SENGKETA PULAU SIPADAN DAN LIGITAN ANTARA INDONESIA-MALAYSIA SERTA PENYELESAIANNYA

Dosen : Rachmayani, M.Si

Kelompok 10 :
BIMO SUGAMA ARGANATA     2015230020
DIMAS W NURSETO                      2015230044
HERU HERMAWAN SAGIAN       2015230027
MAULAN TRI WIJAYANTO          2015230125

INSTITUT ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK (IISIP)
JAKARTA


BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang Masalah
Wilayah merupakan salah satu unsur terpenting bagi suatu negara, karena wilayah merupakan tempat negara melaksanakan kedaulatannya. Wilayah merupakan ruang di mana orang menjadi warganegara yang bersangkutan hidup dan menjalankan segala aktivitasnya. Wilayah negara sebagai suatu ruang tidak saja terdiri atas daratan atau tanah tetapi juga perairan dan ruang udara. Wilayah daratan dan wilayah  ruang  udara dimiliki oleh negara pantai.Mengingat pentingnya wilayah bagi suatu  negara,  maka batas-batasnya harus jelas untuk menghindari kemungkinan sengketa dengan negara-negara yang lain. Dalam sejarah manusia maupun negara-negara, kerap terjadi konflik antarnegara yang bersumberkan pada masalah batas wilayah. Konflik ini bisa disebabkan oleh karena keinginan untuk melakukan ekspansi wilayah maupun ketidakjelasan batas-batas wilayah antarnegara.
Dalam proses kehidupan bernegara, tentunya tidak akan pernah lepas dengan masalah. Masalah yang dihadapi suatu negara cenderung beragam, misalnya masalah ekonomi, masalah sosial, bahkan masalah konflik sengketa wilayah. Masalah sengketa wilayah ini sering terjadi dengan latar belakang berbagai faktor. Bisa dari segi historis, segi kepentingan nasional masing-masing negaram, dan lain sebagainya. Indonesiapun tidak luput dari permasalahan sengketa wilayah ini. Indonesia pernah beberapa kali berkutat dengan permasalahan ini, dikarenakan wilayah Indonesia yang sebagian besar terdiri dari pulau-pulau dan dikelilingi oleh lautan, membuat pulau-pulau bagian luar Indonesia kerap kali diklaim sebagai bagian dari wilayah dari negara lain. Salah satu kasus yang pernah terjadi adalah kasus antara Indonesia dan Malaysia dalam memperebutkan pulau sipadan dan pulau ligitan. Dalam makalah ini, penulis akan menjelaskan mengenai kasus sengketa wilayah ini, dari mulai awal mula permasalahan terjadi, hingga proses penyelesaian permasalahannya. Serta penulis akan menganalisis kasus ini dengan teori dan perspektif hubungan internasional.




B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana proses terjadinya permasalahan sengketa pulau sipadan dan ligitan antara Indonesia dan Malaysia?
2.      Bagaimana penyelesaian dari konflik sengketa wilayah pulau sipadan dan ligitan?
3.      Bagaimana kasus sengketa wilayah pulau sipadan dan ligitan bila dianalisis menggunakan teori perspektif neorealisme?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui bagaimana proses terjadinya sengketa wilayah pulau sipadan dan ligitan
2.      Untuk mengetahui proses penyelesaian sengketa wilayah pulau sipadan dan ligitan.
3.      Untuk mengetahui analisa kasus sengketa wilayah pulau sipadan dan ligitan menggunakan teori perspektif neorealis.




BAB II
TEORI DAN KONSEP
2.1 TEORI
A.    Neo Realisme
Kaum neorealisme percaya bahwa kekuatan dapat diumpamakan sebagai sebuah sebuah ‘mata uang’ dari sistem politik internasional. Mengapa ‘mata uang’? Karena melalui perumpaamaan tersebut, kaum neorealis mencoba menunjukkan betapa pentingnya kekuatan bagi sebuah negara di dalam sistem politik internasional karena bagi kaum neorealis, sistem politik internasional dapat diartikan juga sebagai politik tentang kekuatan (Mearsheimer, 2001). Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah mengapa kekuatan sangat dibutuhkan oleh negara dalam sistem internasional? Morgenthau (1984) memberikan suatu jawaban sederhana atas pertanyaan tersebut yaitu karena haus akan kekuasaan adalah sebuah sifat dasar dari manusia itu sendiri (Morgenthau, 1984 dalam Mearsheimer, 2001:72).
Ada 5 asumsi dasar tentang mengapa suatu negara sangat membutuhkan kekuatan dalam sistem internasional. Asumsi pertama adalah karena kekuatan yang semakin besar dapat menjadi sebuah modal utama bagi suatu negara untuk beroperasi dalam sistem politik internasional yang bersifat anarki. Asumsi kedua adalah tiap-tiap negara pasti memiliki sebuah kapabilitas militer yang terus mengalami perkembangan dan pertumbuhan. Asumsi yang ketiga adalah aktor-aktor negara dalam sistem internasional tidak dapat memastikan tujuan dan intensi dari tindakan yang dilakukan oleh aktor-aktor negara lainnya. Asumsi keempat mengenai tujuan utama dari sebuah negara yaitu survival atau kemanan nasional dari negara tersebut. Asumsi yang terakhir mengenai rasionalitas dari negara sebagai aktor dalam sistem internasional sehingga mereka dapat merumuskan suatu strategi yang logis demi meningkatkan prospek dari aspek survival negara tersebut (Mearsheimer, 2001).
Pertanyaan selanjutnya adalah mengenai seberapa banyak kekuatan yang dibutuhkan oleh aktor negara agar dapat mencapai kepentingan nasionalnya dalam sistem internasional? Di dalam menanggapi hal ini, kaum neorealis terbagi menjadi dua paham yaitu kaum neorealis ofensif dan kaum neorealis defensif. Bagi kaum neorealis ofensif, negara dituntut menjadi pihak yang oportunis yaitu dimana ada kesempatan untuk menambah kekuatan, maka negara harus mengambil kesempatan tersebut. Selain hal tersebut, kaum neoreal ofensif menekankan bahwa negara selaku aktor utama dalam sistem internasional sudah sewajarnya berusaha memperbesar kekuatannya demi tercapainya tujuan lain di luar survival yaitu menjadi sebuah kekuatan yang hegemon dalam sistem internasional (Mearsheimer, 2001:75). Lain halnya dengan pandangan kaum neoral ofensif, kaum neoreal defensif cenderung berpandangan bahwa usaha perbesaran kekuatan yang bertujuan menjadi kekuatan hegemon oleh negara adalah sebuah strategi yang cenderung naif dalam sistem internasional karena bagi kaum ini, negara seharusnya berjuang untuk mencapai sebuah tingkatan kekuatan yang tepat dan sebagaimana mestinya agar menciptakan sebuah sistem yang seimbang dan stabil (Mearsheimer, 2001:75).
Secara lebih jauh, beberapa pemikir neorealis yang berhaluan defensif memberikan suatu argumen mengenai keseimbangan dan stabilitas dalam sistem internasional. Kaum ini berasumsi bahwa kemungkinan akan pencapaian keseimbangan tersebut dapat tercapai jika negara-negara dalam mencapai tujuannya bersifat lebih defensif. Mengapa demikian? Karena dalam posisi defensif, ancaman-ancaman yang datang cenderung tidak bersifat fisik sehingga negara juga akan cenderung berdiam diri sedangkan jika negara-negara bersifat ofensif dalam mencapai tujuannya, kemungkinan terjadinya konflik dan perang akan terbuka dengan lebar. Argumen tersebut didukung oleh fakta sejarah yang menunjukkan bagaimana keseimbangan dan perdamaian dapat cenderung tercapai jika negara-negara bersifat lebih defensif dalam mencapai tujuannya. Amerika Serikat dan Uni Soviet dalam Perang Dingin adalah contoh paling konkret mengenai sifat defensif dalam sistem internasional dimana ancaman yang mereka berikan satu sama lain tidak membuat mereka berperang dan berkonflik secara fisik. (Mearsheimer, 2001:82)..
Kaum neorealis disini tetap berpegang teguh pada beberapa asumsi dari kaum realisme khususnya asumsi mengenai kekuatan atau power dan peranan negara sebagai satu-satunya aktor utama dalam lingkup sistem internasional. Kekuatan dianggap sebagai salah satu hal paling esensial dalam sistem internasional namun implementasi serta usaha dalam mencapai kekuatan tersebut haruslah sebijaksana mungkin dan sebagaimana mestinya serta tidak secara berlebihan. Keseimbangan dan perdamaian merupakan dua hal yang juga turut menjadi fokus kaum neorealis karena hal ini berkaitan erat dengan kekuatan dan negara yang menjadi aktor utama dalam hubungan internasional. Intinya, dalam mencapai kepentingan nasional dan tujuannya, negara membutuhkan power atau kekuatan namun dalam menggunakannya, negara harus bersikap lebih bijaksana dan rasional demi tercapainya sebuah keseimbangan dan perdamaian di dalam sistem internasional itu sendiri.
2.2  KONSEP
A.    Kepentingan Nasional
Kepentingan nasional (National Interest) sangat penting digunakan untuk menjelaskan dan memahami perilaku internasional. Kepentingan nasional merupakan dasar untuk menjelaskan perilaku suatu negara, serta merupakan upaya negara untuk mengejar kekuasaan untuk mendapatkan kontrol suatu negara terhadap negara lain. Kepentingan nasional dianggap sebagai sarana dan tujuan dari tindakan suatu negara, dan kepentingan nasional suatu negara merupakan unsur-unsur yang membentuk kebutuhan negara seperti pertahanan, keamanan, serta kesejahteraan ekonomi, menurut Perwita Banyu, (2014:35).
Menurut Hans J. Morgenthau, kepentingan nasional setiap negara adalah untuk mengejar kekuasaan dan dapat membentuk pengendalian terhadap negara lain dan dapat diciptakan melalui teknik dan unsur paksaan maupun kerjasama. Kepentingan nasional suatu negara adalah dapat menjamin kelangsungan hidup. Kelangsungan hidup yang dimaksud adalah kelangsungan hidup negara dan warga negaranya, yaitu melindungi identitas fisik, politik, dan kultural negara dari gangguan negara lain. Negara harus bisa mempertahankan batas teritorialnya, mempertahankan rezim ekonomi dan politik negaranya, serta memelihara norma-norma, etnis, religius, dan sejarahnya, Mochtar Mas’oed, (1990:140-141)
Dalam kepentingan nasional, peran “negara” sebagai aktor yang mengambil keputusan dan memerankan peranan penting dalam pergaulan internasional berpengaruh bagi masyarakat dalam negerinya. Demikian pentingnya karena ini yang akan menjadi kemaslahatan bagi masyarakat yang berkehidupan di wilayah tersebut. Seorang ahli, Thomas Hobbes menyimpulkan bahwa negara dipandang sebagai pelindung wilayah, penduduk, dan cara hidup yang khas dan berharga. Demikian karena negara merupakan sesuatu yang esensial bagi kehidupan warga negaranya. Tanpa negara dalam menjamin alat-alat maupun kondisi-kondisi keamanan ataupun dalam memajukan kesejahteraan, kehidupan masyarakat jadi terbatasi. Sehingga ruang gerak yang dimiliki oleh suatu bangsa menjadi kontrol dari sebuah negara.
Kepentingan nasional tercipta dari kebutuhan suatu negara. Kepentingan ini dapat dilihat dari kondisi internalnya, baik dari kondisi politik-ekonomi, militer, dan sosial budaya. Kepentingan juga didasari akan suatu ‘power’ yang ingin diciptakan sehingga negara dapat memberikan dampak langsung bagi pertimbangan negara agar dapat pengakuan dunia. Peran suatu negara dalam memberikan bahan sebagai dasar dari kepentingan nasional tidak dipungkiri akan menjadi kacamata masyarakat internasional sebagai negara yang menjalin hubungan yang terlampir dari kebijakan luar negerinya. ( Robert Jackson dan Georg Sorensen : 2009 - 2 )
Dengan demikian, kepentingan nasional secara konseptual dipergunakan untuk menjelaskan perilaku politik luar negeri dari suatu negara. Seperti yang dipaparkan oleh Kindleberger mengenai kepentingan nasional;
“…hubungan antara negara tercipta karena adanya perbedaan keunggulan yang dimiliki tiap negara dalam berproduksi. Keunggulan komparatif (comparative advantage) tersebut membuka kesempatan pada spesialisasi yang dipilih tiap negara untuk menunjang pembangunan nasional sesuai kepentingan nasional…”
Pengertian tersebut menjelaskan bahwa keberagaman tiap-tiap negara yang ada di seluruh dunia memiliki kapasitas yang berbeda. Demikian tercipta dapat terpengaruh dari domografi, karekter, budaya, bahkan history yang dimiliki negara tersebut. Sehingga negara saat ingin melakukan kerjasama dapat melihat kondisi dari keunggulan-keungulan yang dapat menjadi pertimbangan.
Adanya kepentingan nasional memberikan gambaran bahwa terdapat aspek-aspek yang menjadi identitas dari negara. Hal tersebut dapat dilihat dari sejauh mana fokus negara dalam memenuhi target pencapaian demi kelangsungan bangsanya. Dari identitas yang diciptakan dapat dirumuskan apa yang menjadi target dalam waktu dekat, bersifat sementara ataupun juga demi kelangsungan jangka panjang. Hal demikian juga seiring dengan seberapa penting identitas tersebut apakah sangat penting maupun sebagai hal yang tidak terlalu penting. Konsep kepentingan nasional bagi Hans J. Morgenthau, memuat artian berbagai macam hal yang secara logika, kesamaan dengan isinya, konsep ini ditentukan oleh tradisi politik dan konteks kultural dalam politik luar negeri kemudian diputuskan oleh negara yang bersangkutan. Hal ini dapat menjelaskan bahwa kepentingan nasional sebuah negara bergantung dari sistem pemerintahan yang dimiliki, negara-negara yang menjadi partner dalam hubungan diplomatik, hingga sejarah yang menjadikan negara tersebut menjadi seperti saat ini, merupakan tradisi politik. Sedangkan tradisi dalam konteks kultural dapat dilihat dari cara pandang bangsanya yang tercipta dari karakter manusianya sehingga menghasilkan kebiasaan-kebiasaan yang dapat menjadi tolak ukur negara sebelum memutuskan menjalankan kerjasama.
Dapat disimpulkan, bahwa kepentingan nasional suatu negara adalah untuk mengejar kekuasaan dan mendapatkan kontrol suatu negara terhadap negara lain, dan dapat diciptakan dengan melalui tindakan dan unsur paksaan maupun kerjasama. Kepentingan nasional suatu negara juga dapat menjamin kelangsungan hidup negara dan warga negaranya.
B.     Penyelesaian Sengketa Secara Damai
Menurut situs Penyelesaian Perselisihan Kasus Sipadan Ligitan Melalui Mahkamah Internasional. November 26, 2009, pada umumnya penyelesaian sengketa digolongkan dalam dua kategori:
1.                  Cara-cara penyelesaian secara damai yaitu apabila para pihak telah dapat menyepakati untuk menemukan suatu solusi yang bersahabat. Dalam metode, menurut sifatnya dibagi dua yaitu secara politik dan secara hukum. Penyelesaian damai yang bersifat politik meliputi perundingan (negotiation), jasa-jasa baik (good-offices), penyelidikan (inquiry), penengahan (mediation) dan konsiliasi (conciliation). Sedangkan penyelesaian secara damai yang bersifat hukum atau prosedur hukum meliputi arbitrase (arbitration) dan penyelesaian hukum (judical settlement);
2.                  Cara-cara penyelesaian secara paksa atau dengan cara kekerasan, yaitu apabila solusi yang digunakan adalah melalui kekerasan. Penyelesaian melalui kekerasan meliputi perang dan bersenjata non-perang seperti retorasi (retorsion), dikenakan tindakan-tindakan pembalasan (reprisals), blokade secara damai (pasific blockade), dan intervensi (interventation).
Jika timbul sengketa yang menyangkut kedaulatan atas sejumlah wilayah, maka sudah merupakan kebiasaan untuk menelaah negara-negara mana saja yang mengklaim kedaulatan tersebut, yang memiliki alas hak yang sah lebih tinggi (baik itu melalui penyerahan, penaklukan, maupun okupasi) atas negara-negara lainnya yang juga mengajukan klaim yang sama.

