PENYELESAIAN KONFLIK GAM-RI MELALUI DISASTER DIPLOMACY
Dosen : Rachmayani, M.Si
Kelompok 11 :






Kelompok 11 :
1. Azzahra
Tania Saraswati 2016230036
2. Irna
Imroatul Khasanah 2016230034
3. Khanzha
Azalea 2016230187
4. Shania
Aishadevi 2016230
INSTITUT ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK (IISIP)
JAKARTA
INSTITUT ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK (IISIP)
JAKARTA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kekuatan
atau power dalam ilmu hubungan internasional adalah elemen utama. Kekuatan
sendiri diambil dari kata ‘kuat’ yang berarti kemampuan. Dalam sistem
internasional di mana salah satu aktor (negara), power adalah hal yang sangat berpengaruh. Dalam sistem
internasional, sistem itu tidak menyediakan jaminan perlindungan sehingga
menimbulkan kecemasan di antara negara terhadap kelanggengan posisi aman dan
mapan negara tersebut. Belum lagi kemampuan negara yang minim sehingga yang terjadi
adalah tiap pemerintah negara yang berkemampuan minim itu selalu memberikan
usaha untuk menanamkan pengaruhnya dalam politik internasional. Kekuatan bisa
dibagi menjadi dua, yaitu hard power
dan soft power. Bentuk hard power bisa seperti paksaan (coercive) maupun pemberiaan hadiah (reward) dan pada dasarnya, hard power
ini adalah perpaduan antara kemampuan organisatoris (manajemen kekuataan dan
informasi) serta Machiavelis (kemampuan untuk mengancam serta membangun koalisi
kemenangan. Sedangkan soft power
lebih inspirasional karena mereka menarik orang lain dengan cara membangun
hubungan atau ikatan melalui kharisma, komunikasi yang persuasif dan daya tarik
ideologi visioner yang akan membuat orang lain terpengaruh.
Soft power dalam hubungan internasional yaitu
diplomasi. Diplomasi bertujuan agar
pembicaraan mengenai berbagai masalah untuk mencapai kesepakatan yang sesuai
atau setidaknya tidak terlalu merugikan kepentingan nasional masing-masing
negara. Terdapat beberapa jenis diplomasi, seperti diplomasi komersial,
diplomasi demokratis dan diplomasi bencana. Diplomasi bencana atau disaster diplomacy merupakan upaya yang
melahirkan suatu gagasan mengenai bagaimana sebuah bencana bisa digunakan untuk
sarana berdiplomasi di tingkat internasional. Negara yang banyak memberikan
bantuan
dalam penanganan bencana akan
dihormati dan hal tersebut secara tidak langsung akan meningkatkan posisi tawar
negara tersebut dalam interaksi internasional.
Bencana
tidak selalu menjadi faktor yang buruk bagi masyarakat, namun dalam batas
tertentu bencana dapat dikelola untuk menyelesaikan persoalan-persoalan politik
dan konflik yang selama ini tidak terpecahkan, baik dalam konteks level
nasional maupun internasional. Bencana alam juga dapat dikelola untuk menjadi
ruang bagi peningkatan kerjasama politik, ekonomi, sosial budaya yang lebih
luas. Salah satu bencana alam terbesar yang pernah terjadi di Indonesia yaitu,
bencana alam tsunami yang melanda Nanggroe Aceh Darussalam pada tahun 2004.
Meskipun bencana alam tersebut memberi duka yang sangat dalam bagi rakyat Aceh
dan Indonesia. Namun, bencana tsunami yang sebelumnya dianggap sebagai bencana
sekarang bisa berubah menjadi berkah dengan menjadikan bencana tsunami sebagai
dorongan untuk dilangsungkannya perundingan antara GAM dan RI, yang telah
berkonflik kurang-lebih 29 tahun.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang yang dipaparkan di atas maka kelompok kami menyimpulakn suatu
masalah yaitu, bagaimana penyelesaian konflik GAM melalui disaster diplomacy ?
1.3 Tujuan
Tujuan
dari penulisan makalah ini adalah diharapkan untuk mengetahui penyelesaian
konflik GAM melalui disaster diplomacy
untuk menambah wawasan para pembaca secara umum.
BAB II
TEORI DAN KONSEP
TEORI DAN KONSEP
2.1 Liberalisme
Liberalisme
lahir pada abad ke-18 di Prancis sebagai bentuk protes atas ketimpangan yang
terjadi disana sejak lama. Maksud dari ketimpangan itu adalah seperti
terbentuknya dua golongan yaitu, Golongan Pertama, golongan yang memiliki
segalanya termasuk hak atas apapun lantas membuatnya jadi semena-mena atau
dengan kata lain adalah kelompok yang Kaya. Golongan Kedua, adalah golongan
yang hanyab memiliki kewajiban tanpa hak apapun atau dengan kata lain kaum
pekerja. Kaum Pekerja tadi kemudian melakukan pertentangan terhadap bangsawan
untuk menegakkan keadilan dan mencari kebebasan/kemerdekaan. Awalnya mereka
mencari kebebasan dalam bidang ekonomi namun lambat laun mereka mencari
kebebasan dalam bidang agama dan politik. Sikap protes ini sebenarnya di latar
belakangi oleh karya tulisan-tulisan para pemikir di Prancis yaitu, Voltare
(1694-1778), Jean Jacques Rousseau (1721-1778), dan Montesquie (1689-1755) yang
menorehkan tentang bagaimana ketimpangan dan keganjilan yang terjadi di Prancis
serta mengenai betapa buruknya tata negara itu dan mengenai Trias Politica.
Gerakan Prancis sangatlah lama untuk terwujud. Liberalisme baru benar-benar
diterapkan pada tahun 1870 setelah Prancis menjadi negara republic yang ketiga
kalinya. Dan akhirnya Perkembangan Liberalisme mulai diikuti dengan
negara-negara lain disekitar Prancis seperti Belgia, Italia, Austria, dan
Jerman).
Pada
tahun 1970-an, generasi baru para sarjana liberal atau yang disebut kaum
pluralis Liberal mulai mengkritik dominasi Realisme dalam hubungan
internasional. Di tahun yang sama, muncul salah satu literatur kaum Liberal
tentang hubungan ‘transnasional’ dan ‘masyarakat dunia’. Literatur-literatur
tersebut berhasil membuat terobosan yang signifikan terhadap pemisahan
karakteristik yang kaku seperti,
inside/ouside, domestik/internasional yang biasa
dipraktikkan Realisme. Liberalisme
percaya bahwa kekuasaan dan pengaruh dalam politik dunia dijalankan oleh
serangkaian aktor.
Liberalisme
merupakan suatu doktrin yang percaya bahwa manusia bisa memecahkan masalah-masalah
yang terjadi melalui tindakan yang kolektif. Pemikiran bahwa manusia membahami
prinsip-prinsip moral, menunjukkan bahwa usaha untuk meninggikan ‘politik
kekuasaan’ dan mengatur hubungan di antara orang-orang dengan menggunakan
norma-norma resmi dan prinsip-prinsip moral. Kaum Liberal percaya dengan adanya
perdamaian dan berpendapat bahwa perdamaian hanya bisa terjamin jika
sumber-sumber konflik diselesaikan. Menurut mereka, peperangan umumnya adalah
hasil agresi dari sebagian para pemimpin atau negara yang cenderung berperang
untuk mengejar kepentingan tertentu. Liberalisme percaya bahwa selama demokrasi
mengontrol kekuasaan para pemimpin dan negara-negara, peperangan menjadi kurang
lazim. Dengan demikian, sebuah tatanan dunia yang penuh damai akan seperti
suatu kondisi yang di dalam hak asasi manusia dihormati dan ditegakkan.
Bari
para liberal, terbentuknya suatu negara adalah kehendak dari tiap individu,
maka kekuasaan terbesar atau tertinggi dalam suatu negara berada di tangan
rakyat atau dengan kata lain Demokrasi. Salah satu cara untuk menjamin
perlindungan rakyat tersebut pemerintah perlu untuk membentuk sebuah Hukum,
Undang-Undang, Parlemen dan lainnya.
