SENGKETA PULAU SIPADAN DAN LIGITAN ANTARA INDONESIA-MALAYSIA SERTA PENYELESAIANNYA
Dosen : Rachmayani, M.Si
Kelompok 10 :
INSTITUT ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK (IISIP)
JAKARTA
Kelompok 10 :
BIMO
SUGAMA ARGANATA 2015230020
DIMAS W
NURSETO 2015230044
HERU
HERMAWAN SAGIAN 2015230027
MAULAN TRI WIJAYANTO 2015230125
INSTITUT ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK (IISIP)
JAKARTA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Wilayah merupakan salah satu unsur terpenting
bagi suatu negara, karena wilayah merupakan tempat negara melaksanakan
kedaulatannya. Wilayah merupakan ruang di mana orang menjadi warganegara yang
bersangkutan hidup dan menjalankan segala aktivitasnya. Wilayah negara sebagai
suatu ruang tidak saja terdiri atas daratan atau tanah tetapi
juga perairan dan ruang udara. Wilayah daratan dan wilayah ruang
udara dimiliki oleh negara pantai.Mengingat pentingnya wilayah bagi
suatu negara, maka batas-batasnya harus jelas untuk menghindari kemungkinan
sengketa dengan negara-negara yang lain. Dalam sejarah manusia maupun negara-negara, kerap
terjadi konflik antarnegara yang bersumberkan pada masalah batas wilayah.
Konflik ini bisa disebabkan oleh karena keinginan
untuk melakukan ekspansi
wilayah maupun ketidakjelasan batas-batas wilayah antarnegara.
Dalam
proses kehidupan bernegara, tentunya tidak akan pernah lepas dengan masalah.
Masalah yang dihadapi suatu negara cenderung beragam, misalnya masalah ekonomi,
masalah sosial, bahkan masalah konflik sengketa wilayah. Masalah sengketa
wilayah ini sering terjadi dengan latar belakang berbagai faktor. Bisa dari
segi historis, segi kepentingan nasional masing-masing negaram, dan lain
sebagainya. Indonesiapun tidak luput dari permasalahan sengketa wilayah ini.
Indonesia pernah beberapa kali berkutat dengan permasalahan ini, dikarenakan
wilayah Indonesia yang sebagian besar terdiri dari pulau-pulau dan dikelilingi
oleh lautan, membuat pulau-pulau bagian luar Indonesia kerap kali diklaim
sebagai bagian dari wilayah dari negara lain. Salah satu kasus yang pernah terjadi
adalah kasus antara Indonesia dan Malaysia dalam memperebutkan pulau sipadan
dan pulau ligitan. Dalam makalah ini, penulis akan menjelaskan mengenai kasus
sengketa wilayah ini, dari mulai awal mula permasalahan terjadi, hingga proses
penyelesaian permasalahannya. Serta penulis akan menganalisis kasus ini dengan
teori dan perspektif hubungan internasional.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
proses terjadinya permasalahan sengketa pulau sipadan dan ligitan antara
Indonesia dan Malaysia?
2. Bagaimana
penyelesaian dari konflik sengketa wilayah pulau sipadan dan ligitan?
3. Bagaimana
kasus sengketa wilayah pulau sipadan dan ligitan bila dianalisis menggunakan
teori perspektif neorealisme?
C.
Tujuan
1. Untuk
mengetahui bagaimana proses terjadinya sengketa wilayah pulau sipadan dan
ligitan
2. Untuk
mengetahui proses penyelesaian sengketa wilayah pulau sipadan dan ligitan.
3. Untuk
mengetahui analisa kasus sengketa wilayah pulau sipadan dan ligitan menggunakan
teori perspektif neorealis.
BAB II
TEORI DAN KONSEP
2.1
TEORI
A.
Neo
Realisme
Kaum
neorealisme percaya bahwa kekuatan dapat diumpamakan sebagai sebuah sebuah
‘mata uang’ dari sistem politik internasional. Mengapa ‘mata uang’? Karena
melalui perumpaamaan tersebut, kaum neorealis mencoba menunjukkan betapa
pentingnya kekuatan bagi sebuah negara di dalam sistem politik internasional
karena bagi kaum neorealis, sistem politik internasional dapat diartikan juga
sebagai politik tentang kekuatan (Mearsheimer, 2001). Pertanyaan yang muncul
selanjutnya adalah mengapa kekuatan sangat dibutuhkan oleh negara dalam sistem
internasional? Morgenthau (1984) memberikan suatu jawaban sederhana atas
pertanyaan tersebut yaitu karena haus akan kekuasaan adalah sebuah sifat dasar
dari manusia itu sendiri (Morgenthau, 1984 dalam Mearsheimer, 2001:72).
Ada
5 asumsi dasar tentang mengapa suatu negara sangat membutuhkan kekuatan dalam
sistem internasional. Asumsi pertama adalah karena kekuatan yang semakin besar
dapat menjadi sebuah modal utama bagi suatu negara untuk beroperasi dalam
sistem politik internasional yang bersifat anarki. Asumsi kedua adalah
tiap-tiap negara pasti memiliki sebuah kapabilitas militer yang terus mengalami
perkembangan dan pertumbuhan. Asumsi yang ketiga adalah aktor-aktor negara
dalam sistem internasional tidak dapat memastikan tujuan dan intensi dari
tindakan yang dilakukan oleh aktor-aktor negara lainnya. Asumsi keempat
mengenai tujuan utama dari sebuah negara yaitu survival atau kemanan nasional
dari negara tersebut. Asumsi yang terakhir mengenai rasionalitas dari negara
sebagai aktor dalam sistem internasional sehingga mereka dapat merumuskan suatu
strategi yang logis demi meningkatkan prospek dari aspek survival negara
tersebut (Mearsheimer, 2001).
Pertanyaan
selanjutnya adalah mengenai seberapa banyak kekuatan yang dibutuhkan oleh aktor
negara agar dapat mencapai kepentingan nasionalnya dalam sistem internasional?
Di dalam menanggapi hal ini, kaum neorealis terbagi menjadi dua paham yaitu
kaum neorealis ofensif dan kaum neorealis defensif. Bagi kaum neorealis ofensif,
negara dituntut menjadi pihak yang oportunis yaitu dimana ada kesempatan untuk
menambah kekuatan, maka negara harus mengambil kesempatan tersebut. Selain hal
tersebut, kaum neoreal ofensif menekankan bahwa negara selaku aktor utama dalam
sistem internasional sudah sewajarnya berusaha memperbesar kekuatannya demi
tercapainya tujuan lain di luar survival yaitu menjadi sebuah kekuatan yang
hegemon dalam sistem internasional (Mearsheimer, 2001:75). Lain halnya dengan
pandangan kaum neoral ofensif, kaum neoreal defensif cenderung berpandangan
bahwa usaha perbesaran kekuatan yang bertujuan menjadi kekuatan hegemon oleh
negara adalah sebuah strategi yang cenderung naif dalam sistem internasional
karena bagi kaum ini, negara seharusnya berjuang untuk mencapai sebuah
tingkatan kekuatan yang tepat dan sebagaimana mestinya agar menciptakan sebuah
sistem yang seimbang dan stabil (Mearsheimer, 2001:75).
Secara
lebih jauh, beberapa pemikir neorealis yang berhaluan defensif memberikan suatu
argumen mengenai keseimbangan dan stabilitas dalam sistem internasional. Kaum
ini berasumsi bahwa kemungkinan akan pencapaian keseimbangan tersebut dapat
tercapai jika negara-negara dalam mencapai tujuannya bersifat lebih defensif.
Mengapa demikian? Karena dalam posisi defensif, ancaman-ancaman yang datang
cenderung tidak bersifat fisik sehingga negara juga akan cenderung berdiam diri
sedangkan jika negara-negara bersifat ofensif dalam mencapai tujuannya,
kemungkinan terjadinya konflik dan perang akan terbuka dengan lebar. Argumen tersebut
didukung oleh fakta sejarah yang menunjukkan bagaimana keseimbangan dan
perdamaian dapat cenderung tercapai jika negara-negara bersifat lebih defensif
dalam mencapai tujuannya. Amerika Serikat dan Uni Soviet dalam Perang Dingin
adalah contoh paling konkret mengenai sifat defensif dalam sistem internasional
dimana ancaman yang mereka berikan satu sama lain tidak membuat mereka
berperang dan berkonflik secara fisik. (Mearsheimer, 2001:82)..
Kaum
neorealis disini tetap berpegang teguh pada beberapa asumsi dari kaum realisme
khususnya asumsi mengenai kekuatan atau power dan peranan negara sebagai
satu-satunya aktor utama dalam lingkup sistem internasional. Kekuatan dianggap
sebagai salah satu hal paling esensial dalam sistem internasional namun implementasi
serta usaha dalam mencapai kekuatan tersebut haruslah sebijaksana mungkin dan
sebagaimana mestinya serta tidak secara berlebihan. Keseimbangan dan perdamaian
merupakan dua hal yang juga turut menjadi fokus kaum neorealis karena hal ini
berkaitan erat dengan kekuatan dan negara yang menjadi aktor utama dalam
hubungan internasional. Intinya, dalam mencapai kepentingan nasional dan
tujuannya, negara membutuhkan power atau kekuatan namun dalam menggunakannya,
negara harus bersikap lebih bijaksana dan rasional demi tercapainya sebuah
keseimbangan dan perdamaian di dalam sistem internasional itu sendiri.
2.2
KONSEP
A.
Kepentingan
Nasional
Kepentingan
nasional (National Interest) sangat
penting digunakan untuk menjelaskan dan memahami perilaku internasional.
Kepentingan nasional merupakan dasar untuk menjelaskan perilaku suatu negara,
serta merupakan upaya negara untuk mengejar kekuasaan untuk mendapatkan kontrol
suatu negara terhadap negara lain. Kepentingan nasional dianggap sebagai sarana
dan tujuan dari tindakan suatu negara, dan kepentingan nasional suatu negara
merupakan unsur-unsur yang membentuk kebutuhan negara seperti pertahanan,
keamanan, serta kesejahteraan ekonomi, menurut Perwita Banyu, (2014:35).
Menurut
Hans J. Morgenthau, kepentingan nasional setiap negara adalah untuk mengejar
kekuasaan dan dapat membentuk pengendalian terhadap negara lain dan dapat
diciptakan melalui teknik dan unsur paksaan maupun kerjasama. Kepentingan
nasional suatu negara adalah dapat menjamin kelangsungan hidup. Kelangsungan hidup
yang dimaksud adalah kelangsungan hidup negara dan warga negaranya, yaitu
melindungi identitas fisik, politik, dan kultural negara dari gangguan negara
lain. Negara harus bisa mempertahankan batas teritorialnya, mempertahankan
rezim ekonomi dan politik negaranya, serta memelihara norma-norma, etnis,
religius, dan sejarahnya, Mochtar Mas’oed, (1990:140-141)
Dalam
kepentingan nasional, peran “negara” sebagai aktor yang mengambil keputusan dan
memerankan peranan penting dalam pergaulan internasional berpengaruh bagi
masyarakat dalam negerinya. Demikian pentingnya karena ini yang akan menjadi
kemaslahatan bagi masyarakat yang berkehidupan di wilayah tersebut. Seorang
ahli, Thomas Hobbes menyimpulkan bahwa negara dipandang sebagai pelindung
wilayah, penduduk, dan cara hidup yang khas dan berharga. Demikian karena
negara merupakan sesuatu yang esensial bagi kehidupan warga negaranya. Tanpa
negara dalam menjamin alat-alat maupun kondisi-kondisi keamanan ataupun dalam
memajukan kesejahteraan, kehidupan masyarakat jadi terbatasi. Sehingga ruang
gerak yang dimiliki oleh suatu bangsa menjadi kontrol dari sebuah negara.