Meskipun demikian, jika perseteruan didasarkan pada kenyataan bahwa pihak lainnya juga telah mengumumkan kedaulatan, maka hal itu tidak cukup untuk membentuk alas hak, karena harus ditunjukkan pula bahwa kedaulatan atas wilayah tersebut juga telah berlangsung dan tetap ada pada saat putusan untuk perselisihan itu ditetapkan. Alas hak dari penyerahan kedaulatan wilayah dalam hukum internasional juga berdasarkan atas tindakan okupasi efektif, dengan mengasumsikan bahwa negara yang menerima memiliki kemampuan untuk mengatur secara efektif wilayah yang diserahkan tersebut. Dalam cara yang sama, penambahan wilayah secara alami dapat dianggap sebagai sesuatu penambahan atas bagian wilayah yang telah ada kedaulatan yang sesungguhnya. Oleh karena itu merupakan hal yang wajar apabila untuk mewujudkan kedaulatan dibutuhkan suatu tindakan yang terus menerus dan juga dilakukan secara damai.
Keharusan untuk menyelesaikan sengketa secara damai pada mulanya dicantumkan dalam Pasal 1 Konvensi mengenai penyelesaian Sengketa-sengketa Secara Damai yang ditandatangani di Den Haag pada tanggal 18 Oktober 1907, yang kemudian dikukuhkan oleh Pasal 2 ayat 3 Piagam PBB dan selanjutnya oleh Deklarasi Prinsip-prinsip Hukum Internasional mengenai Hubungan Bersahabat dan Kerjasama antar Negara yang diterima oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 24 Oktober 1970. Deklarasi tersebut meminta agar semua negara menyelesaikan sengketa mereka dengan cara damai sedemikian rupa agar perdamaian, keamanan internasional dan keadilan tidak sampai terganggu.

Menurut Mauna Boer (2013:194), prinsip penyelesaian sengketa internasional secara damai didasarkan pada prinsip-prinsip hukum internasional yang berlaku secara universal, dan dimuat dalam Deklarasi mengenai Hubungan Bersahabat dan Kerjasama Antar Negara tanggal 24 Oktober  1970  serta Deklarasi  Manila  tanggal  15  November  1982  mengenai  Penyelesaian Sengketa Internasional secara Damai, yaitu:
1.                  Prinsip bahwa negara tidak akan menggunakan kekerasan yang bersifat mengancam integritas teritorial atau kebebasan politik suatu negara, atau menggunakan cara-cara lainnya yang tidak sesuai dengan tujuan-tujuan PBB;
2.                  Prinsip non-intervensi dalam urusan dalam negeri dan luar negeri suatu negara;
3.                  Prinsip persamaan hak dan menentukan nasib sendiri bagi setiap bangsa;
4.                  Prinsip persamaan kedaulatan negara;
5.                  Prinsip hukum internasional mengenai kemerdekaan, kedaulatan dan integritas teritorial suatu negara;
6.                  Prinsip itikad baik dalam hubungan internasional;
7.                  Prinsip keadilan dan hukum internasional.
Penyelesaian sengketa secara damai merupakan konsekuensi langsung dari ketentuan Pasal 2 ayat 4 Piagam yang melarang negara anggota menggunakan kekerasan dalam hubungannya satu sama lain. Dengan demikian pelarangan penggunaan kekerasan dan penyelesaian sengketa secara damai merupakan norma-norma imperatif dalam pergaulan antar bangsa. Oleh karena itu hukum internasional telah menyusun berbagai cara penyelesaian sengketa secara damai dan menyumbangkannya kepada masyarakat dunia demi terpeliharanya perdamaian dan keamanan serta terciptanya pergaulan antar bangsa yang serasi.
C.    Mahkamah Internasional
Pembentukan pengadilan menggambarkan puncak perkembangan yang cukup lama dari metode atau cara-cara penyelesaian secara damai terhadap sengketa-sengketa internasional. Pasal 33 dari Piagam PBB dibahas mengenai cara-cara penyelesaian sengketa internasional secara damai dimana meliputi negotiation, enquiry, mediation, arbitration, judical settlement, serta juga good-offices. Pada proses arbitrase dan penyelesaian hukum (judical settlement) mempunyai perbedaan yang terletak adalah penyelesaian sengketa atas hak-hak hukum para pihak, atas dasar hukum yang berlaku (kecuali para pihak berpendapat lain) dan menghasilkan keputusan yang mengikat para pihak.
Sejarah dari terbentuknya suatu Mahkamah Internasional dimulai dengan suatu pembentukan lembaga Arbitrase yang merupakan lembaga penyelesaian sengketa internasional secara damai. Arbitrase adalah suatu institusi yang sudah cukup tua, tetapi sejarah arbitrase modern yang diakui sejak Jay Treaty 1794 antara Amerika dan Inggris, yang mengatur pengajuan sengketa-sengketa kepada arbitrase juga sering dimasukan ke dalam traktat-traktat, khususnya konvensi yang membuat hukum (law making).
a.                  Permanent Court of Arbitration
Suatu langkah maju bagi perkembangan arbitrase, yaitu Konvensi The Haque 1899 dan 1907 mendirikan Permanen Court of Arbitration yang dalam kenyataannya tidak permanen dan tidak membentuk pengadilan. Dimana setiap negara peserta atau anggota dapat mengangkat empat orang yang memenuhi syarat di bidang hukum internasional dan semua orang yang ditunjuk tersebut merupakan sebuah panel para ahli hukum yang kompeten yang dari mereka itulah diangkat para arbitrator apabila diperlukan.
Arbitrase pada hakikatnya adalah suatu prosedur konsensus. Negara-negara tidak dapat dipaksa untuk dibawa ke muka arbitrase kecuali jika mereka setuju untuk melakukan hal tersebut, baik secara umum dan sebelumnya maupun advoc berkenaan dengan suatu sengketa tertentu. Proses arbitrase, disamping berkeinginan untuk adanya sebuah pengadilan yang permanen, tetap menjadi suatu proses yang bermanfaat guna mewujudkan kemajuan-kemajuan akan adanya suatu kategori sengketa dimana menyerahkan ke Mahkamah Internasional.
b.                  Permanent Court of International Justice
Dalam Pasal 14 Convenant Liga Bangsa-Bangsa diberikan tugas kepada dewan liga untuk menyusun dan mengajukan rencana-rencana bagi pembentukan sebuah Mahkamah Internasional Permanen kepada anggota-anggota liga untuk disahkan. Dewan Liga kemudian mengangkat sebuah komite penasihat yang terdiri dari ahli-ahli hukum dan di dalam komite itulah digunakan untuk memecahkan persoalan penting mengenai pemilihan para hakim. Permanen Court of International Justice bukan merupakan suatu organ dari Liga Bangsa-Bangsa meskipun dalam beberapa tindakannya berhubungan dengan liga.
c.                   International Court of Justice
International Court of Justice berkedudukan di Peace Palace, The Hague (Netherland) yang bertindak sebagai pengadilan dunia dimana memutuskan perkara-perkara dalam sengketa-sengketa hukum internasional dari suatu negara dan juga memberikan pendapat dalam bentuk nasehat hukum (Advisory Opinion). International Court of Justice dibentuk berdasarkan pasal 92-96 Piagam PBB yang dirumuskan di San Fransisco pada tahun 1945. Pasal 92 menyatakan bahwa Mahkamah adalah organ utama PBB karena itu maka negara-negara anggota PBB otomatis terikat kepada Mahkamah (International Court of Justice) sebagaimana halnya kepada organ-organ PBB lainnya. Mahkamah juga terikat pada tujuan dan prinsip PBB yang dinyatakan pada Pasal 1 dan 2 Piagam PBB dan karena statuta Mahkamah dilampirkan pada Piagam PBB serta merupakan bagian integral dari Piagam PBB, maka konteks Piagam PBB tersebut merupakan suatu faktor pengendali dalam penafsiran ketentuan-ketentuan dari statuta.[1]
Sejak dibentuk tahun 1945, Mahkamah Internasional atau International Court of Justice (ICJ) telah menangani kasus-kasus internasional, baik yang bersifat sengketa antara dua pihak (countentious) maupun advisory. Sebagai penerus dari Permanent Court International of Justice (PCIJ) yang didirikan pada tahun 1921, Mahkamah Internasional telah diaggap sebagai salah satu cara utama untuk penyelesaian konflik antar negara di dunia. Sebagai salah satu institusi hukum internasional, Mahkamah Internasional hanya menerima negara sebagai pihak yang dapat beracara di dalamnya.[2] Perjanjian khusus (special agreement) tentang penundukan (consent to be bound) kepada juridiksi Mahkamah Internasional, harus terlebih dahulu dibuat oleh para pihak sebelum beracara.[3] Penundukan ini didasarkan pada prinsip kedaulatan negara (state soverignty). Dari syarat ini dapat dilihat bahwa Mahkamah Internasional menjunjung tinggi kedaulatan sebuah negara untuk tunduk atas dasar free will. Lebih jauh lagi, pengakuan Internasional akan kedaulatan negara ini juga dapat dilihat dari kekuatan mengikat dari keputusan Mahkamah Internasional. Keputusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Internasional hanya mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak yang bersengketa dan terbatas pada kasus yang diajukan.[4]
Negara yang akan menjadi pihak bersengketa pada umumnya menyerahkan perjanjian khusus yang berisikan subjek sengketa dan pihak yang bersengketa.[5] Salah satu kasus yang memakai cara pembuatan perjanjian khusus antara para pihak untuk menerima juridiksi dari Mahkamah Internasional yaitu Soverignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan (Indonesia-Malaysia). Dalam bentuk ini, juridiksi Mahkamah Internasional ditarik dari perjanjian internasional yang memang mengharuskan anggotanya untuk tunduk kepada juridiksi Mahkamah Internasional jika terjadi sengketa. Pada umumnya juridiksi Mahkamah Internasional dari perjanjian internasional ini berkisar pada kasus tentang aplikasi atau interpretasi dari perjanjian internasional yang akan dimintakan kepada Mahkamah Internasional.
Setelah tahap pemberian perjanjian khusus atau aplikasi untuk beracara di Mahkamah Internasional, maka tahap yang selanjutnya adalah tahap pembelaan, yaitu pembelaan tertulis (written pleadings) dan presentasi pembelaan (oral pleadings). Pada dasarnya, Mahkamah Internasional memberikan kebebasan kepada para pihak tentang jenis pembelaan utama yang akan dipakai, baik itu pembelaan tertulis maupun presentasi pembelaan. Pada tahap pembelaan tertulis (written pleadings), urutan pembelaannya jika tidak ditentukan lain oleh para pihak, baik dalam hal perjanjian khusus maupun aplikasi, adalah Memorial dan tanggapan Memorial (counter memorial). Jika ternyata para pihak meminta kesempatan pertimbangan dan Mahkamah Internasional menyetujuinya, maka dapat diberikan kesempatan untuk memberikan jawaban (reply).[6]
Setelah pembelaan tertulis dalam bentuk memorial diserahkan oleh para pihak, maka mulailah proses presentasi pembelaan (oral pleadings). Mahkamah Internasional menentukan tanggal hearing dari kasus yang diajukan dengan pertimbangan dari Mahkamah Internasional dan para pihak. Para pihak mendapat dua kali kesempatan untuk memberikan presentasi pembelaan di depan Mahkamah Internasional.
Waktu untuk proses hearing ini biasanya 2 atau 3 minggu, akan tetapi jika Mahkamah Internasional beranggapan dibutuhkan lebih lama, maka waktu untuk hearing tersebut dapat diperpanjang. Akan tetapi menurut aturan Mahkamah proses hearing tersebut berada di bawah pengawasan Mahkamah Internasional dan waktunya disesuaikan dengan pertimbangan Mahkamah Internasional.


