PENYELESAIAN KONFLIK GAM-RI MELALUI DISASTER DIPLOMACY

Dosen : Rachmayani, M.Si

Kelompok 11 :
1.         Azzahra Tania Saraswati         2016230036
2.         Irna Imroatul Khasanah           2016230034
3.         Khanzha Azalea                       2016230187
4.         Shania Aishadevi                     2016230

INSTITUT ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK (IISIP)
JAKARTA


BAB I
PENDAHULUAN



1.1  Latar Belakang

Kekuatan atau power dalam ilmu hubungan internasional adalah elemen utama. Kekuatan sendiri diambil dari kata ‘kuat’ yang berarti kemampuan. Dalam sistem internasional di mana salah satu aktor (negara), power adalah hal yang sangat berpengaruh. Dalam sistem internasional, sistem itu tidak menyediakan jaminan perlindungan sehingga menimbulkan kecemasan di antara negara terhadap kelanggengan posisi aman dan mapan negara tersebut. Belum lagi kemampuan negara yang minim sehingga yang terjadi adalah tiap pemerintah negara yang berkemampuan minim itu selalu memberikan usaha untuk menanamkan pengaruhnya dalam politik internasional. Kekuatan bisa dibagi menjadi dua, yaitu hard power dan soft power. Bentuk hard power bisa seperti paksaan (coercive) maupun pemberiaan hadiah (reward) dan pada dasarnya, hard power ini adalah perpaduan antara kemampuan organisatoris (manajemen kekuataan dan informasi) serta Machiavelis (kemampuan untuk mengancam serta membangun koalisi kemenangan. Sedangkan soft power lebih inspirasional karena mereka menarik orang lain dengan cara membangun hubungan atau ikatan melalui kharisma, komunikasi yang persuasif dan daya tarik ideologi visioner yang akan membuat orang lain terpengaruh.

Soft power dalam hubungan internasional yaitu diplomasi. Diplomasi bertujuan agar pembicaraan mengenai berbagai masalah untuk mencapai kesepakatan yang sesuai atau setidaknya tidak terlalu merugikan kepentingan nasional masing-masing negara. Terdapat beberapa jenis diplomasi, seperti diplomasi komersial, diplomasi demokratis dan diplomasi bencana. Diplomasi bencana atau disaster diplomacy merupakan upaya yang melahirkan suatu gagasan mengenai bagaimana sebuah bencana bisa digunakan untuk sarana berdiplomasi di tingkat internasional. Negara yang banyak memberikan bantuan


dalam penanganan bencana akan dihormati dan hal tersebut secara tidak langsung akan meningkatkan posisi tawar negara tersebut dalam interaksi internasional.

Bencana tidak selalu menjadi faktor yang buruk bagi masyarakat, namun dalam batas tertentu bencana dapat dikelola untuk menyelesaikan persoalan-persoalan politik dan konflik yang selama ini tidak terpecahkan, baik dalam konteks level nasional maupun internasional. Bencana alam juga dapat dikelola untuk menjadi ruang bagi peningkatan kerjasama politik, ekonomi, sosial budaya yang lebih luas. Salah satu bencana alam terbesar yang pernah terjadi di Indonesia yaitu, bencana alam tsunami yang melanda Nanggroe Aceh Darussalam pada tahun 2004. Meskipun bencana alam tersebut memberi duka yang sangat dalam bagi rakyat Aceh dan Indonesia. Namun, bencana tsunami yang sebelumnya dianggap sebagai bencana sekarang bisa berubah menjadi berkah dengan menjadikan bencana tsunami sebagai dorongan untuk dilangsungkannya perundingan antara GAM dan RI, yang telah berkonflik kurang-lebih 29 tahun.

1.2  Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan di atas maka kelompok kami menyimpulakn suatu masalah yaitu, bagaimana penyelesaian konflik GAM melalui disaster diplomacy ?

1.3  Tujuan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah diharapkan untuk mengetahui penyelesaian konflik GAM melalui disaster diplomacy untuk menambah wawasan para pembaca secara umum.

                                                                     
                                                                                     BAB II
                                                                          TEORI DAN KONSEP



2.1  Liberalisme

Liberalisme lahir pada abad ke-18 di Prancis sebagai bentuk protes atas ketimpangan yang terjadi disana sejak lama. Maksud dari ketimpangan itu adalah seperti terbentuknya dua golongan yaitu, Golongan Pertama, golongan yang memiliki segalanya termasuk hak atas apapun lantas membuatnya jadi semena-mena atau dengan kata lain adalah kelompok yang Kaya. Golongan Kedua, adalah golongan yang hanyab memiliki kewajiban tanpa hak apapun atau dengan kata lain kaum pekerja. Kaum Pekerja tadi kemudian melakukan pertentangan terhadap bangsawan untuk menegakkan keadilan dan mencari kebebasan/kemerdekaan. Awalnya mereka mencari kebebasan dalam bidang ekonomi namun lambat laun mereka mencari kebebasan dalam bidang agama dan politik. Sikap protes ini sebenarnya di latar belakangi oleh karya tulisan-tulisan para pemikir di Prancis yaitu, Voltare (1694-1778), Jean Jacques Rousseau (1721-1778), dan Montesquie (1689-1755) yang menorehkan tentang bagaimana ketimpangan dan keganjilan yang terjadi di Prancis serta mengenai betapa buruknya tata negara itu dan mengenai Trias Politica. Gerakan Prancis sangatlah lama untuk terwujud. Liberalisme baru benar-benar diterapkan pada tahun 1870 setelah Prancis menjadi negara republic yang ketiga kalinya. Dan akhirnya Perkembangan Liberalisme mulai diikuti dengan negara-negara lain disekitar Prancis seperti Belgia, Italia, Austria, dan Jerman).

Pada tahun 1970-an, generasi baru para sarjana liberal atau yang disebut kaum pluralis Liberal mulai mengkritik dominasi Realisme dalam hubungan internasional. Di tahun yang sama, muncul salah satu literatur kaum Liberal tentang hubungan ‘transnasional’ dan ‘masyarakat dunia’. Literatur-literatur tersebut berhasil membuat terobosan yang signifikan terhadap pemisahan karakteristik yang kaku seperti, inside/ouside, domestik/internasional yang biasa


dipraktikkan Realisme. Liberalisme percaya bahwa kekuasaan dan pengaruh dalam politik dunia dijalankan oleh serangkaian aktor.

Liberalisme merupakan suatu doktrin yang percaya bahwa manusia bisa memecahkan masalah-masalah yang terjadi melalui tindakan yang kolektif. Pemikiran bahwa manusia membahami prinsip-prinsip moral, menunjukkan bahwa usaha untuk meninggikan ‘politik kekuasaan’ dan mengatur hubungan di antara orang-orang dengan menggunakan norma-norma resmi dan prinsip-prinsip moral. Kaum Liberal percaya dengan adanya perdamaian dan berpendapat bahwa perdamaian hanya bisa terjamin jika sumber-sumber konflik diselesaikan. Menurut mereka, peperangan umumnya adalah hasil agresi dari sebagian para pemimpin atau negara yang cenderung berperang untuk mengejar kepentingan tertentu. Liberalisme percaya bahwa selama demokrasi mengontrol kekuasaan para pemimpin dan negara-negara, peperangan menjadi kurang lazim. Dengan demikian, sebuah tatanan dunia yang penuh damai akan seperti suatu kondisi yang di dalam hak asasi manusia dihormati dan ditegakkan.

Bari para liberal, terbentuknya suatu negara adalah kehendak dari tiap individu, maka kekuasaan terbesar atau tertinggi dalam suatu negara berada di tangan rakyat atau dengan kata lain Demokrasi. Salah satu cara untuk menjamin perlindungan rakyat tersebut pemerintah perlu untuk membentuk sebuah Hukum, Undang-Undang, Parlemen dan lainnya.

