Menteri Seberang Lautan Portugal mendatangi Indonesia untuk membicarakan permasalahan Timor Timur. Menteri tersebut mendatangi Presiden RI yang saat itu dijabat oleh H. Soeharto dengan kekuasan orde barunya yang gagah pada tanggal 16 sampai 19 Oktober 1974.
Setelah pembicaraan dengan Indonesia, muncullah beberapa kubu politik di Timor Timur. Kubu tersebut adalah sebagai berikut:[16]
a)      Fretilin yang dulu bernama ASDT. Fretilin (Frente Revolutinaria De Timor Leste Independente menghendaki Timor Timur merdeka dan berdaulat di atas kaki sendiri. Fransisco Xavier Do Amaral menjadi tumpuan rakyat Timor Timur yang menginginkan kebebasan sendiri, karenanya dia menjabat sebagai pimpinan partai Fretilin ini.
b)      AITI (APODETI), Partai Buruh (Pratido Trabalhista), dan KOTA maunya Timor Timur lepas dari Portugal dan menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mereka berargumen bahwa Indonesia dan Timor Timur tidak dapat terpisahkan. Sejarah masa lalu sempat memberikan kenangan hubungan kedua wilayah tersebut. Bahkan Timor Timur merasa terkait dengan sejarah bahasa Indonesia yang dalam prakteknya banyak dipakai sebagai bahasa komunikasi mereka.
c)      UDT (Uni Demokrasi Timor) ingin Timor Timur bergabung dengan negara Portugal yang menjadi induk semangnya bertahun-tahun. Alasan Mario Vegas Carascalao sebagai pemimpin partai untuk tetap menjadi bagian dari Portugis karena Timor Timur tidak memiliki potensi merdeka. Timor Timur masih menjadi negara bekas jajahan Portugal yang sama sekali tidak memiliki persiapan untuk merdeka sehingga dari segi ekonomi, politik dan taraf hidup rakyatnya dikhawatirkan kondisi Timor Timur jika merdeka sendiri justru semakin terpuruk dan miskin.
Ketiga kubu politik di atas sama-sama ingin mencapai tujuannya sendiri. Namun di kemudian hari, UDT memutuskan bergabung dengan kubu pro bergabung dengan Indonesia. Jadi ia masuk bersama 3 partai lain yang sudah lebih dulu menyuarakan pendapat mayoritas rakyat Timor Timur.
·         Keputusan Timor Timur
Di hari lain, Fretilin nekad memproklamasikan berdirinya negara Timor Timur. Negara baru ini mendudukkan Xavier Do Amaral yang awalnya menjadi pemimpin partai sekarang sebagai presiden. Negaranya dinamai Republik Demokrasi Timor Timur dan dideklarasikan tanggal 28 November 1975.
Sebagai aksi balasan dan usaha mempertahankan tujuan dari kubu lawan, gabungan empat partai politik yang lain turut mengambil tindakan sebagai sikap tanggapan atas kelancangan yang dilakukan Fretilin. Mereka pun membuat deklarasi lain yang dilakukan sehari setelah proklamasi kemerdekaan Timor Timur. Tepatnya pada tanggal 29 November 1975, Kubu ini mengumumkan telah bergabung dengan NKRI. Namun penandatanganan sebagai tanda resminya baru dilaksanakan akhir November tanggal 30 tahun 1975. Kemudian proklamasi ini dikenal dengan nama proklamasi Balibo karena dilangsukan di Balibo.
Kubu pro Indonesia menunjukkan tekad yang tidak main-main dengan keinginannya bergabung bersama Indonesia. Mereka menyelenggarakan Pemerintahan Sementara Timor Timur (PSTT) di tanggal 17 Desember 1975 sebagai bentuk kekuatan hukum dan keseriusan mereka dalam menjadi bagian dari negara berdaulat.
Keputusan Fraksi pro Indonesia baru menyampaikan maksudnya secara resmi kepada Presiden Soeharto di tanggal 7 Juni 1976. Keinginan berintegrasi dengan Indonesia diterima oleh Preside RI 10 hari setelah surat tersebut sampai di Jakarta. Sebagai bukti tertulis diterimanya Timor Timur menjadi provinsi ke-27 Indonesia, Presiden mengeluarkan UU No. 7 Tahun 1976. Arnodo Dos Reis Araujo bersama Fransisco Xavier Lope DaCruz menjadi pasangan gubernur dan wakilnya yang perdana.
Seusai dikeluarkan keputusan resmi dari pemerintahan Indonesia, pihak Indonesia yang berinduk di Jakarta mengerahkan segenap usaha pembenahan di Timor Timur. Bukan hanya kerusuhan, melainkan juga usaha meningkatkan taraf hidup rakyat Timor Timur yang rendah, dan usaha meratakan pembangunan di bidang infrastruktur, ekonomi dan kesehatan sebagaimana wilayah RI lain yang juga mengalami pembangunan.
3.6.2 Timor Timur Terlepas dari Indonesia
·         Tidak Puas