BAB III
PEMBAHASAN

A.      STUDI KASUS
Sengketa Pulau Sipadan Dan Ligitan Antara Indonesia-Malaysia Serta Penyelesaiannya Melalui International Court Of Justice (Icj)


Bab ini merupakan pembahasan mengenai sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan antara Indonesia-Malaysia serta penyelesaiannya melalui International Court of Justice (ICJ). Pembahasan ini meliputi latar belakang kasus sengketa wilayah antara Indonesia dan Malaysia terhadap Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, penyelesaian sengketa wilayah antara Indonesia dan Malaysia terhadap Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan melalui International Court of Justice, Mahkamah Internasional, urutan penyelesaian sengketa wilayah atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan melalui ICJ, dan proses persidangan penyelesaian sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan.

Untuk bagian pertama akan membahas mengenai latar belakang terjadinya sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan antara Malaysia dan Indonesia serta usaha-usaha untuk menyelesaikan sengketa. Bagian kedua tinjauan mengenai penyelesaian sengketa wilayah antara Indonesia dan Malaysia melalui Mahkamah Internasional. Bagian ketiga membahas mengenai perkembangan ICJ dari awal terbentuk hingga ICJ menjadi sebuah lembaga peradilan bagi negara-negara yang memiliki sengketa satu sama lain khususnya Indonesia dan Malaysia. Dan bagian keempat dan kelima akan memberikan penjelasan tentang proses penyelesaian sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan di ICJ yang meliputi pembelaan tertulis (written pleadings) dan presentasi pembelaan (oral pleadings) yang dilakukan oleh Indonesia dan Malaysia.




3.1 Latar Belakang Kasus Sengketa Wilayah antara Indonesia dan Malaysia Terhadap Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan

Sengketa wilayah antara Indonesia dan Malaysia bermula dari pertemuan kedua delegasi dalam penetapan batas landas kontinen antara Indonesia dan Malaysia di Kuala Lumpur pada tanggal 22 September 1969. Pada waktu pembicaraan landas kontinen di laut Sulawesi, kedua delegasi sama-sama mengklaim Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan sebagai miliknya. Pulau Sipadan terletak 15 mil laut sekitar 24 kilometer dari pantai daratan Sabah Malaysia dan 40 mil laut sekitar 64 kilometer dari pantai timur Pulau Sebatik dimana bagian utara merupakan wilayah Malaysia dan bagian timur selatan merupakan wilayah Indonesia. Posisi Pulau Ligitan terletak 21 mil laut sekitar 34 kilometer dari pantai daratan Sabah Malaysia dan 57,6 mil laut sekitar 93 kilometer dari pantai timur Pulau Sebatik. Luas Pulau Sipadan adalah 10,4 hektar dan Pulau Ligitan adalah 7,9 hektar.





Gambar 1. Peta Letak Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan pada Laut Sulawesi

Sumber : David A. Colson, The American Journal of International Law, 2003


Disinilah titik sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Titik awal klaim pemerintah Indonesia tampaknya lemah dan tidak mencantumkan kedua pulau tersebut dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yakni, Perpu No. 4 tahun 1960 tentang Perairan Indonesia.[1] Di pihak lain, kelemahan Malaysia tampak pada peta yang diterbitkan hingga tahun 1970-an tidak pernah mencantumkan kedua pulau tersebut.

Selanjutnya dalam meja perundingan kedua belah pihak baik pemerintah Indonesia maupun pemerintah Malaysia sepakat untuk menetapkan sebagai status quo atas kedua pulau tersebut. Sehubungan dengan masalah ini, kedua negara pada tanggal 22 September 1969 menyetujui Memorandum of Understanding (MOU) yang menetapkan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan dalam status quo yang berarti tidak boleh ditempati, diduduki maupun dimanfaatkan baik oleh Indonesia maupun Malaysia. Namun, mulai tahun 1979 Malaysia berubah sikap dan mengambil langkah-langkah secara unilateral dengan menerbitkan peta-peta yang menunjukkan kedua pulau sebagai bagian dari Malaysia, memberikan sejumlah izin kepada sejumlah perusahaan swastanya untuk menyelenggarakan kegiatan pariwisata di Pulau Sipadan dan mendirikan instalansi-instalansi listrik di pulau tersebut. Indonesia menganggap bahwa kegiatan-kegiatan tersebut melanggar kesepakatan yang telah dicapai dalam status quo.

Dalam upaya untuk menyelesaikan sengketa antara kedua negara, Indonesia dan Malaysia mengadakan perundingan-perundingan pada berbagai tingkat seperti Senior Official Meetings, Joint Working Group Meetings dan Joint Commision Meetings, namun tidak berhasil mencapai penyelesaian yang dapat diterima kedua pihak. Selanjutnya pada tahun 1996, Presiden Soeharto dan Perdana Menteri Mahathir Muhammad sepakat untuk mengangkat utusan khusus dari masing-masing negara untuk mencari solusi alternatif. Setelah melakukan empat kali pertemuan Jakarta-Kuala Lumpur secara bergantian, kedua wakil dari Pemerintah Indonesia dan pemerintah Malaysia berhasil menemukan solusi, yakni merekomendasikan agar perlu adanya penyelesaian masalah ini lewat Mahkamah Hukum Internasional (ICJ).
Selanjutnya, pada tanggal 31 Mei 1997 kedua negara menyepakati Special Agreement for the submission to the International Court of Justice the dispute between Indonesia and Malaysia concerning the soverignty over Pulau Sipadan and Pulau Ligitan. Naskah tersebut telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia pada tanggal 29 Desember 1997 melalui Keputusan Presiden Nomor 49 tahun 1997 dan oleh pemerintah Malaysia pada tanggal 19 November 1997. Special Agreement ini merupakan syarat prosedural yang memungkinkan ICJ memiliki kewenangan juridiksi atas perkara ini. Special Agreement tersebut kemudian disampaikan kepada Mahkamah Hukum Internasional pada tanggal 2 November 1998 melalui suatu Joint Letter atau Notifikasi Bersama. Masalah pokok yang diajukan dan dimintakan dalam Special Agreement adalah agar Mahkamah Hukum Internasional memutuskan siapakah yang berdaulat atas kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan berdasarkan perjanjian-perjanjian yang ada, bukti-bukti dan dokumen-dokumen yang tersedia dari pemerintah Indonesia maupun dari pemerintah Malaysia. Special Agreement ini juga mencantumkan putusan Mahkamah Hukum Internasional sebagai bersifat akhir dan mengikat (final and binding).[2]
Dalam penyampaian Notifikasi Bersama tersebut kepada Panitera Mahkamah Hukum Internasional, maka proses litigasi masalah Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan diforum internasional secara resmi mulai berlangsung dan untuk selanjutnya penyelesaian masalah ini sepenuhnya terletak pada penelitian Mahkamah Hukum Internasional. Tanggal 3 hingga 12 Juni 2002 Mahkamah Hukum Internasional telah mendengarkan argumentasi lisan dari Indonesia dan Malaysia sehubungan dengan sengketa wilayah (territorial dispute) Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Dan pada tanggal 17 Desember 2002 Mahkamah Hukum Internasional telah memberikan kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan kepada Malaysia. Dalam hal ini Mahkamah Hukum Internasional tidak terlalu tertarik dengan argumentasi Indonesia tentang akar kepemilikannya yang didasarkan pada Perjanjian Belanda-Inggris tahun 1891, yang pada Pasal IV menyebutkan bahwa garis batas kedua negara adalah garis lintang 4º 10’ di pantai timur Pulau Kalimantan terus ke Timur memotong Pulau Sebatik dan menempatkan kedua pulau itu di bawah garis lintang tersebut yang berarti milik Belanda. Menurut Mahkamah, perjanjian itu adalah perjanjian darat dan sulit diinterpretasikan sebagai perjanjian wilayah laut. Dengan ditolaknya perjanjian ini sebagai perjanjian alokasi laut, maka tidak ada lagi yang dapat diandalkan oleh Indonesia.
Berbeda dengan Indonesia, bukti efektif Malaysia atas kedua pulau tersebut dan dalam periode yang cukup lama, antara lain, bahwa Malaysia sejak tahun 1917 telah melakukan fungsi legislatif atas kedua pulau tersebut misalnya dengan dikeluarkannya Peraturan Perlindungan Penyu, serta mengeluarkan Perizinan untuk menangkap telur penyu. Malaysia juga telah membangun mercusuar di Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan pada tahun 1962 dan 1963 yang terus dipelihara sejak kemerdekaan Malaysia. Kegiatan kedaulatan Malaysia ini menurut pengamatan Mahkamah tidak pernah diprotes oleh Indonesia. Semua fakta sejarah ini cukup meyakinkan bahwa Malaysia telah menunjukkan kegiatan berdaulatannya atas kedua pulau tersebut dan sudah cukup membuktikan adanya keefektifan untuk syarat kedaulatan suatu negara atas kedua pulau itu. Dalam hal ini, apa pun yang dilakukan oleh Indonesia sejak tahun 1969 seperti halnya menduduki kedua pulau tersebut, tetap tidak akan dapat menghapus keefektifan Inggris atau Malaysia.