Kepentingan
nasional tercipta dari kebutuhan suatu negara. Kepentingan ini dapat dilihat
dari kondisi internalnya, baik dari kondisi politik-ekonomi, militer, dan
sosial budaya. Kepentingan juga didasari akan suatu ‘power’ yang ingin
diciptakan sehingga negara dapat memberikan dampak langsung bagi pertimbangan
negara agar dapat pengakuan dunia. Peran suatu negara dalam memberikan bahan
sebagai dasar dari kepentingan nasional tidak dipungkiri akan menjadi kacamata
masyarakat internasional sebagai negara yang menjalin hubungan yang terlampir
dari kebijakan luar negerinya. ( Robert Jackson dan Georg Sorensen : 2009 - 2 )
Dengan
demikian, kepentingan nasional secara konseptual dipergunakan untuk menjelaskan
perilaku politik luar negeri dari suatu negara. Seperti yang dipaparkan oleh
Kindleberger mengenai kepentingan nasional;
“…hubungan
antara negara tercipta karena adanya perbedaan keunggulan yang dimiliki tiap
negara dalam berproduksi. Keunggulan komparatif (comparative advantage)
tersebut membuka kesempatan pada spesialisasi yang dipilih tiap negara untuk
menunjang pembangunan nasional sesuai kepentingan nasional…”
Pengertian
tersebut menjelaskan bahwa keberagaman tiap-tiap negara yang ada di seluruh
dunia memiliki kapasitas yang berbeda. Demikian tercipta dapat terpengaruh dari
domografi, karekter, budaya, bahkan history yang dimiliki negara tersebut.
Sehingga negara saat ingin melakukan kerjasama dapat melihat kondisi dari
keunggulan-keungulan yang dapat menjadi pertimbangan.
Adanya
kepentingan nasional memberikan gambaran bahwa terdapat aspek-aspek yang
menjadi identitas dari negara. Hal tersebut dapat dilihat dari sejauh mana
fokus negara dalam memenuhi target pencapaian demi kelangsungan bangsanya. Dari
identitas yang diciptakan dapat dirumuskan apa yang menjadi target dalam waktu
dekat, bersifat sementara ataupun juga demi kelangsungan jangka panjang. Hal
demikian juga seiring dengan seberapa penting identitas tersebut apakah sangat
penting maupun sebagai hal yang tidak terlalu penting. Konsep kepentingan
nasional bagi Hans J. Morgenthau, memuat artian berbagai macam hal yang secara
logika, kesamaan dengan isinya, konsep ini ditentukan oleh tradisi politik dan
konteks kultural dalam politik luar negeri kemudian diputuskan oleh negara yang
bersangkutan. Hal ini dapat menjelaskan bahwa kepentingan nasional sebuah
negara bergantung dari sistem pemerintahan yang dimiliki, negara-negara yang
menjadi partner dalam hubungan diplomatik, hingga sejarah yang menjadikan
negara tersebut menjadi seperti saat ini, merupakan tradisi politik. Sedangkan
tradisi dalam konteks kultural dapat dilihat dari cara pandang bangsanya yang
tercipta dari karakter manusianya sehingga menghasilkan kebiasaan-kebiasaan
yang dapat menjadi tolak ukur negara sebelum memutuskan menjalankan kerjasama.
Dapat
disimpulkan, bahwa kepentingan nasional suatu negara adalah untuk mengejar
kekuasaan dan mendapatkan kontrol suatu negara terhadap negara lain, dan dapat
diciptakan dengan melalui tindakan dan unsur paksaan maupun kerjasama.
Kepentingan nasional suatu negara juga dapat menjamin kelangsungan hidup negara
dan warga negaranya.
B.
Penyelesaian
Sengketa Secara Damai
Menurut
situs Penyelesaian Perselisihan Kasus Sipadan Ligitan
Melalui Mahkamah Internasional. November 26, 2009, pada umumnya penyelesaian
sengketa digolongkan dalam dua kategori:
1.
Cara-cara penyelesaian secara damai yaitu
apabila para pihak telah dapat menyepakati untuk menemukan suatu solusi yang
bersahabat. Dalam metode, menurut sifatnya dibagi dua yaitu secara politik dan
secara hukum. Penyelesaian damai yang bersifat politik meliputi perundingan (negotiation), jasa-jasa baik (good-offices), penyelidikan (inquiry), penengahan (mediation) dan konsiliasi (conciliation). Sedangkan penyelesaian
secara damai yang bersifat hukum atau prosedur hukum meliputi arbitrase (arbitration) dan penyelesaian hukum (judical settlement);
2.
Cara-cara penyelesaian secara paksa atau dengan
cara kekerasan, yaitu apabila solusi yang digunakan adalah melalui kekerasan.
Penyelesaian melalui kekerasan meliputi perang dan bersenjata non-perang
seperti retorasi (retorsion),
dikenakan tindakan-tindakan pembalasan (reprisals),
blokade secara damai (pasific blockade),
dan intervensi (interventation).
Jika timbul sengketa yang menyangkut kedaulatan atas sejumlah
wilayah, maka sudah merupakan kebiasaan untuk menelaah negara-negara mana saja
yang mengklaim kedaulatan tersebut, yang memiliki alas hak yang sah lebih
tinggi (baik itu melalui penyerahan, penaklukan, maupun okupasi) atas
negara-negara lainnya yang juga mengajukan klaim yang sama.
Meskipun demikian, jika perseteruan didasarkan pada kenyataan bahwa
pihak lainnya juga telah mengumumkan kedaulatan, maka hal itu tidak cukup untuk
membentuk alas hak, karena harus ditunjukkan pula bahwa kedaulatan atas wilayah
tersebut juga telah berlangsung dan tetap ada pada saat putusan untuk
perselisihan itu ditetapkan. Alas hak dari penyerahan kedaulatan wilayah dalam
hukum internasional juga berdasarkan atas tindakan okupasi efektif, dengan
mengasumsikan bahwa negara yang menerima memiliki kemampuan untuk mengatur
secara efektif wilayah yang diserahkan tersebut. Dalam cara yang sama,
penambahan wilayah secara alami dapat dianggap sebagai sesuatu penambahan atas
bagian wilayah yang telah ada kedaulatan yang sesungguhnya. Oleh karena itu
merupakan hal yang wajar apabila untuk mewujudkan kedaulatan dibutuhkan suatu
tindakan yang terus menerus dan juga dilakukan secara damai.
Keharusan untuk menyelesaikan sengketa secara damai pada mulanya
dicantumkan dalam Pasal 1 Konvensi mengenai penyelesaian Sengketa-sengketa
Secara Damai yang ditandatangani di Den Haag pada tanggal 18 Oktober 1907, yang
kemudian dikukuhkan oleh Pasal 2 ayat 3 Piagam PBB dan selanjutnya oleh
Deklarasi Prinsip-prinsip Hukum Internasional mengenai Hubungan Bersahabat dan
Kerjasama antar Negara yang diterima oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 24
Oktober 1970. Deklarasi tersebut meminta agar semua negara menyelesaikan
sengketa mereka dengan cara damai sedemikian rupa agar perdamaian, keamanan
internasional dan keadilan tidak sampai terganggu.
Menurut Mauna Boer (2013:194), prinsip penyelesaian sengketa
internasional secara damai didasarkan pada prinsip-prinsip hukum internasional
yang berlaku secara universal, dan dimuat dalam Deklarasi mengenai Hubungan
Bersahabat dan Kerjasama Antar Negara tanggal 24 Oktober 1970
serta Deklarasi Manila tanggal
15 November 1982
mengenai Penyelesaian Sengketa
Internasional secara Damai, yaitu:
1.
Prinsip bahwa negara tidak akan menggunakan
kekerasan yang bersifat mengancam integritas teritorial atau kebebasan politik
suatu negara, atau menggunakan cara-cara lainnya yang tidak sesuai dengan
tujuan-tujuan PBB;
2.
Prinsip non-intervensi dalam urusan dalam
negeri dan luar negeri suatu negara;
3.
Prinsip persamaan hak dan menentukan nasib
sendiri bagi setiap bangsa;
4.
Prinsip persamaan kedaulatan negara;
5.
Prinsip hukum internasional mengenai
kemerdekaan, kedaulatan dan integritas teritorial suatu negara;
6.
Prinsip itikad baik dalam hubungan
internasional;
7.
Prinsip keadilan dan hukum internasional.
Penyelesaian sengketa secara damai merupakan konsekuensi langsung
dari ketentuan Pasal 2 ayat 4 Piagam yang melarang negara anggota menggunakan
kekerasan dalam hubungannya satu sama lain. Dengan demikian pelarangan
penggunaan kekerasan dan penyelesaian sengketa secara damai merupakan
norma-norma imperatif dalam pergaulan antar bangsa. Oleh karena itu hukum
internasional telah menyusun berbagai cara penyelesaian sengketa secara damai
dan menyumbangkannya kepada masyarakat dunia demi terpeliharanya perdamaian dan
keamanan serta terciptanya pergaulan antar bangsa yang serasi.
C.
Mahkamah
Internasional
Pembentukan pengadilan menggambarkan puncak perkembangan yang cukup
lama dari metode atau cara-cara penyelesaian secara damai terhadap
sengketa-sengketa internasional. Pasal 33 dari Piagam PBB dibahas mengenai
cara-cara penyelesaian sengketa internasional secara damai dimana meliputi negotiation, enquiry, mediation, arbitration, judical settlement, serta juga good-offices. Pada proses arbitrase dan penyelesaian hukum (judical settlement) mempunyai perbedaan yang terletak adalah
penyelesaian sengketa atas hak-hak hukum para pihak, atas dasar hukum yang
berlaku (kecuali para pihak berpendapat lain) dan menghasilkan keputusan yang
mengikat para pihak.
Sejarah dari terbentuknya suatu Mahkamah Internasional dimulai
dengan suatu pembentukan lembaga Arbitrase yang merupakan lembaga penyelesaian
sengketa internasional secara damai. Arbitrase adalah suatu institusi yang
sudah cukup tua, tetapi sejarah arbitrase modern yang diakui sejak Jay Treaty 1794
antara Amerika dan Inggris, yang mengatur pengajuan sengketa-sengketa kepada
arbitrase juga sering dimasukan ke dalam traktat-traktat, khususnya konvensi
yang membuat hukum (law making).
a.
Permanent
Court of Arbitration
Suatu langkah maju bagi perkembangan arbitrase, yaitu Konvensi The
Haque 1899 dan 1907 mendirikan Permanen Court of Arbitration yang dalam
kenyataannya tidak permanen dan tidak membentuk pengadilan. Dimana setiap
negara peserta atau anggota dapat mengangkat empat orang yang memenuhi syarat di
bidang hukum internasional dan semua orang yang ditunjuk tersebut merupakan
sebuah panel para ahli hukum yang kompeten yang dari mereka itulah diangkat
para arbitrator apabila diperlukan.
Arbitrase pada hakikatnya adalah suatu prosedur konsensus. Negara-negara
tidak dapat dipaksa untuk dibawa ke muka arbitrase kecuali jika mereka setuju
untuk melakukan hal tersebut, baik secara umum dan sebelumnya maupun advoc berkenaan dengan suatu sengketa
tertentu. Proses arbitrase, disamping berkeinginan untuk adanya sebuah
pengadilan yang permanen, tetap menjadi suatu proses yang bermanfaat guna
mewujudkan kemajuan-kemajuan akan adanya suatu kategori sengketa dimana
menyerahkan ke Mahkamah Internasional.
b.
Permanent
Court of International Justice
Dalam Pasal 14 Convenant Liga Bangsa-Bangsa diberikan tugas kepada
dewan liga untuk menyusun dan mengajukan rencana-rencana bagi pembentukan
sebuah Mahkamah Internasional Permanen kepada anggota-anggota liga untuk
disahkan. Dewan Liga kemudian mengangkat sebuah komite penasihat yang terdiri
dari ahli-ahli hukum dan di dalam komite itulah digunakan untuk memecahkan
persoalan penting mengenai pemilihan para hakim. Permanen Court of
International Justice bukan merupakan suatu organ dari Liga Bangsa-Bangsa
meskipun dalam beberapa tindakannya berhubungan dengan liga.
c.
International
Court of Justice
International Court of Justice berkedudukan di Peace Palace, The
Hague (Netherland) yang bertindak sebagai pengadilan dunia dimana memutuskan
perkara-perkara dalam sengketa-sengketa hukum internasional dari suatu negara
dan juga memberikan pendapat dalam bentuk nasehat hukum (Advisory Opinion). International Court of Justice dibentuk
berdasarkan pasal 92-96 Piagam PBB yang dirumuskan di San Fransisco pada tahun
1945. Pasal 92 menyatakan bahwa Mahkamah adalah organ utama PBB karena itu maka
negara-negara anggota PBB otomatis terikat kepada Mahkamah (International Court
of Justice) sebagaimana halnya kepada organ-organ PBB lainnya. Mahkamah juga
terikat pada tujuan dan prinsip PBB yang dinyatakan pada Pasal 1 dan 2 Piagam
PBB dan karena statuta Mahkamah dilampirkan pada Piagam PBB serta merupakan
bagian integral dari Piagam PBB, maka konteks Piagam PBB tersebut merupakan
suatu faktor pengendali dalam penafsiran ketentuan-ketentuan dari statuta.[1]
Sejak dibentuk tahun 1945, Mahkamah Internasional atau
International Court of Justice (ICJ) telah menangani kasus-kasus internasional,
baik yang bersifat sengketa antara dua pihak (countentious) maupun advisory.