Liberalisme
menjunjung tinggi sistem ekonomi dan mereka mengendaki bahwa rakyat boleh mencari
mata pencaharian mereka sendiri dengan bebas tanpa adanya campur tangan dari
pemerintah, karena itu pula lah Liberalisme memiliki semboyan “Laisser faire, laisser passer, ie monde va
de lui meme” yang artinya “Produksi bebas, perdagangan bebas, dunia akan
berjalan sendiri”. Namun sisi buruknya dalam prinsip ini adalah banyak
perusahaan-perusahaan besar yang memakan atau menghabiskan perusahaan kecil dan
garis pemisah antara Kaya dan Miskin makin membesar.
Sama
seperti sistem ekonominya, bagi para Liberal agama adalah pilihan masing-masing
individu maka mereka juga menolak ada campur tangan pemerintah mengenai agama.
Termasuk jika para liberal memilih untuk tidak menganut agama sekalipun. Para
liberal memiliki pendapat mengenai kebebasan beragama mereka, seperti :
1.
Bebas merdeka memilih agama yang
disukai.
2.
Bebas merdeka menjalani ibadah
menurut agama yang dianutnya.
3.
Bebas merdeka untuk tidak memilih
menganut masalah satu agama.
2.2 Diplomasi
Diplomasi
berasal dari bahasa Yunani yaitu “diploma” yang artinya “sebuah kertas dilipat
dua” yang dimaksudkan bahwa diploma adalah dokumen resmi negara atau sertifikat
perundingan. Menurut Bester’s New World
Dictionary of American Language diplomasi
adalah hubungan relasi antar negara, keahlian dalam berunding atau berhubungan dengan orang lain.
Selain
itu diplomasi juga sebuah kegiatan urusan resmi dengan mengirimkan seseorang
untuk mewakili pemerintahan dengan tujuan untuk menciptakan persetujuan dalam
kacamata kebijakan1. Tidak hanya itu Geoffrey McDermott berkata
bahwa diplomasi adalah pertimbangan dalam manajemen hubungan internasional.
Masing-masing negara, seberapapun kaliber dan ukurannya, selalu ingin
memelihara atau mengembangkan posisinya dalam kancah internasional. Begitulah
adanya, kendati faktanya, akan lebih baik jika lebih sedikit negara nationally minded di negara ini2.
Diplomasi
sebagai salah satu cara untuk mencapai national
interest suatu negara telah mengalami perkembangan yang cukup pesat seiring
perubahan zaman. Hal ini secara tidak langsung menggeser sedikit demi sedikit
arah diplomasi suatu negara dari diplomasi tradisional yang hanya berfokus pada

permasalahan high politics seperti isu perang, perjanjian perdamaian serta
batas-batas negara; menjadi terfokus pada diplomasi modern yang membahas
masalah low politics seperti isu
ekonomi, sosial, dan isu kesejahteraan. Diplomasi modern berkembang pada abad 21 yang merupakan lanjutan dari diplomasi
tradisional. Berbeda dengan diplomasi tradisional yang dilakukan secara
tertutup dan bersifat rahasia untuk publik, diplomasi tradisional biasanya
didominasi oleh peran pemerintah. Sedangkan diplomasi modern dilakukan dengan
lebih terbuka terhadap publik dan aktor yang menjalankan diplomasi modern tidak
hanya pemerintah, melainkan Inter-Governmental
Organization (INGO), Non-Governmental
Organization (NGO), Multinational
Company (MNC) serta individu.
Diplomasi sendiri dengan kata lain adalah cara untuk bernegosiasi dan meski
diplomasi hanyalah berbincang namun diplomasi memiliki beberapa jenis, seperti
;
2.2.1 Diplomasi Komersial
Diplomasi
Komersial adalah diplomasi yang memiliki sentuhan komersial, dengan kata lain
diplomasi mengenai hal-hal yang berbau perdagangan. Pada dunia yang dependen
ini, perdagangan internasional mencangkup hal yang begitu luas seperti
perbankan, telekomunikasi, hukum mengenai korupsi atau penyuapan, dan subsidi
industri.
Dalam
Diplomasi Komersial, mereka mencangkup tentang analisis, advokasi, dan rantai
negoisasi yang mengarah pada perjanjian internasional tentang perdagangan.
Langkah pertama yang diambil dalam Diplomasi ini adalah analisis mendalam
mengenai semua faktor yang memiliki andil dalam pengambilan keputusan seperti,
kepentingan komersial yang dipertaruhkan, dampak makro-ekonomi, kepentingan
para stakeholder dan pengaruh politik
mereka, dan dampak liputan media terhadap
opini publik.
2.2.2 Diplomasi Demokratis
Diplomasi
ini mulai muncul pada tahun 1919 dan mulai berkecimpung ke dalam politik
internasional akibat Presiden Amerika Serikat, Woodrow Wilson di Kongres
Versailles untuk penyelesaian Perang Dunia I. Pengertian Demokratik ini lebih
condong ke pertanggungjawaban pelaksanaan politik luar negeri yang terjadi.
Karena berhubung Amerika adalah negara demokratis maka mereka sangat mewajibkan
adanya pertanggungjawaban atas kebijakan luar negeri mereka pada rakyat karena
mereka memiliki hak ratifikasi.
2.2.3 Diplomasi Bencana
Bencana
adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam
dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya
korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak
psikologis. Dalam KBBI bencana didefinisikan sebagai sesuatu yang menyebabkan
atau menimbulkan kesusahan, kerugian, atau penderitaan. Bencana tidak selalu
menjadi faktor yang buruk bagi masyarakat, namun dalam batas tertentu dapat
dikelola untuk menyelesaikan persoalan-persoalan politik dan konflik yang
selama ini tak terpecahkan, baik dalam konteks persoalan dalam level nasional
maupun antara negara. Bencana alam juga dapat dikelola untuk menjadi ruang bagi
peningkatan kerjasama politik, ekonomi, sosial budaya yang lebih luas.
Negara-negara yang tergolong sebagai daerah yang rawan bencana atau potensial
mengalami bencana alam, yang sebelumnya tidak melakukan kerjasama yang
intensif, bahkan cenderung bermusuhan secara politik, kemudian memilih
melakukan kerjasama untuk mengurangi resiko dan dampak bencana. Studi dari The Cambridge
Review menunjukan temuan yang sangat menarik, bahwa diplomasi bencana alam memberikan peluang yang sangat luas bagi
negara-negara yang selama ini
terlibat dalam konflik kepentingan politik maupun ekonomi, untuk kemudian
memilih bekerjasama daripada meneruskan pilihan untuk berkonflik.
Fenomena
bencana alam mungkin tidak akan berdampak destruktif apabila upaya pencegahan,
secara teknis maupun politis dapat dilakukan dengan baik. Kemudian, apabila
fenomena tersebut dapat dikelola, kemungkinan besar bisa menguntungkan bagi
negara yang terdampak. Dari situlah disaster
diplomacy berjalan dengan cara mengambil peluang yang muncul dari fenomena
yang terjadi3.
Disaster Diplomacy adalah kemampuan berunding untuk
mendapatkan perjanjian atau bantuan
baik dari segi moril maupun materil diantara negara-negara bagi suatu negara
yang sedang mendapatkan bencana, dimana bencana tersebut menimbulkan pengaruh
yang cukup besar bagi penduduk negara tersebut. Diplomasi ini mengenai
bagaimana cara agar kita mampu mengubah situasi. Kelman menemukan bahwa
diplomasi bencana biasanya menghasilkan dampak sebagai berikut: jangka pendek,
jangka panjang, dan efek sebaliknya dari yang diinginkan. Hasil jangka pendek
terjadi ketika bencana menyediakan jalan baru untuk negosiasi antara pihak yang
bermusuhan. Namun, untuk ini akan menjadi sukses perlu ada landasan yang ada
untuk negosiasi. Hasil jangka panjang adalah prasangka baik yang sudah ada
merupakan faktor kuat dalam diplomasi. Yang dimaksud dengan efek sebaliknya
adalah disebabkan kedekatan selama kerjasama penanggulangan bencana memudar,
dan konflik kembali terjadi. Terlepas dari hasil yang berpotensi negatif,
kenyataannya tetap respon terhadap bencana biasanya membawa masyarakat yang
bermusuhan menjadi damai, meskipun untuk beberapa saat.