Setelah sekira 24 tahun bersama dengan Indonesia, Timor Timur akhirnya menyalahi janji kesetiannya sendiri yang dulu diabdikan untuk Indonesia. Namun di balik Tragedi Timor Timur yang menyedihkan, ada hubungan tak terlihat antara kasus ini dengan sejarah keruntuhan Uni Soviet.
Keanehan menyeret nama sejarah Uni Soviet dalam sejarah Timor Leste bukan tanpa alasan. Kerusuhan yang terjadi di akhir abad 19 tersebut mengundang perhatian dunia internasional, termasuk Amerika Serikat yang menjadi polisi dunia. Amerika, Australia dan semua sekutunya menginginkan modernisasi dan kapitalisme dipakai seluruh negara di dunia.
Permusuhan antara Amerika dan Uni Soviet yang sudah berakhir seiring selesainya perang dingin ternyata masih menyisakan kewaspadaan. Amerika takut dengan paham komunisme dan marxisme yang dianut oleh pemimpin Timor Timur. Oleh karenanya, ada usaha terselubung yang direncanakan secara dramatis.
Meskipun Indonesia sebagai negara sudah berusaha melakukan pembangunan sebaik mungkin pada Timor Timur, masih saja ada golongan yang tidak puas. Tidak berhenti pada kedongkolan hati karena merasa pembangunan masih kurang, mereka melakukan tindakan separatis yang memicu disintegrasi bangsa.
Konflik ternyata terus berlangsung sejak 1975 Timor Timur mendeklarasikan bergabung dengan Indonesia sampai tahun 1999 ketika Indonesia baru saja keluar dari krisis moneter yang menyisakan kekacauan ekonomi dan politik. Ratusan ribu permasalahan disintegrasi bangsa terus bermunculan di bumi loro sae. Hingga memakan korban nyawa rakyat jelata. Ada 84.200 orang mati karena terserang
·         PBB Datang
United Nation Organization (UNO) atau disebut PBB dalam bahasa Indonesia, merupakan organisasi dunia yang memiliki banyak sayap untuk menyelesaikan konflik di dunia internasional. Kedatangan PBB ke Timor Timur bertujuan memastikan masa depan Timor Timur tanpa menimbulkan lebih banyak korban.
PBB datang untuk melaksanakan jajak pendapat rakyat Timor Timur. Apakah mayoritas berada di pihak pro integrasi atau malah pro disintegrasi. Jajak pendapat atau referendum ini dilaksanakan tanggal 30 Agustus 1999 dan disokong oleh Amerika beserta sekutunya seperti Australia. Sungguh mengagetkan, 78,3 % rakyat Timor Timur ingin berpisah dari janji kesetiannya pada NKRI.
Sebenarnya pada waktu Presiden Habibie menggantikan Soeharto setahun sebelumnya, beliau telah mengambil kebijaksanaan yang sangat tepat. Ada tawaran otonomi daerah kepada Timor Timur untuk mengurus sendiri rumah tangganya tetapi masih di bawah payung NKRI. Namun dunia internasional kurang sejalan dengan sikap Habibie, banyak negara dari Eropa dan Australia yang lantas menekan Indonesia agar melepaskan Timor Timur.
Bahkan Perdana Menteri Australia menyarankan Habibie untuk membebaskan Timor Timur agar merdeka sendiri. Tentu saja Habibie yang sudah memanggul banyak beban dalam negeri semakin kecewa karena ternyata dunia internasional lebih banyak menekan melepas TimTim dibanding mempertahankannya. Beliau pun menyetujui referendum PBB setahun setelahnya yang resmi memisahkan TimTim dengan NKRI.
Setelah referendum PBB, kondisi internal Timor Timur masih kacau. Perang saudara masih terjadi, dan administrasi wilayahnya dipegang oleh UNTAET -organisasi bawahan PBB yang mengurus kasus Timor Timur. Kesiapan kemerdekaan Timor Timur baru didapatkan pada abad 20. Mula-mula dilakukan pemilihan umum untuk memilih konstitusi negara sejak tahun 2001 hingga bulan Februari 2002.
Segala persiapan untuk sebuah negara merdeka sudah cukup kuat di awal millenium kedua. Timor Timur pun memproklamasikan kemerdekaan negaranya sendiri di tanggal 20 Mei 2002 dengan Xanana Gusmao sebagai Presiden awalnya. Sejak saat itulah, Timor Timur merubah namanya menjadi Timor Leste dan menghapus segala kenangan bersama NKRI.
Bahasa yang digunakan di Timor Leste adalah Portugal. Sementara itu, mata uang yang diberlakukan di negara tersebut yaitu Dollar Amerika. Adat istiadat dibuat sebisa mungkin lebih condong ke daerah sendiri atau Portugal. Dengan Dili sebagai ibukotanya, Timor Leste diterima sebagai anggota UNO (PBB) tepat pada tanggal 27 September 2002.