Sebagai penerus dari Permanent Court International of Justice (PCIJ) yang
didirikan pada tahun 1921, Mahkamah Internasional telah diaggap sebagai salah
satu cara utama untuk penyelesaian konflik antar negara di dunia. Sebagai salah
satu institusi hukum internasional, Mahkamah Internasional hanya menerima
negara sebagai pihak yang dapat beracara di dalamnya.[2]
Perjanjian khusus (special agreement)
tentang penundukan (consent to be bound)
kepada juridiksi Mahkamah Internasional, harus terlebih dahulu dibuat oleh para
pihak sebelum beracara.[3] Penundukan
ini didasarkan pada prinsip kedaulatan negara (state soverignty). Dari syarat ini dapat dilihat bahwa Mahkamah
Internasional menjunjung tinggi kedaulatan sebuah negara untuk tunduk atas
dasar free will. Lebih jauh lagi,
pengakuan Internasional akan kedaulatan negara ini juga dapat dilihat dari
kekuatan mengikat dari keputusan Mahkamah Internasional. Keputusan yang
dikeluarkan oleh Mahkamah Internasional hanya mempunyai kekuatan mengikat bagi
para pihak yang bersengketa dan terbatas pada kasus yang diajukan.[4]
Negara yang akan menjadi pihak bersengketa pada umumnya menyerahkan
perjanjian khusus yang berisikan subjek sengketa dan pihak yang bersengketa.[5] Salah
satu kasus yang memakai cara pembuatan perjanjian khusus antara para pihak
untuk menerima juridiksi dari Mahkamah Internasional yaitu Soverignty over Pulau Ligitan
and Pulau Sipadan (Indonesia-Malaysia). Dalam bentuk ini, juridiksi Mahkamah Internasional ditarik dari
perjanjian internasional yang memang mengharuskan anggotanya untuk tunduk
kepada juridiksi Mahkamah Internasional jika terjadi sengketa. Pada umumnya
juridiksi Mahkamah Internasional dari perjanjian internasional ini berkisar
pada kasus tentang aplikasi atau interpretasi dari perjanjian internasional
yang akan dimintakan kepada Mahkamah Internasional.
Setelah tahap pemberian perjanjian khusus atau aplikasi untuk
beracara di Mahkamah Internasional, maka tahap yang selanjutnya adalah tahap
pembelaan, yaitu pembelaan tertulis (written
pleadings) dan presentasi pembelaan (oral
pleadings). Pada dasarnya, Mahkamah
Internasional memberikan kebebasan kepada
para pihak tentang jenis pembelaan utama yang akan dipakai, baik itu
pembelaan tertulis maupun presentasi pembelaan. Pada tahap pembelaan tertulis (written pleadings), urutan pembelaannya
jika tidak ditentukan lain oleh para pihak, baik dalam hal perjanjian khusus
maupun aplikasi, adalah Memorial dan
tanggapan Memorial (counter memorial). Jika ternyata para
pihak meminta kesempatan pertimbangan dan Mahkamah Internasional menyetujuinya,
maka dapat diberikan kesempatan untuk memberikan jawaban (reply).[6]
Setelah pembelaan tertulis dalam bentuk memorial diserahkan oleh para pihak, maka mulailah proses
presentasi pembelaan (oral pleadings).
Mahkamah Internasional menentukan tanggal hearing
dari kasus yang diajukan dengan pertimbangan dari Mahkamah Internasional dan
para pihak. Para pihak mendapat dua kali kesempatan untuk memberikan presentasi
pembelaan di depan Mahkamah Internasional.
Waktu untuk proses hearing
ini biasanya 2 atau 3 minggu, akan tetapi jika Mahkamah Internasional
beranggapan dibutuhkan lebih lama, maka waktu untuk hearing tersebut dapat diperpanjang. Akan tetapi menurut aturan
Mahkamah proses hearing tersebut
berada di bawah pengawasan Mahkamah Internasional dan waktunya disesuaikan dengan pertimbangan Mahkamah Internasional.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
STUDI
KASUS
Sengketa Pulau Sipadan Dan Ligitan Antara Indonesia-Malaysia Serta
Penyelesaiannya Melalui International Court Of Justice (Icj)
Bab ini merupakan pembahasan mengenai sengketa Pulau Sipadan dan
Pulau Ligitan antara Indonesia-Malaysia serta penyelesaiannya melalui
International Court of Justice (ICJ). Pembahasan ini meliputi latar belakang
kasus sengketa wilayah antara Indonesia dan Malaysia terhadap Pulau Sipadan dan
Pulau Ligitan, penyelesaian sengketa wilayah antara Indonesia dan Malaysia
terhadap Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan melalui International Court of
Justice, Mahkamah Internasional, urutan penyelesaian sengketa wilayah atas
Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan melalui ICJ, dan proses persidangan
penyelesaian sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan.
Untuk bagian pertama akan membahas mengenai latar belakang
terjadinya sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan antara Malaysia dan
Indonesia serta usaha-usaha untuk menyelesaikan sengketa. Bagian kedua tinjauan
mengenai penyelesaian sengketa wilayah antara Indonesia dan Malaysia melalui
Mahkamah Internasional. Bagian ketiga membahas mengenai perkembangan ICJ dari
awal terbentuk hingga ICJ menjadi sebuah lembaga peradilan bagi negara-negara
yang memiliki sengketa satu sama lain khususnya Indonesia dan Malaysia. Dan
bagian keempat dan kelima akan memberikan penjelasan tentang proses
penyelesaian sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan di ICJ yang meliputi pembelaan
tertulis (written pleadings) dan presentasi pembelaan (oral pleadings) yang dilakukan oleh
Indonesia dan Malaysia.
3.1 Latar Belakang Kasus Sengketa Wilayah
antara Indonesia dan Malaysia Terhadap Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan
Sengketa wilayah antara Indonesia dan Malaysia bermula dari
pertemuan kedua delegasi dalam penetapan batas landas kontinen antara Indonesia
dan Malaysia di Kuala Lumpur pada tanggal 22 September 1969. Pada waktu
pembicaraan landas kontinen di laut Sulawesi, kedua delegasi sama-sama mengklaim
Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan sebagai miliknya. Pulau Sipadan terletak 15 mil
laut sekitar 24 kilometer dari pantai daratan Sabah Malaysia dan 40 mil laut
sekitar 64 kilometer dari pantai timur Pulau Sebatik dimana bagian utara
merupakan wilayah Malaysia dan bagian timur selatan merupakan wilayah
Indonesia. Posisi Pulau Ligitan terletak 21 mil laut sekitar 34 kilometer dari
pantai daratan Sabah Malaysia dan 57,6 mil laut sekitar 93 kilometer dari
pantai timur Pulau Sebatik. Luas Pulau Sipadan adalah 10,4 hektar dan Pulau
Ligitan adalah 7,9 hektar.
Gambar 1. Peta Letak Pulau
Sipadan dan Pulau Ligitan pada Laut Sulawesi
Sumber : David A. Colson, The American Journal of International Law, 2003
Disinilah titik sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Titik
awal klaim pemerintah Indonesia tampaknya lemah dan tidak mencantumkan kedua
pulau tersebut dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yakni, Perpu
No. 4 tahun 1960 tentang Perairan Indonesia.[1]
Di pihak lain, kelemahan Malaysia tampak pada peta yang diterbitkan hingga
tahun 1970-an tidak pernah mencantumkan kedua pulau tersebut.
Selanjutnya dalam meja perundingan kedua belah pihak baik
pemerintah Indonesia maupun pemerintah Malaysia sepakat untuk menetapkan
sebagai status quo atas kedua pulau tersebut. Sehubungan dengan masalah ini, kedua
negara pada tanggal 22 September 1969
menyetujui Memorandum of Understanding
(MOU) yang menetapkan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan dalam status quo yang berarti tidak boleh
ditempati, diduduki maupun dimanfaatkan baik oleh Indonesia maupun Malaysia.
Namun, mulai tahun 1979 Malaysia berubah sikap dan mengambil langkah-langkah
secara unilateral dengan menerbitkan peta-peta yang menunjukkan kedua pulau sebagai
bagian dari Malaysia, memberikan sejumlah izin kepada sejumlah perusahaan
swastanya untuk menyelenggarakan kegiatan pariwisata di Pulau Sipadan dan
mendirikan instalansi-instalansi listrik di pulau tersebut. Indonesia
menganggap bahwa kegiatan-kegiatan tersebut melanggar kesepakatan yang telah
dicapai dalam status quo.
Dalam upaya untuk menyelesaikan sengketa antara kedua negara,
Indonesia dan Malaysia mengadakan perundingan-perundingan pada berbagai tingkat
seperti Senior Official Meetings, Joint Working Group Meetings dan Joint Commision Meetings, namun tidak
berhasil mencapai penyelesaian yang dapat diterima kedua pihak. Selanjutnya pada tahun 1996, Presiden Soeharto dan Perdana
Menteri Mahathir Muhammad sepakat untuk mengangkat utusan khusus dari
masing-masing negara untuk mencari solusi alternatif. Setelah melakukan empat
kali pertemuan Jakarta-Kuala Lumpur secara bergantian, kedua wakil dari
Pemerintah Indonesia dan pemerintah Malaysia berhasil menemukan solusi, yakni
merekomendasikan agar perlu adanya penyelesaian masalah ini lewat Mahkamah
Hukum Internasional (ICJ).
Selanjutnya, pada tanggal 31 Mei 1997 kedua negara menyepakati Special Agreement for the submission to the International Court of Justice the
dispute between Indonesia and Malaysia concerning the soverignty over Pulau
Sipadan and Pulau Ligitan. Naskah tersebut telah diratifikasi oleh
Pemerintah Indonesia pada tanggal 29
Desember 1997 melalui Keputusan Presiden Nomor 49 tahun 1997 dan oleh
pemerintah Malaysia pada tanggal 19 November 1997. Special Agreement ini merupakan syarat prosedural yang memungkinkan
ICJ memiliki kewenangan juridiksi atas perkara ini. Special Agreement tersebut kemudian disampaikan kepada Mahkamah
Hukum Internasional pada tanggal 2 November 1998 melalui suatu Joint Letter atau Notifikasi Bersama. Masalah pokok yang diajukan dan
dimintakan dalam Special Agreement adalah
agar Mahkamah Hukum Internasional memutuskan
siapakah yang berdaulat atas kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan
berdasarkan perjanjian-perjanjian yang ada, bukti-bukti dan dokumen-dokumen
yang tersedia dari pemerintah Indonesia maupun dari pemerintah Malaysia. Special Agreement ini juga mencantumkan putusan Mahkamah Hukum
Internasional sebagai bersifat akhir
dan mengikat (final and binding).[2]
Dalam penyampaian Notifikasi Bersama tersebut kepada Panitera
Mahkamah Hukum Internasional, maka proses litigasi masalah Pulau Sipadan dan
Pulau Ligitan diforum internasional secara resmi mulai berlangsung dan untuk
selanjutnya penyelesaian masalah ini sepenuhnya terletak pada penelitian
Mahkamah Hukum Internasional. Tanggal 3 hingga 12 Juni 2002 Mahkamah Hukum
Internasional telah mendengarkan argumentasi lisan dari Indonesia dan Malaysia
sehubungan dengan sengketa wilayah (territorial
dispute) Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Dan pada tanggal 17 Desember 2002
Mahkamah Hukum Internasional telah memberikan kedaulatan atas Pulau Sipadan dan
Pulau Ligitan kepada Malaysia. Dalam hal ini Mahkamah Hukum Internasional tidak
terlalu tertarik dengan argumentasi Indonesia tentang akar kepemilikannya yang
didasarkan pada Perjanjian Belanda-Inggris tahun 1891, yang pada Pasal IV
menyebutkan bahwa garis batas kedua negara adalah garis lintang 4º 10’ di
pantai timur Pulau Kalimantan terus ke Timur memotong Pulau Sebatik dan
menempatkan kedua pulau itu di bawah garis lintang tersebut yang berarti milik
Belanda. Menurut Mahkamah, perjanjian itu adalah perjanjian darat dan sulit
diinterpretasikan sebagai perjanjian wilayah laut. Dengan ditolaknya perjanjian
ini sebagai perjanjian alokasi laut, maka tidak ada lagi yang dapat diandalkan
oleh Indonesia.