Liberalisme menjunjung tinggi sistem ekonomi dan mereka mengendaki bahwa rakyat boleh mencari mata pencaharian mereka sendiri dengan bebas tanpa adanya campur tangan dari pemerintah, karena itu pula lah Liberalisme memiliki semboyan “Laisser faire, laisser passer, ie monde va de lui meme” yang artinya “Produksi bebas, perdagangan bebas, dunia akan berjalan sendiri”. Namun sisi buruknya dalam prinsip ini adalah banyak perusahaan-perusahaan besar yang memakan atau menghabiskan perusahaan kecil dan garis pemisah antara Kaya dan Miskin makin membesar.

Sama seperti sistem ekonominya, bagi para Liberal agama adalah pilihan masing-masing individu maka mereka juga menolak ada campur tangan pemerintah mengenai agama. Termasuk jika para liberal memilih untuk tidak menganut agama sekalipun. Para liberal memiliki pendapat mengenai kebebasan beragama mereka, seperti :

1.    Bebas merdeka memilih agama yang disukai.

2.    Bebas merdeka menjalani ibadah menurut agama yang dianutnya.

3.    Bebas merdeka untuk tidak memilih menganut masalah satu agama.


2.2  Diplomasi

Diplomasi berasal dari bahasa Yunani yaitu “diploma” yang artinya “sebuah kertas dilipat dua” yang dimaksudkan bahwa diploma adalah dokumen resmi negara atau sertifikat perundingan. Menurut Bester’s New World Dictionary of American Language diplomasi adalah hubungan relasi antar negara, keahlian dalam berunding atau berhubungan dengan orang lain.

Selain itu diplomasi juga sebuah kegiatan urusan resmi dengan mengirimkan seseorang untuk mewakili pemerintahan dengan tujuan untuk menciptakan persetujuan dalam kacamata kebijakan1. Tidak hanya itu Geoffrey McDermott berkata bahwa diplomasi adalah pertimbangan dalam manajemen hubungan internasional. Masing-masing negara, seberapapun kaliber dan ukurannya, selalu ingin memelihara atau mengembangkan posisinya dalam kancah internasional. Begitulah adanya, kendati faktanya, akan lebih baik jika lebih sedikit negara nationally minded di negara ini2.

Diplomasi sebagai salah satu cara untuk mencapai national interest suatu negara telah mengalami perkembangan yang cukup pesat seiring perubahan zaman. Hal ini secara tidak langsung menggeser sedikit demi sedikit arah diplomasi suatu negara dari diplomasi tradisional yang hanya berfokus pada

permasalahan high politics seperti isu perang, perjanjian perdamaian serta batas-batas negara; menjadi terfokus pada diplomasi modern yang membahas masalah low politics seperti isu ekonomi, sosial, dan isu kesejahteraan. Diplomasi modern berkembang pada abad 21 yang merupakan lanjutan dari diplomasi tradisional. Berbeda dengan diplomasi tradisional yang dilakukan secara tertutup dan bersifat rahasia untuk publik, diplomasi tradisional biasanya didominasi oleh peran pemerintah. Sedangkan diplomasi modern dilakukan dengan lebih terbuka terhadap publik dan aktor yang menjalankan diplomasi modern tidak hanya pemerintah, melainkan Inter-Governmental Organization (INGO), Non-Governmental Organization (NGO), Multinational Company (MNC) serta individu. Diplomasi sendiri dengan kata lain adalah cara untuk bernegosiasi dan meski diplomasi hanyalah berbincang namun diplomasi memiliki beberapa jenis, seperti ;

2.2.1  Diplomasi Komersial

Diplomasi Komersial adalah diplomasi yang memiliki sentuhan komersial, dengan kata lain diplomasi mengenai hal-hal yang berbau perdagangan. Pada dunia yang dependen ini, perdagangan internasional mencangkup hal yang begitu luas seperti perbankan, telekomunikasi, hukum mengenai korupsi atau penyuapan, dan subsidi industri.

Dalam Diplomasi Komersial, mereka mencangkup tentang analisis, advokasi, dan rantai negoisasi yang mengarah pada perjanjian internasional tentang perdagangan. Langkah pertama yang diambil dalam Diplomasi ini adalah analisis mendalam mengenai semua faktor yang memiliki andil dalam pengambilan keputusan seperti, kepentingan komersial yang dipertaruhkan, dampak makro-ekonomi, kepentingan para stakeholder dan pengaruh politik mereka, dan dampak liputan media terhadap opini publik.



2.2.2  Diplomasi Demokratis

Diplomasi ini mulai muncul pada tahun 1919 dan mulai berkecimpung ke dalam politik internasional akibat Presiden Amerika Serikat, Woodrow Wilson di Kongres Versailles untuk penyelesaian Perang Dunia I. Pengertian Demokratik ini lebih condong ke pertanggungjawaban pelaksanaan politik luar negeri yang terjadi. Karena berhubung Amerika adalah negara demokratis maka mereka sangat mewajibkan adanya pertanggungjawaban atas kebijakan luar negeri mereka pada rakyat karena mereka memiliki hak ratifikasi.

2.2.3  Diplomasi Bencana

Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Dalam KBBI bencana didefinisikan sebagai sesuatu yang menyebabkan atau menimbulkan kesusahan, kerugian, atau penderitaan. Bencana tidak selalu menjadi faktor yang buruk bagi masyarakat, namun dalam batas tertentu dapat dikelola untuk menyelesaikan persoalan-persoalan politik dan konflik yang selama ini tak terpecahkan, baik dalam konteks persoalan dalam level nasional maupun antara negara. Bencana alam juga dapat dikelola untuk menjadi ruang bagi peningkatan kerjasama politik, ekonomi, sosial budaya yang lebih luas. Negara-negara yang tergolong sebagai daerah yang rawan bencana atau potensial mengalami bencana alam, yang sebelumnya tidak melakukan kerjasama yang intensif, bahkan cenderung bermusuhan secara politik, kemudian memilih melakukan kerjasama untuk mengurangi resiko dan dampak bencana. Studi dari The Cambridge Review menunjukan temuan yang sangat menarik, bahwa diplomasi bencana alam memberikan peluang yang sangat luas bagi

negara-negara yang selama ini terlibat dalam konflik kepentingan politik maupun ekonomi, untuk kemudian memilih bekerjasama daripada meneruskan pilihan untuk berkonflik.

Fenomena bencana alam mungkin tidak akan berdampak destruktif apabila upaya pencegahan, secara teknis maupun politis dapat dilakukan dengan baik. Kemudian, apabila fenomena tersebut dapat dikelola, kemungkinan besar bisa menguntungkan bagi negara yang terdampak. Dari situlah disaster diplomacy berjalan dengan cara mengambil peluang yang muncul dari fenomena yang terjadi3.

Disaster Diplomacy adalah kemampuan berunding untuk mendapatkan perjanjian atau bantuan baik dari segi moril maupun materil diantara negara-negara bagi suatu negara yang sedang mendapatkan bencana, dimana bencana tersebut menimbulkan pengaruh yang cukup besar bagi penduduk negara tersebut. Diplomasi ini mengenai bagaimana cara agar kita mampu mengubah situasi. Kelman menemukan bahwa diplomasi bencana biasanya menghasilkan dampak sebagai berikut: jangka pendek, jangka panjang, dan efek sebaliknya dari yang diinginkan. Hasil jangka pendek terjadi ketika bencana menyediakan jalan baru untuk negosiasi antara pihak yang bermusuhan. Namun, untuk ini akan menjadi sukses perlu ada landasan yang ada untuk negosiasi. Hasil jangka panjang adalah prasangka baik yang sudah ada merupakan faktor kuat dalam diplomasi. Yang dimaksud dengan efek sebaliknya adalah disebabkan kedekatan selama kerjasama penanggulangan bencana memudar, dan konflik kembali terjadi. Terlepas dari hasil yang berpotensi negatif, kenyataannya tetap respon terhadap bencana biasanya membawa masyarakat yang bermusuhan menjadi damai, meskipun untuk beberapa saat.