3.2 Penyelesaian Sengketa Wilayah antara Indonesia dan Malaysia terhadap Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan melalui International Court of Justice (ICJ)

Secara tradisinya, apabila sebuah negara menghadapi pertikaian, negara tersebut akan mengumumkan perang. Sebaliknya, pada saat ini, negara-negara anggota ASEAN tidak memilih untuk menggunakan kekuatan senjata atau militer tetapi menggunakan bahasa sebagai suatu mekanisme untuk menyelesaikan pertikaian diantaranya melalui perundingan diplomatik. Pada umumnya penyelesaian sengketa digolongkan dalam dua kategori[3] :
1.                  Cara-cara penyelesaian secara damai yaitu apabila para pihak telah dapat menyepakati untuk menemukan suatu solusi yang bersahabat. Dalam metode, menurut sifatnya dibagi dua yaitu secara politik dan secara hukum. Penyelesaian damai yang bersifat politik meliputi perundingan (negotiation), jasa-jasa baik (good-offices), penyelidikan (inquiry), penengahan (mediation) dan konsiliasi (conciliation). Sedangkan penyelesaian secara damai yang bersifat hukum atau prosedur hukum meliputi arbitrase (arbitration) dan penyelesaian hukum (judical settlement);
2.                  Cara-cara penyelesaian secara paksa atau dengan cara kekerasan, yaitu apabila solusi yang digunakan adalah melalui kekerasan. Penyelesaian melalui kekerasan meliputi perang dan bersenjata non-perang seperti retorasi (retorsion), dikenakan tindakan-tindakan pembalasan (reprisals), blokade secara damai (pasific blockade), dan intervensi (interventation).
Jika timbul sengketa yang menyangkut kedaulatan atas sejumlah wilayah, maka sudah merupakan kebiasaan untuk menelaah negara-negara mana saja yang mengklaim kedaulatan tersebut, yang memiliki alas hak yang sah lebih tinggi (baik itu melalui penyerahan, penaklukan, maupun okupasi) atas negara-negara lainnya yang juga mengajukan klaim yang sama.

Meskipun demikian, jika perseteruan didasarkan pada kenyataan bahwa pihak lainnya juga telah mengumumkan kedaulatan, maka hal itu tidak cukup untuk membentuk alas hak, karena harus ditunjukkan pula bahwa kedaulatan atas wilayah tersebut juga telah berlangsung dan tetap ada pada saat putusan untuk perselisihan itu ditetapkan. Alas hak dari penyerahan kedaulatan wilayah dalam hukum internasional juga berdasarkan atas tindakan okupasi efektif, dengan mengasumsikan bahwa negara yang menerima memiliki kemampuan untuk mengatur secara efektif wilayah yang diserahkan tersebut. Dalam cara yang sama, penambahan wilayah secara alami dapat dianggap sebagai sesuatu penambahan atas bagian wilayah yang telah ada kedaulatan yang sesungguhnya. Oleh karena itu merupakan hal yang wajar apabila untuk mewujudkan kedaulatan dibutuhkan suatu tindakan yang terus menerus dan juga dilakukan secara damai.

Keharusan untuk menyelesaikan sengketa secara damai pada mulanya dicantumkan dalam Pasal 1 Konvensi mengenai penyelesaian Sengketa-sengketa Secara Damai yang ditandatangani di Den Haag pada tanggal 18 Oktober 1907, yang kemudian dikukuhkan oleh Pasal 2 ayat 3 Piagam PBB dan selanjutnya oleh Deklarasi Prinsip-prinsip Hukum Internasional mengenai Hubungan Bersahabat dan Kerjasama antar Negara yang diterima oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 24 Oktober 1970. Deklarasi tersebut meminta agar semua negara menyelesaikan sengketa mereka dengan cara damai sedemikian rupa agar perdamaian, keamanan internasional dan keadilan tidak sampai terganggu.

Prinsip penyelesaian sengketa internasional secara damai didasarkan pada prinsip-prinsip hukum internasional yang berlaku secara universal, dan dimuat dalam Deklarasi mengenai Hubungan Bersahabat dan Kerjasama Antar Negara tanggal 24 Oktober  1970  serta Deklarasi  Manila  tanggal  15  November  1982  mengenai  Penyelesaian Sengketa Internasional secara Damai, yaitu[4]
1.      Prinsip bahwa negara tidak akan menggunakan kekerasan yang bersifat mengancam integritas teritorial atau kebebasan politik suatu negara, atau menggunakan cara-cara lainnya yang tidak sesuai dengan tujuan-tujuan PBB;
2.      Prinsip non-intervensi dalam urusan dalam negeri dan luar negeri suatu negara;
3.      Prinsip persamaan hak dan menentukan nasib sendiri bagi setiap bangsa;
4.      Prinsip persamaan kedaulatan negara;
5.      Prinsip hukum internasional mengenai kemerdekaan, kedaulatan dan integritas teritorial suatu negara;
6.      Prinsip itikad baik dalam hubungan internasional;
7.      Prinsip keadilan dan hukum internasional.
Penyelesaian sengketa secara damai merupakan konsekuensi langsung dari ketentuan Pasal 2 ayat 4 Piagam yang melarang negara anggota menggunakan kekerasan dalam hubungannya satu sama lain. Dengan demikian pelarangan penggunaan kekerasan dan penyelesaian sengketa secara damai merupakan norma-norma imperatif dalam pergaulan antar bangsa. Oleh karena itu hukum internasional telah menyusun berbagai cara penyelesaian sengketa secara damai dan menyumbangkannya kepada masyarakat dunia demi terpeliharanya perdamaian dan keamanan serta terciptanya pergaulan antar bangsa yang serasi.
Konvensi Hukum Laut 1982 menyediakan berbagai metode dalam rangka penyelesaian sengketa hukum laut. Dilihat dari perkembangan sistem peradilan internasional, mekanisme konvensi ini merupakan yang pertama kali dapat mengarahkan negara-negara peserta untuk menerima prosedur memaksa (compulsory procedures), dengan sistem konvensi maka tidak ada lagi ruang bagi negara-negara pihak konvensi untuk menunda-nunda sengketa hukum lautnya dengan bersembunyi dibelakang konsep kedaulatan negara, karena konvensi secara prinsip mengharuskan negara-negara pihak untuk menyelesaikan sengketanya melalui mekanisme konvensi.
Penyelesaian sengketa diatur dalam Bab XV tentang Settlement of Disputes, Pasal 279 pada intinya menyebutkan bahwa negara-negara pihak diberi kebebasan yang luas untuk memilih prosedur yang diinginkan sepanjang itu disepakati bersama. Pada sengketa wilayah Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, Indonesia menginginkan adanya penyelesaian secara damai dengan Malaysia. Hal ini berdasarkan pada prosedural penyelesaian melalui Mahkamah Internasional sesuai dengan Bab VI Pasal 33 Penyelesaian Pertikaian Secara Damai dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Statu Mahkamah Internasional serta Pasal 36 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional.[5] Bab VI Pasal 33 Penyelesaian Pertikaian Secara Damai dalam Piagam PBB dan Statuta Mahkamah Internasional adalah :
1.                  Pihak-pihak yang bersangkutan dalam suatu pertikaian yang jika berlangsung terus menerus mungkin membahayakan pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional, pertama-tama harus mencari penyelesaian dengan jalan perundingan, penyelidikan, dengan mediasi, konsiliasi, arbitrasi, penyelesaian menurut hukum melalui badan-badan atau pengaturan-pengaturan regional, atau dengan cara damai lainnya yang dipilih mereka sendiri;
2.                  Bila dianggap perlu, Dewan Keamanan meminta kepada pihak-pihak bersangkutan untuk menyelesaikan pertikaiannya dengan cara-cara serupa itu.
Metode-metode penyelesaian sengketa-sengketa internasional secara damai atau bersahabat dapat dibagi dalam klasifikasi berikut ini : pertama, Arbitrasi (arbitration); kedua, penyelesaian yudisial (judicial settlement); ketiga, negosiasi, jasa-jasa baik (good offices), mediasi, konsiliasi; keempat, penyelidikan (inquiry); dan kelima, penyelesaian di bawah naungan Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Hubungannya dengan persengketaan yang terjadi antara Indonesia dan Malaysia, kedua negara memilih untuk menggunakan metode negosiasi atau perundingan diplomatis sebagai langkah awal untuk menyelesaikan persengketaan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Hal ini terlihat dari pertemuan-pertemuan yang dilakukan oleh perwakilan kedua negara. Melihat sejarah hubungan Indonesia dan Malaysia, cara negosiasi ini merupakan langkah yang tepat dalam menyelesaikan sengketa. Indonesia dan Malaysia adalah dua negara besar di kawasan Asia Tenggara yang bersahabat, dan persahabatan inilah yang bisa dijadikan dasar untuk mengadakan sebuah perundingan negosiasi dalam rangka mencari solusi yang tepat.
Pada dasarnya metode penyelesaian sengketa melalui mekanisme perundingan ini adalah cara konvensional yang selalu digunakan dalam rangka upaya penyelesaian sengketa oleh pihak manapun yang bersengketa. Cara ini terkadang memerlukan waktu yang sangat lama, hal ini bisa terjadi karena dalam perundingan dimungkinkan para pihak tetap bersikeras dengan pendapatnya dan berusaha untuk mematahkan argumentasi-argumentasi yang diberikan pihak lawan kadang hal ini dilakukan sebagai implementasi dari kedaulatan yang dimiliki oleh masing-masing pihak, sehingga sulit untuk mencari titik temu penyelesaian.
Biasanya, arbitrasi menunjukkan prosedur yang persis sama sebagaimana dalam hukum nasional, yaitu menyerahkan sengketa kepada orang-orang tertentu yang dinamakan para arbitrator, yang dipilih secara bebas oleh para pihak, mereka itulah yang memutuskan tanpa terlalu terikat pada pertimbangan-pertimbangan hukum. Namun, pengalaman yang diperlihatkan oleh praktek internasional menunjukkan bahwa beberapa sengketa yang hanya menyangkut masalah hukum yang diserahkan kepada para arbitrator untuk diselesaikan berdasarkan hukum.[6] Lebih lanjut, dalam berbagai macam traktat yang menyepakati bahwa sengketa-sengketa harus diajukan kepada arbitrasi, seringkali sebagai tambahan pada arahan untuk memutuskan menurut dasar keadilan atau ex aequo et bono, pengadilan-pengadilan arbitrasi secara khusus diinstruksikan untuk menerapkan hukum internasional.
Klausula-klausula yang mengatur pengajuan sengketa-sengketa kepada arbitrasi juga sering dimasukan ke dalam traktat-traktat, khususnya konvensi “yang membuat hukum” (law-making). Arbitrasi pada hakikatnya adalah suatu prosedur konsensus. Negara-negara tidak dapat dipaksa untuk dibawa ke muka arbitrasi kecuali jika mereka bersetuju untuk melakukan hal tersebut, baik secara umum dan sebelumnya maupun ad hoc berkenaan dengan suatu sengketa tertentu. Kesepakatan negara-negara itu pun mencakup penentuan karakter dari pengadilan yang akan dibentuk.
Senantiasa akan ada tempat bagi arbitrasi dalam hubungan-hubungan antara negara-negara. Proses arbitrasi lebih memuaskan dibandingkan dengan penyelesaian yudisial atas sengketa-sengketa teknis, juga lebih murah, sedangkan, apabila dianggap perlu, arbitrasi dapat dilakukan tanpa ada publisitas, bahkan sampai tingkat tertentu para pihak boleh menyepakati bahwa putusan-putusan tidak akan dipublikasikan. Lebih lanjut, prinsip-prinsip umum yang mengatur praktek dan wewenang pengadilan-pengadilan arbitrasi cukup dikenal. Yang terakhir, prosedur arbitrasi cukup luwes untuk dikombinasikan dengan proses-proses pencarian fakta yang disediakan dalam kasus negosiasi, jasa-jasa baik, mediasi, konsiliasi dan penyelidikan.
Untuk itu, Indonesia dan Malaysia telah membuat sebuah perjanjian yang diberi nama Special Agreement for Submission to the International Court of Justice of the Dispute between Indonesia dan Malaysia concerning Soverignty over Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan (Special Agreement). Dalam Pasal 2 Special Agreement disebutkan bahwa Mahkamah Internasional diminta untuk menentukan siapakah yang mempunyai kedaulatan atas Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan.[7]

2.2    Urutan Penyelesaian Sengketa Wilayah atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan   melalui International Court of Justice (ICJ)
Konflik Sipadan-Ligitan mencuat sejak tahun 1969, ketika Malaysia dan Indonesia membahas mengenai Landas Kontinen. Perselisihan berawal dari perbedaan penafsiran atas Perjanjian 1891 yang dibuat dua kolonialis, yakni Inggris-Belanda, untuk membagi Kalimantan.