Sebagai
salah satu bentuk diplomasi yang mampu meredam konflik antara pihak-pihak yang
berlawanan, maka yang menjadi prioritas utama ialah memberikan bantuan baik dari
segi moril maupun materil, agar pihak-pihak yang tengah berkonflik tersebut
dapat mengenyampingkan konflik mereka. Walaupun hubungan antar negara yang
didasari dengan upaya penangan suatu bencana alam, memang tidak akan bertahan
lama. Namun, setidaknya melalui kerjasama yang ada dalam penanganan bencana
alam ini, dapat meminimalisir kemungkinan meluasnya konflik yang terjadi4.
Dalam
jangka pendek, selama berminggu-minggu dan berbulan-bulan, semua bentuk
kegiatan yang berkaitan dengan bencana berpotensi untuk mempengaruhi diplomasi,
seperti dengan menyediakan ruang di mana upaya perdamaian dapat dilakukan. Agar
hal itu terjadi, basis yang sudah ada harus ada untuk rekonsiliasi. Ini bisa
berupa negosiasi yang sedang berlangsung, hubungan budaya formal atau informal,
atau hubungan dagang. Bahkan selama jangka pendek, diplomasi bencana belum
tentu berhasil, karena kegiatan yang berkaitan dengan bencana terkadang dapat
memicu konflik dan mengurangi kesempatan diplomatik - atau sama sekali tidak
berdampak pada perdamaian dan konflik. Terlepas dari apa yang terjadi dalam
jangka pendek, jangka waktu yang lebih lama, faktor non-bencana memiliki dampak
yang lebih signifikan terhadap diplomasi daripada kegiatan yang berkaitan
dengan bencana. Contoh faktor non-bencana adalah perubahan kepemimpinan, saling
tidak percaya, keyakinan bahwa keluhan historis harus menggantikan pertimbangan
kemanusiaan saat ini, atau keinginan untuk konflik karena keuntungan yang
didapat darinya.
Diplomasi
bencana tidak harus memberikan hasil yang spesifik, mengingat pentingnya
kondisi yang sudah ada sebelumnya dalam menentukan apakah diplomasi bencana
dapat berhasil. Akibatnya, diplomasi bencana paling baik dipandang sebagai
proses yang berjalan lama dengan banyak pihak berinteraksi, karena kegiatan
yang

berhubungan dengan bencana memang
satu pengaruh di antara banyak hal dalam semua bentuk diplomasi, namun
perdagangan, pengelolaan sumber daya, olahraga, budaya, kepribadian, politik
dalam negeri, dan politik non-domestik juga merupakan pengaruh besar. Jalur
diplomasi yang ditekankan adalah pilihan, disengaja atau tidak disengaja, oleh
semua pihak. Dengan menggabungkan kegiatan terkait bencana dan diplomatik, hal
itu menjadi kombinasi pilihan dan tindakan yang kompleks. Jika negara memilih
untuk melakukan diplomasi bencana maka secara aktif melobi untuk, mendukung,
dan menerapkannya adalah jalur yang harus diikuti.
Upaya
untuk mempengaruhi jalur diplomasi bencana bisa menjadi bumerang. Seorang
pemimpin, setelah diberitahu tentang bagaimana menerapkan diplomasi bencana,
dapat memutuskan bahwa menghubungkan kegiatan yang berkaitan dengan bencana dan
penyelesaian konflik tidak diinginkan dan, akibatnya, dapat menghentikan
program pengurangan risiko bencana atau menghindari bantuan kemanusiaan. Upaya
terbuka untuk rekonsiliasi yang ditolak oleh pihak lain akan terbukti menjadi
mimpi buruk politik. Secara terbuka memblokir diplomasi bencana bisa membuat
polarisasi orang lain yang kemudian bertekad untuk membuatnya berhasil.
diplomasi adalah proses jangka panjang, memerlukan langkah-langkah bijaksana
dan hati-hati, sambil memastikan bahwa semua pihak utama terus berada di jalur
untuk mendukung tujuan jangka panjang dan untuk memenuhi kepentingan bersama.
Sejauh ini, bukti menunjukkan bahwa tidak dipungkiri diplomasi bencana memiliki
potensi untuk memperbaiki hubungan antar negara dan hubungan lainnya hanya
dalam jangka pendek. Diplomasi bencana adalah cara yang efektif untuk
memperbaiki hubungan antar negara dalam jangka pendek, namun juga bahwa
diplomasi bencana tidak dapat diandalkan untuk memperbaiki hubungan dalam
jangka panjang.
2.3 Kepentingan Nasional
Beberapa
pakar studi Hubungan Internasional menjelaskan definisi Kepentingan Nasional
yang berbeda-beda, mungkin itu sebabnya Kepentingan Nasional sering dijadikan
bahan perdebatan. Menurut Felix E. Oppenheim5, Kepentingan Nasional
merupakan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan pemerintahan sebuah negara
dalam tingkat global atau Internasional seperti integritas territorial dan
penjagaan kemerdekaan politik.
Menurut
Clinton6, Definisi pengertian kepentingan nasional dapat dibagi
dalam dua aspek yaitu yang pertama adalah kepentingan nasional untuk kebaikan
bersama dengan membuang jauh rasa keegoisan, individualis. Lalu yang kedua
adalah kepentingan nasional yang dianggap sebagai prinsip diplomasi yang
dimiliki negara untuk memperjuangkan kepentingan bersama.
James
E Hynmand7 menjelaskan bahwa menurut Morgenthau, “National interest, expressing itself in terms of power objectives, comprises a
fixed, minimum require-cultural identity—and variable, less durable, and less
essential demands of interest groups”
Menurut
Rochester8 terdapat dua asumsi yang muncul dan mendarah daging di
dalam konsep kepentingan nasional yaitu “There
exist and objectively determinable
collective interest which all individual members within a given national
society share equally, and this collective transcends any interest that a
particular subset of those individuals may share with individuals in other
national societies”

Dalam
proses pencapaian Kepentingan Nasional, pengaplikasian Foreign Policy (kebijakan
luar negeri) pun diperlukan. Karena dalam proses pencapaian tujuan dari kepentingan nasional tidaklah terlepas dari kekuatan
atau power seperti mengontrol negara lain agar kepentingan nasional suatu
negara dapat terwujud. “The greater the
stability of society and the sense of security of its members, the smaller are the chances for collective emotions to seek an
outlet in aggressive nationalism and vice versa”9. Dalam kata
lain, kita bisa mengartikan kepentingan
nasional tidak hanya terefleksikan dalam klaim yang spesifik namun juga
kepentingan nasional bisa sama koekstensif seperti Policies10. Oleh karena itu dalam pelaksanaannya, aturan-aturan
atau kebijakan pun diperlukan untuk membangun korespondensi diantara
kepentingan nasional yang dinyatakan sebagai kebutuhan dan jenis kebijakan oleh
yang maju.
Di
dalam pelaksanaan kepentingan nasional, tidak diragukan lagi jika masing-masing
negara memiliki motivasi yang berbeda-beda tergantung dilihat dari segi dimensi
dari kepentingan nasional tiap-tiap negara. Motivasi inilah yang selanjutnya
akan kita sebut sebagai motivation maker,
yang merupakan dasar atau alasan bagi negara-negara untuk melakukan interaksi
dan mengeluarkan power-nya. Setelah motivation maker ditemukan, setiap
negara pasti akan mengeluarkan kekuatannya untuk mencapai tujuannya tersebut.