Sebagai salah satu bentuk diplomasi yang mampu meredam konflik antara pihak-pihak yang berlawanan, maka yang menjadi prioritas utama ialah memberikan bantuan baik dari segi moril maupun materil, agar pihak-pihak yang tengah berkonflik tersebut dapat mengenyampingkan konflik mereka. Walaupun hubungan antar negara yang didasari dengan upaya penangan suatu bencana alam, memang tidak akan bertahan lama. Namun, setidaknya melalui kerjasama yang ada dalam penanganan bencana alam ini, dapat meminimalisir kemungkinan meluasnya konflik yang terjadi4.

Dalam jangka pendek, selama berminggu-minggu dan berbulan-bulan, semua bentuk kegiatan yang berkaitan dengan bencana berpotensi untuk mempengaruhi diplomasi, seperti dengan menyediakan ruang di mana upaya perdamaian dapat dilakukan. Agar hal itu terjadi, basis yang sudah ada harus ada untuk rekonsiliasi. Ini bisa berupa negosiasi yang sedang berlangsung, hubungan budaya formal atau informal, atau hubungan dagang. Bahkan selama jangka pendek, diplomasi bencana belum tentu berhasil, karena kegiatan yang berkaitan dengan bencana terkadang dapat memicu konflik dan mengurangi kesempatan diplomatik - atau sama sekali tidak berdampak pada perdamaian dan konflik. Terlepas dari apa yang terjadi dalam jangka pendek, jangka waktu yang lebih lama, faktor non-bencana memiliki dampak yang lebih signifikan terhadap diplomasi daripada kegiatan yang berkaitan dengan bencana. Contoh faktor non-bencana adalah perubahan kepemimpinan, saling tidak percaya, keyakinan bahwa keluhan historis harus menggantikan pertimbangan kemanusiaan saat ini, atau keinginan untuk konflik karena keuntungan yang didapat darinya.

Diplomasi bencana tidak harus memberikan hasil yang spesifik, mengingat pentingnya kondisi yang sudah ada sebelumnya dalam menentukan apakah diplomasi bencana dapat berhasil. Akibatnya, diplomasi bencana paling baik dipandang sebagai proses yang berjalan lama dengan banyak pihak berinteraksi, karena kegiatan yang


berhubungan dengan bencana memang satu pengaruh di antara banyak hal dalam semua bentuk diplomasi, namun perdagangan, pengelolaan sumber daya, olahraga, budaya, kepribadian, politik dalam negeri, dan politik non-domestik juga merupakan pengaruh besar. Jalur diplomasi yang ditekankan adalah pilihan, disengaja atau tidak disengaja, oleh semua pihak. Dengan menggabungkan kegiatan terkait bencana dan diplomatik, hal itu menjadi kombinasi pilihan dan tindakan yang kompleks. Jika negara memilih untuk melakukan diplomasi bencana maka secara aktif melobi untuk, mendukung, dan menerapkannya adalah jalur yang harus diikuti.

Upaya untuk mempengaruhi jalur diplomasi bencana bisa menjadi bumerang. Seorang pemimpin, setelah diberitahu tentang bagaimana menerapkan diplomasi bencana, dapat memutuskan bahwa menghubungkan kegiatan yang berkaitan dengan bencana dan penyelesaian konflik tidak diinginkan dan, akibatnya, dapat menghentikan program pengurangan risiko bencana atau menghindari bantuan kemanusiaan. Upaya terbuka untuk rekonsiliasi yang ditolak oleh pihak lain akan terbukti menjadi mimpi buruk politik. Secara terbuka memblokir diplomasi bencana bisa membuat polarisasi orang lain yang kemudian bertekad untuk membuatnya berhasil. diplomasi adalah proses jangka panjang, memerlukan langkah-langkah bijaksana dan hati-hati, sambil memastikan bahwa semua pihak utama terus berada di jalur untuk mendukung tujuan jangka panjang dan untuk memenuhi kepentingan bersama. Sejauh ini, bukti menunjukkan bahwa tidak dipungkiri diplomasi bencana memiliki potensi untuk memperbaiki hubungan antar negara dan hubungan lainnya hanya dalam jangka pendek. Diplomasi bencana adalah cara yang efektif untuk memperbaiki hubungan antar negara dalam jangka pendek, namun juga bahwa diplomasi bencana tidak dapat diandalkan untuk memperbaiki hubungan dalam jangka panjang.

2.3  Kepentingan Nasional

Beberapa pakar studi Hubungan Internasional menjelaskan definisi Kepentingan Nasional yang berbeda-beda, mungkin itu sebabnya Kepentingan Nasional sering dijadikan bahan perdebatan. Menurut Felix E. Oppenheim5, Kepentingan Nasional merupakan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan pemerintahan sebuah negara dalam tingkat global atau Internasional seperti integritas territorial dan penjagaan kemerdekaan politik.

Menurut Clinton6, Definisi pengertian kepentingan nasional dapat dibagi dalam dua aspek yaitu yang pertama adalah kepentingan nasional untuk kebaikan bersama dengan membuang jauh rasa keegoisan, individualis. Lalu yang kedua adalah kepentingan nasional yang dianggap sebagai prinsip diplomasi yang dimiliki negara untuk memperjuangkan kepentingan bersama.

James E Hynmand7 menjelaskan bahwa menurut Morgenthau, “National interest, expressing itself in terms of power objectives, comprises a fixed, minimum require-cultural identity—and variable, less durable, and less essential demands of interest groups

Menurut Rochester8 terdapat dua asumsi yang muncul dan mendarah daging di dalam konsep kepentingan nasional yaitu “There exist and objectively determinable collective interest which all individual members within a given national society share equally, and this collective transcends any interest that a particular subset of those individuals may share with individuals in other national societies


Dalam proses pencapaian Kepentingan Nasional, pengaplikasian Foreign Policy (kebijakan luar negeri) pun diperlukan. Karena dalam proses pencapaian tujuan dari kepentingan nasional tidaklah terlepas dari kekuatan atau power seperti mengontrol negara lain agar kepentingan nasional suatu negara dapat terwujud. “The greater the stability of society and the sense of security of its members, the smaller are the chances for collective emotions to seek an outlet in aggressive nationalism and vice versa9. Dalam kata lain, kita bisa mengartikan kepentingan nasional tidak hanya terefleksikan dalam klaim yang spesifik namun juga kepentingan nasional bisa sama koekstensif seperti Policies10. Oleh karena itu dalam pelaksanaannya, aturan-aturan atau kebijakan pun diperlukan untuk membangun korespondensi diantara kepentingan nasional yang dinyatakan sebagai kebutuhan dan jenis kebijakan oleh yang maju.

Di dalam pelaksanaan kepentingan nasional, tidak diragukan lagi jika masing-masing negara memiliki motivasi yang berbeda-beda tergantung dilihat dari segi dimensi dari kepentingan nasional tiap-tiap negara. Motivasi inilah yang selanjutnya akan kita sebut sebagai motivation maker, yang merupakan dasar atau alasan bagi negara-negara untuk melakukan interaksi dan mengeluarkan power-nya. Setelah motivation maker ditemukan, setiap negara pasti akan mengeluarkan kekuatannya untuk mencapai tujuannya tersebut.

Sudut pandang atau Dimensi dari kepentingan nasional pun dapat dikerucutkan lagi menjadi dua bagian terbagi yaitu core atau basic atau vital interest, dan secondary interest. Sesuai namanya, kepentingan vital merupakan kepentingan yang paling utama dan sangat esensial karena menyangkut kedaulatan dan keamanan negara dan tentu saja tidak dapat di tunda karena bisa berefek pada kerusakan susunan sebuah negara. Berbeda dengan kepentingan vital, kepentingan sekunder bisa dikatakan tidak terlalu mendesak seperti sosial



budaya, memperluas territorial daerah kekuasaan, dan lainnya, dan biasanya bisa ditangguhkan jika beberapa kepentingan vital belum tercapai atau terlaksanakan.