3.7  Studi Kasus: Diplomasi Indonesia dalam Upaya Penyelesaian Masalah Timor Timur Secara Adil, Tuntas, Menyeluruh dan Dapat Diterima Internasional: Dialog Segitiga (Tripartite Talks) sampai Hasil Jajak Pendapat

Dalam menyelesaikan masalah Timor Timur, Indonesia melakukan diplomasi dengan cara menghadiri pertemuan-pertemuan seperti Dialog Segitiga (Tripartite Talks).[17]Setelah Portugal membawa permasalahan Timor Timur ke PBB, dan berdasarkan Resolusi PBB 37/30 diadakanlah beberapa pertemuan Tripartite Talks. Tripartite Talksadalah pembicaraan antara pihak Portugal dengan Pihak Indonesia yang diprakarsai oleh PBB. Dalam Tripartite Talks atau biasa disebut dialog segitiga ini, pihak Indonesia dan Pihak Portugal dipertemukan untuk bersama-sama mencari jalan tengah dari permasalahan yang ada di Timor Timur. Dialog segitiga ini terjadi sebanyak delapan kali, dimulai dari pertemuan pertama pada bulan Desember 1992 yang berlangsung di New York, hinggga pertemuan terakhir pada Juni 1996 di Jenewa.[18]
1.      Pertemuan Dialog Segitiga (Triparite Talks) di New York, USA
Dialog segitiga (Tripartite Talks) pertama kali diselenggarakan di markas besar PBB, NewYork pada tanggal 17 Desember 1992.Pertemuan tersebut berlangsung cukup panjang, dan dianggap belum menghasilkan keputusan yang jelas, karena pihak Indonesia maupun pihak Portugal belum dapat menyatukanpemikirandan mencari penyelesaian yang tepat terhadap masalah Timor Timur.[19]PihakIndonesia yang pada saat itu diwakili oleh Menteri Luar Negeri Ali Alatas menegaskan bahwa sikap Indonesia terhadap Timor Timur tidak akan berubah, dan proses dekolonialisasi sudah berakhir sejak 30 November 1975, ketika mayoritas rakyat Timor Timur memilih untuk bergabung dengan Indonesia secara sukarela.
Namun, pihak Portugal menginginkan agar proses dekolonialisasi dilakukan melalui referendum.Setelah melalui perdebatan yang panjang tersebut, pihak Indonesia dan Portugal pun sepakat untuk kembali melakukan dialog segitiga dalam upaya mencari penyelesaian masalah Timor Timur, yang akan diselenggarakan di Roma pada tanggal 23 April 1993. Dialog tersebut akan diawali dengan pertemuan persiapan kedua belah pihak di markas besar PBB, New York. Selain itu pihak Indonesia maupun pihak Portugal dalam pertemuan ini sepakat untuk melakukan membangun rasa saling percaya antara pihak Indonesia dan Portugal agar tercipta suasana baik dalam pemecahan masalah Timor Timur tersebut.
Sesuai dengan kesepakatan yang telah diperoleh sebelumnya, maka pada tanggal 21 April 1993, kembali diadakan Tripartite Talks atau dialog segitiga antara pihak Indonesia, Portugal dan PBB sebagai penengah. Dalampertemuan kedua ini belum sampai pada tahapan identifikasi permasalahan di Timor Timur, karena kedua belah pihak sepakat untuk tidak membahas permasalahan-permasalahan secara rinci.[20]Pertemuan kedua ini terbagi menjadi tiga tahapan. Tahap pertama adalah pertemuan Sekjen PBB dengan Menteri Luar Negeri Ali Alatas, tahap kedua adalah pertemuan Sekjen PBB dengan Menteri Luar Negeri Portugal, dan tahapan terakhir adalah pertemuan antara pihak Indonesia dengan pihak Portugal dibawah pengawasan Sekjen PBB.
Karena pada dialog kedua ini masih tidak ditemukan solusi dari permasalahan di Timor Timur, maka disepakati untuk diadakan kembali dialog segitiga pada 17 September di markas besar PBB, NewYork. Kemudian sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya, pada tanggal 17 September kembali diadakan dialog segitiga di markas besar PBB, New York. Dialog segitiga ini dihadiri oleh Menteri Luar Negeri Indonesia Ali Alatas, Menteri Luar NegeriPortugal Duraos Baroso, dan Sekertaris Jendral PBB yaitu Boutro-BoutrosGhali.Dari pertemuan ini disepakati bahwa pihak Indonesia maupun pihak Portugal harusmenciptakansuasana yang saling menguntungkan dan tidak konfrontatif, tercapainya kemajuan bagi penyelesaian masalah yang menyeluruh.
Lalu kedua Menteri LuarNegeri pun sepakat untuk meningkatkan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia dalam aspek luas, mencakup hak sipil, ekonomi, sosial, dan budaya serta kebebasan yang fundamental di Timor Timur. Selain itu dialog ini juga menggaris bawahi niat dari pihak PBB untuk menjalankan misi-misi yang dianggap bermanfaat untuk mencari titik temu sekaligus jalan keluar guna pemecahan masalah di Timor Timur. Kemudian akan diadakan kembali pertemuan serupa pada tanggal 6 Mei 1994.
2.      Pertemuan Dialog Segitiga (Tripartite Talks) di Jenewa, Swiss
Sesuai dengan kesepakatan pada pertemuan dialog segitiga sebelumnya di New York, maka pada tanggal 6 Mei 1994 kembali diadakan dialog segitiga diJenewa. Pada dialog kali ini disepakati bahwa para tahanan politik Timor Timur akan mendapat perlakuan manusiawi dan mengenai pembebasan tahanan-tahanan tersebut. Selain itu, kedua belah pihak menyetujui adanya penyidikan kembali oleh pihak Indonesia terhadap korban-korban pada insiden Dili 1991, kemudian kedua belah pihak yaitu Indonesia dan Portugal meminta kepada Sekjen PBBuntuk mengidentifikasi permasalahan-permasalahan di Timor Timur untuk dibahas pada dialog segitiga berikutnya, yang akan diselenggarakan pada 9 Januari 1995.
Kemudian pada tanggal 9 Januari 1995, kembali diadakan dialog Segitiga, di Jenewa, Swiss. Pembicaraan ini lebih memusatkan pada usulan dari Sekjen PBB untuk memberikan kemudahan dan menawarkan pengaturan-pengaturan yang harus dilakukan bagi terselenggaranya dialog antara rakyat Timor Timur, baik yang berada didalam ataupun diluar wilayah Timor Timur. Tujuandiselenggarakannyadialog tersebut adalah sebagai forum bagi kelanjutan pertukaran pandangan secara bebas dan informal yang mungkin berdampak positifbagi Timor Timur.[21]
Lalu pada pertemuan ini pula kedua menteri sepakat untuk meningkatkan dialog kepada warga Timor Timur mengenai Hak Asasi Manusia, khususnya sebagaimana dinyatakan Sekjen PBB dan disahkan secara consensus sebagai keputusan dari UNHCR mengenai akses ke Timor Timur, pembebasan dini penduduk Timor Timur yang dipenjara, serta penghitungan ulang korban yang tewas maupun hilang pada insiden Dili 1991 oleh pihak Indonesia.[22]Kemudian pada tanggal tanggal 8 Juli 1995, kembali diadakan dialog segitiga babak keenam yang diselenggarakan di Jenewa.
Pada perundingan ini diperoleh kesepakatan-kesepakatan yaitu:[23]
a.       Kedua Menlu membahas mengenai perkembangan di Timor Timur sejakdiadakannya dialog kelima pada 9 Januari berakhir, termasuk mengenai hak-hak asasi manusia seperti yang telah disetujui pada sidang ke -51 UNHCR.
b.      Kedua Menlu menyambut baik penyelenggaraan pertemuan Informal antara orang-orang Timor Timur (AIETD) di Borgh schlaining Schloss, Austria dari tanggal 2 hingga 5 Juni 1995, yang terlaksana atas prakarsadari Sekjen PBB.
c.       Kedua Menlu menyambut baik usulan Sekjen PBB mengenai perlunya diadakan kembali pertemuan AIETD.
d.      Kedua Menlu telah memulai membahas mengenai masalah Substansifyang diidentifikasikan oleh Sekjen PBB, antara lain mengenai landasanpenyelesaian permasalahan di Timor Timur.
e.       Kedua Menteri Luar negeri sepakat mengadakan dialog segitiga babakberikutnya yang akan diselenggarakan pada 16 Januari 1996 di London.
Sesuai dengan keputusan yang disepakati pada pertemuan sebelumnya, pada tanggal 16 Januari 1995 diadakan kembali dialog segitiga. Kali ini pihak Indonesia menyatakan ada tiga masalah besar yang harus dibahas, yakni mengenai kerangka kerjamasalah Timor Timur yang dapat diterima oleh semua pihak pemeliharaan dan pengembangan identitas kultural rakyat Timor Timur, serta kandungan kandungan hubungan bilateral Indonesia dan Portugal.Selanjutnya dalam dialog segitiga yang berlangsung tanggal 29 Juni 1996 di Jenewa, pembicaraan-pembicaraanlebihmenuntut Portugal untuk menunjukan kesungguhan terhadap penyelesaian permasalahan di Timor Timur.