Sudut
pandang atau Dimensi dari kepentingan nasional pun dapat dikerucutkan lagi menjadi
dua bagian terbagi yaitu core atau basic atau vital interest, dan secondary interest. Sesuai namanya,
kepentingan vital merupakan kepentingan
yang paling utama dan sangat esensial karena menyangkut kedaulatan dan keamanan
negara dan tentu saja tidak dapat di tunda karena bisa berefek pada kerusakan
susunan sebuah negara. Berbeda dengan kepentingan vital, kepentingan sekunder
bisa dikatakan tidak terlalu mendesak seperti sosial
budaya, memperluas territorial
daerah kekuasaan, dan lainnya, dan biasanya bisa ditangguhkan jika beberapa
kepentingan vital belum tercapai atau terlaksanakan.
Kepentingan
nasional jika dilihat dari kacamata prioritasnya terbagi menjadi vital (primer,
utama) dan secondary yang berarti
bahwa kepentingan vital harus didahulukan atau diutamakan dan tidak dapat
ditunda. Sedangkan kepentingan secondary bisa
ditunda terlebih dahulu jika ada kepentingan vital yang lebih mendesak untuk segera direalisasikan.
Dalam proses pencapaian national interest, diperlukan adanya motivation maker
yang tentu saja masing-masing negara memiliki motivasi yang berbeda sesuai
dengan dimensi yang menjadi target negara tersebut.
Dalam
kepentingan nasional peran ‘negara’ sebagai aktor yang mengambil keputusan dan
memerankan peranan penting dalam pergaulan internasional berpengaruh bagi
masyarakat dalam negerinya. Demikian pentingnya karena ini yang akan menjadi
kemaslahatan bagi masyarakat yang berkehidupan di wilayah tersebut. Seorang
ahli, Thomas Hobbes menyimpulkan bahwa negara dipandang sebagai pelindung
wilayah, penduduk, dan cara hidup yang khas dan berharga. Demikian karena
negara merupakan sesuatu yang esensial bagi kehidupan warga negaranya. Tanpa
negara dalam menjamin alat-alat maupun kondisi-kondisi keamanan ataupun dalam
memajukan kesejahteraan, kehidupan masyarakat jadi terbatasi. Sehingga ruang
gerak yang dimiliki oleh suatu bangsa menjadi kontrol dari sebuah negara.
Kepentingan
nasional tercipta dari kebutuhan suatu negara. Kepentingan ini dapat dilihat
dari kondisi internalnya, baik dari kondisi politik-ekonomi, militer, dan
sosial-budaya. Kepentingan juga didasari akan suatu ‘power’ yang ingin
diciptakan sehingga negara dapat memberikan dampak langsung bagi pertimbangan
negara agar dapat pengakuan dunia.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Sejarah Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
Konflik
antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh
disebebabkan oleh ketidakadilan yang dirasakan masyarakat Aceh di berbagai
bidang khususnya di bidang pembangunan. Hal tersebut berdampak pada kemiskinan,
kebodohan, dan tingkat keselamatan masyarakat yang rendah. GAM pada mulanya
sebuah gerakan yang tumbuh di sekitar lokasi industri tepatnya dibukit Chokan,
Pidie. Konflik antara GAM dan Pemerintah Pusat muncul sejak diproklamirkan
kemerdekaan Aceh pada 4 Desember 1976 di Pidie yang dipelopori oleh Muhammad
Hasan Tiro. GAM lahir karena nasionalisme etnis Aceh bangkit sebagai jawaban
terhadap kebijakan pemerintah pusat dengan ABRI atau TNI sebagai penopang utama
yang dianggap tidak adil terhadap rakyat Aceh dan gerakan ini dipandang sebagai
representasi kekecewaan dan kemarahan rakyat Aceh terhadap Indonesia.
Dulu
Aceh merupakan satu-satunya daerah di Sumatra yang memiliki nilai politis di
mata orang-orang Barat, sehingga daerah ini pantas dijadikan subjek sejarah
umum. Aceh dengan latar belakang budaya dan historis keagamaan namun didasari
paham nasionalisme para pendiri bangsa, tuntutan rakyat Aceh tidak terkabulkan.
Hal tersebut menimbulkan rasa kekecewaan bagi masyarakat Aceh. Alasan dibalik
kekecewaan ini sangat fundamental yaitu, dalam proses menuju kemerdekaan Negara
Islam Indonesia, peran rakyat Aceh sangatlah besar dengan berbagai
pemberontakan menentang kedaulatan negara yang baru yaitu, melalui DI/TII oleh
Daud Beureuh. Permasalahan yang dihadapi antara GAM dengan Pmerintah Pusat
sangat kompleks dalam bidang ekonomi dan politik karena kelanutan dari DI/TII
di Aceh yang belum selesai dan kemudian memunculkan msaslah baru yaitu GAM.
Alasan
munculnya GAM secara diam-diam dikarenakan adanya ketidak siapan pihak GAM
untuk langsung berhadapan dengan pihak penguasa baik
pemerintah daerah maupun pusat. GAM
terungkap karena ada beberapa perusahaan besar yang beroperasi di Aceh dikirimi
surat yang berisikan kewajiban mereka membayar pajak kepada GAM, tetapi
perusahaan tersebut tidak memeberikan dana seperti yang diinginkan GAM. Dengan
demikian keberadaan Gerakan Aceh Merdeka ini mulai diketahui oleh pemerintah
bahwa ada gerakan bawah tanah yang memproklamasikan kemerdakaan di Aceh.
Gagasan-gagasan
Hasan Tiro semakin memuncak ketika pemerintahan orde baru mengeksploitasi gas alam
dan minyak bumi di Aceh Utara sejak awal 1970an. Pada 1950an Hasan Tiro pernah
bekerja di kantor perwakilan Indonesia di PBB, New York, Amerika Serikat. Lalu
pada tahun 1954 beliau menggabungkan diri secara terang-terangan ke dalam
Daarul Islam atau DI/TII11. Hasan Tiro menyebut dirinya sebagai ‘Duta
Besar Republik Indonesia Islam Aceh’. Sejak saat itu, beliau berdiplomasi
diluar negeri salah satunya kota New York, Amerika Serikat untuk memasukkan
agenda-agenda tentang Aceh dalam forum internasional PBB. Sekitar tahun 1974
sampai 1975 Hasan Tiro mulai mensosialisasikan idenya dan menggalang kekuatan
untuk mendirikan GAM. Puncaknya yaitu ketika ia mencetuskan GAM pada tahun
1976. Namun, Hasan Tiro tidak lagi menempatkan ideologi islam sebagai misi
utama akan tetapi beliau mengusung tema nasionalisme dan patriotisme. Dalam
perkembangannya GAM telah melalui tiga fase penting, yakni, Fase Pertama
(1976-1989) GAM merupakan organisasi kecil yang anggotanya didominasi kaum
terpelajar dan merupakan gerakan bawah tanah. Fase Kedua (1989-1998) fase ini
lebih dikenal oleh rakyat Aceh sebagai era dimana Aceh berstatus Daerah Operasi
Militer (DOM). Operasi ini memuluskan jalan untuk dilakukannya operasi
bersenjata di Aceh. Fase Ketiga (Pasca 1998) dalam fase ini Pemerintah Pusat
masih menggunakan kekerasan. Dari kejadian ini muncul berbagai pelanggaran HAM
Berat. Dalam bidang politik, kebijakan pemerintah yang sentralistik tampak
dalam penentuan Gubernur dan Bupati, strategi ini diterapkan oleh pemerintah
pusat untuk menjamin agar pemerintah Aceh khususnya Gubernur berada langsung

dibawah kendali pusat. Kebijakan sentralistik yang tidak
memperdulikan culture
local sangat dirasakan dalam pemberlakuan UU No. 5 Tahun 1974 mengenai
pokok-pokok pemerintahan daerah dan Undang-undang No 5 Tahun 1979
menganai pokok-pokok pemerintahan desa. Kedua undang-undang tersebut
menghilangkan nilai-nilai sosio-kultural Aceh. Dan pemberlakuan nilai-nilai
tersebut
menyebabkan rusaknya struktur
pemerintahan tradisional dan
sistem
budaya Aceh. Pemberlakuan undang-undang tersebut
merekayasa lahirnya elit
baru yaitu, elit birokrasi yang ternyata tidak berakar dalam
masyarakat. Faktor
pemicu utama adalah kelahiran birokrat dari Jawa yang
menyingkirkan elit Aceh.