Kepentingan nasional jika dilihat dari kacamata prioritasnya terbagi menjadi vital (primer, utama) dan secondary yang berarti bahwa kepentingan vital harus didahulukan atau diutamakan dan tidak dapat ditunda. Sedangkan kepentingan secondary bisa ditunda terlebih dahulu jika ada kepentingan vital yang lebih mendesak untuk segera direalisasikan. Dalam proses pencapaian national interest, diperlukan adanya motivation maker yang tentu saja masing-masing negara memiliki motivasi yang berbeda sesuai dengan dimensi yang menjadi target negara tersebut.

Dalam kepentingan nasional peran ‘negara’ sebagai aktor yang mengambil keputusan dan memerankan peranan penting dalam pergaulan internasional berpengaruh bagi masyarakat dalam negerinya. Demikian pentingnya karena ini yang akan menjadi kemaslahatan bagi masyarakat yang berkehidupan di wilayah tersebut. Seorang ahli, Thomas Hobbes menyimpulkan bahwa negara dipandang sebagai pelindung wilayah, penduduk, dan cara hidup yang khas dan berharga. Demikian karena negara merupakan sesuatu yang esensial bagi kehidupan warga negaranya. Tanpa negara dalam menjamin alat-alat maupun kondisi-kondisi keamanan ataupun dalam memajukan kesejahteraan, kehidupan masyarakat jadi terbatasi. Sehingga ruang gerak yang dimiliki oleh suatu bangsa menjadi kontrol dari sebuah negara.

Kepentingan nasional tercipta dari kebutuhan suatu negara. Kepentingan ini dapat dilihat dari kondisi internalnya, baik dari kondisi politik-ekonomi, militer, dan sosial-budaya. Kepentingan juga didasari akan suatu ‘power’ yang ingin diciptakan sehingga negara dapat memberikan dampak langsung bagi pertimbangan negara agar dapat pengakuan dunia.



                                                                              BAB III

PEMBAHASAN

3.1  Sejarah Gerakan Aceh Merdeka (GAM)

Konflik antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh disebebabkan oleh ketidakadilan yang dirasakan masyarakat Aceh di berbagai bidang khususnya di bidang pembangunan. Hal tersebut berdampak pada kemiskinan, kebodohan, dan tingkat keselamatan masyarakat yang rendah. GAM pada mulanya sebuah gerakan yang tumbuh di sekitar lokasi industri tepatnya dibukit Chokan, Pidie. Konflik antara GAM dan Pemerintah Pusat muncul sejak diproklamirkan kemerdekaan Aceh pada 4 Desember 1976 di Pidie yang dipelopori oleh Muhammad Hasan Tiro. GAM lahir karena nasionalisme etnis Aceh bangkit sebagai jawaban terhadap kebijakan pemerintah pusat dengan ABRI atau TNI sebagai penopang utama yang dianggap tidak adil terhadap rakyat Aceh dan gerakan ini dipandang sebagai representasi kekecewaan dan kemarahan rakyat Aceh terhadap Indonesia.

Dulu Aceh merupakan satu-satunya daerah di Sumatra yang memiliki nilai politis di mata orang-orang Barat, sehingga daerah ini pantas dijadikan subjek sejarah umum. Aceh dengan latar belakang budaya dan historis keagamaan namun didasari paham nasionalisme para pendiri bangsa, tuntutan rakyat Aceh tidak terkabulkan. Hal tersebut menimbulkan rasa kekecewaan bagi masyarakat Aceh. Alasan dibalik kekecewaan ini sangat fundamental yaitu, dalam proses menuju kemerdekaan Negara Islam Indonesia, peran rakyat Aceh sangatlah besar dengan berbagai pemberontakan menentang kedaulatan negara yang baru yaitu, melalui DI/TII oleh Daud Beureuh. Permasalahan yang dihadapi antara GAM dengan Pmerintah Pusat sangat kompleks dalam bidang ekonomi dan politik karena kelanutan dari DI/TII di Aceh yang belum selesai dan kemudian memunculkan msaslah baru yaitu GAM.

Alasan munculnya GAM secara diam-diam dikarenakan adanya ketidak siapan pihak GAM untuk langsung berhadapan dengan pihak penguasa baik

pemerintah daerah maupun pusat. GAM terungkap karena ada beberapa perusahaan besar yang beroperasi di Aceh dikirimi surat yang berisikan kewajiban mereka membayar pajak kepada GAM, tetapi perusahaan tersebut tidak memeberikan dana seperti yang diinginkan GAM. Dengan demikian keberadaan Gerakan Aceh Merdeka ini mulai diketahui oleh pemerintah bahwa ada gerakan bawah tanah yang memproklamasikan kemerdakaan di Aceh.

Gagasan-gagasan Hasan Tiro semakin memuncak ketika pemerintahan orde baru mengeksploitasi gas alam dan minyak bumi di Aceh Utara sejak awal 1970an. Pada 1950an Hasan Tiro pernah bekerja di kantor perwakilan Indonesia di PBB, New York, Amerika Serikat. Lalu pada tahun 1954 beliau menggabungkan diri secara terang-terangan ke dalam Daarul Islam atau DI/TII11. Hasan Tiro menyebut dirinya sebagai ‘Duta Besar Republik Indonesia Islam Aceh’. Sejak saat itu, beliau berdiplomasi diluar negeri salah satunya kota New York, Amerika Serikat untuk memasukkan agenda-agenda tentang Aceh dalam forum internasional PBB. Sekitar tahun 1974 sampai 1975 Hasan Tiro mulai mensosialisasikan idenya dan menggalang kekuatan untuk mendirikan GAM. Puncaknya yaitu ketika ia mencetuskan GAM pada tahun 1976. Namun, Hasan Tiro tidak lagi menempatkan ideologi islam sebagai misi utama akan tetapi beliau mengusung tema nasionalisme dan patriotisme. Dalam perkembangannya GAM telah melalui tiga fase penting, yakni, Fase Pertama (1976-1989) GAM merupakan organisasi kecil yang anggotanya didominasi kaum terpelajar dan merupakan gerakan bawah tanah. Fase Kedua (1989-1998) fase ini lebih dikenal oleh rakyat Aceh sebagai era dimana Aceh berstatus Daerah Operasi Militer (DOM). Operasi ini memuluskan jalan untuk dilakukannya operasi bersenjata di Aceh. Fase Ketiga (Pasca 1998) dalam fase ini Pemerintah Pusat masih menggunakan kekerasan. Dari kejadian ini muncul berbagai pelanggaran HAM Berat. Dalam bidang politik, kebijakan pemerintah yang sentralistik tampak dalam penentuan Gubernur dan Bupati, strategi ini diterapkan oleh pemerintah pusat untuk menjamin agar pemerintah Aceh khususnya Gubernur berada langsung
 

dibawah kendali pusat. Kebijakan sentralistik yang tidak memperdulikan culture

local sangat dirasakan dalam pemberlakuan UU No. 5 Tahun 1974 mengenai

pokok-pokok   pemerintahan   daerah   dan   Undang-undang  No   5   Tahun   1979

menganai   pokok-pokok   pemerintahan   desa.   Kedua   undang-undang   tersebut

menghilangkan   nilai-nilai    sosio-kultural   Aceh.   Dan   pemberlakuan   nilai-nilai

tersebut  menyebabkan  rusaknya  struktur  pemerintahan  tradisional  dan  sistem

budaya  Aceh.  Pemberlakuan undang-undang tersebut merekayasa lahirnya  elit

baru yaitu, elit birokrasi yang ternyata tidak berakar dalam masyarakat. Faktor

pemicu utama adalah kelahiran birokrat dari Jawa yang menyingkirkan elit Aceh.