Berbeda dengan Indonesia, bukti efektif Malaysia atas kedua pulau
tersebut dan dalam periode yang cukup lama, antara lain, bahwa Malaysia sejak
tahun 1917 telah melakukan fungsi legislatif atas kedua pulau tersebut misalnya
dengan dikeluarkannya Peraturan Perlindungan Penyu, serta mengeluarkan
Perizinan untuk menangkap telur penyu. Malaysia juga telah membangun mercusuar
di Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan pada tahun 1962 dan 1963 yang terus
dipelihara sejak kemerdekaan Malaysia. Kegiatan kedaulatan Malaysia ini menurut
pengamatan Mahkamah tidak pernah diprotes oleh Indonesia. Semua fakta sejarah
ini cukup meyakinkan bahwa Malaysia telah menunjukkan kegiatan berdaulatannya
atas kedua pulau tersebut dan sudah cukup membuktikan adanya keefektifan untuk
syarat kedaulatan suatu negara atas kedua pulau itu. Dalam hal ini, apa pun
yang dilakukan oleh Indonesia sejak tahun 1969 seperti halnya menduduki kedua
pulau tersebut, tetap tidak akan dapat menghapus keefektifan Inggris atau
Malaysia.
3.2 Penyelesaian Sengketa Wilayah antara
Indonesia dan Malaysia terhadap Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan melalui
International Court of Justice (ICJ)
Secara tradisinya, apabila sebuah negara menghadapi pertikaian,
negara tersebut akan mengumumkan perang. Sebaliknya, pada saat ini,
negara-negara anggota ASEAN tidak memilih untuk menggunakan kekuatan senjata
atau militer tetapi menggunakan bahasa sebagai suatu mekanisme untuk
menyelesaikan pertikaian diantaranya melalui perundingan diplomatik. Pada
umumnya penyelesaian sengketa digolongkan dalam dua kategori[3]
:
1.
Cara-cara penyelesaian secara damai yaitu
apabila para pihak telah dapat menyepakati untuk menemukan suatu solusi yang
bersahabat. Dalam metode, menurut sifatnya dibagi dua yaitu secara politik dan
secara hukum. Penyelesaian damai yang bersifat politik meliputi perundingan (negotiation), jasa-jasa baik (good-offices), penyelidikan (inquiry), penengahan (mediation) dan konsiliasi (conciliation). Sedangkan penyelesaian
secara damai yang bersifat hukum atau prosedur hukum meliputi arbitrase (arbitration) dan penyelesaian hukum (judical settlement);
2.
Cara-cara penyelesaian secara paksa atau dengan
cara kekerasan, yaitu apabila solusi yang digunakan adalah melalui kekerasan.
Penyelesaian melalui kekerasan meliputi perang dan bersenjata non-perang
seperti retorasi (retorsion),
dikenakan tindakan-tindakan pembalasan (reprisals),
blokade secara damai (pasific blockade),
dan intervensi (interventation).
Jika timbul sengketa yang menyangkut kedaulatan atas sejumlah
wilayah, maka sudah merupakan kebiasaan untuk menelaah negara-negara mana saja
yang mengklaim kedaulatan tersebut, yang memiliki alas hak yang sah lebih
tinggi (baik itu melalui penyerahan, penaklukan, maupun okupasi) atas
negara-negara lainnya yang juga mengajukan klaim yang sama.
Meskipun demikian, jika perseteruan didasarkan pada kenyataan bahwa
pihak lainnya juga telah mengumumkan kedaulatan, maka hal itu tidak cukup untuk
membentuk alas hak, karena harus ditunjukkan pula bahwa kedaulatan atas wilayah
tersebut juga telah berlangsung dan tetap ada pada saat putusan untuk
perselisihan itu ditetapkan. Alas hak dari penyerahan kedaulatan wilayah dalam
hukum internasional juga berdasarkan atas tindakan okupasi efektif, dengan
mengasumsikan bahwa negara yang menerima memiliki kemampuan untuk mengatur
secara efektif wilayah yang diserahkan tersebut. Dalam cara yang sama,
penambahan wilayah secara alami dapat dianggap sebagai sesuatu penambahan atas
bagian wilayah yang telah ada kedaulatan yang sesungguhnya. Oleh karena itu
merupakan hal yang wajar apabila untuk mewujudkan kedaulatan dibutuhkan suatu
tindakan yang terus menerus dan juga dilakukan secara damai.
Keharusan untuk menyelesaikan sengketa secara damai pada mulanya
dicantumkan dalam Pasal 1 Konvensi mengenai penyelesaian Sengketa-sengketa
Secara Damai yang ditandatangani di Den Haag pada tanggal 18 Oktober 1907, yang
kemudian dikukuhkan oleh Pasal 2 ayat 3 Piagam PBB dan selanjutnya oleh
Deklarasi Prinsip-prinsip Hukum Internasional mengenai Hubungan Bersahabat dan
Kerjasama antar Negara yang diterima oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 24
Oktober 1970. Deklarasi tersebut meminta agar semua negara menyelesaikan
sengketa mereka dengan cara damai sedemikian rupa agar perdamaian, keamanan
internasional dan keadilan tidak sampai terganggu.
Prinsip penyelesaian sengketa internasional secara damai didasarkan
pada prinsip-prinsip hukum internasional yang berlaku secara universal, dan
dimuat dalam Deklarasi mengenai Hubungan Bersahabat dan Kerjasama Antar Negara
tanggal 24 Oktober 1970 serta Deklarasi Manila
tanggal 15 November
1982 mengenai Penyelesaian Sengketa Internasional secara
Damai, yaitu[4]
1.
Prinsip bahwa negara tidak akan menggunakan
kekerasan yang bersifat mengancam integritas teritorial atau kebebasan politik
suatu negara, atau menggunakan cara-cara lainnya yang tidak sesuai dengan
tujuan-tujuan PBB;
2.
Prinsip non-intervensi dalam urusan dalam
negeri dan luar negeri suatu negara;
3.
Prinsip persamaan hak dan menentukan nasib
sendiri bagi setiap bangsa;
4.
Prinsip persamaan kedaulatan negara;
5.
Prinsip hukum internasional mengenai
kemerdekaan, kedaulatan dan integritas teritorial suatu negara;
6.
Prinsip itikad baik dalam hubungan
internasional;
7.
Prinsip keadilan dan hukum internasional.
Penyelesaian sengketa secara damai merupakan konsekuensi langsung
dari ketentuan Pasal 2 ayat 4 Piagam yang melarang negara anggota menggunakan
kekerasan dalam hubungannya satu sama lain. Dengan demikian pelarangan
penggunaan kekerasan dan penyelesaian sengketa secara damai merupakan
norma-norma imperatif dalam pergaulan antar bangsa. Oleh karena itu hukum
internasional telah menyusun berbagai cara penyelesaian sengketa secara damai
dan menyumbangkannya kepada masyarakat dunia demi terpeliharanya perdamaian dan
keamanan serta terciptanya pergaulan antar bangsa yang serasi.
Konvensi Hukum Laut 1982 menyediakan berbagai metode dalam rangka
penyelesaian sengketa hukum laut. Dilihat dari perkembangan sistem peradilan
internasional, mekanisme konvensi ini merupakan yang pertama kali dapat
mengarahkan negara-negara peserta untuk menerima prosedur memaksa (compulsory procedures), dengan sistem konvensi maka tidak ada lagi ruang bagi
negara-negara pihak konvensi untuk
menunda-nunda sengketa hukum lautnya dengan bersembunyi dibelakang konsep
kedaulatan negara, karena konvensi secara prinsip mengharuskan negara-negara
pihak untuk menyelesaikan sengketanya melalui mekanisme konvensi.
Penyelesaian sengketa diatur dalam Bab XV tentang Settlement of Disputes, Pasal 279 pada
intinya menyebutkan bahwa negara-negara pihak diberi kebebasan yang luas untuk
memilih prosedur yang diinginkan sepanjang itu disepakati bersama. Pada
sengketa wilayah Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, Indonesia menginginkan adanya
penyelesaian secara damai dengan Malaysia. Hal ini berdasarkan pada prosedural
penyelesaian melalui Mahkamah Internasional sesuai dengan Bab VI Pasal 33
Penyelesaian Pertikaian Secara Damai dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa
dan Statu Mahkamah Internasional serta Pasal 36 ayat 1 Statuta Mahkamah
Internasional.[5] Bab VI
Pasal 33 Penyelesaian Pertikaian Secara Damai dalam Piagam PBB dan Statuta
Mahkamah Internasional adalah :
1.
Pihak-pihak yang bersangkutan dalam suatu
pertikaian yang jika berlangsung terus menerus mungkin membahayakan
pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional, pertama-tama harus mencari
penyelesaian dengan jalan perundingan, penyelidikan, dengan mediasi,
konsiliasi, arbitrasi, penyelesaian menurut hukum melalui badan-badan atau
pengaturan-pengaturan regional, atau dengan cara damai lainnya yang dipilih
mereka sendiri;
2.
Bila dianggap perlu, Dewan Keamanan meminta
kepada pihak-pihak bersangkutan untuk menyelesaikan pertikaiannya dengan
cara-cara serupa itu.
Metode-metode penyelesaian sengketa-sengketa internasional secara
damai atau bersahabat dapat dibagi dalam klasifikasi berikut ini : pertama, Arbitrasi (arbitration); kedua,
penyelesaian yudisial (judicial
settlement); ketiga, negosiasi,
jasa-jasa baik (good offices),
mediasi, konsiliasi; keempat,
penyelidikan (inquiry); dan kelima, penyelesaian di bawah naungan
Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Hubungannya dengan persengketaan yang
terjadi antara Indonesia dan Malaysia, kedua negara memilih untuk menggunakan
metode negosiasi atau perundingan diplomatis sebagai langkah awal untuk
menyelesaikan persengketaan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Hal ini terlihat
dari pertemuan-pertemuan yang dilakukan oleh perwakilan kedua negara. Melihat
sejarah hubungan Indonesia dan Malaysia, cara negosiasi ini merupakan langkah
yang tepat dalam menyelesaikan sengketa. Indonesia dan Malaysia adalah dua
negara besar di kawasan Asia Tenggara yang bersahabat, dan persahabatan inilah
yang bisa dijadikan dasar untuk mengadakan sebuah perundingan negosiasi dalam
rangka mencari solusi yang tepat.
Pada dasarnya metode penyelesaian sengketa melalui mekanisme
perundingan ini adalah cara konvensional yang selalu digunakan dalam rangka
upaya penyelesaian sengketa oleh pihak manapun yang bersengketa. Cara ini
terkadang memerlukan waktu yang sangat lama, hal ini bisa terjadi karena dalam
perundingan dimungkinkan para pihak tetap bersikeras dengan pendapatnya dan
berusaha untuk mematahkan argumentasi-argumentasi yang diberikan pihak lawan
kadang hal ini dilakukan sebagai implementasi dari kedaulatan yang dimiliki
oleh masing-masing pihak, sehingga sulit untuk mencari titik temu penyelesaian.
Biasanya, arbitrasi menunjukkan prosedur yang persis sama
sebagaimana dalam hukum nasional, yaitu menyerahkan sengketa kepada orang-orang
tertentu yang dinamakan para arbitrator, yang dipilih secara bebas oleh para
pihak, mereka itulah yang memutuskan tanpa terlalu terikat pada
pertimbangan-pertimbangan hukum. Namun, pengalaman yang diperlihatkan oleh
praktek internasional menunjukkan bahwa beberapa sengketa yang hanya menyangkut
masalah hukum yang diserahkan kepada para arbitrator untuk diselesaikan
berdasarkan hukum.[6] Lebih
lanjut, dalam berbagai macam traktat yang menyepakati bahwa sengketa-sengketa
harus diajukan kepada arbitrasi, seringkali sebagai tambahan pada arahan untuk
memutuskan menurut dasar keadilan atau ex
aequo et bono, pengadilan-pengadilan arbitrasi secara khusus diinstruksikan
untuk menerapkan hukum internasional.
Klausula-klausula yang mengatur pengajuan sengketa-sengketa kepada
arbitrasi juga sering dimasukan ke dalam traktat-traktat, khususnya konvensi
“yang membuat hukum” (law-making).
Arbitrasi pada hakikatnya adalah suatu prosedur konsensus. Negara-negara tidak
dapat dipaksa untuk dibawa ke muka arbitrasi kecuali jika mereka bersetuju
untuk melakukan hal tersebut, baik secara umum dan sebelumnya maupun ad hoc berkenaan dengan suatu sengketa
tertentu. Kesepakatan negara-negara itu pun mencakup penentuan karakter dari
pengadilan yang akan dibentuk.