3.      Pertemuan AIETD (All Inclusive Intra East Timorese Dialog)
Pada tanggal 3-5 Juni 1995 diselenggarakan Pertemuan Informal All Inclusive Intra East Timorese Dialog(AIETD) diselenggarakan di Burgschleining SchlossAustria,guna menindaklanjuti pernyataan sekjen PBB di Jenewa, pada 9 Januari 1995, sebagai hasil dialog segitiga antara menteri luar negeri Indonesia dengan Portugal.Dalam pertemuan inidihadiri oleh tokoh-tokoh Timor Timur warga Indonesia dan tokoh Timor Timur anti Integrasi di Perantauan. AIETD bukan merupakan forum parallel dengan dialog segitiga dan tidak membicarakan status politik Timor Timur.
Tujuan AIETD adalah untuk menentukkan usulan-usulan konkret yang mempunyai dampak positif di Timor Timur dan dapat menciptakan suasana yang lebih kondusif pada dialog segitiga guna menyelesaikan permasalahan Timor Timur. Menurut Kriteria PBB yang bertindak sebagai pengundang dan fasilitator, para peserta AIETD adalah sebagai pribadi yang tidak mewakili latar belakang politik apapun atau jabatan fungsional mereka.[24]Hasil-hasil dalam pertemuan AIETD tersebut adalah sebagai berikut:[25]
a.       Mengusulkan kepada Sekjen PBB untuk melakukan dialog-dialog baru antara orang Timor Timur dalam kerangka yang sama seperti telah dilaksanakan untuk memperdebatkan masalah-masalah utama di Timor Timur sebelum diadakannya putaran perundingan antara menteri luar negeri Indonesia dengan Portugal.
b.      Menegaskan kembali perlunya pelaksanaan langkah-langkah penting di bidang Hak Asasi Manusia dan bidang-bidang lain dengan tujuan meningkatkan perdamaian, stabilitas, keadilan dan kerukunan sosial.
c.       Menegaskan kembali perlu adanya pembangunan sosial, dan budaya di Timor Timur sebagai dasar pemeliharan identitas kultural rakyat Timor Timur.
Hasil dari Pertemuan AIETD tersebut menunjukkan bahwa adanya indikasi positif yang mendukung pembentukan langkah membangun kepercayaan (Confidence Building Measures) dalam dialog segitiga, bahwa hasil-hasil yang didapat dari pertemuan AIETD ini hanya membicarakan masalah-masalah non politik. Pertemuan in formal AIETD tersebut sangat positif karena sudah berjalan sesuai dengan tatanan yang telah ditentukan dalam dialog segitiga.[26]

4.      Pemberian Dua Opsi Kepada Timor Timur
Tawaran Serta Pemberian Opsi I:
Seperti diungkapkan oleh Makarim Z A dalam bukunya Hari-Hari Terakhir Timor Timur bahwa kelanjutan dari opsi pertama adalah diutusnya Menteri Luar negeri Ali Alatas ke New York untuk secara khusus menjelaskan kepada sekjen PBB usulan otonomi Khusus yang diperluas untuk Timor Timur pada 18 Juli 1998.[27]Pemerintah Portugal maupun PBB menyambut positif tawaran status khusus dengan otonomi luas bagi Timor Timur yang diajukan oleh Pemerintah Republik Indonesia. Setelah pengumuman opsi I tersebut Intensitas pertemuan Indonesia-Portugal meningkat tajam dari tahun-tahun sebelumnya.
Sekjen PBB hampir setiap dua bulan mengirimkan wakilnya ke Jakarta, Lisabon, dan Dili untuk mengadakan konsultasi Intensif dengan berbagai pihak, termasuk menjaring masukan dari tokoh-tokoh Timor Timur, selama proses penyusunan tersebut juga disepakati bahwa Jamsheed Marker akan meningkatkan konsultasinya dengan berbagai tokoh masyarakat Timor Timur, baik di dalam maupun diluar Timor Timur. Selepas Agustus 1998, minimal telah dilakukan empat kali kunjungan wakil sekjen PBB ke Jakarta dan Timor Timur, baik oleh Jamsheed Marker maupun oleh pejabat tinggi lainnya seperti Tamrat Samuel atau Francesco Vendrell.
Dengan demikian jelas bahwa sejumlah tokoh Timur Timur dilibatkan secara tidak langsung dalam perundingan, termasuk Xanana Gusmao, Uskup Belo, serta unsur-unsur CNRT dan pro Integrasi. Hasilnya adalah perundingan “Senior Official Meeting” (SOM) atau Pejabat Senior dibawah tingkat menteri di New York pada tanggal 4 –5 Agustus 1998. Pada pertemuan tersebut, posisi dasar Indonesia dan Portugal dikesampingkan, hingga selesainya rancangan sementara konsep Daerah Otonomi Khusus. Selama proses perundingan dan penyerapan aspirasi rakyat Timor Timur peran pemerintah Republik Indonesia khususnya TNI tidak dapat dipandang sebelah mata.[28]
Hal lain yang perlu dicatat dalam pertemuan SOM pada tanggal 4-5 Agustus 1998, adalah diterimanya prakarsa Indonesia oleh Sekjen PBB, untuk memberikan status otonomi khusus yang diperluas kepada Timor Timur. Portugal pun menganggap bahwa ide tersebut adalah ide terbaik, meski belum siap menerimanya sebagai penyelesaian terakhir.Portugal tetap pada pendapatnya bahwa pemberian otonomi khusus bagi Timor Timur hanya bersifat sementara sampai rakyat Timor Timur siap untuk menentukan nasibnya sendiri.
Memasuki oktober 1998, pembicaraan di Tingkat Senior Official Meetingkembali menjadi alot ketika membahas aspek-aspek konstitusional, hukum, sistem pemerintahan, dan administrasi daerah otonomi. Pembahasan tersebut senantiasa melihat model-model otonomi luas yang ada dinegara-negara lain seperti Kepulauan Aruba Belanda dan Kaledonia Perancis. Dengan kata lain, proses pembicaraan Senior Official Meetingini lebih diarahkan pada tanggapan resmi kedua belah pihak.
Indonesia dan Portugal pun mengalami kesepakatan untuk membuka kantor interest section guna meningkatkan rasa saling percaya dan pengertian kedua belah pihak konsep Daerah Otonomi Khusus diharapkan sudah dapat diputuskan. Dengan kata lain, proses pembicaraan Senior Official Meetingini lebih diarahkan pada tanggapan resmi kedua belah pihak. Indonesia dan Portugal pun mengalami kesepakatan untuk membuka kantor interest section guna meningkatkan rasa saling percaya dan pengertian kedua belah pihak.