Dalam doktrin pendirian, GAM memiliki ideologi kemerdekaan nasional yang

bertujuan untuk membebaskan kontrol politik asing dari pemerintahan Indonesia.

Pada 4 Desember 1976 Hasan Tiro mengeluarkan naskah proklamasi yang ditulis dalam bahasa Inggris. Berikut adalah naskahnya ;

DECLARATION OF INDEPENDENCE OF ACEH-SUMATRA

Aceh, Sumatera, December 4, 1976

We, the people of Acheh, Sumatra, exercising our rihgt of self-determination, and protecting our historic right of eminent domain to our fatherland, do hereby declare ourselves free and independent from all political control of the forign regime of Jakarta and the alien people of island of Java.

Our fatherland, Acheh, Sumatera, had always been a free an independent sovereign State since the world begun. Holand was the first forign power to at attempt to colonize us when it declared war against the soverign state of Aceh, on March 26 1873, and on the same day invaded our territory,aided by Javanece mercenaries. The aftermath of this invasion was duly recorded on the front pages of contemporary news papers all over the world. The London, TIMES on April, 1873, wrote: "A remarkable incident in modern colonial history is reported from East Indian Archipelago. A considerable force of Europeans has been defeated and held in check by the army of native state...the State of Acheh. The Achehnese have gained a decisive victory. Their enemy is not only defeated, but compelled to withdraw. "THE NEW YORK TIMES”, on May 6th 1873, wrote: "A sanguinary battle has taken place in Aceh, a native Kingdom occupying the Northern portion of the island

of Sumatra. The Dutch delivered a general assault and now we have details of the result. The attack was repulsed with great slaughter. The Dutch general was killed, and his army put to disastrous flight. It appears, indeed, to have been literally decimated." This event had attracted powerful world-wide attention. President Ulysses S.Grant of the United States issued his famous Proclamation of impartial Neutrality in this war between Holland and Acheh.

On Christmast day, 1873, the Dutch invaded Acheh for the second time, and thus begun what HARPER'S MAGAZINE had called "A Hundred Years War of Today", one of the bloodiest, and longest colonial war in human history, during which one-half of our people had laid down their lives defending our sovereign State. It was being fought right up to the beginning of world war II. Eight immediate forefathers of the signer of this Declaration died in the battlefields of that long war, defending our sovereign nation, all as successive rulers and supreme commanders of the forces of the sovereign and independent State of Acheh, Sumatra.

However, when, after World War II, the Dutch East Indies was supposed to have been liquidate, an empire is not liquidated if its territorial integrity is preserved, our fatherland, Acheh, Sumatra, was not returned to us. Instead, our fatherland was turned over by the Dutch to the Javanese their ex-mercenaries, by hasty flat of former colonial powers. The Javanese are alien and foreign people to us Achehnese Sumatrans. We have no historic political, cultural, economic or geographic relationship with them. When the fruits of Dutch conquests are preserved, intact, and then bequeathed, as it were, to the Javanese, the result is inevitable that a Javanese colonial empire would be established in place of that of the Dutch over our fatherland, Acheh, Sumatra. But, colonialism, either by white, Dutch, Europeans or by brown Javanese, Asians, is not acceptable to the people of Acheh, Sumatra.

This illegal transfer of sovergnty over our fatherland by the old, Dutch, collonialisme, eather by white, Dutch colonialist to the new, Javanese colonialist, was done in the most appalling political fraud of the century. The ducth colonialist was supposed to have turned over sovereignty over our fatherland to a new nation called Indonesia. But Indonesia was a fraud : a cloak to cover up Javanese coloniaisme. Sincethe world begun, there never was a people, much less a nation, in our part pf the world by that name. No such people existed in the Malay archipelago by definition of ethnology, philology, cultural anthropology, sociology, or by any other scientific findings. “Indonesia is merely a new lebel in a totally foreign nomenclauture, which has nothing to do with our own history, language, culture, or interest, it was a new label considered useful by the Ducth to replace the despicable “Dutch East Indies”, in an attempt to unite administration of their illgotten, far-flung colonies, and the Javanese neo colonialist knew its usefulness to gaint fraudulent recognition from the unsus pecting world, ignorant of the history of the malay archipelago. If Ducth colonialisme was wrong, the Javanese colonialis which was sequarely based on it cannot be right. The most fundamental principle of international law states : Ex injuria just non oritur (right cannot originate from wrong)!

The Javanese, nevertherless, are attempting to perpetuate colonialism which all the western colonial powers had abandoned and all the world had comemdem. During these last thirty years the people of Acheh, Sumatera, have withnessed how our fatherland has been exploited and driven into ruines condition by Javanese neo colonialis. They have stolen our properties; they have robbed us from our livehood; they have ebused the education of our children; they have exiled pour leaders; they have people in chains of tyranny, poverty, and neglect: the life expectancy of our people is 34 years and is increasing! While Acheh, Sumatera has been producing a revenue of over 15 bilion US dollars for the Javanese neo colonialist, which they used totally for the benefit of Java and Javanese.

We the people of Acheh, Sumatra, would have not quarrel with the Javanese, if they had stayed in their own country, and if they had not tried to lord it over us. From now, we intend to be the masters in our own house: the only way life is wroth living; to make our laws: as we see fit: to became sovereign in our own fatherland!

Our cause is jut! Our land is endowed by the almighty with plenty and bounty. We covet no foreign territory. We intend to be a worthy contributor to human welfare the world over. We extend the hands of friendship to all people and to all governments from the corners of the earth.

In the name of sovereign people of Acheh, Sumatra.



Tengku Hasan M. di Tiro

Chairman National Liberation Front of Acheh,

Sumatra, and head of state.







Deklarasi Kemerdekaan Aceh-Sumatra

Aceh, Sumatra, 4 Desember 1976

Kepada Rakyat Dunia

Kami, rakyat Aceh Sumatra menghikmatkan hak kebulatan hati kami dan menjaga daerah kekuasaan kami yang ulung kepada tanah air kami, dengan ini menyatakan kebebasan diri kami dan kemerdekaan dari semua kendali politik dari rezim asing di Jakarta dan rakyat asing di pulau Jawa. Tanah air kami Aceh, Sumarta selalu menjadi sebuah Negara berkuasa dan bebas merdeka semenjak dunia ini dimulai. Belanda adalah kekuatan asing pertama berusaha untuk menjajah kami ketika mereka memutuskan berperang melawan Negara kekuasaan Aceh, pada tanggal 26 maret 1873.

Dan pada hari yang sama menginvasi wilayah kami di Bantu oleh prajuri-prajurit Jawa. Akibat dari invasi ini sebagaimana tercatat pada halaman terdepan surat kabar saat itu di sebuah dunia, sebuah surat kabar London Times, pada tanggal 22 April 1873 menuliskan sebuah peristiwa luar biasa pada sejarah penjajahan modern di laporkan dari kepulauan Hindia sebelah timur setelah serangan yang dahsyat dari Eropa telah di kalahkan dan di kendalikan oleh tentara pribumi Negara Aceh. Masyarakat Aceh telah memperoleh kemenangan yang meyakinkan musuh mereka bukan hanya saja di kalahkan, tetapi memaksa musuh untuk menarik kembali pasukannya. Surat kabar New York Time pada tanggal 6 Mei 1873 menuliskan “sebuah peperangan yang penuh harapan terjadi di Aceh, sebuah kerajaan pribumi yang menempati sebelah utara pulau Sumatra. Pemerintah Belanda mengirimkan seorang Jenderal penyerangan dan sekarang kita mempunyai perincian dari hasilnya. Serangan itu terpukul mundur dengan pembantaian hebat. Jendral Belanda terbunuh dan pasukannnya melarikan diri secara mengenaskan. Hal itu sungguh-sungguh memperlihatkan kejadian tersebut menghabiskan sebagian besar tentara Belanda tersebut. “Kejadian itu telah menarik seluruh perhatian dunia. Presiden USA, Ulyysess. S Grant mengeluarkan proklamasi yang sangat terkenal akan ketidakberpihakan yang bersifat netral antara Belanda dan Aceh.