Senantiasa akan ada tempat bagi arbitrasi dalam hubungan-hubungan
antara negara-negara. Proses arbitrasi lebih memuaskan dibandingkan dengan
penyelesaian yudisial atas sengketa-sengketa teknis, juga lebih murah,
sedangkan, apabila dianggap perlu, arbitrasi dapat dilakukan tanpa ada
publisitas, bahkan sampai tingkat tertentu para pihak boleh menyepakati bahwa
putusan-putusan tidak akan dipublikasikan. Lebih lanjut, prinsip-prinsip umum
yang mengatur praktek dan wewenang pengadilan-pengadilan arbitrasi cukup
dikenal. Yang terakhir, prosedur arbitrasi cukup luwes untuk dikombinasikan
dengan proses-proses pencarian fakta yang disediakan dalam kasus negosiasi,
jasa-jasa baik, mediasi, konsiliasi dan penyelidikan.
Untuk itu, Indonesia dan Malaysia telah membuat sebuah perjanjian
yang diberi nama Special Agreement for
Submission to the International Court of Justice of the Dispute between Indonesia dan Malaysia concerning Soverignty
over Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan (Special Agreement). Dalam Pasal 2 Special Agreement disebutkan bahwa
Mahkamah Internasional diminta untuk menentukan siapakah yang mempunyai
kedaulatan atas Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan.[7]
2.2 Urutan Penyelesaian Sengketa Wilayah atas Pulau
Sipadan dan Pulau Ligitan melalui
International Court of Justice (ICJ)
Konflik Sipadan-Ligitan mencuat sejak tahun
1969, ketika Malaysia dan Indonesia membahas mengenai Landas Kontinen.
Perselisihan berawal dari perbedaan penafsiran atas Perjanjian 1891 yang dibuat
dua kolonialis, yakni Inggris-Belanda, untuk membagi Kalimantan.
Pada awalnya kedua pihak sepakat untuk tidak
melakukan aktivitas apapun di atas kedua pulau yang sedang dalam sengketa.
Namun Malaysia bukan hanya mengamankan kedua pulau ini, melainkan juga
membangun resor pariwisata dan penangkaran penyu.
Dalam mengadili perkara ini, Mahkamah
Internasional tidak mendasarkan diri pada Perjanjian kedua belah pihak antara
Inggris dan Belanda, namun lebih kepada aktivitas okupasi secara efektif dari
Malaysia. Menyangkut efektifitas yang ditunjukkan oleh Indonesia, Mahkamah
Internasional memulai dengan menunjukkan bahwa tidak ada peraturan
perundang-undangan satupun yang mengatur tentang Sipadan dan Ligitan. Terlebih
lagi, Mahkamah tidak dapat mengabaikan fakta bahwa UU No. 4/1960 yang menarik
garis pangkal bagi wilayah Indonesia, tidak memasukkan Sipadan dan Ligitan
sebagai titik-titik garis pangkal.
Menurut opini Mahkamah Internasional, tidak
dapat ditarik kesimpulan dari laporan komandan kapal patroli Belanda Lynx atau
dari dokumen lain yang disajikan oleh Indonesia dalam kaitannya dengan kegiatan
patroli laut Indonesia atau Belanda, bahwa otoritas kelautan terkait meliputi
Sipadan dan Ligitan dan perairan disekitarnya di bawah kedaulatan Belanda atau
Indonesia.
Malaysia memenangkan kasus ini karena Mahkamah
Internasional menganggap bahwa Malaysia telah dapat menunjukkan pelaksanaan
okupasi secara efektif terhadap kedua Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan yaitu
berkaitan dengan efektivitas terhadap kedua Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan,
dalam Butir 132 Putusan ICJ dikemukakan Malaysia menyatakan bahwa negaranya
telah mengatur pengurusan penyu dan pengumpulan telur penyu. Malaysia
menyatakan bahwa pengumpulan telur penyu di kedua pulau ini merupakan kegiatan
ekonomi yang paling penting selama bertahun-tahun.
Tahun 1914 Inggris Raya mengambil
langkah-langkah untuk mengatur dan mengendalikan pengambilan telur penyu di
kedua pulau tersebut. Malaysia juga mengandalkan pembentukan usaha penangkaran
burung pada tahun 1933. Malaysia juga menyebutkan British North Borneo Colonial
(BNBC) Authorities telah membangun Mercusuar di atas kedua pulau tersebut pada
tahun 1960an, dan mercusuar tersebut masih tetap ada sampai sekarang dan
dipelihara oleh Otoritas Malaysia. Terakhir, Malaysia menyatakan adanya
Peraturan perundang-undangan Pemerintah Malaysia mengenai Pariwisata di Sipadan
dan kenyataan menyebutkan bahwa sejak 25 September 1977, Sipadan dan Ligitan
menjadi daerah yang dilindungi dibawah Malaysia’s Protected Areas.
Berkenaan dengan efektivities yang disandarkan
oleh Malaysia, maka Mahkamah Internasional pertama mengamati bahwa sesuai
dengan Konvensi tahun 1930 AS melepaskan klaim bahwa AS memiliki kedaulatan di
atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, dan tidak ada negara lain yang
mengemukakan kedaulatannya di atas kedua pulau tersebut pada saat itu, atau
merasa keberatan dengan pemerintahan yang berkelanjutan oleh State of North
Borneo. Lebih lanjut Mahkamah mengamati bahwa aktivitas-aktivitas yang terjadi
sebelum dibuatnya Konvensi tidak dapat dianggap sebagai tindakan “a little de
souverain”, karena Inggris Raya pada saat itu tidak mengajukan klaim kedaulatan
atas nama State of North Borneo atas pulau-pulau terluar batas 3 marine-league.
Karena Mahkamah beranggapan bahwa British North Borneo Colonial (BNBC)
mempunyai hak untuk memerintah kedua pulau tersebut, posisi yang setelah tahun
1907 secara formal diakui oleh AS, maka kegiatan-kegiatan administratif ini
tidak dapat diabaikan begitu saja.
Sebagai bukti administratif efektif terhadap
kedua pulau, Malaysia menyatakan bahwa ukuran yang diambil oleh Otoritas North
Borneo untuk mengatur dan mengendalikan tindakan pengumpulan telur penyu di
Sipadan dan Ligitan merupakan sebuah aktivitas ekonomi yang nyata di daerah
tersebut pada saat itu. Hal ini merujuk kepada Turtle Preservation Ordinance
1917, yang bertujuan untuk membatasi penangkapan penyu dan pengumpulan telur
penyu dalam wilayah State of North Borneo atau perairan wilayahnya. Mahkamah
juga mencatat bahwa Ordonansi dibuat dalam kaitan sistem pemberian lisensi dan
untuk penciptaan native reservesuntuk pengumpulan telur penyu, dan Sipadan
terdaftar diantara pulau-pulau yang termasuk dalam native reserves.
Malaysia mengemukakan bukti dokumen yang
menunjukkan bahwa Ordonansi Pelestarian Penyu 1917 berlaku setidaknya sampai
tahun 1950. Dalam kaitan ini, Malaysia menyatakan bahwa izin yang dikeluarkan
pada tanggal 28 April 1954 oleh Pejabat Distrik Tawau memperkenankan
penangkapan penyu yang sesuai dengan Bagian 2 dari Ordonansi tersebut. Mahkamah
mengamati bahwa izin ini meliputi area yang termasuk di dalamnya “pulau-pulau
Sipadan, Ligitan, Kapalat, Mabul, Dinawan dan Siamil”.
Lebih lanjut Malaysia menyebutkan beberapa
kasus tertentu sebelum dan setelah tahun 1930 dimana ditunjukkan, bahwa
otoritas administratif telah berhasil menyelesaikan sengketa mengenai
pengumpulan telur penyu di Sipadan. Malaysia merujuk kepada fakta bahwa tahun
1933 Pulau Sipadan berdasarkan Bagian 28 dari Ordonansi Tanah 1930 dinyatakan
sebagai reserve bagi tujuan penangkaran burung. Mahkamah berpendapat bahwa baik
ukuran yang diambil untuk mengatur dan mengendalikan pengumpulan telur penyu
dan usaha penangkaran burung harus dilihat sebagai pernyataan tegas tentang
pengaturan dan pernyataan administratif dari otoritas terhadap wilayah
tersebut.
Malaysia kemudian mengemukakan fakta bahwa
otoritas koloni North Borneo membangun mercusuar di Pulau Sipadan pada
tahun1962 dan yang lainnya di Pulau Ligitan tahun 1963 dimana mercusuar
tersebut tetap ada sampai kini dan bahwa mercusuar tersebut dipelihara oleh
Otoritas Malaysia sejak kemerdekaannya. Malaysia beragumen bahwa pembangunan
dan pemeliharaan dari mercusuar seperti itu merupakan “bagian dari pola
pelaksanaan otoritas Pemerintah yang tepat”. Mahkamah mengamati bahwa
pembangunan dan pengoperasian mercusuar dan bantuan navigasi pada umumnya tidak
berdasarkan perwujudan otoritas Negara.
Mahkamah memberikan catatan bahwa kegiatan yang
dilakukan oleh Malaysia baik itu atas namanya sendiri atau sebagai suksesor
Inggris Raya memang sedikit jumlahnya, tetapi hal ini sangat beragam dalam
karakternya termasuk dalam tindakan-tindakan legislatif, administratif dan
quasi-peradilan. Hal-hal tersebut meliputi periode waktu yang panjang dan
menunjukkan pola penampakan kehendak untuk melaksanakan fungsi kenegaraan yang
berkaitan dengan kedua pulau tersebut dalam konteks administrasi dalam lingkup
yang lebih luas dari pulau-pulau tersebut.
Mahkamah terlebih tidak dapat mengabaikan fakta
bahwa pada saat itu ketika kegiatan-kegiatan ini dilaksanakan, baik Indonesia
maupun pendahulunya Belanda, tidak pernah menyatakan pertentangan atau protes.
Dalam hal ini, Mahkamah memberikan catatan bahwa pada tahun 1962 dan 1963
Pemerintah Belanda tidak pernah mengingatkan otoritas Koloni North Borneo atau
Malaysia setelah kemerdekaannya, bahwa pembangunan mercusuar pada masa-masa itu
berlangsung di wilayah yang mereka anggap sebagai milik Indonesia.
Berdasarkan fakta-fakta yang diberikan dalam
kasus ini, dan khususnya dalam hal bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak,
maka Mahkamah Internasional menyimpulkan bahwa Malaysia memiliki hak terhadap
Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan berdasarkan effectivites.
3.4 Proses Persidangan
Penyelesaian Sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan
Dalam persidangan pemerintah kedua negara telah
menyiapkan sejumlah pengacara setingkat internasional, disamping para pejabat
kedua pemerintahan. Proses persidangan yang dilakukan dihadapan Mahkamah
Internasional oleh Indonesia dan Malaysia terbagi menjadi dua bagian utama,
yaitu sesi Argumentasi Tertulis (Written Pleadings) dan Argumentasi Lisan (Oral
Pleadings).
Dalam Argumentasi Tertulis dibagi menjadi tiga
tahapan, yaitu penyampaian dasar dari klaim yang disebut sebagai Memorial .
Atas Memorial yang disampaikan, masing-masing negara diberi kesempatan untuk
menjawab dalam bentuk Counter Memorial. Counter Memorial yang disampaikan oleh
masing-masing negara kemudian dijawab kembali dalam bentuk Reply. Indonesia dan
Malaysia menyampaikan Memorial mereka pada bulan November 1999. Selanjutnya
kedua negara menyampaikan Counter Memorial pada bulan Agustus 2000. Atas
Counter Memorial yang disampaikan oleh masing-masing negara, masing-masing
telah menanggapinya dalam Reply yang disampaikan ke Mahkamah Internasional pada
bulan Maret 2001. Pada bulan Juni 2002, para pihak diberi kesempatan untuk
menyampaikan Argumentasi Lisan mereka.