Dalam doktrin pendirian, GAM memiliki ideologi kemerdekaan
nasional yang
bertujuan untuk membebaskan kontrol politik asing dari
pemerintahan Indonesia.
Pada 4 Desember 1976 Hasan Tiro
mengeluarkan naskah proklamasi yang ditulis dalam bahasa Inggris. Berikut
adalah naskahnya ;
DECLARATION
OF INDEPENDENCE OF ACEH-SUMATRA
Aceh, Sumatera, December 4, 1976
We, the people of Acheh, Sumatra,
exercising our rihgt of self-determination, and protecting our historic right
of eminent domain to our fatherland, do hereby declare ourselves free and
independent from all political control of the forign regime of Jakarta and the
alien people of island of Java.
Our fatherland, Acheh, Sumatera, had
always been a free an independent sovereign State since the world begun. Holand
was the first forign power to at attempt to colonize us when it declared war
against the soverign state of Aceh, on March 26 1873, and on the same day
invaded our territory,aided by Javanece mercenaries. The aftermath of this
invasion was duly recorded on the front pages of contemporary news papers all
over the world. The London, TIMES on April, 1873, wrote: "A remarkable
incident in modern colonial history is reported from East Indian Archipelago. A
considerable force of Europeans has been defeated and held in check by the army
of native state...the State of Acheh. The Achehnese have gained a decisive
victory. Their enemy is not only defeated, but compelled to withdraw. "THE
NEW YORK TIMES”, on May 6th 1873, wrote: "A sanguinary battle has taken
place in Aceh, a native Kingdom occupying the Northern portion of the island
of Sumatra. The Dutch delivered a
general assault and now we have details of the result. The attack was repulsed
with great slaughter. The Dutch general was killed, and his army put to
disastrous flight. It appears, indeed, to have been literally decimated."
This event had attracted powerful world-wide attention. President Ulysses
S.Grant of the United States issued his famous Proclamation of impartial
Neutrality in this war between Holland and Acheh.
On Christmast day, 1873, the Dutch
invaded Acheh for the second time, and thus begun what HARPER'S MAGAZINE had
called "A Hundred Years War of Today", one of the bloodiest, and
longest colonial war in human history, during which one-half of our people had
laid down their lives defending our sovereign State. It was being fought right
up to the beginning of world war II. Eight immediate forefathers of the signer
of this Declaration died in the battlefields of that long war, defending our
sovereign nation, all as successive rulers and supreme commanders of the forces
of the sovereign and independent State of Acheh, Sumatra.
However, when, after World War II,
the Dutch East Indies was supposed to have been liquidate, an empire is not
liquidated if its territorial integrity is preserved, our fatherland, Acheh,
Sumatra, was not returned to us. Instead, our fatherland was turned over by the
Dutch to the Javanese their ex-mercenaries, by hasty flat of former colonial
powers. The Javanese are alien and foreign people to us Achehnese Sumatrans. We
have no historic political, cultural, economic or geographic relationship with
them. When the fruits of Dutch conquests are preserved, intact, and then
bequeathed, as it were, to the Javanese, the result is inevitable that a
Javanese colonial empire would be established in place of that of the Dutch
over our fatherland, Acheh, Sumatra. But, colonialism, either by white, Dutch,
Europeans or by brown Javanese, Asians, is not acceptable to the people of
Acheh, Sumatra.
This illegal transfer of sovergnty
over our fatherland by the old, Dutch, collonialisme, eather by white, Dutch
colonialist to the new, Javanese colonialist, was done in the most appalling
political fraud of the century. The ducth colonialist was supposed to have
turned over sovereignty over our fatherland to a new nation called Indonesia.
But Indonesia was a fraud : a cloak to cover up Javanese coloniaisme. Sincethe
world begun, there never was a people, much less a nation, in our part pf the
world by that name. No such people existed in the Malay archipelago by
definition of ethnology, philology, cultural anthropology, sociology, or by any
other scientific findings. “Indonesia is merely a new lebel in a totally
foreign nomenclauture, which has nothing to do with our own history, language,
culture, or interest, it was a new label considered useful by
the Ducth to replace the despicable “Dutch East Indies”, in an attempt to unite
administration of their illgotten, far-flung colonies, and the Javanese neo
colonialist knew its usefulness to gaint fraudulent recognition from the unsus
pecting world, ignorant of the history of the malay archipelago. If Ducth
colonialisme was wrong, the Javanese colonialis which was sequarely based on it
cannot be right. The most fundamental principle of international law states :
Ex injuria just non oritur (right cannot originate from wrong)!
The Javanese, nevertherless, are
attempting to perpetuate colonialism which all the western colonial powers had
abandoned and all the world had comemdem. During these last thirty years the
people of Acheh, Sumatera, have withnessed how our fatherland has been
exploited and driven into ruines condition by Javanese neo colonialis. They have
stolen our properties; they have robbed us from our livehood; they have ebused
the education of our children; they have exiled pour leaders; they have people
in chains of tyranny, poverty, and neglect: the life expectancy of our people
is 34 years and is increasing! While Acheh, Sumatera has been producing a
revenue of over 15 bilion US dollars for the Javanese neo colonialist, which
they used totally for the benefit of Java and Javanese.
We the people of Acheh, Sumatra,
would have not quarrel with the Javanese, if they had stayed in their own
country, and if they had not tried to lord it over us. From now, we intend to
be the masters in our own house: the only way life is wroth living; to make our
laws: as we see fit: to became sovereign in our own fatherland!
Our cause is jut! Our land is
endowed by the almighty with plenty and bounty. We covet no foreign territory.
We intend to be a worthy contributor to human welfare the world over. We extend
the hands of friendship to all people and to all governments from the corners
of the earth.
In the name of sovereign people of Acheh, Sumatra.
Tengku Hasan M. di Tiro
Chairman National Liberation Front of Acheh,
Sumatra, and head of state.
Deklarasi
Kemerdekaan Aceh-Sumatra
Aceh,
Sumatra, 4 Desember 1976
Kepada
Rakyat Dunia
Kami, rakyat Aceh Sumatra menghikmatkan hak kebulatan hati
kami dan menjaga daerah kekuasaan kami yang ulung kepada tanah air kami, dengan
ini menyatakan kebebasan diri kami dan kemerdekaan dari semua kendali politik
dari rezim asing di Jakarta dan rakyat asing di pulau Jawa. Tanah air kami
Aceh, Sumarta selalu menjadi sebuah Negara berkuasa dan bebas merdeka semenjak
dunia ini dimulai. Belanda adalah kekuatan asing pertama berusaha untuk
menjajah kami ketika mereka memutuskan berperang melawan Negara kekuasaan Aceh,
pada tanggal 26 maret 1873.
Dan pada hari yang sama menginvasi wilayah kami di Bantu
oleh prajuri-prajurit Jawa. Akibat dari invasi ini sebagaimana tercatat pada
halaman terdepan surat kabar saat itu di sebuah dunia, sebuah surat kabar
London Times, pada tanggal 22 April 1873 menuliskan sebuah peristiwa luar biasa
pada sejarah penjajahan modern di laporkan dari kepulauan Hindia sebelah timur
setelah serangan yang dahsyat dari Eropa telah di kalahkan dan di kendalikan
oleh tentara pribumi Negara Aceh. Masyarakat Aceh telah memperoleh kemenangan
yang meyakinkan musuh mereka bukan hanya saja di kalahkan, tetapi memaksa musuh
untuk menarik kembali pasukannya. Surat kabar New York Time pada tanggal 6 Mei 1873
menuliskan “sebuah peperangan yang penuh harapan terjadi di Aceh, sebuah
kerajaan pribumi yang menempati sebelah utara pulau Sumatra. Pemerintah Belanda
mengirimkan seorang Jenderal penyerangan dan sekarang kita mempunyai perincian
dari hasilnya. Serangan itu terpukul mundur dengan pembantaian hebat. Jendral
Belanda terbunuh dan pasukannnya melarikan diri secara mengenaskan. Hal itu
sungguh-sungguh memperlihatkan kejadian tersebut menghabiskan sebagian besar
tentara Belanda tersebut. “Kejadian itu telah menarik seluruh perhatian dunia.