Pada hari Natal 1873, Belanda menguasai Aceh untuk kedua kalinya. Dan kemudian dimulailah apa yang di sebut oleh majalah Harpers sebagai perang seratus tahun pada hari ini, salah satu dari kejadian berdarah, dan


merupakan perang penjajahan paling lama di dalam sejarah manusia. Pada waktu dimana satu setengah rakyat kami mengorbankan hidupnya untuk mempertahankan bangsa kekuasaan kami, ini yang menjadi pertarungan yang menuju mulainya perang dunia kedua. Delapan nenek moyang yang menandatangani deklarasi itu telah mati pada pertempuran yang panjang itu. Mempertahankan bangsa kekuasaan kami, semuanya sebagai raja atau penguasa berturut-turut dan panglima tertinggi pada kekuatan atas kekuasaan dan kemerdekaan Negara Aceh Sumatra.

Bagaimanapun, ketika perang dunia kedua, Hindia Belanda telah memperkirakan Aceh menjadi musnah. Sebuah kerajaan tidaklah musnah jika keutuhan wilayahnya masih terjaga, tanah air kami, Aceh Sumatra tidak di kembalikan kapada kami, malah sebaliknya tanah air kami di kembalikan kepada orang Jawa bekas pasukan mereka, dengan cara yang sama sekali tergesa-gesa oleh bentukan kekuasaan kolonial. Masyarakat Jawa adalah orang asing dan masyarakat asing bagi kami, masyarakat Aceh Sumatra. Kami tidak mempunyai sejarah politik, ekonomi, budaya, geografi yang berhubungan dengan mereka, ketika hasil dari penaklukan Belanda terpelihara, utuh dan kemudian terwarisi seperti kepada masyarakat Jawa, hasilnya adalah tidak dapat di hindari lagi bahwa sebuah kerajaan kolonial Jawa akan berdiri di atas tanah air kami, Aceh Sumatra. Tetapi, kolonialisme entah dari kulit putih Eropa atau kulit coklat Jawa, Asia, tidak dapat diterima oleh rakyat Aceh Sumatra.

Penyerah terimaan yang ilegal (tidak sah) pada kekuasaan di atas tanah air kami, oleh yang tua, Belanda, si kolonialis, kepada yang baru si kolonialis Jawa telah dilakukan dalam penipuan politik yang sangat menjijikan. Di abad ini kolonial Belanda mengira telah mengembalikan kekuasaan tanah air kami kepada sebuah bangsa yang baru yang di sebut Indonesia, tetapi Indonesia adalah sebuah penipuan, sebuah selubung yang menutupi kolonialisme Jawa. Semenjak dunia dimulai, tidak pernah ada masyarakat apalagi sebuah bangsa yang termasuk bagian kita di dunia dengan nama tersebut. Tidak ada orang yang hidup di kepulauan Malay yang secara definisi dari ilmu etnologi, filologi, anthropology, sosiologi, atau ilmu pengetahuan lain yang menemukannya. Indonesia adalah nama baru Belanda, pada seluruh tata nama asing yang tidak melakukan apapun kepada sejarah, bahasa, budaya, atau kepentingan lainnya yang kami miliki. Itu adalah nama baru yang di pertimbangkan dan di gunakan oleh Belanda untuk mengganti nama lama Hindia Belanda Timur. Didalam sebuah usaha untuk menyatukan pemerintahan haramnya. Koloni yang buas sekali, dan neokolonialis Jawa di ketahui ini sangat berguna untuk mendapatkan


pengakuan secara curang dari dunia yang tak diduga. Tidak mengetahui sejarah dari kepulauan Malay jika kolonialisme Belanda salah, kemudian kolonialisme Jawa yang mana secara jujur berdasarkan kolonialis Belanda tidaklah bisa menjadi benar. Azas pokok internasional menyatakan : Ex injura just non oritur, yakni kebenaran tidak dapat di mulai dari kesalahan.

Jawa, meskipun begitu, berusaha mengabadikan kolonialisme yang mana semua kekuatan kolonial Barat telah di tinggalkan dan seluruh dunia mengutuknya. 30 tahun terakhir, masyarakat Aceh Sumatra menjadi sakit bagaimana tanah air kami di eksploitasi dan di kendalikan menuju kondisi hancur binasa yang di lakukan oleh kolonialis Jawa. Mereka telah mencuri milik-milik kami. Mereka sudah merampok kami dari pencaharian kami. Mereka telah memperlakukan kasar terhadap pendidikan anak-anak kami mereka sudah menghasilkan para pemimpin kami. Mereka sudah menaruh masyarakat kami pada rantai tirani, kemiskinan, dan di sia-siakan. Harapan hidup masyarakat kami adalah tiga puluh empat tahun dan terus menurun. Bandingkan hal ini dengan standar dunia yaitu tujuh puluh tahun dan terus meningkat. Di saat Aceh, Sumatra, telah menghasilkan penghasilan di atas 15 milyar dolar US setiap tahun untuk neokolonialis Jawa dan masyarakatnya.

Kami masyarakat Aceh, Sumatra tidak akan berselisih dengan orang Jawa jika mereka tinggal di daerah mereka, dan mereka tidak mencoba untuk berbuat seolah-olah mereka berkuasa atas kami. Dari keadaan di atas, kami memutuskan untuk menjadi tuan rumah kami sendiri. Satu-satunya jalan hidup yang paling berharga, membuat hukum kami sendiri. Saatnya jalan hidup yang paling berharga, membuat hukum kami sendiri. Sebagai keputusan kami untuk menjadi penjamin atas kebebasan dan kemerdekaan diri kami. Sebagaimana kami sanggup untuk menjadi setara dengan bangsa-bangsa lain di dunia sebagai mana nenek moyang kami selalu lakukan. Dan waktu dekat, untuk menjadi penguasa di atas tanah air kami.

Semua ini di karenakan tanah kami adalah berkah dari yang maha kuasa yang berlimpah dan dirahmati. Kami tidak menginginkan wilayah kekuasaan asing, kami bertujuan menjadi kontributor yang berharga untuk kesejahteran manusia di dunia. Kami menawarkan persahabatan kepada semua masyarakat dan kepada semua pemerintahan dari semua penjuru dunia.

Atas nama kekuasaan orang Aceh-Sumatra

Teuku Hasan M Tiro



Naskah tersebut terdapat dua hal yang ditegaskan oleh Hasan Tiro yang pertama, mengenai Bangsa Aceh sampai Sumatera. Kedua, mengenai daerah yang menjadi kekuasaan bangsa Aceh sampai Sumatera yang hanya bersifat pengumuman dan tidak mencantumkan secara detail mengenai ideologi negara. Naskah proklamasi tersebut menuai reaksi keras dari sejumlah tokoh GAM karena pada pembukaan tidak disertai ucapan ‘Bismillah’ dan diakhiri dengan Takbir. Namun reaksi ini tidak di gubris oleh Hasan Tiro. Naskah proklamsi GAM setidaknya menjadi pijakan utama menilai gagasan ideologi dan orientasi GAM. Dalam naskah tersebut tidak terdapat penegasan bahwa ideologi islam menjadi pilihan masyarakat Aceh. Menanggapi hal tersebut, GAM menyusun kabinet Negara Aceh Sumatera. Akan tetapi kabinet tersebut belum berfungsi hingga pertengahan 1977 dikarenakan para anggota kabinet pada umumya masih berbaur dengan masyarakat luas untuk berkampanye dan persiapan perang gerilya.