3.4.1 Pokok-pokok
Argumentasi Hukum Indonesia dan Malaysia
Indonesia dalam argumentasi hukumnya berdasarkan kepemilikannya
atas kedua pulau berdasarkan Pasal 4 Konvensi 1891 antara Belanda dan Inggris
(atau yang disebut sebagai “Conventional
Title”. Indonesia berpendapat bahwa Konvensi 1891 merupakan perjanjian yang
menyelesaikan ketidakjelasan batas-batas wilayah antara Inggris dan Belanda di
Kalimantan. Dalam hubungan ini Indonesia menafsirkan bahwa garis 4 10’ tersebut
tidak hanya berhenti pada bagian timur Pulau Sebatik, tetapi terus berlanjut ke
arah laut sebelah timur pulau tersebut. Dengan demikian, pulau-pulau Sipadan
dan Ligitan yang berada di bagian selatan garis tersebut merupakan wilayah
Hindia Belanda. Pandangan Indonesia ini didukung oleh kenyataan bahwa konsesi
minyak yang diberikan oleh kedua pihak secara jelas menghormati garis 4 10’.
Selain itu kunjungan Kapal Perusak Lynx
(milik Belanda) ke pulau Sipadan pada tahun 1921 menunjukkan adanya kontrol
yang efektif pihak pemerintah Hindia Belanda atas kedua pulau.
Malaysia dalam argumentasinya menyatakan bahwa garis 4 10’ tersebut
berhenti pada bagian timur Pulau Sebatik, karena perjanjian 1891 hanya
bertujuan untuk mengatur batas wilayah daratan. Berkaitan dengan kepemilikannya
atas kedua pulau, Malaysia menitikberatkan pada dua alur pemikiran (atau yang
disebut sebagai “Chain of Title”),
sebagai berikut [8] :
1.
Kedaulatan atas kedua pulau diperoleh dari
serangkaian transaksi yang dimulai dari grant
Sultan Sulu kepada British North Borneo
Company (BNBC) tahun 1878, pengakuan Spanyol atas kedaulatan Inggris di Borneo
melalui Perjanjian 1885, dan pertukaran Nota antara Amerika Serikat (AS) dengan
Inggris tahun 1907 mengenai pengakuan AS atas pengelolaan pulau-pulau yang
sedang dipermasalahkan (termasuk Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan) yang berada
dalam administrasi BNBC meskipun kedaulatannya masih tetap berada di bawah AS.
Malaysia juga merujuk pada Perjanjian AS-Inggris tahun 1930 tentang penyerahan
kedaulatan AS kepada Inggris atas pulau-pulau di selatan dan barat garis batas
antara Filipina dengan Borneo, dan penyerahan kedaulatan Inggris kepada
Malaysia tahun 1963 melalui prinsip suksesi negara;
2.
Kedaulatan atas kedua pulau diperoleh dari
fakta bahwa Inggris kemudian Malaysia sejak tahun 1878 secara damai dan
terus-menerus telah mengadministrasikan kedua pulau itu. Di pihak lain, Belanda
dan kemudian Indonesia tidak pernah melakukan klaim atas kedua pulau sampai
tahun 1969. Argumentasi Malaysia tersebut dikenal dengan istilah effectivities.
3.4.2 Written
dan Oral Hearings
Sesuai dengan prosedur yang berlaku di Mahkamah Internasional,
masing-masing pihak yang bersengketa harus menyampaikan argumentasi tertulis (Written Pleadings) ke Mahkamah dan pihak lawan sengketa, yang terdiri dari
penyampaian Memorial, Counter Memorial, dan Relpy. Memorial Indonesia berisi
argumentasi klaim Indonesia atas
pulau-pulau Sipadan dan Ligitan dan disampaikan pada tanggal 2 September 1999,
Counter Memorial yang berisi tanggapan RI atas Memorial-nya Malaysia disampaikan
tanggal 2 Agustus 2000. Sedangkan Reply Indonesia yang berisi tanggapan atas
Counter Memorial Malaysia disampaikan tanggal 2 Maret 2001.
Setelah proses argumentasi tertulis (Written Pleading) selesai, penyelesaian kasus sengketa Pulau
Sipadan dan Ligitan memasuki tahap akhir, yaitu penyampaian Lisan dan Oral Hearing. Kedua Agent dari masing-masing pihak yang
bersengketa menyampaikan presentasi
berupa sikap dan posisinya, terutama yang mengandung sikap politis dan
penekanan yuridis. Walaupun sebenarnya argumentasi yang bersifat yuridis juga
disampaikan oleh kedua pihak yang bersengketa di tahapan Written Pleading.
Malaysia menyampaikan argumen lisannya tanggal 6 Juni 2002 dan Indonesia
tanggal 12 Juni 2002. Masing-masing pihak diberi hak menjawab argumentasi
lawannya.
Pada pelaksanaan Oral Hearing
tanggal 12 Juni 2002, delegasi Indonesia yang diketuai Menteri Luar Negeri RI,
dalam kedudukannya sebagai Agent, didampingi oleh dua orang anggota Komisi I
DPR-RI, sejumlah pejabat dari Departemen Dalam Negeri, Departemen Pertahanan,
MABES TNI, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Wakil dari Kabupaten
Nunukan, Prof. Lapian sebagai pakar sejarah, juga unsur-unsur dari KBRI Den
Haag dan KBRI Paris. Oral Hearing pihak Indonesia merupakan pernyataan terakhir
posisi Indonesia di Mahkamah mengenai masalah sengketa Pulau Sipadan dan Pulau
Ligitan oleh Menteri Luar Negeri RI yang berfungsi sebagai Agent yang
dilanjutkan dengan presentasi oleh para pakar hukum internasional yang membantu
tim Indonesia.
Terdapat tenggang-waktu yang cukup lama antara proses Written Pleadings dengan Oral Pleadings, disebabkan adanya
permohonan mendadak untuk intervensi dari Pemerintah Filipina tanggal 13 Maret
2001 yang disampaikan oleh Duta Besar Filipina untuk Kerajaan Belanda kepada
Registrar Mahkamah Internasional Philippe Couvreur.
Mahkamah Internasional menyampaikan keinginan pihak Filipina ini
kepada pihak Indonesia dan Malaysia untuk ditanggapi. Apabila satu pihak atau
kedua pihak yang bersengketa (Indonesia dan Malaysia) merasa keberatan atas
intervensi Filipina, maka Mahkamah akan mengadakan hearing dengan mempertimbangkan tanggapan para pihak dan
kepentingan Filipina. Sesuai dengan surat aplikasi pihak Filipina kepada
Mahkamah Internasional, alasan utama intervensi Filipina tersebut adalah untuk
melindungi kepentingannya (legal status) atas Sabah (North Borneo). Mahkamah Internasional membagi hak intervensi dalam
dua kategori yaitu hak intervensi sebuah negara atas keputusan sebuah kasus
Mahkamah Internasional dan atas konstruksi sebuah perjanjian internasional.
Pengajuan hak intervensi harus mengandung tiga hal yaitu kepentingan yang
mempunyai karakter hukum (interest of
legal nature), objek yang jelas dan
pasti (precise object) dan hubungan
yuridiksi (jurisdictional link). Kepentingan yang mempunyai karakter hukum (interest of legal nature) memiliki kelemahan bahwa tidak ada definisi yang jelas
dalam hukum internasional yang
berkenaan dengan kata “interest of legal
nature”. Setiap negara bebas menginterpretasikan kepentingannya dalam
mengajukan hak intervensi berkenaan dengan kasus yang sedang berlangsung di
Mahkamah Internasional.[9]
Dalam hubungan ini Konstitusi Filipina menganggap wilayah Sabah
masih diklaim sebagai wilayah yang pernah dimiliki oleh Kesultanan Sulu dan
pihak Filipina masih terus berusaha melalui negosiasi diplomatik untuk
memperjuangkan haknya. Mengenai klaim Filipina atas wilayah Sabah, Malaysia dan
Filipina pernah melakukan perundingan untuk membahas klaim tersebut tetapi
tidak pernah tercapai kesepakatan. Filipina dan Malaysia kemudian dengan dasar
demi memelihara hubungan baik sebagai negara sahabat, bersepakat menunda
negosiasi ini sampai waktu yang belum dapat ditentukan. Sementara Konstitusi
Filipina tetap menganggap Sabah sebagai wilayah warisan dari Kesultanan Sulu.
Setelah mendengarkan intervensi pihak Filipina dan setelah berkonsultasi dengan
tim dan pakar hukum Indonesia serta Malaysia, tanggal 23 Oktober 2001 Mahkamah
Internasional menyampaikan keputusannya (Reading
for the judgement) bahwa permohonan Filipina tidak dapat dikabulkan.
Setelah para hakim anggota mempelajari dan mendiskusikan semua
argumentasi hukum yang disampaikan oleh pihak-pihak yang bersengketa (Indonesia
dan Malaysia), maka sesuai prosedur Mahkamah Internasional, tanggal 17 Desember
2002 Ketua Mahkamah Internasional membacakan keputusannya dan menetapkan bahwa
Indonesia dan Malaysia kurang memiliki dasar hukum yang kuat untuk membuktikan
bahwa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan merupakan bagian dari wilayah Indonesia
maupun Malaysia. Karena Mahkamah telah diminta kedua pihak yang bersengketa dan
harus memutuskan bahwa Malaysia berdasarkan pertimbangan “effectivities” memiliki kedaulatan penuh atas Pulau Sipadan dan
Pulau Ligitan melalui perbandingan voting suara 16 hakim mendukung dan seorang
hakim menolak.
3.4.3 Pokok-pokok
Pendapat dan Keputusan Mahkamah Internasional Mengenai Klaim Kedaulatan Atas
Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan
Terhadap klaim Indonesia, Mahkamah Internasional berpendapat bahwa[10]
:
1.
Garis 4 10’ berdasarkan Pasal 4 Konvensi 1891
dapat berarti “berhenti” atau “terus” melewati suatu pulau tertentu (Sebatik).
Mahkamah menolak argumentasi Indonesia bahwa garis perpanjangan terebut
merupakan “allocation line” di luar
Pulau Sebatik sehingga timbul keraguan pengertian garis perpanjangan. Pasal 4
Konvensi 1891 tidak menyebut secara tegas bahwa garis 4 10’ terus berlanjut
melampaui Pulau Sebatik dan memisahkan pulau-pulau yang berada dibawah
kedaulatan Inggris dan Belanda. Oleh karena itu Mahkamah berpendapat bahwa
sangat sulit untuk menyatakan bahwa Inggris Belanda memang bersepakat untuk
menganggap garis dimaksud juga sebagai “allocation
line”;
2.
Mahkamah mencatat bahwa tidak ada satu pun
bukti yang meyakinkan kalau pulau-pulau Sipadan dan Ligitan dan pulau-pulau
lain seperti Mabul, merupakan wilayah yang dipersengketakan oleh Inggris dan
Belanda pada saat Konvensi 1891 dibuat. Atas dasar tersebut Mahkamah tidak
dapat menerima bahwa garis batas yang disetujui tersebut terus dilanjutkan
dengan maksud untuk menyelesaikan sengketa di laut sebelah timur Pulau Sebatik
dimana konsekuensinya Pulau Ligitan dan Sipadan berada dibawah kedaulatan
Belanda;
3.
Mahkamah tidak menemukan di dalam Konvensi 1891
hal yang meyakinkan bahwa Belanda dan Inggris memang mengatur perbatasan
wilayah kepemilikan mereka di sebelah timur Pulau Kalimantan (Borneo) dan
Sebatik, ataupun mengatur masalah kedaulatan atas pulau-pulau lain. Dalam
kaitan dengan Pulau Sipadan dan Ligitan, Mahkamah juga berpendapat bahwa
batasan di dalam Pembukaan Konvensi 1891 sulit untuk diterapkan mengingat saat
itu letak kedua pulau tidak begitu banyak diketahui, sebagaimana juga dimaklumi
oleh Indonesia dan Malaysia, dan bukan menjadi sengketa antara Belanda dengan
Inggris;
4. Mahkamah
juga menyimpulkan bahwa teks Pasal 4 Konvensi 1891, apabila dibaca sesuai
dengan konteks, objek dan maksudnya bahwa Konvensi tidak dapat ditafsirkan
sebagai menetapkan “allocation line” yang menentukan kedaulatan atas
pulau-pulau yang terdapat di wilayah laut sebelah timur Pulau Sebatik. Pasal 4
Konvensi hanya menentukan batas-batas wilayah Belanda dan Inggris sampai dengan
pantai timur Pulau Sebatik;
5. Mahkamah
berpendapat bahwa “travaux preparatoires” sebelum Konvensi 1891 serta hal-hal
yang berkaitan dengan Konvensi tidak dapat mendukung interpretasi Indonesia
bahwa Konvensi 1891 bukan hanya mengatur perbatasan darat tetapi juga mengatur
“allocation line” di luar pantai timur Pulau Sebatik;
6. Mahkamah
menolak klaim Indonesia atas Pulau Sipadan dan Ligitan yang didasarkan pada
“treaty based title” Konvensi 1891. Mahkamah juga berpendapat bahwa hubungan
antara Belanda dengan Kesultanan Bulungan diatur berdasarkan serangkaian
perjanjian. Perjanjian tanggal 12 November 1850 dan 2 Juni 1878 mengatur
masalah batas wilayah Kesultanan Bulungan. Batas ini mencapai bagian utara
melewati garis yang sudah disetujui Belanda dan Inggris berdasarkan Konvensi
1891, termasuk Pulau Tarakan, Nunukan, sebagaian Pulau Sebatik dan beberapa
pulau kecil di sekitarnya yang terletak di selatan garis 4 10’ LU. Hal ini
tidak berlaku bagi Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Mahkamah juga menolak
argumentasi Indonesia bahwa Indonesia mewarisi kedaulatan atas Sipadan dan
Ligitan dari Belanda. Perjanjian antara Belanda dengan Kesultanan Bulungan
hanya meliputi pulau Tarakan, Nunukan dan sebagian Pulau Sebatik;
7. Dalam
kaitan dengan konsesi minyak, Mahkamah mencatat bahwa batas konsesi minyak yang
diberikan oleh Indonesia dan Malaysia tidak sampai ke Pulau Sipadan dan Ligitan
dan tidak tepat di garis 4 10’ LU, tetapi berhenti di 30’ di sebelah utara atau
selatan garis 4 10’. Mahkamah tidak dapat mengambil kesimpulan bahwa pemberian
konsesi minyak tersebut merupakan hasil penafsiran dari Pasal 4 Konvensi 1891.