Pada awalnya kedua pihak sepakat untuk tidak melakukan aktivitas apapun di atas kedua pulau yang sedang dalam sengketa. Namun Malaysia bukan hanya mengamankan kedua pulau ini, melainkan juga membangun resor pariwisata dan penangkaran penyu.
Dalam mengadili perkara ini, Mahkamah Internasional tidak mendasarkan diri pada Perjanjian kedua belah pihak antara Inggris dan Belanda, namun lebih kepada aktivitas okupasi secara efektif dari Malaysia. Menyangkut efektifitas yang ditunjukkan oleh Indonesia, Mahkamah Internasional memulai dengan menunjukkan bahwa tidak ada peraturan perundang-undangan satupun yang mengatur tentang Sipadan dan Ligitan. Terlebih lagi, Mahkamah tidak dapat mengabaikan fakta bahwa UU No. 4/1960 yang menarik garis pangkal bagi wilayah Indonesia, tidak memasukkan Sipadan dan Ligitan sebagai titik-titik garis pangkal.
Menurut opini Mahkamah Internasional, tidak dapat ditarik kesimpulan dari laporan komandan kapal patroli Belanda Lynx atau dari dokumen lain yang disajikan oleh Indonesia dalam kaitannya dengan kegiatan patroli laut Indonesia atau Belanda, bahwa otoritas kelautan terkait meliputi Sipadan dan Ligitan dan perairan disekitarnya di bawah kedaulatan Belanda atau Indonesia.
Malaysia memenangkan kasus ini karena Mahkamah Internasional menganggap bahwa Malaysia telah dapat menunjukkan pelaksanaan okupasi secara efektif terhadap kedua Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan yaitu berkaitan dengan efektivitas terhadap kedua Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, dalam Butir 132 Putusan ICJ dikemukakan Malaysia menyatakan bahwa negaranya telah mengatur pengurusan penyu dan pengumpulan telur penyu. Malaysia menyatakan bahwa pengumpulan telur penyu di kedua pulau ini merupakan kegiatan ekonomi yang paling penting selama bertahun-tahun.
Tahun 1914 Inggris Raya mengambil langkah-langkah untuk mengatur dan mengendalikan pengambilan telur penyu di kedua pulau tersebut. Malaysia juga mengandalkan pembentukan usaha penangkaran burung pada tahun 1933. Malaysia juga menyebutkan British North Borneo Colonial (BNBC) Authorities telah membangun Mercusuar di atas kedua pulau tersebut pada tahun 1960an, dan mercusuar tersebut masih tetap ada sampai sekarang dan dipelihara oleh Otoritas Malaysia. Terakhir, Malaysia menyatakan adanya Peraturan perundang-undangan Pemerintah Malaysia mengenai Pariwisata di Sipadan dan kenyataan menyebutkan bahwa sejak 25 September 1977, Sipadan dan Ligitan menjadi daerah yang dilindungi dibawah Malaysia’s Protected Areas.
Berkenaan dengan efektivities yang disandarkan oleh Malaysia, maka Mahkamah Internasional pertama mengamati bahwa sesuai dengan Konvensi tahun 1930 AS melepaskan klaim bahwa AS memiliki kedaulatan di atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, dan tidak ada negara lain yang mengemukakan kedaulatannya di atas kedua pulau tersebut pada saat itu, atau merasa keberatan dengan pemerintahan yang berkelanjutan oleh State of North Borneo. Lebih lanjut Mahkamah mengamati bahwa aktivitas-aktivitas yang terjadi sebelum dibuatnya Konvensi tidak dapat dianggap sebagai tindakan “a little de souverain”, karena Inggris Raya pada saat itu tidak mengajukan klaim kedaulatan atas nama State of North Borneo atas pulau-pulau terluar batas 3 marine-league. Karena Mahkamah beranggapan bahwa British North Borneo Colonial (BNBC) mempunyai hak untuk memerintah kedua pulau tersebut, posisi yang setelah tahun 1907 secara formal diakui oleh AS, maka kegiatan-kegiatan administratif ini tidak dapat diabaikan begitu saja.
Sebagai bukti administratif efektif terhadap kedua pulau, Malaysia menyatakan bahwa ukuran yang diambil oleh Otoritas North Borneo untuk mengatur dan mengendalikan tindakan pengumpulan telur penyu di Sipadan dan Ligitan merupakan sebuah aktivitas ekonomi yang nyata di daerah tersebut pada saat itu. Hal ini merujuk kepada Turtle Preservation Ordinance 1917, yang bertujuan untuk membatasi penangkapan penyu dan pengumpulan telur penyu dalam wilayah State of North Borneo atau perairan wilayahnya. Mahkamah juga mencatat bahwa Ordonansi dibuat dalam kaitan sistem pemberian lisensi dan untuk penciptaan native reservesuntuk pengumpulan telur penyu, dan Sipadan terdaftar diantara pulau-pulau yang termasuk dalam native reserves.
Malaysia mengemukakan bukti dokumen yang menunjukkan bahwa Ordonansi Pelestarian Penyu 1917 berlaku setidaknya sampai tahun 1950. Dalam kaitan ini, Malaysia menyatakan bahwa izin yang dikeluarkan pada tanggal 28 April 1954 oleh Pejabat Distrik Tawau memperkenankan penangkapan penyu yang sesuai dengan Bagian 2 dari Ordonansi tersebut. Mahkamah mengamati bahwa izin ini meliputi area yang termasuk di dalamnya “pulau-pulau Sipadan, Ligitan, Kapalat, Mabul, Dinawan dan Siamil”.

Lebih lanjut Malaysia menyebutkan beberapa kasus tertentu sebelum dan setelah tahun 1930 dimana ditunjukkan, bahwa otoritas administratif telah berhasil menyelesaikan sengketa mengenai pengumpulan telur penyu di Sipadan. Malaysia merujuk kepada fakta bahwa tahun 1933 Pulau Sipadan berdasarkan Bagian 28 dari Ordonansi Tanah 1930 dinyatakan sebagai reserve bagi tujuan penangkaran burung. Mahkamah berpendapat bahwa baik ukuran yang diambil untuk mengatur dan mengendalikan pengumpulan telur penyu dan usaha penangkaran burung harus dilihat sebagai pernyataan tegas tentang pengaturan dan pernyataan administratif dari otoritas terhadap wilayah tersebut.
Malaysia kemudian mengemukakan fakta bahwa otoritas koloni North Borneo membangun mercusuar di Pulau Sipadan pada tahun1962 dan yang lainnya di Pulau Ligitan tahun 1963 dimana mercusuar tersebut tetap ada sampai kini dan bahwa mercusuar tersebut dipelihara oleh Otoritas Malaysia sejak kemerdekaannya. Malaysia beragumen bahwa pembangunan dan pemeliharaan dari mercusuar seperti itu merupakan “bagian dari pola pelaksanaan otoritas Pemerintah yang tepat”. Mahkamah mengamati bahwa pembangunan dan pengoperasian mercusuar dan bantuan navigasi pada umumnya tidak berdasarkan perwujudan otoritas Negara.
Mahkamah memberikan catatan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh Malaysia baik itu atas namanya sendiri atau sebagai suksesor Inggris Raya memang sedikit jumlahnya, tetapi hal ini sangat beragam dalam karakternya termasuk dalam tindakan-tindakan legislatif, administratif dan quasi-peradilan. Hal-hal tersebut meliputi periode waktu yang panjang dan menunjukkan pola penampakan kehendak untuk melaksanakan fungsi kenegaraan yang berkaitan dengan kedua pulau tersebut dalam konteks administrasi dalam lingkup yang lebih luas dari pulau-pulau tersebut.
Mahkamah terlebih tidak dapat mengabaikan fakta bahwa pada saat itu ketika kegiatan-kegiatan ini dilaksanakan, baik Indonesia maupun pendahulunya Belanda, tidak pernah menyatakan pertentangan atau protes. Dalam hal ini, Mahkamah memberikan catatan bahwa pada tahun 1962 dan 1963 Pemerintah Belanda tidak pernah mengingatkan otoritas Koloni North Borneo atau Malaysia setelah kemerdekaannya, bahwa pembangunan mercusuar pada masa-masa itu berlangsung di wilayah yang mereka anggap sebagai milik Indonesia.

Berdasarkan fakta-fakta yang diberikan dalam kasus ini, dan khususnya dalam hal bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak, maka Mahkamah Internasional menyimpulkan bahwa Malaysia memiliki hak terhadap Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan berdasarkan effectivites.

3.4 Proses Persidangan Penyelesaian Sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan
Dalam persidangan pemerintah kedua negara telah menyiapkan sejumlah pengacara setingkat internasional, disamping para pejabat kedua pemerintahan. Proses persidangan yang dilakukan dihadapan Mahkamah Internasional oleh Indonesia dan Malaysia terbagi menjadi dua bagian utama, yaitu sesi Argumentasi Tertulis (Written Pleadings) dan Argumentasi Lisan (Oral Pleadings).
Dalam Argumentasi Tertulis dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu penyampaian dasar dari klaim yang disebut sebagai Memorial . Atas Memorial yang disampaikan, masing-masing negara diberi kesempatan untuk menjawab dalam bentuk Counter Memorial. Counter Memorial yang disampaikan oleh masing-masing negara kemudian dijawab kembali dalam bentuk Reply. Indonesia dan Malaysia menyampaikan Memorial mereka pada bulan November 1999. Selanjutnya kedua negara menyampaikan Counter Memorial pada bulan Agustus 2000. Atas Counter Memorial yang disampaikan oleh masing-masing negara, masing-masing telah menanggapinya dalam Reply yang disampaikan ke Mahkamah Internasional pada bulan Maret 2001. Pada bulan Juni 2002, para pihak diberi kesempatan untuk menyampaikan Argumentasi Lisan mereka.