Tawaran Mengenai Pemberian Opsi II:
Namun, pada tanggal 27 Januari 1999 presiden B.J Habibie mengeluarkan keputusan yang terkesan melangkahi proses yang sedang terjadi, karena sementara Menteri Luar Negeri sedang melakukan diplomasi dan memperjuangkan otonomi khusus, Presiden B.J Habibie mengeluarkan putusan tanpa mengonsultasikannya dengan perwakilan Indonesia dalam perundingan tersebut, opsi ke-2 tersebut ialah pemberian status merdeka kepada Timor Timur.[29]Pada tanggal 27 Januari 1999, Menteri Luar Negeri Ali Alatas mengumumkan hasil rapat kabinet paripurna yang menawarkan dua pilihan kepada rakyat Timor Timur yakni pemberian otonomi seluas-luasnya dan tawaran untuk merdeka kepada Timor Timur setelah diusulkan pemerintah kepada sidang MPR yang baru terpilih agar Timor Timur dapat berpisah dengan Indonesia secara baik-baik, damai, terhormat, tertib dan konstitusional.[30]
Keluarnya Opsi II mengejutkan bagi banyak pihak dan tidak diterima secara menyeluruh di Indonesia. Salah satu pihak yang sangat menentang Opsi II adalah tentara Indonesia (ABRI/TNI). Mereka mengkhawatirkan bahwa pemisahan Timor Timur dapat membawa akibat yang merugikan bagi persatuan dan keamanan di wilayah itu.[31]Ancaman terhadap instabilitas keamanan di Timor Timur seperti yang dikhawatirkan menjadi kenyataan, terbukti dengan kekerasan yang terjadi disana. Meningkatnya intensitas kekerasan dan ketegangan di Timor Timur disebabkan oleh kedua kelompok (pro-integrasi dan pro-kemerdekaan) saling melakukan teror dan intimidasi.
Kelompok pro-kemerdekaan yang mendapat “angin segar” atas keputusan pemberian Opsi II semakin menunjukkan sikap permusuhan terhadap kelompok pro-integrasi dan Pemerintah Republik Indonesia. Tindak kekerasan tidak hanya menghantui rakyat setempat tetapi juga masyarakat pendatang, baik para pedagang maupun aparat pemerintah yang bertugas dan ditugaskan di wilayah itu. Usai pengumuman opsi II sebagai alternatif pemecahan jika tawaran otonomi khusus ditolak, pada 3 Februari 1999 kembali diadakan pertemuan para Bupati dan ketua DPRD se-Timor Timur di Jakarta untuk membicarakan dua opsi yang ditawarkan pemerintah. Pada pertemuan di Jakarta ini guna membicarakan langkah-langkah yang harus dipersiapkan oleh pemerintah Timor Timur demi suksesnya jajak pendapat.[32]

5.      Kesepakatan Hasil Perjanjian Dalam Pertemuan New York
Perjanjian tersebut akhirnya mendapatkan suatu keputusan yang disepakati kedua belah pihak dan ditandatangani pada tanggal 5 Mei 1999 yang berisi:[33]
a.       Sekjen PBB diberi mandat dan tanggung jawab dalam pelaksanaan pertemuan di New York,sementara pihak Indonesia akan membantu dan kerjasama secara penuh dengan PBB sebagai Fasilitator.
b.      Dewan Keamanan PBB telah menerima resolusi no 1236 yang akan dikeluarkan pada tanggal 7 Mei 1999 yang selanjutnya akan menjadi landasanhukum PBB dalam melaksanakan mandat dan tanggung jawabnya.
c.       Pemerintah Indonesia diberi tanggung jawab untuk menjamin keamanan, perdamaian, tertib umum, dan tertib hukum di Timor Timur sebagai syarat pelaksanaan Persetujuan New York.
Dilihat dari isi persetujuan New York yang mencakup tiga hal, dapat disimpulkan bahwa penyelesaian ini merupakan “respectable relief”, pengurangan beban diplomasi dan politik bagi kedua pemerintahan yang bersengketa, sejak Timor Timur berintegrasi kedalam Negara kesatuan RI pada 1976. Selain tiga hal yang disetujui dan ditandatangani, ada satu lampiran lampiran yang berisi konsep otonomi khusus yang diperluas bagi Timor Timur. Terdapat tiga hal penting dalam resolusi Dewan Keamanan nomor 1236, yakni (1) kesepakatan induk Indonesia-Portugal mengenai penyelesaian masalah Timor Timur, (2) persetujuan tentang modalitas atau tatacara jajak pendapat lewat pemungutan suara secara langsung, bebas, jujur, dan adil, (3) persetujuan tentang pengaturan keamanan jajak pendapat.[34]

6.      Proses Jajak Pendapat
Penyelenggaraan Jajak Pendapat dilakukan oleh UNAMET sebagai badan khusus yang didirikan oleh PBB. Badan ini mempunyai misi dan kewajiban untuk memantau keadaan Timor Timur serta menyelenggarakan Jajak Pendapat dengan bersikap netral. Hal ini sesuai dengan kesepakatan yang telah dicapai oleh Menteri luar negeri Ali Alatas (RI) dan Menteri luar negeri Jaime Gama (Portugal) dengan mengikutsertakan wakil PBB Jamsheed Marker, serta memperoleh perhatian langsung dari Sekretaris Jendral PBB Kofi Annan. Jajak Pendapat merupakan suatu cara bagi penyelesaian persoalan Timor Timur yang muncul dari tawaran (Opsi) Presiden B.J. Habibie.
Jajak Pendapat dilakukan secara serentak di lebih dari 700 Tempat Pemungutan Suara (TPS) di wilayah Timor Timur pada tanggal 30 agustus 1999 dan diikuti oleh sekitar 600.000 orang Timor Timur yang berada di wilayah ini. Disamping itu juga diikuti oleh sekitar 30.000 orang Timor Timur yang berada di daerah lain (Denpasar, Jakarta, Makasar, Surabaya, Yogyakarta) serta di Luar Negeri (Amerika Serikat, Australia, Macau, Mozambik, Portugal) yang telah memenuhi syarat menjadi pemilih yang telah disebutkan dalam perjanjian New York. Hasil tersebut pada satu sisi sangat menggembirakan kelompok pendukung anti-integrasi, sedangkan pada sisi lain mengecewakan kelompok pro-integrasi dan para prajurit TNI/POLRI yang telah berjuang mempertahankan integrasi Timor Timur.