Presiden USA, Ulyysess. S Grant mengeluarkan proklamasi yang sangat terkenal
akan ketidakberpihakan yang bersifat netral antara Belanda dan Aceh.
Pada hari Natal 1873, Belanda menguasai Aceh untuk kedua
kalinya. Dan kemudian dimulailah apa yang di sebut oleh majalah Harpers sebagai
perang seratus tahun pada hari ini, salah satu dari kejadian berdarah, dan

merupakan perang penjajahan paling lama di dalam sejarah
manusia. Pada waktu dimana satu setengah rakyat kami mengorbankan hidupnya
untuk mempertahankan bangsa kekuasaan kami, ini yang menjadi pertarungan yang
menuju mulainya perang dunia kedua. Delapan nenek moyang yang menandatangani
deklarasi itu telah mati pada pertempuran yang panjang itu. Mempertahankan
bangsa kekuasaan kami, semuanya sebagai raja atau penguasa berturut-turut dan
panglima tertinggi pada kekuatan atas kekuasaan dan kemerdekaan Negara Aceh
Sumatra.
Bagaimanapun, ketika perang dunia kedua, Hindia Belanda
telah memperkirakan Aceh menjadi musnah. Sebuah kerajaan tidaklah musnah jika
keutuhan wilayahnya masih terjaga, tanah air kami, Aceh Sumatra tidak di
kembalikan kapada kami, malah sebaliknya tanah air kami di kembalikan kepada
orang Jawa bekas pasukan mereka, dengan cara yang sama sekali tergesa-gesa oleh
bentukan kekuasaan kolonial. Masyarakat Jawa adalah orang asing dan masyarakat
asing bagi kami, masyarakat Aceh Sumatra. Kami tidak mempunyai sejarah politik,
ekonomi, budaya, geografi yang berhubungan dengan mereka, ketika hasil dari
penaklukan Belanda terpelihara, utuh dan kemudian terwarisi seperti kepada
masyarakat Jawa, hasilnya adalah tidak dapat di hindari lagi bahwa sebuah kerajaan
kolonial Jawa akan berdiri di atas tanah air kami, Aceh Sumatra. Tetapi,
kolonialisme entah dari kulit putih Eropa atau kulit coklat Jawa, Asia, tidak
dapat diterima oleh rakyat Aceh Sumatra.
Penyerah terimaan yang ilegal (tidak sah) pada kekuasaan di
atas tanah air kami, oleh yang tua, Belanda, si kolonialis, kepada yang baru si
kolonialis Jawa telah dilakukan dalam penipuan politik yang sangat menjijikan.
Di abad ini kolonial Belanda mengira telah mengembalikan kekuasaan tanah air
kami kepada sebuah bangsa yang baru yang di sebut Indonesia, tetapi Indonesia
adalah sebuah penipuan, sebuah selubung yang menutupi kolonialisme Jawa.
Semenjak dunia dimulai, tidak pernah ada masyarakat apalagi sebuah bangsa yang
termasuk bagian kita di dunia dengan nama tersebut. Tidak ada orang yang hidup
di kepulauan Malay yang secara definisi dari ilmu etnologi, filologi,
anthropology, sosiologi, atau ilmu pengetahuan lain yang menemukannya.
Indonesia adalah nama baru Belanda, pada seluruh tata nama asing yang tidak melakukan
apapun kepada sejarah, bahasa, budaya, atau kepentingan lainnya yang kami
miliki. Itu adalah nama baru yang di pertimbangkan dan di gunakan oleh Belanda
untuk mengganti nama lama Hindia Belanda Timur. Didalam sebuah usaha untuk
menyatukan pemerintahan haramnya. Koloni yang buas sekali, dan neokolonialis
Jawa di ketahui ini sangat berguna untuk mendapatkan
pengakuan secara curang dari dunia yang tak diduga. Tidak
mengetahui sejarah dari kepulauan Malay jika kolonialisme Belanda salah, kemudian
kolonialisme Jawa yang mana secara jujur berdasarkan kolonialis Belanda
tidaklah bisa menjadi benar. Azas pokok internasional menyatakan : Ex injura
just non oritur, yakni kebenaran tidak dapat di mulai dari kesalahan.
Jawa, meskipun begitu, berusaha mengabadikan kolonialisme
yang mana semua kekuatan kolonial Barat telah di tinggalkan dan seluruh dunia
mengutuknya. 30 tahun terakhir, masyarakat Aceh Sumatra menjadi sakit bagaimana
tanah air kami di eksploitasi dan di kendalikan menuju kondisi hancur binasa
yang di lakukan oleh kolonialis Jawa. Mereka telah mencuri milik-milik kami.
Mereka sudah merampok kami dari pencaharian kami. Mereka telah memperlakukan
kasar terhadap pendidikan anak-anak kami mereka sudah menghasilkan para
pemimpin kami. Mereka sudah menaruh masyarakat kami pada rantai tirani,
kemiskinan, dan di sia-siakan. Harapan hidup masyarakat kami adalah tiga puluh
empat tahun dan terus menurun. Bandingkan hal ini dengan standar dunia yaitu
tujuh puluh tahun dan terus meningkat. Di saat Aceh, Sumatra, telah
menghasilkan penghasilan di atas 15 milyar dolar US setiap tahun untuk
neokolonialis Jawa dan masyarakatnya.
Kami masyarakat Aceh, Sumatra tidak akan berselisih dengan
orang Jawa jika mereka tinggal di daerah mereka, dan mereka tidak mencoba untuk
berbuat seolah-olah mereka berkuasa atas kami. Dari keadaan di atas, kami
memutuskan untuk menjadi tuan rumah kami sendiri. Satu-satunya jalan hidup yang
paling berharga, membuat hukum kami sendiri. Saatnya jalan hidup yang paling
berharga, membuat hukum kami sendiri. Sebagai keputusan kami untuk menjadi
penjamin atas kebebasan dan kemerdekaan diri kami. Sebagaimana kami sanggup
untuk menjadi setara dengan bangsa-bangsa lain di dunia sebagai mana nenek
moyang kami selalu lakukan. Dan waktu dekat, untuk menjadi penguasa di atas
tanah air kami.
Semua ini di karenakan tanah kami adalah berkah dari yang
maha kuasa yang berlimpah dan dirahmati. Kami tidak menginginkan wilayah
kekuasaan asing, kami bertujuan menjadi kontributor yang berharga untuk kesejahteran
manusia di dunia. Kami menawarkan persahabatan kepada semua masyarakat dan
kepada semua pemerintahan dari semua penjuru dunia.
Atas nama
kekuasaan orang Aceh-Sumatra
Teuku
Hasan M Tiro
Naskah
tersebut terdapat dua hal yang ditegaskan oleh Hasan Tiro yang pertama,
mengenai Bangsa Aceh sampai Sumatera. Kedua, mengenai daerah yang menjadi
kekuasaan bangsa Aceh sampai Sumatera yang hanya bersifat pengumuman dan tidak
mencantumkan secara detail mengenai ideologi negara. Naskah proklamasi tersebut
menuai reaksi keras dari sejumlah tokoh GAM karena pada pembukaan tidak
disertai ucapan ‘Bismillah’ dan diakhiri dengan Takbir. Namun reaksi ini tidak
di gubris oleh Hasan Tiro. Naskah proklamsi GAM setidaknya menjadi pijakan
utama menilai gagasan ideologi dan orientasi GAM. Dalam naskah tersebut tidak
terdapat penegasan bahwa ideologi islam menjadi pilihan masyarakat Aceh.