Kabinet Negara Aceh Sumatra baru melaksanakan sidang perdananya pada tanggal 15 Agustus 1977. Sedangkan upacara pelantikan dan pengumpulan anggota kabinet dilaksanakan pada tanggal 30 Oktober 1977 di camp Lhok Nilam di pedalaman Tiro, Pidie. Kabinet tersebut hanya terdiri dari beberapa orang saja, yaitu :

Kabinet Neugara Atjeh


Wali Neugara :



DR. Teungku Hasan Di Tiro, LL.D


(Head of State)


Meuntroe Pertahanan :



DR. Teungku Hasan Di Tiro, LL.D


(Minister of Defence)


Meuntroe Luwa Nanggroe :



DR. Teungku Hasan Di Tiro, LL.D


13 Al Chaidar, (1999), Gerakan Aceh Merdeka Jihad Rakyat Mewujudkan Negara Islam, h.146



(Minister of Foreign Affair)


Wakil Meuntroe Luwa Nanggroe :



DR. Mukhtar J. Hasbi, HD. DTMH


(Deputy Minister of Foreign Affair)


Meuntroe Dalam Nanggroe :



DR. Mukhtar J. Hasbi, HD. DTMH


(Minister of Internal Affair)


Meuntroe Keuadilan :



Teungku Hadji Ilyas Leubee


(Minister of Justice)


Meuntroe Peundidikan :



DR. Hasaini M. Hasan, MD


(Minister of Education)


Meuntroe Kesehatan :



DR. Zaini Abdullah, MD


(Minister of Health)


Meuntroe Sosial :



DR. Zubair Mahmud, MD


(Minister of Social Affair)


Meuntroe Pembangunan dan Buet Umum : Ir. Teungku Asnawi Ali, Dipl. Ingg (Minister of Development on Public Work)


Meuntroe Keuangan :



Teungku Muhammad Usman


(Minister of Finance)


Meuntroe Perhubungan :



Mr. Amir Ishak


(Minister of Communication)


Meuntroe Perdagangan :


 Mr. AR. Mahmud (Minister of Trade)




Pengikut awal kabinet tersebut berjumlah sekitar 200 orang yang mayoritas berasal dari tempat kelahiran Hasan Tiro, maka tidak heran bahwa dalam keanggotaan GAM banyak terdapat hubungan keluarga dengan Hasan Tiro sendiri.

Sejalan dengan berjalannya waktu GAM yang berawal di Pidie mulai meluas ke Aceh Utara dan Aceh Timur melalui ringkasan Hasan Tiro tentang Aceh yang disebarluaskan dalam bentuk buku atau buletin. Dikedua daerah tersebut, GAM menemukan momentumnya untuk melakukan sebuah gerakan terencana sejalan dengan munculnya berbagai ketimpangan sosial ekonomi terutama antara penduduk setempat dengan pendatang. Selama GAM berdiri, mereka telah berhasil merekrut banyak pemuda Aceh untuk menjadi anggota bahkan GAM disinyalir telah mampu mempengaruhi gerakan mahasiswa. Selain itu GAM berhasil membentuk beberapa LSM yang turut mendukung pemisahan Aceh dari Indonesia, salah satunya adalah SIRA (Sentra Informasi Referendum Aceh).

Masyarakat Aceh mengalami dilema pada masa itu yang disebabkan oleh kompetisi memilukan antara GAM dan Pemerintah Pusat. Di satu sisi rakyat harus membantu baik dari segi finansial, material dan fisikal kepada pihak GAM. Namun di sisi lain jika rakyat berpihak kepada Pemerintah Pusat maka akan dijadikan sasaran pembunuhan dan penganiayaan. Oleh karena itu diperlukan solusi yang baik dengan tidak mengorbankan rakyat Aceh untuk kesekian kalinya. Akibat konflik yang dari tahun ke tahun tidak terselesaikan menyebabkan banyak masyarakat beralih profesi dari petani menjadi pedagang, peternak atau penarik becak. Masyarakat kecewa akan kondisi ini karena mereka harus berdaptasi

dengan pekerjaan baru mereka. Ketika bekerja mereka selalu diawasi oleh TNI yang menyebabkan ruang gerak masyarakat menjadi terbatas atau tidak bebas.

GAM memiliki tiga strategi dalam membangun kekuatan organisasinya. Pertama, memanfaatkan sikap represif pemerintah pada kondisi Aceh. Kedua, melalui pembangunan jalur internasional. Ketiga, memanfaatkan perasan takut dan khawatir para investor lokal maupun asing yang berdiam di Aceh.

Bila diambil dari sisi pribadi Hasan Tiro, maka alasan dia melancarkan GAM adalah ; Satu, keinginan untuk menunjukkan eksistensi diri yang menyandang gelar Tiro dalam sejarah seperti yang dilakukan oleh nenek moyangnya. Kedua, karena ambisi untuk menjadi pemimipin Aceh. Ketiga, rasa simpati dan prihatin terhadap masyarakat Aceh.

3.2  Diplomasi GAM

Orde Baru menanggapi konflik GAM dengan cara represif. Hasil dari konflik antara ribuan anggota GAM dan tentara Republik Indonesia yang berlarut-larut, membuat Pemerintah Orde baru mengirimkan ribuan tentara sebagai alat untuk menumpas pemberontakan separatis GAM. Selama konflik terjadi, banyak kejadian kekerasan yang terjadi antara TNI dengan anggota GAM. Setelah upaya CoHa yang gagal mewujudkan perdamaian di Aceh tahun 2003, baku tembak senjata api terjadi di hampir seluruh bagian Aceh. Baku tembak yang sering terjadi dilakukan oleh pemberontak bersenjata entah itu pasukan GAM atau pun masyarakat yang menolak GAM dan juga dari TNI. Selain baku tembak yang terjadi, ada juga kasus penculikan yang dilakukan oleh ketiga pihak tersebut. Penculikan oleh GAM dilakukan untuk meminta uang tebusan, dan dari hasil tebusan tersebut digunakan untuk membiayai kegiatan mereka. Biasanya yang menjadi target adalah pegawai pemerintah, termasuk guru-guru, juga menjadi target. Alasannya adalah karena biasanya orang-orang tersebut lebih kaya dan bisa memenuhi uang tebusan. Masyarakat desa umumnya tidak menjadi target. Menanggapi hal tersebut, pemimpin masyarakat bertindak dalam negosiasi kedua belah pihak dalam penculikan. Pemimpin masyarakat tersebut bisa Kepala Desa atau Kepala Mukim. Proses negosiasi dalam penculikan ini biasanya tidak mudah.

Baku tembak yang berlarut-larut dalam beberapa waktu di Aceh kemudian mulai surut setelah terjadinya tsunami di Aceh akhir tahun 2004. Tsunami yang menyebabkan kematian ratusan ribu orang di sekitar Aceh dan Pulau Nias di antaranya menyebabkan banyak anggota GAM yang tewas. Setelah bencana alam tsunami, kasus penculikan dan kekerasan sudah mulai jarang terjadi bahkan hampir tidak pernah terjadi. Namun demi terwujudnya tujuan GAM untuk Aceh yang merdeka dan berdaulat, bantuan-bantuan internasional untuk korban tsunami Aceh kemudian dirampok untuk keperluan tentara GAM itu sendiri. Karena adanya perbedaan kepentingan antara Indonesia-GAM hal tersebut menarik perhatian dunia internasional untuk menanganinya. Desakan agar Indonesia bisa menyelesaikannya dengan segera kemudian menghadirkan pihak ketiga dari Non-Governmental Organization (NGO) yang ingin segera menangani krisis di Indonesia.