7.      Hasil Jajak Pendapat
Hasil Jajak Pendapat menunjukkan bahwa sekitar 78,5% atau sekitar 344.580 orang Timor Timur memilih merdeka dan menolak status khusus dengan otonomi luas yang ditawarkan Pemerintah dan 21,5 % atau sekitar 94.388 orang menerima tawaran tersebut. Dengan hasil tersebut maka Pemerintah Republik Indonesia melalui MPR hasil Pemilu tahun 1999 kemudian menindaklanjuti dengan mengambil langkah-langkah konstitusional untuk melepaskan Timor Timur dari NKRI dan mengembalikan status wilayah itu seperti sebelum berintegrasi.[35]





3.8 Analisis Studi Kasus
Setelah beberapa cara diplomasi dilakukan oleh Indonesia untuk mempertahankan Timor Timur, namun, pada masa kepemerintahan BJ. Habibie ini akhirya Timor Timur lepas dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Habibie mengeluarkan peryataan pertama mengenai isu Timor-Timur pada bulan juni 1998 dimana ia mengajukan dinamika politik Indonesia berubah drastis dengan jatuhnya pemerintahan Soeharto. Pada bulan januari tahun 1999 Indonesia menawarkan otonomi kepada Timor-Timur, jika rakyat nya menolak tawaran ini, maka Indonesia akan menerima pemisahan diri dari republik Indonesia.
Pada tanggal 5 mei 1998 PBB, Indonesia dan Portugal menandatangani Perjanjian Tripartite yang menyatakan bahwa PBB akan melakasanakan jajak pendapat di Timor-Timur, rakyat diminta memilih untuk tetap menjadi negara bagian Indonesia atau menjadi sebuah negara merdeka. Pada juli 1998 Habibie mengeluarkan pernyataan mengenai Timor-Timur dimana ia mengajukan tawaran untuk pemberlakuan otonomi seluas-luasnya untuk provinsi Timor-Timur. Proposal ini oleh masyarakat internasional dilihat sebagai pendekatan baru, diakhir 1998. Habibie mengeluarkan kebijakan yang radikal dengan menyatakan bahwa Indonesia akan memberi pilihan referendum untuk mencapai solusi akhir atas masalah Timor-Timur.
Aksi kekerasan sebelum dan setelah referendum memojokan pemerintahan Habibie. Habibie kehilangan legitimasi baik dimata masyarakat Internasional maupun domestik. Dimata Internasional Habibie dinilai gagal mengontrol dalam pernyataannya yang menawarkan referendum namun kenyataannya malah berujung pada tindak kekerasan kepada rakyat Timor-Timur, dimasa publik domestik Habibie harus menhadadapi sentiment nasionalis terutama ketika pasukan penjaga perdamaian yang dipimpin oleh Australia masuk ke Timor-Timur.
Pada tanggal 30 agustus diadakan lah jajak pendapat di Timor-Timur yang berujung pada kemerdekaan Timor-timur karena sebagian besar rakyat nya memilih untuk merdeka (78,5%) seperti sebelumnya pada akhir pasukan Australia lah yang menjadi pahalawan dalam menangani kasus Timor-Timur.[36]Menurut Habibie, pantaslah jika Timor Timur berada dibawah pemerintahan Indonesia. Hal tersebut dikarenakan alasan yang menjadi pertimbangan bergabungnya Timot Timur dengan Indonesia sudah tidak lagi relevan.
Blok komunis yang di khawatirkan mengacam Indonesia dan Australia yang adalah negara yang non komunis suadah runtuh. Lalu bagaimana dengan wilayah-wilayah yang lain didalam Indonesia apa keberadaannya dibawah pemerintahan Indonesia masih relevan? Jawabanaya tentu masih, karena Habibie melihat berdirinya Indonesia didasari oleh kepentingan bersama dan rasa kebersamaan atas penjaajahan belanda. Isu-isu kemudian berkembang pada masa pemerintahan habibie adalah isu mengenai HAM, demokrasi dan globalisasi.
Sudah tentu jalan yang dipilih habibie mengutamakan HAM dan demokrasi, nyata nya adalah dengan dilaksanakanya jajak pendapat yang mana rakyat Timor-timur dapat menentukan sendiri nasib mereka, setelah itu Habibie memandang peremasalahan Timor-Timur membawa efek domino pada aspek-aspek lain di pemerintahan maka seharusnya kalau usus buntu didalam tubuh mengalami infeksi maka masuk akal kalau usus buntu itu dipotong segera mungkin.
Permasalahan Timor-Timur menyulut ketidakstabilan politik dan ekonomi Indonesia karena Indonesia selalu dikucilkan dimata internasional sebagi negara yang melakukan pelanggaran HAM, sehingga sulit bagi Indonesia untuk melakaukan diplomasi politik maupun ekonomi dengan negara lain karena ada nya permasalahan nya Timor-Timur. Perdana Menteri Australia, Jhon Howard mengusulkan suatu jalan keluar terkait penyelasaian masalah Timor-Timur.  usulanya serupa dengan langkah yang diambil dalam pemecahan masalah antara Prancis - New Caledonia yakni dengan cara memeberikan hak otonomi khusus kepada Timor-timur selama 5 hingga 10 tahun untuk memepersiapkan kemerdekaan nya.
Lalu setelah itu referendum dilakasanakan dengan perwujudan pemberian kemerdekaan kepada Timor-Timur. Habibie jelas menolak usulan tersebut, karena kasus Prancis dan New Caledonia kasus penjajah dan negara terjajah tidak serupa dengan Indonesia dan Timor-Timur. Indonesia tidak menjajah Timor-timur, pengintegrasian Timor-Timur kedalam Indonesia merupakan aspirasi rakyat Timor-Timur yang dicetuskan pada tanggal 30 November 1975 melalui Deklarasi Balibo untuk dapat melaksanakan pembangunan nasional dengan bergabung ke Indonesia.[37]
Selain itu, presisden tidak berhak atas itu serta bagaimanapun hasil referendum, MPR melalui tap MPR lah yang berhak atas itu. Serta bagaimanapun hasil referendum MPR tidak dapat menolaknya maka yang dilakukan di Timor-timur bukan lah referendum melainkan jajak pendapat tidak memerlukan izin dari MPR sehingga MPR dapat menolak hasil dari jajak pendapat tersebut melalui sidang umum MPR. Pengintegrasian Timor-Timur kedalam NKRI melalui tap MPR sebagai hasil dari siding umum MPR 1978.
Oleh karena itu jika Timor-Timur harus lepas dari Indonesia maka harus pula disahkan dengan MPR setelah dialaksanakanya sidang umum MPR. masalah Timor-Timur sudah berlarut-larut dibahas di forum PBB sejak tahun 1975, akhirnya 1983 sepakat untuk dibuat sebuah forum triparti yang terdiri dari perwakilan Indonesia, Portugal dan PBB Indonesia menyadari bahwa perlu adanya penyelesaian yang tuntas dengan waktu yang tidak terlalu lama untuk menyelesaikan masalah Timor-Timur. Maka diajukanlah dua macam pilihan sebagai jalan keluar alternatif penyelesain dengan dua macam opsi ini dengan penyelesain yang paling demokratis tuntas dan terhomat.[38]
Kebijakan dua pilihan, sejak dinyatakan sebagai bagian dari wilayah indoinesia hingga dikeluarkanya persoalan Indonesia pada awalnya mendapat dukungan internasional untuk tetap menjadikan Timor-Timur sebagai wilayah yang datang dari Australia dan Amerika Serikat. Sejak awal tahun 1975 Australia mendukung Indonesia dengan maksud agar negaranya mendapat keuntungan tertunda kaya minyak yang dikenal dengan celah Timor. Sedangakan Amerika mendukung Indonesia menjadikan Timor menjadi wilayahnya karena Amerika berkepentingan atas selat Ombai (ibarat Pulau Timor) bagi kapal selamnya yang berpangkalan di Autoro.
Dalam perkembanganya dukungan kedua Negara tersebut kepada Indonesia ternyata tetap didasarkan atas perkembangan politik global. Dimana saat perang dingin telah berakir tidak ada lagi isu komunis dan non komunis dan yang menonjol saat itu adalah malah demokrasi dari HAM, sehingga Indonesia disamping harus selalu mengahadapi tuntutan dari sebagian rakyat Timor untuk mendesak pemerintah Indonesia juga harus menerima tudingan publik internasional terutama PBB sebagai Negara pelanggar HAM isu HAM itu sendiiri muncul sendiri sebagai akibat rangkaian peristiwa seperti Insiden Dili 12 November 1991 yang menewaskan korban TNI dan Peristiwa Liquisa 12 november 1991.[39]


























BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Awal masuknya BJ. Habibie terjun ke dunia politik disebabkan karenya adanya tawaran kalangan ICMI yang membawa ia menjadi Ketua Umum ICMI. BJ. Habibie belajar mengenai perpolitikan dari Nol. BJ. Habibie mempunyai alasan mengapa ia harus terjun ke dalam dunia perpolitikan. Karena menurutnya revolusi yang di percepat dalam bidang teknologi terbukti berhasil di China dan India, berkat dukungan politik dan tersedianya pasar yang cukup besar.         
Kemudian dengan runtuhnya kepemimpinan Soeharto dari jabatan kepresidenan yaitu pada tanggal 21 Mei 1998 yang menjadi awal lahirnya era Reformasi di Indonesia. Perkembangan politik ketika itu ditandai dengan pergantian presiden di Indonesia. Seperti telah di bahas pada kronologi reformasi Indonesia tahun 1998, bahwa dengan segera setelah Soeharto mengundurkan diri, Mahkamah Agung mengambil sumpah Baharuddin Jusuf Habibie sebagai presiden. Masa pemerintahan Presiden BJ. Habibie berlangsung sangat singkat yaitu dari tanggal 21 Mei 1998 sampai dengan tanggal 20 Oktober 1999. Meskipun pada saat pengangkatannya sebagai Presiden ini menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat. Kemudian BJ.Habibie yang kala itu menjabat menjadi Presiden mengambil tindakkan yang serius untuk memberantas KKN, juga diadakannya Pemilu, serta pembebasan tahanan politik,  munculnya beberapa kerusuhan dan gerakan separatispun turut mewarnai masa pemerintahan BJ.Habibie. Dan salah satu yang sangat berpengaruh untuk Indonesia hingga kini adalah pembuatan kebijakan luar negri pada periode itu. Dan fokus utama kebijakan luar negeri dalam masa pemerintahan BJ.Habibie yaitu terdapat 3 fokus utama pemulihan citra Indonesia, mendahulukan stabilisasi sosial dan politik, memobilisasi sumber daya demi memperoleh bantuan ekonomi. Lalu juga peristiwa lepasnya Timor-Timur dari Indonesia mendorong BJ.Habibie untuk melakukan diplomasi, dan dengan kedatangan PBB ke Timor Timur yang bertujuan untuk memastikan masa depan Timor Timur tanpa menimbulkan lebih banyak korban, PBB pun mengeluarkan referendum untuk meredakan masalah Timor timur, tetapi  setelah referendum PBB, kondisi internal Timor Timur masih kacau. Pada akhirnyapun Timor timur lepas dari Indonesia. Dengan lepasnya Timor Timur dari Indonesia juga membuat Habibie di cap gagal sebagai Presiden karena bagaimanapun juga lepasnya suatu wilayah merupakan kegagalan terbesar dalam suatu pemerintahan dalam menjaga dan untuk memastikan pemerintahannya membawa kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia pada saat itu.





DAFTAR PUSTAKA

Buku
Robert Jackson dan Georg Sorensen. 2009. Pengantar Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Anthonius Sitepu. 2011. Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Graha Ilmu.

S.L , Roy, 1995, Diplomasi, Jakarta Utara, PT Raja Grafindo persada.

Watson Adam, , 1984, The Dialogues Between States, London, Methuem.

Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik. 1995.Jakarta:Gramedia Pustaka Utama

B.J Habibie, Detik-Detik yang menentukan:Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi. Jakarta: THC Mandiri, 2006.
Radius Prawiro.2008. Pergaulatan Indonesia Membangun Ekonomi, Pragtisme dalam Aksi. Jakarta: Primamedia Pustaka

Radius Prawiro. Pergaulatan Indonesia Membangun Ekonomi, Pragtisme dalam Aksi. Jakarta: Primamedia Pustaka.
Djohari, O, Diplomasi RI Dalam Upaya Penyelesaian Masalah Timor Timor Secara Tuntas, Adil, Menyeluruh, Dan Diterima Internasional: Dialog Segitiga (Triparite Talks). Jakarta: Universitas Indonesia, 1999.
Ali Alatas, The Pebble in The Shoe, The Diplomatic Strugle for East Timor. Jakarta: Aksara Karunia, 2006.