Menanggapi hal tersebut, GAM menyusun kabinet Negara Aceh Sumatera. Akan tetapi
kabinet tersebut belum berfungsi hingga pertengahan 1977 dikarenakan para
anggota kabinet pada umumya masih berbaur dengan masyarakat luas untuk
berkampanye dan persiapan perang gerilya.
Kabinet
Negara Aceh Sumatra baru melaksanakan sidang perdananya pada tanggal 15 Agustus
1977. Sedangkan upacara pelantikan dan pengumpulan anggota kabinet dilaksanakan
pada tanggal 30 Oktober 1977 di camp Lhok Nilam di pedalaman Tiro, Pidie.
Kabinet tersebut hanya terdiri dari beberapa orang saja, yaitu :
Kabinet
Neugara Atjeh
Wali Neugara :
DR.
Teungku Hasan Di Tiro, LL.D
(Head of State)
Meuntroe Pertahanan :
DR.
Teungku Hasan Di Tiro, LL.D
(Minister of Defence)
Meuntroe Luwa Nanggroe :

DR.
Teungku Hasan Di Tiro, LL.D
13
Al Chaidar, (1999), Gerakan Aceh Merdeka Jihad
Rakyat Mewujudkan Negara Islam, h.146
(Minister of Foreign
Affair)
Wakil Meuntroe Luwa Nanggroe :
DR.
Mukhtar J. Hasbi, HD. DTMH
(Deputy Minister of
Foreign Affair)
Meuntroe Dalam Nanggroe :
DR.
Mukhtar J. Hasbi, HD. DTMH
(Minister of Internal
Affair)
Meuntroe Keuadilan :
Teungku
Hadji Ilyas Leubee
(Minister of Justice)
Meuntroe Peundidikan :
DR.
Hasaini M. Hasan, MD
(Minister of Education)
Meuntroe Kesehatan :
DR.
Zaini Abdullah, MD
(Minister of Health)
Meuntroe Sosial :
DR.
Zubair Mahmud, MD
(Minister of Social
Affair)
Meuntroe Pembangunan dan Buet Umum :
Ir. Teungku Asnawi Ali, Dipl. Ingg (Minister
of Development on Public Work)
Meuntroe Keuangan :
Teungku
Muhammad Usman
(Minister of Finance)
Meuntroe Perhubungan :
Mr.
Amir Ishak
(Minister of
Communication)
Meuntroe Perdagangan :
Mr. AR. Mahmud (Minister of Trade)
Pengikut
awal kabinet tersebut berjumlah sekitar 200 orang yang mayoritas berasal dari
tempat kelahiran Hasan Tiro, maka tidak heran bahwa dalam keanggotaan GAM
banyak terdapat hubungan keluarga dengan Hasan Tiro sendiri.
Sejalan
dengan berjalannya waktu GAM yang berawal di Pidie mulai meluas ke Aceh Utara
dan Aceh Timur melalui ringkasan Hasan Tiro tentang Aceh yang disebarluaskan
dalam bentuk buku atau buletin. Dikedua daerah tersebut, GAM menemukan
momentumnya untuk melakukan sebuah gerakan terencana sejalan dengan munculnya
berbagai ketimpangan sosial ekonomi terutama antara penduduk setempat dengan
pendatang. Selama GAM berdiri, mereka telah berhasil merekrut banyak pemuda
Aceh untuk menjadi anggota bahkan GAM disinyalir telah mampu mempengaruhi
gerakan mahasiswa. Selain itu GAM berhasil membentuk beberapa LSM yang turut
mendukung pemisahan Aceh dari Indonesia, salah satunya adalah SIRA (Sentra
Informasi Referendum Aceh).
Masyarakat
Aceh mengalami dilema pada masa itu yang disebabkan oleh kompetisi memilukan
antara GAM dan Pemerintah Pusat. Di satu sisi rakyat harus membantu baik dari
segi finansial, material dan fisikal kepada pihak GAM. Namun di sisi lain jika
rakyat berpihak kepada Pemerintah Pusat maka akan dijadikan sasaran pembunuhan
dan penganiayaan. Oleh karena itu diperlukan solusi yang baik dengan tidak
mengorbankan rakyat Aceh untuk kesekian kalinya. Akibat konflik yang dari tahun
ke tahun tidak terselesaikan menyebabkan banyak masyarakat beralih profesi dari
petani menjadi pedagang, peternak atau penarik becak. Masyarakat kecewa akan
kondisi ini karena mereka harus berdaptasi

dengan pekerjaan baru mereka. Ketika
bekerja mereka selalu diawasi oleh TNI yang menyebabkan ruang gerak masyarakat
menjadi terbatas atau tidak bebas.
GAM
memiliki tiga strategi dalam membangun kekuatan organisasinya. Pertama, memanfaatkan
sikap represif pemerintah pada kondisi Aceh. Kedua, melalui pembangunan jalur
internasional. Ketiga, memanfaatkan perasan takut dan khawatir para investor
lokal maupun asing yang berdiam di Aceh.
Bila
diambil dari sisi pribadi Hasan Tiro, maka alasan dia melancarkan GAM adalah ;
Satu, keinginan untuk menunjukkan eksistensi diri yang menyandang gelar Tiro
dalam sejarah seperti yang dilakukan oleh nenek moyangnya. Kedua, karena ambisi
untuk menjadi pemimipin Aceh. Ketiga, rasa simpati dan prihatin terhadap
masyarakat Aceh.
3.2 Diplomasi GAM
Orde
Baru menanggapi konflik GAM dengan cara represif. Hasil dari konflik antara
ribuan anggota GAM dan tentara Republik Indonesia yang berlarut-larut, membuat
Pemerintah Orde baru mengirimkan ribuan tentara sebagai alat untuk menumpas
pemberontakan separatis GAM. Selama konflik terjadi, banyak kejadian kekerasan
yang terjadi antara TNI dengan anggota GAM. Setelah upaya CoHa yang gagal
mewujudkan perdamaian di Aceh tahun 2003, baku tembak senjata api terjadi di hampir
seluruh bagian Aceh. Baku tembak yang sering terjadi dilakukan oleh pemberontak
bersenjata entah itu pasukan GAM atau pun masyarakat yang menolak GAM dan juga
dari TNI. Selain baku tembak yang terjadi, ada juga kasus penculikan yang
dilakukan oleh ketiga pihak tersebut. Penculikan oleh GAM dilakukan untuk
meminta uang tebusan, dan dari hasil tebusan tersebut digunakan untuk membiayai
kegiatan mereka. Biasanya yang menjadi target adalah pegawai pemerintah,
termasuk guru-guru, juga menjadi target. Alasannya adalah karena biasanya
orang-orang tersebut lebih kaya dan bisa memenuhi uang tebusan. Masyarakat desa
umumnya tidak menjadi target. Menanggapi hal tersebut, pemimpin masyarakat
bertindak dalam negosiasi kedua belah pihak dalam penculikan. Pemimpin
masyarakat tersebut bisa Kepala Desa atau Kepala Mukim. Proses negosiasi dalam
penculikan ini biasanya tidak mudah.
Baku
tembak yang berlarut-larut dalam beberapa waktu di Aceh kemudian mulai surut
setelah terjadinya tsunami di Aceh akhir tahun 2004. Tsunami yang menyebabkan
kematian ratusan ribu orang di sekitar Aceh dan Pulau Nias di antaranya
menyebabkan banyak anggota GAM yang tewas. Setelah bencana alam tsunami, kasus
penculikan dan kekerasan sudah mulai jarang terjadi bahkan hampir tidak pernah
terjadi. Namun demi terwujudnya tujuan GAM untuk Aceh yang merdeka dan
berdaulat, bantuan-bantuan internasional untuk korban tsunami Aceh kemudian
dirampok untuk keperluan tentara GAM itu sendiri. Karena adanya perbedaan
kepentingan antara Indonesia-GAM hal tersebut menarik perhatian dunia
internasional untuk menanganinya. Desakan agar Indonesia bisa menyelesaikannya
dengan segera kemudian menghadirkan pihak ketiga dari Non-Governmental Organization (NGO) yang ingin segera menangani
krisis di Indonesia.