3.3  Diplomasi GAM Pasca Tsunami Aceh

Jika pada masa sebelum tsunami, diplomasi yang dilakukan oleh provinsi Aceh sangat minim dengan pihak mana pun, termasuk dengan dalam negeri. Namun hal tersebut berubah setelah terjadinya tsunami. Daya tarik Aceh meningkat dan hubungan luar negeri pun semakin meningkat. Perundingan yang paling alot adalah kasus penyelesain konflik di Aceh antara GAM dan RI. Masa presiden Megawati Soekarno Putri sempat dilakukan perundingan dengan meneruskan rangkaian perundingan yang dirintis oleh presiden sebelumnya, Abdurrahman Wahid dalam program Cessation of Hostilities Agreement (CoHA), yang diharapkan bisa mengembalikan Aceh ke dalam Republik Indonesia, namun praktek ini gagal. Bahkan Megawati melakukan kesalahan dengan menggantikan kegagalan CoHA ini dengan menerapkan Darurat Militer sejak 19 Mei 2003, yang akhirnya bukan menyelesaikan konflik justru membuat penyelesaian konflik GAM-RI semakin sulit.

Bencana alam kemudian mendukung percepatan negosiasi ini, yaitu gempa dan tsunami yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004. Setelah peristiwa ini, pihak asing dengan mudah masuk ke Aceh (teritorial wilayah Indonesia) dengan alasan kemanusiaan. Pihak asing meminta jaminan agar bentuan dapat disalurkan dengan lancar, karena jika masih terjadi kontak senjata antara GAM dan TNI akan mengganggu pemberian bantuan terhadap korban tsunami. Dengan alasan ini juru runding GAM akhirnya menyatakan bahwa demi kepentingan rakyat Aceh, mereka bersedia berunding. Dalam proses perdamaian ini, wakil pemerintah Indonesia dan GAM dipertemukan dengan Crisis Management Initiatives (CMI) sebagai mediator dengan mantan presiden Finlandia, Martti Ahtisaari sebagai pemimpinnya. Salah satu alasan Martti terpilih sebagai juru runding adalah reputasinya dalam persoalan kemanusiaan sehingga dapat menjadi jembatan antara kedua belah pihak.

Lokasi yang dipilih sebagai tempat mediator adalah kota Helsinki, Finlandia, di Königstedt Manor pada bulan Januari-Agustus 2005. Dalam prosesnya pemerintah Indonesia dan GAM menandatangani Memorandum of Understanding (MoU). Perjanjian ini terdapat enam pokok bahasan yang berkenaan dengan Penyelenggaraan Pemerintah Aceh, Undang-undang tentang Pemerintahan di Aceh, Partisipasi Politik, Ekonomi, Peraturan Perundang-undangan, HAM, Amnesti dan reintegrasi ke dalam masyarakat, Pengaturan Keamanan, Pembentukan Misi Monitoring Aceh, dan Penyelesaian perselisihan.

CMI menjadi mediator yang baik karena posisinya yang netral dan berasal dari NGO yang tidak memiliki kepentingan politik apapun dalam konflik ini. Setelah putaran pertama, Ahtisaari meminta Uni Eropa untuk membantu mendanai pembicaraan ini dan untungnya disetujui. Uni Eropa memegang peran penting dalam Mou karena UE membantu terbentuknya Aceh Monitoring Mission (AMM) bekerjasama dengan ASEAN. Alasan ASEAN dimasukkan ke dalam AMM untuk menenangkan pemerintah Indonesia yang menganggap AMM memiliki banyak komponen lokal.



Tercapainya perundingan putaran pertama hingga ke lima dan ditandatanganinya draft MoU Helsinki adalah pencapaian puncak dalam konflik Aceh. Meski pada putaran-putaran sebelumnya terjadi banyak krisis dan tidak adanya titik temu, Martti bersedia menjadi perantara perundingan dengan syarat bahwa RI benar-benar ingin menyelesaikan persoalan separatism GAM secara tuntas. Dari perundingan ini, perjanjian Helsinki dapat menyelesaikan konflik secara permanen bukan cease fire atau genjatan senjata.







BAB IV

PENUTUP

4.1  KesimpulanA

Liberalisme merupakan perspektif dalam ilmu hubungan internasional yang lahir pada tahun 1970-an yang percaya bahwa manusia bisa memecahkan masalah-masalah yang terjadi melalui tindakan yang kolektif. Pemikiran tersebut menunjukkan baahwa usaha untuk meninggikan kekuasaan politik dan meengatur hubungan di antara orang-orang harus menggunakan norma-norma resmi dan prinsip-prinsip moral. Oleh karena itu perlu dilaksanakan diplomasi sebagai salah satu cara untuk mencapai kepentingan nasional suatu negara. Kepentingan nasional yang dianggap sebagai prinsip diplomasi yang dimiliki oleeh tiap negara untuk memperjuangkan kepentingan bersama menjadikan negara tersebut melakukan diplomasi dengan negara lain atau aktor lainnya (dalam ilmu hubungan internasional) untuk mencapai kepentingan bersama.

Dalam menyelesaikan konflik GAM di Aceh, pemerintah Indonesia memanfaatkan Disaster Diplomacy yang disebabkan oleh Tsunami Aceh pada tahun 2004. Dengan memanfaatkan momentum yang ada, pemerintah Indonesia mencari bantuan luar negeri untuk membantu Indonesia dalam menyelesaikan konflik GAM serta penanggulangan bencana tsunami yang melanda Aceh pada tahun 2004 yang membawa hasil yaitu Aceh tetap menjadi bagian dari NKRI yang mendapat otonomi khusus dari pemerintah pusat.







DAFTAR PUSTAKA

Al Chaidar. 1999. Gerakan Aceh Merdeka Jihad Rakyat Mewujudkan Negara Islam. Jakarta: Madani Press.

Clinton, W David (1986) “The National Interest: Normative Foundations” The Review Of Politics, vol 48, No. 4; hal. 495-519

“Diplomasi Komersial Adalah Diplomasi dengan Sentuhan Komersial”. Diakses

pada 28 November 2017.



Editor, No. 43/ThnIV/13 Juli 1991

Hans Morgenthau, dalam Lake 1981

Hyndmand, James E. (1970/1971) “National Interest and The New Look” International Journal, vol. 26, No 1; hal. 5-18

“Mediasi Konflik Aceh dan GAM”. Diakses pada tanggal 27 Novermber 2017. https://www.seniberpikir.com/mediasi-konflik-aceh-gerakan-aceh-merdeka-gam/

Ninic, Miroslav (1999) “The National Interest and its Interpretation” The Review of Politic, Vol 61; hal. 29-55

Nurhasim, Moch. 2008. Konflik dan Integrasi Politik Gerakan Aceh Merdeka, Kajian Tentang Konsensus Normatif Antara RI-GAM dalam Perundingan Helsinki. PUSTAKA PELAJAR, Yogyakarta.

Nurhasim, Moch, dkk. 2003. Konflik Aceh: Analisis atas Sebab-sebab Konflik,

Aktor Konflik, Kepentingan dan Upaya penyelesaian. Jakarta: LIPI.

Oppenheim, Felix E (1987) “National Interest. Rationally, and Morality “Political Theory, vol 15, No. 3; hal. 369-389

“Pengertian Liberalisme dan Sejarah Liberalisme”. Diakses pada tanggal 28 November 2017. http://www.artikelsiana.com/2015/01/pengertian-liberalisme-sejarah-liberalisme.html?m=1

Rochester, J Martin (1978) “The National Interest and Contemporary World Politics” The Review of Politics. Vol 40, no 1; hal. 77-96

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DIPLOMASI PADA ERA PEMERINTAHAN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO (SBY)

DIPLOMASI PADA MASA PEMERINTAHAN MEGAWATI

TANTANGAN DIPLOMASI MULTILATERAL INDONESIA PADA MASA PEMERINTAHAN JOKOWI