JURNAL DAN WEBSITE
Mappa Nasrun, Indonesian Relations With The South Pacific Countries: Problrm and Prospect,
Desertasi, Unahs: 1990

Melalui website http://www.biografiku.com/2009/01/biografi-bj-habibie.html, diakses pada 10 November 2017

Melalui website http://bio.or.id/biografi-presiden-b-j-habibie/, diakses pada 10 November 2017

Ahmad Sahab, Biografi Politik Presiden RI Ketiga BJ Habibie Berbasis Teknologi, Jakarta: Peace, 2008.


Ganewati Wuryandari. “Politik Luar Negeri Indonesia Di Tengah Pusaran Politik Domestik”, P2PLIPI,
2008

Muhammad A.S. Hikam, “Communication Democracy in Indonesia and East Timor”, In Pacifica
Review,Volume 12, Number 1, February 2001.


Muhammad A.S. Hikam, “Communication Democracy in Indonesia and East Timor”, In Pacifica
Review,Volume 12, Number 1, February 2001.

Djohari, O, Diplomasi RI Dalam Upaya Penyelesaian Masalah Timor Timor Secara Tuntas, Adil, Menyeluruh, Dan Diterima Internasional: Dialog Segitiga (Triparite Talks). Jakarta: Universitas Indonesia, 1999.
Harian Suara Pembaruan,Edisi 10 November 1993
Media Indonesia, dalam “pertemuan Tripartite Talks di Jenewa”,Swiss Edisi 10 Mei 1999
www.un.org. UNHCR “laporan korban hilang dan tewas pada insiden Dili 1991”. Diakses pada 10 November 2017
Ali Alatas, The Pebble in The Shoe, The Diplomatic Strugle for East Timor. Jakarta: Aksara Karunia, 2006.hal.35
PBB, Penentuan Nasib Sendiri Melalui Jajak Pendapat, (New York: Deppen Publik PBB, 2000). Op.cit. hal.9
Kompas, Edisi 1 Februari 1999
Kompas,Edisi 29 Januari 1999
Harian Suara Timor Timur, Edisi 4 Februari 1999
Wachid Ridwan. Kebijakan Opsi Kemerdekaan Presiden Habibie pada Jajak Pendapat di Timor Timur. Depok. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia 2002



[1]Robert Jackson dan Georg Sorensen. 2009. Pengantar Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 89
[2]P.Anthonius Sitepu. 2011. Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Graha Ilmu. Hal.163
[3]Charles. P. Kindlerberger. Op.Cit,. hal.21
[4]S.L , Roy, 1995, Diplomasi, Jakarta Utara, PT Raja Grafindo persada. hlm. 35.
[5]S.L Roy, op. cit, hlm. 2.
[6]Watson Adam, , 1984, The Dialogues Between States, London, Methuem. hlm. 1.
[7] Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, 1995, hal 12.


[8] Mappa Nasrun, Indonesian Relations With The South Pacific Countries: Problrm and Prospect,
Desertasi, Unahs: 1990, hal. 98
[9] Melalui website http://www.biografiku.com/2009/01/biografi-bj-habibie.html, diakses pada 10 November 2017
[10] Melalui website http://bio.or.id/biografi-presiden-b-j-habibie/, diakses pada 10 November 2017
[11]Ahmad Sahab, Biografi Politik Presiden RI Ketiga BJ Habibie Berbasis Teknologi, Jakarta: Peace, 2008.
[12]Radius Prawiro. Pergaulatan Indonesia Membangun Ekonomi, Pragtisme dalam Aksi. Jakarta: Primamedia Pustaka hlm. 200
[13] Ganewati Wuryandari. “Politik Luar Negeri Indonesia Di Tengah Pusaran Politik Domestik”, P2PLIPI,
2008, hlm 78
[14] Muhammad A.S. Hikam, “Communication Democracy in Indonesia and East Timor”, In Pacifica
Review,Volume 12, Number 1, February 2001, hlm. 83-84.
[16] Muhammad A.S. Hikam, “Communication Democracy in Indonesia and East Timor”, In Pacifica
Review,Volume 12, Number 1, February 2001, hlm 93
[17] Ibid, hlm 95
[18]Djohari, O, Diplomasi RI Dalam Upaya Penyelesaian Masalah Timor Timor Secara Tuntas, Adil, Menyeluruh, Dan Diterima Internasional: Dialog Segitiga (Triparite Talks). Jakarta: Universitas Indonesia, 1999. hal.71
[19]Harian Suara Pembaruan,Edisi 10 November 1993
[20]Ibid
[21]Media Indonesia, dalam “pertemuan Tripartite Talks di Jenewa”,Swiss Edisi 10 Mei 1999
[22]www.un.org. UNHCR “laporan korban hilang dan tewas pada insiden Dili 1991”. Diakses pada 10 November 2017
[23]Djohari, O. 1999. Op.cit. hal.78
[24]Harian Merdeka, Loc.cit
[25]Djohari, O. 1999. Op.cit. hal.91
[26]Ali Alatas, The Pebble in The Shoe, The Diplomatic Strugle for East Timor. Jakarta: Aksara Karunia, 2006.hal.35
[27]Zacky Anwar Makarim. Op.cit, hal.197
[28]PBB, Penentuan Nasib Sendiri Melalui Jajak Pendapat, (New York: Deppen Publik PBB, 2000). Op.cit. hal.9
[29]Djohari, O. 1999. Op.cit.hal.96
[30]Kompas, Edisi 1 Februari 1999
[31]Kompas,Edisi 29 Januari 1999
[32]Harian Suara Timor Timur, Edisi 4 Februari 1999
[33]Djohari, O. 1999. Op.Cit. hal .99
[34]Zacky Anwar Makarim. Op.cit. hal.197
[35]B.J Habibie, Detik-Detik yang menentukan:Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi. Jakarta: THC Mandiri, 2006.hal.252
[36] Wachid Ridwan. Kebijakan Opsi Kemerdekaan Presiden Habibie pada Jajak Pendapat di Timor Timur. Depok. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia 2002
[37]Ibid,.
[38]Ibid,.
[39]Ibid,.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TANTANGAN DIPLOMASI MULTILATERAL INDONESIA PADA MASA PEMERINTAHAN JOKOWI

DIPLOMASI PADA ERA PEMERINTAHAN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO (SBY)

SEJARAH DIPLOMASI INDONESIA PERAN OKI DAN INDONESIA DALAM KONFLIK ISRAEL-PALESTINA