3.4.1    Pokok-pokok Argumentasi Hukum Indonesia dan Malaysia
Indonesia dalam argumentasi hukumnya berdasarkan kepemilikannya atas kedua pulau berdasarkan Pasal 4 Konvensi 1891 antara Belanda dan Inggris (atau yang disebut sebagai “Conventional Title”. Indonesia berpendapat bahwa Konvensi 1891 merupakan perjanjian yang menyelesaikan ketidakjelasan batas-batas wilayah antara Inggris dan Belanda di Kalimantan. Dalam hubungan ini Indonesia menafsirkan bahwa garis 4 10’ tersebut tidak hanya berhenti pada bagian timur Pulau Sebatik, tetapi terus berlanjut ke arah laut sebelah timur pulau tersebut. Dengan demikian, pulau-pulau Sipadan dan Ligitan yang berada di bagian selatan garis tersebut merupakan wilayah Hindia Belanda. Pandangan Indonesia ini didukung oleh kenyataan bahwa konsesi minyak yang diberikan oleh kedua pihak secara jelas menghormati garis 4 10’. Selain itu kunjungan Kapal Perusak Lynx (milik Belanda) ke pulau Sipadan pada tahun 1921 menunjukkan adanya kontrol yang efektif pihak pemerintah Hindia Belanda atas kedua pulau.
Malaysia dalam argumentasinya menyatakan bahwa garis 4 10’ tersebut berhenti pada bagian timur Pulau Sebatik, karena perjanjian 1891 hanya bertujuan untuk mengatur batas wilayah daratan. Berkaitan dengan kepemilikannya atas kedua pulau, Malaysia menitikberatkan pada dua alur pemikiran (atau yang disebut sebagai “Chain of Title”), sebagai berikut [8] :
1.                  Kedaulatan atas kedua pulau diperoleh dari serangkaian transaksi yang dimulai dari grant Sultan Sulu kepada British North Borneo Company (BNBC) tahun 1878, pengakuan Spanyol atas kedaulatan Inggris di Borneo melalui Perjanjian 1885, dan pertukaran Nota antara Amerika Serikat (AS) dengan Inggris tahun 1907 mengenai pengakuan AS atas pengelolaan pulau-pulau yang sedang dipermasalahkan (termasuk Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan) yang berada dalam administrasi BNBC meskipun kedaulatannya masih tetap berada di bawah AS. Malaysia juga merujuk pada Perjanjian AS-Inggris tahun 1930 tentang penyerahan kedaulatan AS kepada Inggris atas pulau-pulau di selatan dan barat garis batas antara Filipina dengan Borneo, dan penyerahan kedaulatan Inggris kepada Malaysia tahun 1963 melalui prinsip suksesi negara;
2.                  Kedaulatan atas kedua pulau diperoleh dari fakta bahwa Inggris kemudian Malaysia sejak tahun 1878 secara damai dan terus-menerus telah mengadministrasikan kedua pulau itu. Di pihak lain, Belanda dan kemudian Indonesia tidak pernah melakukan klaim atas kedua pulau sampai tahun 1969. Argumentasi Malaysia tersebut dikenal dengan istilah effectivities.

3.4.2    Written dan Oral Hearings
Sesuai dengan prosedur yang berlaku di Mahkamah Internasional, masing-masing pihak yang bersengketa harus menyampaikan argumentasi tertulis (Written Pleadings) ke Mahkamah dan pihak lawan sengketa, yang terdiri dari penyampaian Memorial, Counter Memorial, dan Relpy. Memorial Indonesia berisi argumentasi klaim Indonesia atas pulau-pulau Sipadan dan Ligitan dan disampaikan pada tanggal 2 September 1999, Counter Memorial yang berisi tanggapan RI atas Memorial-nya Malaysia disampaikan tanggal 2 Agustus 2000. Sedangkan Reply Indonesia yang berisi tanggapan atas Counter Memorial Malaysia disampaikan tanggal 2 Maret 2001.
Setelah proses argumentasi tertulis (Written Pleading) selesai, penyelesaian kasus sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan memasuki tahap akhir, yaitu penyampaian Lisan dan Oral Hearing. Kedua Agent dari masing-masing pihak yang bersengketa menyampaikan presentasi berupa sikap dan posisinya, terutama yang mengandung sikap politis dan penekanan yuridis. Walaupun sebenarnya argumentasi yang bersifat yuridis juga disampaikan oleh kedua pihak yang bersengketa di tahapan Written Pleading. Malaysia menyampaikan argumen lisannya tanggal 6 Juni 2002 dan Indonesia tanggal 12 Juni 2002. Masing-masing pihak diberi hak menjawab argumentasi lawannya.
Pada pelaksanaan Oral Hearing tanggal 12 Juni 2002, delegasi Indonesia yang diketuai Menteri Luar Negeri RI, dalam kedudukannya sebagai Agent, didampingi oleh dua orang anggota Komisi I DPR-RI, sejumlah pejabat dari Departemen Dalam Negeri, Departemen Pertahanan, MABES TNI, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Wakil dari Kabupaten Nunukan, Prof. Lapian sebagai pakar sejarah, juga unsur-unsur dari KBRI Den Haag dan KBRI Paris. Oral Hearing pihak Indonesia merupakan pernyataan terakhir posisi Indonesia di Mahkamah mengenai masalah sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan oleh Menteri Luar Negeri RI yang berfungsi sebagai Agent yang dilanjutkan dengan presentasi oleh para pakar hukum internasional yang membantu tim Indonesia.
Terdapat tenggang-waktu yang cukup lama antara proses Written Pleadings dengan Oral Pleadings, disebabkan adanya permohonan mendadak untuk intervensi dari Pemerintah Filipina tanggal 13 Maret 2001 yang disampaikan oleh Duta Besar Filipina untuk Kerajaan Belanda kepada Registrar Mahkamah Internasional Philippe Couvreur.
Mahkamah Internasional menyampaikan keinginan pihak Filipina ini kepada pihak Indonesia dan Malaysia untuk ditanggapi. Apabila satu pihak atau kedua pihak yang bersengketa (Indonesia dan Malaysia) merasa keberatan atas intervensi Filipina, maka Mahkamah akan mengadakan hearing dengan mempertimbangkan tanggapan para pihak dan kepentingan Filipina. Sesuai dengan surat aplikasi pihak Filipina kepada Mahkamah Internasional, alasan utama intervensi Filipina tersebut adalah untuk melindungi kepentingannya (legal status) atas Sabah (North Borneo). Mahkamah Internasional membagi hak intervensi dalam dua kategori yaitu hak intervensi sebuah negara atas keputusan sebuah kasus Mahkamah Internasional dan atas konstruksi sebuah perjanjian internasional. Pengajuan hak intervensi harus mengandung tiga hal yaitu kepentingan yang mempunyai karakter hukum (interest of legal nature), objek yang jelas dan pasti (precise object) dan hubungan yuridiksi (jurisdictional link). Kepentingan yang mempunyai karakter hukum (interest of legal nature) memiliki kelemahan bahwa tidak ada definisi yang jelas dalam hukum internasional yang berkenaan dengan kata “interest of legal nature”. Setiap negara bebas menginterpretasikan kepentingannya dalam mengajukan hak intervensi berkenaan dengan kasus yang sedang berlangsung di Mahkamah Internasional.[9]
Dalam hubungan ini Konstitusi Filipina menganggap wilayah Sabah masih diklaim sebagai wilayah yang pernah dimiliki oleh Kesultanan Sulu dan pihak Filipina masih terus berusaha melalui negosiasi diplomatik untuk memperjuangkan haknya. Mengenai klaim Filipina atas wilayah Sabah, Malaysia dan Filipina pernah melakukan perundingan untuk membahas klaim tersebut tetapi tidak pernah tercapai kesepakatan. Filipina dan Malaysia kemudian dengan dasar demi memelihara hubungan baik sebagai negara sahabat, bersepakat menunda negosiasi ini sampai waktu yang belum dapat ditentukan. Sementara Konstitusi Filipina tetap menganggap Sabah sebagai wilayah warisan dari Kesultanan Sulu. Setelah mendengarkan intervensi pihak Filipina dan setelah berkonsultasi dengan tim dan pakar hukum Indonesia serta Malaysia, tanggal 23 Oktober 2001 Mahkamah Internasional menyampaikan keputusannya (Reading for the judgement) bahwa permohonan Filipina tidak dapat dikabulkan.
Setelah para hakim anggota mempelajari dan mendiskusikan semua argumentasi hukum yang disampaikan oleh pihak-pihak yang bersengketa (Indonesia dan Malaysia), maka sesuai prosedur Mahkamah Internasional, tanggal 17 Desember 2002 Ketua Mahkamah Internasional membacakan keputusannya dan menetapkan bahwa Indonesia dan Malaysia kurang memiliki dasar hukum yang kuat untuk membuktikan bahwa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan merupakan bagian dari wilayah Indonesia maupun Malaysia. Karena Mahkamah telah diminta kedua pihak yang bersengketa dan harus memutuskan bahwa Malaysia berdasarkan pertimbangan “effectivities” memiliki kedaulatan penuh atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan melalui perbandingan voting suara 16 hakim mendukung dan seorang hakim menolak.

3.4.3    Pokok-pokok Pendapat dan Keputusan Mahkamah Internasional Mengenai Klaim Kedaulatan Atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan

Terhadap klaim Indonesia, Mahkamah Internasional berpendapat bahwa[10] :
1.        Garis 4 10’ berdasarkan Pasal 4 Konvensi 1891 dapat berarti “berhenti” atau “terus” melewati suatu pulau tertentu (Sebatik). Mahkamah menolak argumentasi Indonesia bahwa garis perpanjangan terebut merupakan “allocation line” di luar Pulau Sebatik sehingga timbul keraguan pengertian garis perpanjangan. Pasal 4 Konvensi 1891 tidak menyebut secara tegas bahwa garis 4 10’ terus berlanjut melampaui Pulau Sebatik dan memisahkan pulau-pulau yang berada dibawah kedaulatan Inggris dan Belanda. Oleh karena itu Mahkamah berpendapat bahwa sangat sulit untuk menyatakan bahwa Inggris Belanda memang bersepakat untuk menganggap garis dimaksud juga sebagai “allocation line”;
2.        Mahkamah mencatat bahwa tidak ada satu pun bukti yang meyakinkan kalau pulau-pulau Sipadan dan Ligitan dan pulau-pulau lain seperti Mabul, merupakan wilayah yang dipersengketakan oleh Inggris dan Belanda pada saat Konvensi 1891 dibuat. Atas dasar tersebut Mahkamah tidak dapat menerima bahwa garis batas yang disetujui tersebut terus dilanjutkan dengan maksud untuk menyelesaikan sengketa di laut sebelah timur Pulau Sebatik dimana konsekuensinya Pulau Ligitan dan Sipadan berada dibawah kedaulatan Belanda;
3.        Mahkamah tidak menemukan di dalam Konvensi 1891 hal yang meyakinkan bahwa Belanda dan Inggris memang mengatur perbatasan wilayah kepemilikan mereka di sebelah timur Pulau Kalimantan (Borneo) dan Sebatik, ataupun mengatur masalah kedaulatan atas pulau-pulau lain. Dalam kaitan dengan Pulau Sipadan dan Ligitan, Mahkamah juga berpendapat bahwa batasan di dalam Pembukaan Konvensi 1891 sulit untuk diterapkan mengingat saat itu letak kedua pulau tidak begitu banyak diketahui, sebagaimana juga dimaklumi oleh Indonesia dan Malaysia, dan bukan menjadi sengketa antara Belanda dengan Inggris;
4.    Mahkamah juga menyimpulkan bahwa teks Pasal 4 Konvensi 1891, apabila dibaca sesuai dengan konteks, objek dan maksudnya bahwa Konvensi tidak dapat ditafsirkan sebagai menetapkan “allocation line” yang menentukan kedaulatan atas pulau-pulau yang terdapat di wilayah laut sebelah timur Pulau Sebatik. Pasal 4 Konvensi hanya menentukan batas-batas wilayah Belanda dan Inggris sampai dengan pantai timur Pulau Sebatik;
5.    Mahkamah berpendapat bahwa “travaux preparatoires” sebelum Konvensi 1891 serta hal-hal yang berkaitan dengan Konvensi tidak dapat mendukung interpretasi Indonesia bahwa Konvensi 1891 bukan hanya mengatur perbatasan darat tetapi juga mengatur “allocation line” di luar pantai timur Pulau Sebatik;
6.    Mahkamah menolak klaim Indonesia atas Pulau Sipadan dan Ligitan yang didasarkan pada “treaty based title” Konvensi 1891. Mahkamah juga berpendapat bahwa hubungan antara Belanda dengan Kesultanan Bulungan diatur berdasarkan serangkaian perjanjian. Perjanjian tanggal 12 November 1850 dan 2 Juni 1878 mengatur masalah batas wilayah Kesultanan Bulungan. Batas ini mencapai bagian utara melewati garis yang sudah disetujui Belanda dan Inggris berdasarkan Konvensi 1891, termasuk Pulau Tarakan, Nunukan, sebagaian Pulau Sebatik dan beberapa pulau kecil di sekitarnya yang terletak di selatan garis 4 10’ LU. Hal ini tidak berlaku bagi Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Mahkamah juga menolak argumentasi Indonesia bahwa Indonesia mewarisi kedaulatan atas Sipadan dan Ligitan dari Belanda. Perjanjian antara Belanda dengan Kesultanan Bulungan hanya meliputi pulau Tarakan, Nunukan dan sebagian Pulau Sebatik;
7.    Dalam kaitan dengan konsesi minyak, Mahkamah mencatat bahwa batas konsesi minyak yang diberikan oleh Indonesia dan Malaysia tidak sampai ke Pulau Sipadan dan Ligitan dan tidak tepat di garis 4 10’ LU, tetapi berhenti di 30’ di sebelah utara atau selatan garis 4 10’. Mahkamah tidak dapat mengambil kesimpulan bahwa pemberian konsesi minyak tersebut merupakan hasil penafsiran dari Pasal 4 Konvensi 1891.
Terhadap klaim Malaysia, Mahkamah berpendapat bahwa[11] :
1.                  Tidak ada satu pun dari dokumen hukum yang diajukan Malaysia menyebutkan Pulau Sipadan dan Ligitan dapat mendukung klaimnya atas kedua pulau tersebut berdasarkan “transfer of title”;
2.                  Mahkamah menjelaskan bahwa kedua pulau tidak termasuk dalam grant Sultan Sulu yang menyerahkan seluruh hak dan kekuasaan atas kepemilikannya di Borneo, termasuk pulau-pulau dalam batas 3 marine leagues, kepada Afred Dent dan Baron van Overbeck tanggal 22 Januari 1878;
3.                  Mahkamah menyimpulkan bahwa tidak ada bukti-bukti bahwa Spanyol menganggap Pulau Sipadan dan Ligitan termasuk dalam Protokol 1878 antara Spanyol dengan Kesultanan Sulu atau menyimpulkan bahwa Jerman dan Inggris mengakui kedaulatan Spanyol atas Sipadan dan Ligitan berdasarkan Protokol 1885. Pada tahun 1903 Sultan Sulu tidak dalam posisi menyatakan bahwa pulau-pulau tersebut dimasukkan dalam grant 1878 kepada Alfred Dent dan Baron van Overbeck. Karena itu Mahkamah berpendapat bahwa Spanyol adalah satu-satunya negara yang dapat mengklaim Pulau Sipadan dan Ligitan berdasarkan instrumen hukum yang relevan. Tetapi tidak ada bukti bahwa Spanyol melakukannya. Mahkamah juga berpendapat bahwa pada saat itu baik Inggris atas nama State of Nort Borneo maupun Belanda tidak pernah mengklaim kedaulatannya, baik secara eksplisit maupun implisit;
4.                  Mahkamah mencatat bahwa meskipun tidak dapat disangkal bahwa Pulau Sipadan dan Ligitan tidak termasuk dalam lingkup Treaty of Peace tahun 1898, “Perjanjian 1900” juga tidak secara khusus menjelaskan pulau-pulau selain Cagayan Sulu dan Sibutu beserta pulau-pulau yang menjadi bagiannya yang diserahkan Spanyol kepada AS, yang mungkin juga termasuk pulau-pulau Sipadan dan Ligitan. Di lain pihak, AS tidak mengetahui dengan pasti pulau-pulau mana saja yang diperolehnya berdasarkan Perjanjian 1900 tersebut;
5.                  Mahkamah tidak dapat menyimpulkan, baik berdasarkan Exchange of Notes tahun 1907, Konvensi 1903 atau dokumen-dokumen lain yang berasal dari AS, bahwa AS mengklaim kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Ligitan. Karena itu tidaklah dapat dikatakan bahwa berdasarkan Konvensi 1930 AS menyerahkan hak atas Pulau Sipadan dan Ligitan kepada Inggris sebagaimana diyakini oleh Malaysia;
6.                  Mahkamah menolak dalil Malaysia tentang tidak terputusnya mata rantai kepemilikan yang diperolehnya dari Kesultanan Sulu. Tidak ada suatu kepastian bahwa Pulau Sipadan dan Ligitan berada di bawah kepemilikan Sultan Sulu atau para ahli waris lainnya yang disebutkan dalam mata rantai “treaty based line” atas kedua pulau tersebut.
Keputusan akhir Mahkamah Internasional mengenai klaim kedaulatan yaitu menolak klaim kedaulatan baik yang dilakukan oleh Indonesia maupun Malaysia atas Pulau Sipadan dan Ligitan berdasarkan dalil “treaty based title” dan “chain of title”, karena keduanya tidak mampu mengajukan bukti-bukti kuat yang mendukung argumentasi masing-masing.

3.4.4    Pokok-pokok Pendapat dan Keputusan Mahkamah Internasional Mengenai Dalil-dalil “Effectivites

Mahkamah selanjutnya mempertimbangkan bahwa[12] :
1.      Dalil “effectivites” yang telah diajukan oleh Indonesia dan Malaysia sebagai pertimbangan untuk memutuskan siapa yang paling berhak memiliki kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Ligitan. Indonesia dan Malaysia mengklaim bahwa bukti-bukti effectivites yang diajukan semata-mata untuk mengkonfirmasikan “treaty based title” masing-masing. Dengan menggunakan dalil alternative, Malaysia berhak mengklaim kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan berdasarkan rangkaian kepemilikan dan administrasi yang berkelanjutan secara damai tanpa penolakan dari pihak Indonesia atan pendahulunya. Mahkamah berpendirian karena Indonesia maupun Malaysia tidak memiliki “treaty based title” atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, maka Mahkamah mempertimbangkan effectivites sebagai masalah yang berdiri sendiri;
2.      Mahkamah berpendapat tidak akan mempertimbangkan tindakan-tindakan yang dilakukan  setelah  terjadi “critical  date” sebagai bukti adanya “effectivites”, kecuali apabila tindakan dimaksud merupakan kelanjutan normal dari tindakan-tindakan sebelumnya dan tidak dimaksudkan memperkuat posisi hukum pihak yang bersengketa. Mahkamah hanya akan mempertimbangkan praktek-praktek effectivites sebelum tahun 1969, yaitu saat Indonesia dan Malaysia pertama kali menyatakan klaim masing-masing atas Pulau Sipadan dan Ligitan;
3.      Mahkamah juga berpendapat bahwa peraturan dan tindakan administrasi umum dapat dipertimbangkan sebagai bukti effectivites atas Pulau Sipadan dan Ligitan, hanya jika peraturan dan tindakan tersebut jelas dan dikhususkan dikedua pulau tersebut.
Terhadap klaim Indonesia Mahkamah berpendapat bahwa :
1.                  Dalam kaitannya dengan bukti effectivites yang diajukan oleh Indonesia, Mahkamah mencatat fakta bahwa Undang-Undang No.4/Prp/1960 tentang perairan Indonesia tidak mencantumkan atau mengindikasikan bahwa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan sebagai “base points” atau “turning points” yang relevan;
2.                  Bahwa laporan komandan kapal destroyer Belanda “Lynx” dan dokumen yang diajukan oleh Indonesia berkaitan dengan kegiatan pengawasan dan patroli di sekitar Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, yang dilakukan baik oleh kapal “Lynx” pada November 1921 maupun Angkatan Laut Indonesia pada Desember 1967, tidak dapat menunjukkan bahwa baik Belanda maupun Indonesia menganggap bahwa Pulau Sipadan dan Ligitan serta perairan di sekitarnya merupakan wilayah yang berada di bawah kedaulatan Belanda atau Indonesia;
3.                  Mahkamah menilai bahwa kegiatan penangkapan ikan secara tradisional yang dilakukan oleh nelayan Indonesia di perairan sekitar Pulau Sipadan dan Ligitan tidak dapat dipertimbangkan sebagai tindakan “a titre de souverain” yang mencerminkan maksud dan keinginan untuk bertindak dalam kapasitas dimaksud.
Terhadap klaim Malaysia bahwa[13] :
1.                  Bukti-bukti “effectivites” yang diajukan Malaysia, Mahkamah berpendapat bahwa tindakan yang dilakukan oleh Otorita Koloni Nort Borneo dalam mengatur dan mengontrol kegiatan pengumpulan telur penyu dan penetapan konservasi burung harus dipertimbangkan sebagai suatu pernyataan pengaturan dan administrasi yang tegas dari penguasa atas suatu wilayah. Mahkamah mencatat fakta bahwa tahun 1914 Inggris menerbitkan peraturan serta melakukan tindakan pengawasan atas kegiatan pengumpulan telur penyu di Pulau Sipadan dan Ligitan, ditetapkannya Pulau Sipadan sebagai “bird sanctuary” tahun 1933, serta dibangunnya mercusuar oleh Inggris di kedua pulau dimaksud tahun 1962 dan 1963;
2.                  Mahkamah berpendapat bahwa pembangunan dan pengoperasian mercusuar dan alat bantu pelayaran tidak dapat dianggap sebagai manifestasi kekuasaan negara;
3.                  Mahkamah  berpendapat  bahwa  tindakan  yang   dijadikan    bukti “effectivites”. Malaysia sangat sedikit dalam jumlah, tetapi bervariasi dalam karakternya termasuk di dalamnya tindakan legislative, administrative dan quasi-judisial;
4.                  Mahkamah mencatat bahwa pada tahun 1962 dan 1963 pemerintah Indonesia tidak melakukan tindakan apapun, termasuk mengingatkan pihak Otorita Koloni North Borneo, atau kemudian Malaysia setelah merdeka, jika seandainya mercusuar itu dibangun di wilayah Indonesia. Seadainya pembangunan mercusuar tersebut dianggap sebagai tindakan untuk keselamatan navigasi di wilayah perairan North Borneo, maka sikap mendiamkan tindakan yang dilakukan di wilayah Indonesia tentunya bukan merupakan hal yang wajar.

Persoalan mengenai Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan muncul baru pertama kali pada bulan September 1969 dalam perundingan batas landas kontinen di Kuala Lumpur antara Indonesia dan Malaysia. Pada kesempatan perundingan tersebut Malaysia menyatakan kepemilikannya atas kedua pulau tersebut yang terletak di pantai Timur Laut Kalimantan dan di bagian Barat Laut pulau Sulawesi. Sebaliknya Indonesia juga menuntut bahwa kedua pulau tersebut berada di bawah kedaulatannya.
Kedua negara baik Indonesia maupun Malaysia tidak memiliki argumentasi hukum yang kuat untuk mendukung tuntutan mereka masing-masing. Dalam upaya untuk menyelesaikan sengketa, antara kedua negara Indonesia dan Malaysia mengadakan perundingan-perundingan pada berbagai tingkat namun tidak berhasil mencapai penyelesaian yang dapat diterima kedua pihak.

Selanjutnya pada tahun 1996, Presiden Soeharto dan Perdana Menteri Mahathir Muhammad sepakat untuk mengangkat Special Envoy-nya (utusan khusus) masing-masing untuk mencari solusi alternatif. Setelah mengadakan pertemuan beberapa kali di Jakarta dan Kuala Lumpur utusan khusus tersebut setuju mengusulkan kepada pemerintahannya masing-masing untuk mencari penyelesaian damai atas sengketa mereka melalui Mahkamah Internasional dan menerima keputusan Mahkamah sebagai final dan mengikat.
Demikianlah pada tanggal 31 Mei 1997 bertempat di Kuala Lumpur, Menteri Luar Negeri Ali Alatas dan Menteri Luar Negeri Malaysia Datuk Abdullah Ahmad Badawi, atas nama pemerintahnya masing-masing menandatangani Persetujuan Khusus (Special Agreement) untuk mengajukan sengketa tersebut ke Mahkamah Internasional.
Pokok-pokok kesepakatan yang dimuat dalam Persetujuan Khusus tersebut adalah :
a.                  Meminta dan memberikan kewenangan kepada Mahkamah Internasional untuk menentukan status kepemilikan atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan berdasarkan semua bukti yang ada.
b.                  Memberikan kewenangan kepada Mahkamah Internasional untuk menguji keabsahan tuntutan masing-masing negara berdasarkan sumber-sumber hukum internasional yang berlaku sesuai Pasal 38 Statuta Mahkamah.
c.                  Penyampaian naskah Special Agreement ke Mahkamah Internasional akan dilakukan kedua pihak bersamaan melalui Joint Notification, setelah masing-masing pihak meratifikasi dan menukarkan naskah ratifikasinya.