Terhadap klaim Malaysia, Mahkamah berpendapat bahwa[11]
:
1.
Tidak ada satu pun dari dokumen hukum yang
diajukan Malaysia menyebutkan Pulau Sipadan dan Ligitan dapat mendukung
klaimnya atas kedua pulau tersebut berdasarkan “transfer of title”;
2.
Mahkamah menjelaskan bahwa kedua pulau tidak
termasuk dalam grant Sultan Sulu yang
menyerahkan seluruh hak dan kekuasaan atas kepemilikannya di Borneo, termasuk
pulau-pulau dalam batas 3 marine leagues, kepada Afred Dent dan Baron van
Overbeck tanggal 22 Januari 1878;
3.
Mahkamah menyimpulkan bahwa tidak ada
bukti-bukti bahwa Spanyol menganggap Pulau Sipadan dan Ligitan termasuk dalam
Protokol 1878 antara Spanyol dengan Kesultanan Sulu atau menyimpulkan bahwa
Jerman dan Inggris mengakui kedaulatan Spanyol atas Sipadan dan Ligitan
berdasarkan Protokol 1885. Pada tahun 1903 Sultan Sulu tidak dalam posisi menyatakan
bahwa pulau-pulau tersebut dimasukkan dalam grant 1878 kepada Alfred Dent dan
Baron van Overbeck. Karena itu Mahkamah berpendapat bahwa Spanyol adalah
satu-satunya negara yang dapat mengklaim Pulau Sipadan dan Ligitan berdasarkan
instrumen hukum yang relevan. Tetapi tidak ada bukti bahwa Spanyol
melakukannya. Mahkamah juga berpendapat bahwa pada saat itu baik Inggris atas
nama State of Nort Borneo maupun Belanda tidak pernah mengklaim kedaulatannya,
baik secara eksplisit maupun implisit;
4.
Mahkamah mencatat bahwa meskipun tidak dapat
disangkal bahwa Pulau Sipadan dan Ligitan tidak termasuk dalam lingkup Treaty of Peace tahun 1898, “Perjanjian
1900” juga tidak secara khusus menjelaskan pulau-pulau selain Cagayan Sulu dan
Sibutu beserta pulau-pulau yang menjadi bagiannya yang diserahkan Spanyol
kepada AS, yang mungkin juga termasuk pulau-pulau Sipadan dan Ligitan. Di lain
pihak, AS tidak mengetahui dengan pasti pulau-pulau mana saja yang diperolehnya
berdasarkan Perjanjian 1900 tersebut;
5.
Mahkamah tidak dapat menyimpulkan, baik
berdasarkan Exchange of Notes tahun 1907, Konvensi 1903 atau dokumen-dokumen
lain yang berasal dari AS, bahwa AS mengklaim kedaulatan atas Pulau Sipadan dan
Ligitan. Karena itu tidaklah dapat dikatakan bahwa berdasarkan Konvensi 1930 AS
menyerahkan hak atas Pulau Sipadan dan Ligitan kepada Inggris sebagaimana
diyakini oleh Malaysia;
6.
Mahkamah menolak dalil Malaysia tentang tidak
terputusnya mata rantai kepemilikan yang diperolehnya dari Kesultanan Sulu.
Tidak ada suatu kepastian bahwa Pulau Sipadan dan Ligitan berada di bawah
kepemilikan Sultan Sulu atau para ahli waris lainnya yang disebutkan dalam mata
rantai “treaty based line” atas kedua
pulau tersebut.
Keputusan akhir Mahkamah Internasional mengenai
klaim kedaulatan yaitu menolak klaim kedaulatan baik yang dilakukan oleh
Indonesia maupun Malaysia atas Pulau Sipadan dan Ligitan berdasarkan dalil “treaty based title” dan “chain of title”, karena keduanya tidak
mampu mengajukan bukti-bukti kuat yang mendukung argumentasi masing-masing.
3.4.4 Pokok-pokok Pendapat dan Keputusan Mahkamah Internasional
Mengenai Dalil-dalil “Effectivites”
Mahkamah selanjutnya mempertimbangkan bahwa[12]
:
1.
Dalil “effectivites”
yang telah diajukan oleh Indonesia dan Malaysia sebagai pertimbangan untuk
memutuskan siapa yang paling berhak memiliki kedaulatan atas Pulau Sipadan dan
Ligitan. Indonesia dan Malaysia mengklaim bahwa bukti-bukti effectivites yang diajukan semata-mata untuk
mengkonfirmasikan “treaty based title”
masing-masing. Dengan menggunakan dalil alternative,
Malaysia berhak mengklaim kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan
berdasarkan rangkaian kepemilikan dan administrasi yang berkelanjutan secara
damai tanpa penolakan dari pihak Indonesia atan pendahulunya. Mahkamah berpendirian
karena Indonesia maupun Malaysia tidak memiliki “treaty based title” atas
Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, maka Mahkamah mempertimbangkan effectivites
sebagai masalah yang berdiri sendiri;
2.
Mahkamah berpendapat tidak akan
mempertimbangkan tindakan-tindakan yang dilakukan setelah
terjadi “critical date” sebagai bukti adanya “effectivites”, kecuali apabila tindakan
dimaksud merupakan kelanjutan normal dari tindakan-tindakan sebelumnya dan
tidak dimaksudkan memperkuat posisi hukum pihak yang bersengketa. Mahkamah
hanya akan mempertimbangkan praktek-praktek effectivites
sebelum tahun 1969, yaitu saat Indonesia dan Malaysia pertama kali menyatakan
klaim masing-masing atas Pulau Sipadan dan Ligitan;
3.
Mahkamah juga berpendapat bahwa peraturan dan
tindakan administrasi umum dapat dipertimbangkan sebagai bukti effectivites atas Pulau Sipadan dan
Ligitan, hanya jika peraturan dan tindakan tersebut jelas dan dikhususkan
dikedua pulau tersebut.
Terhadap klaim Indonesia
Mahkamah berpendapat bahwa :
1.
Dalam kaitannya dengan bukti effectivites yang diajukan oleh
Indonesia, Mahkamah mencatat fakta bahwa Undang-Undang No.4/Prp/1960 tentang
perairan Indonesia tidak mencantumkan atau mengindikasikan bahwa Pulau Sipadan
dan Pulau Ligitan sebagai “base points”
atau “turning points” yang relevan;
2.
Bahwa laporan komandan kapal destroyer Belanda “Lynx” dan dokumen yang diajukan oleh Indonesia berkaitan dengan
kegiatan pengawasan dan patroli di sekitar Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan,
yang dilakukan baik oleh kapal “Lynx”
pada November 1921 maupun Angkatan Laut Indonesia pada Desember 1967, tidak
dapat menunjukkan bahwa baik Belanda maupun Indonesia menganggap bahwa Pulau
Sipadan dan Ligitan serta perairan di sekitarnya merupakan wilayah yang berada
di bawah kedaulatan Belanda atau Indonesia;
3.
Mahkamah menilai bahwa kegiatan penangkapan
ikan secara tradisional yang dilakukan oleh nelayan Indonesia di perairan
sekitar Pulau Sipadan dan Ligitan tidak dapat dipertimbangkan sebagai tindakan
“a titre de souverain” yang mencerminkan maksud dan keinginan untuk bertindak dalam kapasitas dimaksud.
Terhadap klaim Malaysia bahwa[13]
:
1.
Bukti-bukti “effectivites” yang diajukan Malaysia, Mahkamah berpendapat bahwa
tindakan yang dilakukan oleh Otorita Koloni Nort Borneo dalam mengatur dan
mengontrol kegiatan pengumpulan telur penyu dan penetapan konservasi burung
harus dipertimbangkan sebagai suatu pernyataan pengaturan dan administrasi yang
tegas dari penguasa atas suatu wilayah. Mahkamah mencatat fakta bahwa tahun
1914 Inggris menerbitkan peraturan serta melakukan tindakan pengawasan atas
kegiatan pengumpulan telur penyu di Pulau Sipadan dan Ligitan, ditetapkannya
Pulau Sipadan sebagai “bird sanctuary”
tahun 1933, serta dibangunnya mercusuar oleh Inggris di kedua pulau dimaksud
tahun 1962 dan 1963;
2.
Mahkamah berpendapat bahwa pembangunan dan
pengoperasian mercusuar dan alat bantu pelayaran tidak dapat dianggap sebagai manifestasi
kekuasaan negara;
3.
Mahkamah
berpendapat bahwa tindakan
yang dijadikan bukti “effectivites”. Malaysia sangat sedikit
dalam jumlah, tetapi bervariasi dalam karakternya termasuk di dalamnya tindakan
legislative, administrative dan quasi-judisial;
4.
Mahkamah mencatat bahwa pada tahun 1962 dan
1963 pemerintah Indonesia tidak melakukan tindakan apapun, termasuk
mengingatkan pihak Otorita Koloni North
Borneo, atau kemudian Malaysia setelah merdeka, jika seandainya mercusuar
itu dibangun di wilayah Indonesia. Seadainya pembangunan mercusuar tersebut
dianggap sebagai tindakan untuk keselamatan navigasi di wilayah perairan North Borneo, maka sikap mendiamkan
tindakan yang dilakukan di wilayah Indonesia tentunya bukan merupakan hal yang
wajar.
Persoalan mengenai Pulau Sipadan dan Pulau
Ligitan muncul baru pertama kali pada bulan September 1969 dalam perundingan
batas landas kontinen di Kuala Lumpur antara Indonesia dan Malaysia. Pada
kesempatan perundingan tersebut Malaysia menyatakan kepemilikannya atas kedua
pulau tersebut yang terletak di pantai Timur Laut Kalimantan dan di bagian
Barat Laut pulau Sulawesi. Sebaliknya Indonesia juga menuntut bahwa kedua pulau
tersebut berada di bawah kedaulatannya.
Kedua negara baik Indonesia maupun Malaysia
tidak memiliki argumentasi hukum yang kuat untuk mendukung tuntutan mereka
masing-masing. Dalam upaya untuk menyelesaikan sengketa, antara kedua negara
Indonesia dan Malaysia mengadakan perundingan-perundingan pada berbagai tingkat
namun tidak berhasil mencapai penyelesaian yang dapat diterima kedua pihak.
Selanjutnya pada tahun 1996, Presiden Soeharto
dan Perdana Menteri Mahathir Muhammad sepakat untuk mengangkat Special
Envoy-nya (utusan khusus) masing-masing untuk mencari solusi alternatif.
Setelah mengadakan pertemuan beberapa kali di Jakarta dan Kuala Lumpur utusan
khusus tersebut setuju mengusulkan kepada pemerintahannya masing-masing untuk
mencari penyelesaian damai atas sengketa mereka melalui Mahkamah Internasional
dan menerima keputusan Mahkamah sebagai final dan mengikat.
Demikianlah pada tanggal 31 Mei 1997 bertempat
di Kuala Lumpur, Menteri Luar Negeri Ali Alatas dan Menteri Luar Negeri
Malaysia Datuk Abdullah Ahmad Badawi, atas nama pemerintahnya masing-masing
menandatangani Persetujuan Khusus (Special Agreement) untuk mengajukan sengketa
tersebut ke Mahkamah Internasional.