3.3 Diplomasi GAM Pasca Tsunami Aceh
Jika
pada masa sebelum tsunami, diplomasi yang dilakukan oleh provinsi Aceh sangat
minim dengan pihak mana pun, termasuk dengan dalam negeri. Namun hal tersebut
berubah setelah terjadinya tsunami. Daya tarik Aceh meningkat dan hubungan luar
negeri pun semakin meningkat. Perundingan yang paling alot adalah kasus
penyelesain konflik di Aceh antara GAM dan RI. Masa presiden Megawati Soekarno
Putri sempat dilakukan perundingan dengan meneruskan rangkaian perundingan yang
dirintis oleh presiden sebelumnya, Abdurrahman Wahid dalam program Cessation of Hostilities Agreement
(CoHA), yang diharapkan bisa mengembalikan Aceh ke dalam Republik Indonesia,
namun praktek ini gagal. Bahkan Megawati melakukan kesalahan dengan menggantikan
kegagalan CoHA ini dengan menerapkan Darurat Militer sejak 19 Mei 2003, yang
akhirnya bukan menyelesaikan konflik justru membuat penyelesaian konflik GAM-RI
semakin sulit.
Bencana
alam kemudian mendukung percepatan negosiasi ini, yaitu gempa dan tsunami yang
melanda Aceh pada 26 Desember 2004. Setelah peristiwa ini, pihak asing dengan
mudah masuk ke Aceh (teritorial wilayah Indonesia) dengan alasan kemanusiaan.
Pihak asing meminta jaminan agar bentuan dapat disalurkan dengan lancar, karena
jika masih terjadi kontak senjata antara GAM dan TNI akan mengganggu pemberian
bantuan terhadap korban tsunami. Dengan alasan ini juru runding GAM akhirnya
menyatakan bahwa demi kepentingan rakyat Aceh, mereka bersedia berunding. Dalam
proses perdamaian ini, wakil pemerintah Indonesia dan GAM dipertemukan dengan Crisis Management Initiatives (CMI)
sebagai mediator dengan mantan presiden Finlandia, Martti Ahtisaari sebagai
pemimpinnya. Salah satu alasan Martti terpilih sebagai juru runding adalah
reputasinya dalam persoalan kemanusiaan sehingga dapat menjadi jembatan antara
kedua belah pihak.
Lokasi
yang dipilih sebagai tempat mediator adalah kota Helsinki, Finlandia, di
Königstedt Manor pada bulan Januari-Agustus 2005. Dalam prosesnya pemerintah
Indonesia dan GAM menandatangani Memorandum
of Understanding (MoU). Perjanjian ini terdapat enam pokok bahasan yang
berkenaan dengan Penyelenggaraan Pemerintah Aceh, Undang-undang tentang
Pemerintahan di Aceh, Partisipasi Politik, Ekonomi, Peraturan
Perundang-undangan, HAM, Amnesti dan reintegrasi ke dalam masyarakat,
Pengaturan Keamanan, Pembentukan Misi Monitoring Aceh, dan Penyelesaian
perselisihan.
CMI
menjadi mediator yang baik karena posisinya yang netral dan berasal dari NGO
yang tidak memiliki kepentingan politik apapun dalam konflik ini. Setelah
putaran pertama, Ahtisaari meminta Uni Eropa untuk membantu mendanai
pembicaraan ini dan untungnya disetujui. Uni Eropa memegang peran penting dalam
Mou karena UE membantu terbentuknya Aceh Monitoring Mission (AMM) bekerjasama
dengan ASEAN. Alasan ASEAN dimasukkan ke dalam AMM untuk menenangkan pemerintah
Indonesia yang menganggap AMM memiliki banyak komponen lokal.
Tercapainya
perundingan putaran pertama hingga ke lima dan ditandatanganinya draft MoU Helsinki adalah pencapaian
puncak dalam konflik Aceh. Meski pada putaran-putaran sebelumnya terjadi banyak
krisis dan tidak adanya titik temu, Martti bersedia menjadi perantara
perundingan dengan syarat bahwa RI benar-benar ingin menyelesaikan persoalan
separatism GAM secara tuntas. Dari perundingan ini, perjanjian Helsinki dapat
menyelesaikan konflik secara permanen bukan cease
fire atau genjatan senjata.
BAB IV
PENUTUP
4.1 KesimpulanA
Liberalisme
merupakan perspektif dalam ilmu hubungan internasional yang lahir pada tahun
1970-an yang percaya bahwa manusia bisa memecahkan masalah-masalah yang terjadi
melalui tindakan yang kolektif. Pemikiran tersebut menunjukkan baahwa usaha
untuk meninggikan kekuasaan politik dan meengatur hubungan di antara
orang-orang harus menggunakan norma-norma resmi dan prinsip-prinsip moral. Oleh
karena itu perlu dilaksanakan diplomasi sebagai salah satu cara untuk mencapai
kepentingan nasional suatu negara. Kepentingan nasional yang dianggap sebagai
prinsip diplomasi yang dimiliki oleeh tiap negara untuk memperjuangkan
kepentingan bersama menjadikan negara tersebut melakukan diplomasi dengan
negara lain atau aktor lainnya (dalam ilmu hubungan internasional) untuk
mencapai kepentingan bersama.
Dalam
menyelesaikan konflik GAM di Aceh, pemerintah Indonesia memanfaatkan Disaster Diplomacy yang disebabkan oleh
Tsunami Aceh pada tahun 2004. Dengan memanfaatkan momentum yang ada, pemerintah
Indonesia mencari bantuan luar negeri untuk membantu Indonesia dalam
menyelesaikan konflik GAM serta penanggulangan bencana tsunami yang melanda
Aceh pada tahun 2004 yang membawa hasil yaitu Aceh tetap menjadi bagian dari
NKRI yang mendapat otonomi khusus dari pemerintah pusat.
DAFTAR PUSTAKA
Al Chaidar. 1999. Gerakan Aceh Merdeka Jihad Rakyat Mewujudkan
Negara Islam. Jakarta: Madani
Press.
Clinton, W David (1986) “The National Interest: Normative Foundations”
The Review Of Politics, vol 48, No.
4; hal. 495-519
“Diplomasi Komersial Adalah Diplomasi dengan Sentuhan
Komersial”. Diakses
pada 28 November 2017.
Editor, No. 43/ThnIV/13 Juli 1991
Hans Morgenthau, dalam Lake 1981
Hyndmand, James E. (1970/1971) “National Interest and The New Look” International Journal, vol. 26, No 1;
hal. 5-18
“Mediasi Konflik Aceh dan GAM”.
Diakses pada tanggal 27 Novermber 2017. https://www.seniberpikir.com/mediasi-konflik-aceh-gerakan-aceh-merdeka-gam/
Ninic, Miroslav (1999) “The National Interest and its Interpretation”
The Review of Politic, Vol 61;
hal. 29-55
Nurhasim, Moch. 2008. Konflik dan Integrasi Politik Gerakan Aceh
Merdeka, Kajian Tentang Konsensus
Normatif Antara RI-GAM dalam Perundingan Helsinki. PUSTAKA PELAJAR,
Yogyakarta.
Nurhasim, Moch, dkk. 2003. Konflik Aceh: Analisis atas Sebab-sebab Konflik,
Aktor
Konflik, Kepentingan dan Upaya penyelesaian. Jakarta:
LIPI.
Oppenheim, Felix E (1987) “National Interest. Rationally, and Morality
“Political Theory, vol 15, No. 3;
hal. 369-389
“Pengertian Liberalisme dan Sejarah
Liberalisme”. Diakses pada tanggal 28 November 2017. http://www.artikelsiana.com/2015/01/pengertian-liberalisme-sejarah-liberalisme.html?m=1
Rochester, J Martin (1978) “The National Interest and Contemporary World
Politics” The Review of Politics. Vol 40,
no 1; hal. 77-96
Komentar
Posting Komentar