Special Agreement tersebut diratifikasi oleh Malaysia pada tanggal 19 November 1997 dan oleh Indonesia dengan Keppres tanggal 29 Desember 1997 dan mulai berlaku tanggal 14 Mei 1998. Selanjutnya kasus Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan diajukan ke Mahkamah Internasional sesuai Pasal 40 ayat 1 Statuta Mahkamah melalui notifikasi bersama dan yang diterima oleh Panitera tanggal 2 November 1998.
Ditengah-tengah proses acara, muncul pula upaya hukum lain yang ditentukan oleh negara ketiga, yaitu permohonan intervensi oleh Filipina terhadap perkara ini, dengan alasan bahwa perkara ini menyangkut perjanjian-perjanjian yang oleh Filipina merupakan dasar klaimnya terhadap Sabah. Sesuai dengan hukum acara Mahkamah, Filipina dimungkinkan untuk memohon intervensi jika keputusan Mahkamah nantinya akan dapat mempengaruhi kepentingan hukumnya sebagai pihak ketiga. Pada keputusannya pada tanggal 23 Oktober 2001, Mahkamah Internasional menolak permohonan intervensi Filipina ini dengan pertimbangan bahwa Filipina tidak berhasil mendefinisikan apa yang menjadi kepentingan hukum Filipina dalam perkara ini akan memberikan dampak pada keputusan Mahkamah Internasional.
Akhirnya pada tanggal 17 Desember 2002 Mahkamah Internasional dalam sidangnya telah mengeluarkan keputusannya yaitu bahwa kedua pulau tersebut adalah milik Malaysia berdasarkan pertimbangan bahwa kedua pulau itu telah lama diadministrasikan oleh Inggris dan selanjutnya oleh Malaysia atau yang dikenal dengan prinsip effectivies.

B. ANALISIS

Persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1973 ketika dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara ternyata memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Dengan temuan tersebut Indonesia merasa berkepentingan untuk mengukuhkan P. Sipadan dan P. Ligitan. Maka dicarilah dasar hukum dan fakta historis serta bukti lain yang dapat mendukung kepemilikan dua pulau tersebut. Di saat yang sama Malaysia mengklaim bahwa dua pulau tersebut sebagai miliknya sesuai peta unilateral 1979 malaysia serta mengemukakan sejumlah alasan, dalil hukum dan fakta. Dilihat respon kedua negara diketahui bahwa kedua negara memiliki kepentingan negaranya masing-masing dalam mengklaim kedua pulau tersebut.
Jika kita menganalisis kasus ini menggunakan teori perspektif neorealisme, maka akan didapatkan hasil sebagai berikut. Perspektif neorealisme mengatakan bahwa negara memang lebih mengutamakan kepentingan nasionalnya, namun cara untuk mendapatkan kepentingannya sedikit berbeda jika dibandingkan dengan teori perspektif realis klasik. Dalam hal ini, neorealisme tidak se anarki realis, perang tidak menjadi satu-satunya jalan untuk mencapai keberhasilannya mendapatkan kepentingan nasional. Diplomasi dan perundingan juga dinilai dapat mendorong tercapainya kepentingan nasional tersebut. Dalam kasus antara Malaysia dan Indonesia tentang sengketa wilayah sipadan dan ligitan ini, mereka menempuh jalur perundingan dan diplomasi untuk menyelesaikan masalah ini. Selain itu, dalam perspektif neorealis, anggapan bahwa negara merupakan satu-satunya aktor dominan dalam sistem hubungan internasional, mulai berubah. Dalam teori neorealis, peran aktor non negara juga mulai dinilai memeliki peran yang cukup signifikan, salah satunya adalah peran International Court of Justice (Mahkamah Internasional), yang dalam kasus sengketa ini memiliki peran sebagai perantara dan penengah dalam proses penyelesaian sengketa yang terjadi.






BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Indonesia         telah berupaya    mempertahankan  kepemilikan atas Pulau Sipadan Ligitan  melalui  jalur  politik         yaitu dengan cara diplomasi atau perundingan bilteral dengan  Malaysia.  Serangkaian  perundingan  bilateral  dengan  Malaysia  telah dilalui oleh Indonesia     dan    Malaysia                                                  sebagai        upaya        penyelesaian         permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan. Namun cara diplomasi atau perundingan bilateral yang telah dilaksanakan menjadi tidak efektif ketika Indonesia dan Malaysia memiliki tujuan yang          saling    bertentangan   dan                        tidak    dapat                               lagi di kompromikan. Sehingga berdampak juga dalam proses perumusan kebijakan  politik yang  akan dilakukan oleh Indonesia     dalam      penyelesaian     permasalahan sengketa kepemilikan pulau Sipadan dan Ligitan.
Dalam permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan hendaknya menjadi pelajaran                                     bagi         Pemerintah          Indonesia         dalam          mempertahankan kedaulatan wilayah teritorial terutama pulau-pulau terluar Indonesia yang tidak berpenghuni dan belum diberikan nama. Melihat dari kasus lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan dari wilayah kedaulatan Indonesia, maka langkah yang                                    paling  penting dalam menyikapi    permasalahan   serupa    kedepannya                                      diharapkan           Pemerintah Indonesia lebih    mengefektifkan   upaya    politis. Upaya   politis                          yang    ditempuh     Pemerintah Indonesia tersebut nantinya akan memberikan kemudahan-kemudahan dalam melakukan proses perumusan kebijakan politik luar negeri yang juga akan mempengaruhi keadaan politik dalam negeri. Untuk itu, kedepan Pemerintah Indonesia diharapkan pelaksanaan upaya politis yaitu  dengan cara   perundingan bilateral apabila dihadapkan dengan permasalahan sengketa wilayah atau perbatasan agar lebih diefektifkan kekuatan dan lebih profesional dalam berdiplomasi.




B. Saran
Dalam proses perumusan kebijakan politik ke depan yang lebih baik adalah dengan mengedepankan upaya-upaya politis yaitu dengan meningkatkan perundingan bilateral yang lebih berkualitas dan profesional. Pemerintah sebaiknya memperbaiki kualitas cara melaksanakan proses perundingan bilateral atau diplomasi yang dijalankan oleh Kementerian Luar Negeri  agar  kedepannya  menjadi  lebih  baik.  Untuk  itu, Pemerintah harus secepatnya mengambil langkah dalam dengan membuat keputusan dalam hal kebijakan politik luar negeri apabila dihadapkan dengan suatu kasus yang menyangkut kedaulatan negara dengan cara antar lain: Pertama, mensosialisasikan kepada masyarakat tentang pentingnya arti pulau-pulau terluar bagi bangsa dan negara Indonesia. Kedua, melakukan kerjasama dengan negara-negara yang berbatasan dengan wilayah-wilayah Indonesia dalam pengelolaan wilayah perbatasan  dalam  rangka menghindari konflik  serta menjaga stabilitas kawasan. Ketiga, menegakkan kedaulatan baik     melalui      penguasaan      birokrasi,                                     pendudukan            terus    menerus dan pemberdayaan kawasan di sekitar wilayah perbatasan.
.












DAFTAR PUSTAKA


Abdul Irsan. (2009). Pelajaran Yang Dapat Ditarik dari Kasus Sipadan dan Ligitan. Jurnal            Intelijen & Kontra Intelijen, Volume V No. 27: Jakarta.
Jackson Robert dan Sorensen Georg. (2013). Pengantar Studi Hubungan Internasional-Teori         dan Pendekatan. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Mauna Boer. (2013). Hukum Internasional-Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era        Dinamika Global. PT Alumni: Bandung.
Mas’oed Mochtar. (1990). Ilmu Hubungan Internasional-Disiplin dan Metodologi. Pustaka
LP3ES. Indonesia.
Michael. Politik Luar Negeri Indonesia. Gramedia: Jakarta. 1986.
Kusumaatmadja, Mochtar, Prof. DR. Politik luar negeri Indonesia dan pelaksanaannya
dewasa ini: Kumpulan karangan dan pidato. The University of California: Alumni. 1983.
Perwita Banyu dan Yani Mochamad. (2014). Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. PT             Remaja Rosdakarya: Bandung.
Steven Y. Pailah. (2009). Archipelagic State-Tantangan dan Perubahan Maritim. Klub Studi
            Perbatasan: Jakarta. 

Jurnal :
Penyelesaian Perselisihan Kasus Sipadan Ligitan Melalui Mahkamah Internasional. November 26, 2009. http://www.scribd.com

Kegagalan formulasi kebijakan politik luar negeri indonesia dan lepasnya pulau sipadan - ligitan dari indonesia tahun 2002 dalam perspektif Geopolitik negara kepulauan. Kurniawan setyanto, 2012

Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan Antara Indonesia-Malaysia Serta Penyelesaiannya Melalui International Court Of Justice (ICJ). Ratnaningrum, 2010.


1  [1] Boer Mauna (2005).  Hukum Internasional : Perngertian, Peranan dan Fungsi Dalam era Dinamika
Global. PT Almuni : Bandung. hal : 280

[2] Steven Y. Pailah (2009). Archipelagic State : Tantangan dan Perubahan Maritim. Klub Studi
Perbatasan : Jakarta.  hal : 45

3                                            [3] Penyelesaian Perselisihan Kasus Sipadan Ligitan Melalui Mahkamah Internasional. November 26, 2009. http://www.scribd.com

[4] Boer Mauna (2005).  Op. cit. hal : 194

[5] Pasal 36 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional secara lengkap berbunyi sebagai berikut, “The Jurisdiction of the Court comparises all cases which the parties refer to it and all matters specially provided for the in the Charter of the United Nation or in treaties and conventions in force.”

[6]J.G Starke  (2001).  Pengantar Hukum Internasional : Edisi Kesepuluh.  Penerjemah: Bambang Iriana Djajaatmadja, S.H. Jakarta : Sinar Grafika.
[7]Bunyi lengkap dari Pasal 2 adalah sebagai berikut, “ The Court is requested to determine on the basis of the treaties, agreements and any other evidence furnished by the Parties, whether sovereignty over Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan belongs to the Republic of Indonesia or to Malaysia.”

[8]Abdul Irsan (2009).  Op. cit. hal : 252-252

[9] Hakim ad hoc Weeramantry dalam kasus Soverignty Over Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan
memberikan pernyataan yang sama yang berkaitan dengan definisi dari kepentingan yang mempunyai karakter hukum.

[10] Abdul Irsan (2009).  Op. cit. hal : 256-257
[11] Abdul Irsan (2009).  Ibid. hal : 258-259
[12] Abdul Irsan (2009).  Ibid. hal : 259-260
[13] Abdul Irsan (2009).  Ibid. hal : 261-262



[2]Statuta MI, 1945, Pasal 34 (1), “Only States may be parties in cases before the Court.”
[3]Statuta MI, 1945, Pasal 40 (1), “Cases are brought before the Court, as the case may be, either by
the notification of the special agreement or by a written application…..”
[4]Statuta MI, Pasal 59 “The decision of the Court has no binding force except between the parties and in respect of that particular case”.
[5]Statuta MI, 1945, Pasal 40 (1) “…the subject of the dispute and the parties shall be indicated”, dan (Rules of the Court) selanjutnya Aturan Mahkamah, Pasal 39 “ …indicate the precise subject of the dispute and identify the parties to it.”

[6]Abdul Irsan (2009). Pelajaran Yang Dapat Ditarik dari Kasus Sipadan dan Ligitan. Jurnal Intelijen & Kontra Intelijen.Volume V No. 27 : Jakarta. hal : 253

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DIPLOMASI PADA ERA PEMERINTAHAN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO (SBY)

DIPLOMASI PADA MASA PEMERINTAHAN MEGAWATI

TANTANGAN DIPLOMASI MULTILATERAL INDONESIA PADA MASA PEMERINTAHAN JOKOWI