Pokok-pokok kesepakatan yang dimuat dalam Persetujuan
Khusus tersebut adalah :
a.
Meminta dan memberikan kewenangan kepada
Mahkamah Internasional untuk menentukan status kepemilikan atas Pulau Sipadan
dan Pulau Ligitan berdasarkan semua bukti yang ada.
b.
Memberikan kewenangan kepada Mahkamah
Internasional untuk menguji keabsahan tuntutan masing-masing negara berdasarkan
sumber-sumber hukum internasional yang berlaku sesuai Pasal 38 Statuta
Mahkamah.
c.
Penyampaian naskah Special Agreement ke
Mahkamah Internasional akan dilakukan kedua pihak bersamaan melalui Joint
Notification, setelah masing-masing pihak meratifikasi dan menukarkan naskah
ratifikasinya.
Special Agreement tersebut diratifikasi oleh
Malaysia pada tanggal 19 November 1997 dan oleh Indonesia dengan Keppres
tanggal 29 Desember 1997 dan mulai berlaku tanggal 14 Mei 1998. Selanjutnya kasus
Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan diajukan ke Mahkamah Internasional sesuai Pasal
40 ayat 1 Statuta Mahkamah melalui notifikasi bersama dan yang diterima oleh
Panitera tanggal 2 November 1998.
Ditengah-tengah proses acara, muncul pula upaya
hukum lain yang ditentukan oleh negara ketiga, yaitu permohonan intervensi oleh
Filipina terhadap perkara ini, dengan alasan bahwa perkara ini menyangkut
perjanjian-perjanjian yang oleh Filipina merupakan dasar klaimnya terhadap
Sabah. Sesuai dengan hukum acara Mahkamah, Filipina dimungkinkan untuk memohon
intervensi jika keputusan Mahkamah nantinya akan dapat mempengaruhi kepentingan
hukumnya sebagai pihak ketiga. Pada keputusannya pada tanggal 23 Oktober 2001,
Mahkamah Internasional menolak permohonan intervensi Filipina ini dengan
pertimbangan bahwa Filipina tidak berhasil mendefinisikan apa yang menjadi
kepentingan hukum Filipina dalam perkara ini akan memberikan dampak pada keputusan
Mahkamah Internasional.
Akhirnya pada tanggal 17 Desember 2002 Mahkamah
Internasional dalam sidangnya telah mengeluarkan keputusannya yaitu bahwa kedua
pulau tersebut adalah milik Malaysia berdasarkan pertimbangan bahwa kedua pulau
itu telah lama diadministrasikan oleh Inggris dan selanjutnya oleh Malaysia
atau yang dikenal dengan prinsip effectivies.
B. ANALISIS
Persengketaan
antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1973 ketika dalam
pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara ternyata
memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya.
Dengan temuan tersebut Indonesia merasa berkepentingan untuk mengukuhkan P.
Sipadan dan P. Ligitan. Maka dicarilah dasar hukum dan fakta historis serta
bukti lain yang dapat mendukung kepemilikan dua pulau tersebut. Di saat yang
sama Malaysia mengklaim bahwa dua pulau tersebut sebagai miliknya sesuai peta
unilateral 1979 malaysia serta mengemukakan sejumlah alasan, dalil hukum dan
fakta. Dilihat respon kedua negara diketahui bahwa kedua negara memiliki
kepentingan negaranya masing-masing dalam mengklaim kedua pulau tersebut.
Jika
kita menganalisis kasus ini menggunakan teori perspektif neorealisme, maka akan
didapatkan hasil sebagai berikut. Perspektif neorealisme mengatakan bahwa
negara memang lebih mengutamakan kepentingan nasionalnya, namun cara untuk
mendapatkan kepentingannya sedikit berbeda jika dibandingkan dengan teori
perspektif realis klasik. Dalam hal ini, neorealisme tidak se anarki realis,
perang tidak menjadi satu-satunya jalan untuk mencapai keberhasilannya mendapatkan
kepentingan nasional. Diplomasi dan perundingan juga dinilai dapat mendorong
tercapainya kepentingan nasional tersebut. Dalam kasus antara Malaysia dan
Indonesia tentang sengketa wilayah sipadan dan ligitan ini, mereka menempuh
jalur perundingan dan diplomasi untuk menyelesaikan masalah ini. Selain itu,
dalam perspektif neorealis, anggapan bahwa negara merupakan satu-satunya aktor
dominan dalam sistem hubungan internasional, mulai berubah. Dalam teori
neorealis, peran aktor non negara juga mulai dinilai memeliki peran yang cukup
signifikan, salah satunya adalah peran International
Court of Justice (Mahkamah Internasional), yang dalam kasus sengketa ini
memiliki peran sebagai perantara dan penengah dalam proses penyelesaian
sengketa yang terjadi.
BAB
IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Indonesia telah berupaya mempertahankan kepemilikan
atas Pulau Sipadan Ligitan melalui jalur politik yaitu
dengan cara diplomasi atau perundingan bilteral dengan Malaysia. Serangkaian
perundingan bilateral dengan
Malaysia telah dilalui
oleh Indonesia dan Malaysia sebagai upaya penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan. Namun
cara diplomasi atau perundingan bilateral yang telah dilaksanakan menjadi tidak
efektif ketika Indonesia dan Malaysia memiliki tujuan yang saling bertentangan dan tidak dapat lagi di kompromikan.
Sehingga
berdampak juga dalam proses perumusan kebijakan
politik yang akan dilakukan oleh Indonesia dalam penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan pulau Sipadan dan Ligitan.
Dalam permasalahan sengketa
kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan hendaknya menjadi pelajaran bagi Pemerintah Indonesia dalam mempertahankan kedaulatan wilayah teritorial terutama
pulau-pulau terluar Indonesia yang tidak berpenghuni dan belum diberikan nama.
Melihat dari kasus lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan dari wilayah kedaulatan Indonesia, maka langkah yang paling penting dalam menyikapi permasalahan serupa kedepannya diharapkan Pemerintah Indonesia lebih mengefektifkan upaya politis. Upaya politis yang ditempuh Pemerintah Indonesia tersebut nantinya akan memberikan kemudahan-kemudahan
dalam melakukan proses perumusan kebijakan politik luar negeri yang juga akan
mempengaruhi keadaan politik dalam negeri. Untuk itu, kedepan Pemerintah
Indonesia diharapkan pelaksanaan upaya politis yaitu dengan cara perundingan bilateral apabila dihadapkan
dengan permasalahan
sengketa wilayah atau perbatasan agar lebih diefektifkan kekuatan dan lebih profesional
dalam berdiplomasi.
B. Saran
Dalam proses perumusan
kebijakan politik ke depan yang lebih baik adalah dengan mengedepankan
upaya-upaya politis yaitu dengan meningkatkan perundingan bilateral yang lebih
berkualitas dan profesional. Pemerintah sebaiknya memperbaiki kualitas cara
melaksanakan proses perundingan bilateral atau diplomasi yang dijalankan oleh Kementerian Luar Negeri agar kedepannya menjadi lebih
baik. Untuk itu, Pemerintah harus secepatnya mengambil
langkah dalam dengan membuat keputusan dalam hal kebijakan politik luar negeri
apabila dihadapkan dengan suatu kasus yang menyangkut
kedaulatan negara dengan cara antar lain: Pertama,
mensosialisasikan kepada
masyarakat tentang pentingnya arti pulau-pulau terluar bagi bangsa dan negara
Indonesia. Kedua, melakukan kerjasama dengan
negara-negara yang berbatasan dengan wilayah-wilayah
Indonesia dalam pengelolaan wilayah perbatasan
dalam
rangka
menghindari konflik serta menjaga
stabilitas kawasan. Ketiga, menegakkan kedaulatan baik melalui penguasaan birokrasi, pendudukan terus menerus dan pemberdayaan kawasan di sekitar wilayah
perbatasan.
.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Irsan. (2009). Pelajaran Yang Dapat Ditarik dari Kasus Sipadan dan Ligitan.
Jurnal Intelijen & Kontra
Intelijen, Volume V No. 27: Jakarta.
Jackson Robert
dan Sorensen Georg. (2013). Pengantar Studi Hubungan Internasional-Teori dan Pendekatan. Pustaka Pelajar:
Yogyakarta.
Mauna Boer.
(2013). Hukum Internasional-Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global. PT Alumni: Bandung.
Mas’oed Mochtar.
(1990). Ilmu Hubungan Internasional-Disiplin dan Metodologi. Pustaka
LP3ES.
Indonesia.
Michael.
Politik Luar Negeri Indonesia. Gramedia: Jakarta. 1986.
Kusumaatmadja,
Mochtar, Prof. DR. Politik luar negeri Indonesia dan pelaksanaannya
dewasa
ini: Kumpulan karangan dan pidato. The University of California: Alumni. 1983.
Perwita Banyu
dan Yani Mochamad. (2014). Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. PT Remaja Rosdakarya: Bandung.
Steven
Y. Pailah. (2009). Archipelagic State-Tantangan
dan Perubahan Maritim. Klub Studi
Perbatasan: Jakarta.
Jurnal :
Penyelesaian
Perselisihan Kasus Sipadan Ligitan Melalui Mahkamah Internasional. November 26,
2009. http://www.scribd.com
Kegagalan
formulasi kebijakan politik luar negeri indonesia dan lepasnya pulau sipadan -
ligitan dari indonesia tahun 2002 dalam perspektif Geopolitik negara kepulauan.
Kurniawan setyanto, 2012
Sengketa
Pulau Sipadan dan Ligitan Antara Indonesia-Malaysia Serta Penyelesaiannya
Melalui International Court Of Justice (ICJ). Ratnaningrum, 2010.
Global. PT
Almuni : Bandung. hal : 280
[2] Steven Y. Pailah (2009). Archipelagic
State : Tantangan dan Perubahan Maritim. Klub Studi
Perbatasan : Jakarta. hal : 45
3
[3] Penyelesaian Perselisihan Kasus Sipadan Ligitan Melalui Mahkamah
Internasional. November 26, 2009. http://www.scribd.com
[4] Boer Mauna (2005). Op. cit. hal
: 194
[5] Pasal 36 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional secara lengkap berbunyi
sebagai berikut, “The Jurisdiction of the Court comparises all
cases which the parties refer to it and all matters specially provided for the
in the Charter of the United Nation or in treaties and conventions in force.”
[6]J.G Starke (2001). Pengantar
Hukum Internasional : Edisi Kesepuluh.
Penerjemah: Bambang Iriana Djajaatmadja, S.H. Jakarta : Sinar
Grafika.
[7]Bunyi lengkap dari Pasal 2 adalah sebagai berikut, “ The Court is requested to determine on the
basis of the treaties, agreements and
any other evidence furnished by the Parties, whether sovereignty over Pulau
Ligitan dan Pulau Sipadan belongs to the Republic of Indonesia or to Malaysia.”
[8]Abdul Irsan (2009). Op. cit. hal
: 252-252
[9] Hakim ad hoc Weeramantry
dalam kasus Soverignty Over Pulau Sipadan
dan Pulau Ligitan
memberikan pernyataan yang sama yang
berkaitan dengan definisi dari kepentingan yang mempunyai karakter hukum.
[10] Abdul Irsan (2009). Op. cit.
hal : 256-257
[11] Abdul Irsan (2009). Ibid. hal :
258-259
[12] Abdul Irsan (2009). Ibid. hal :
259-260
[13] Abdul Irsan (2009). Ibid. hal :
261-262
[2]Statuta MI, 1945, Pasal 34 (1), “Only
States may be parties in cases before the Court.”
[3]Statuta MI, 1945, Pasal 40 (1), “Cases
are brought before the Court, as the case may be, either by
the
notification of the special agreement or by a written application…..”
[4]Statuta MI, Pasal 59 “The
decision of the Court has no binding force except between the parties and in respect of that particular case”.
[5]Statuta MI, 1945, Pasal 40 (1) “…the
subject of the dispute and the parties shall be indicated”, dan (Rules of
the Court) selanjutnya Aturan Mahkamah, Pasal 39 “ …indicate the precise subject of the dispute and identify the parties to it.”
[6]Abdul Irsan (2009). Pelajaran
Yang Dapat Ditarik dari Kasus Sipadan dan Ligitan. Jurnal Intelijen &
Kontra Intelijen.Volume V No. 27 : Jakarta. hal : 253
Komentar
Posting Komentar